11. Nyaman











Bagian 11

Nyaman











Semenjak peristiwa Adara curhat kepada Arkana, gadis berambut legam itu sering mengulang kegiatan nekatnya.

Dan klisenya, layaknya sebuah kisah cinta di televisi, ia mulai menumbuhkan rasa yang sering dielu-elukan itu. Membiarkan benihnya berkecambah dan bermekaran, bersamaan dengan jarinya yang kini terus saja sibuk mengetikkan balasan untuk seorang laki-laki yang kini ia sukai.

Suka?

Adara bahkan belum pernah suka dengan laki-laki sepertinya. Karena setiap hatinya menunjukkan hal yang benar, otaknya selalu membuat konspirasi aneh dari sikap sok tahunya bahwa jejaka seperti Arkana itu sejatinya laki-laki ugal-ugalan dan amoral. Padahal, jika kehidupan asmaranya ditelusuri, ia belum pernah bertemu dengan laki-laki seperti di dalam konspirasinya.

"Arkana kalau diajak chattingan seru juga, ya. Coba dari dulu gue kenalan sama dia," ujarnya pada diri sendiri. Ia kini berada di balkon kamar. Tempat paling menyenangkan sekaligus membawa kesenangan baginya.

Akan tetapi, sepertinya sekarang rasa senang itu bukan karena ia sedang duduk bersantai di balkon, melainkan karena balasan demi balasan yang muncul di layar datar yang kini dipegangnya.

•••

Sejujurnya, sebagai laki-laki yang tidak terlalu banyak berbaur seperti Putra, Arkana tetap saja makhluk hidup yang perlu bersosialisasi. Tidak banyak berbaur bukan berarti membuatnya berimej nerd, berkacamata dan identik dengan buku yang selalu berada dipelukan. Arkana tetap bisa bergaul secara luwes meskipun dirinya—secara terselubung—tidak terlalu suka bagaimana temannya bersosialisasi.

Arkana lebih suka diam dan melihat. Lebih suka diajak mengobrol terlebih dahulu ketimbang memulai sebuah percakapan.

Namun kini, prinsip itu sepertinya sedang dilanggar. Sebab sejak beberapa menit lalu, ialah yang memulai obrolan hingga mereka asyik bercakap-cakap.

"Oh, jadi lo suka nonton film bajakan juga?" ujar Arkana menjauhkan tubuhnya beberapa senti, pura-pura tak percaya. Pemudi di hadapannya tertawa, menutup mulutnya. "Iyalah!"

Arkana tersenyum. Di depannya sudah duduk dengan anggun, seorang gadis bernama Rana. Masih dengan seragam sekolah yang sama-sama melekat di tubuh mereka, Arkana mengajak gadis itu keluar. Sebelumnya, ia sempat ragu melancarkan rencana itu, tapi berkat ucapan Putra, si laki-laki ajaib yang merangkap menjadi temannya selama bertahun-tahun.

"Bro, listen bener-bener nih omongan gue. Kalau lo gak ngajak si Rana keluar setelah lo chattingan panjang, lebar, tinggi, yang semua orang tahu banget kalo itu PDKT. Lo bakalan dicap tukang pemberi harapan palsu alias PHP. Mau lo?" Serangkaian kalimat itu diucapkan dengan nada sungguh-sungguh. Layaknya sedang berorasi.

Arkana menelan ludah menerimanya, lebih karena tidak percaya kalau temannya satu ini memang lebih pandai dalam dunia percintaan. Ia mengangguk, ya, gak pa-palah, kalau bisa sama Rana, kenapa nggak? ucap batinnya kala itu.

"Lo kenapa, Ar?" Kereta pikirannya terputus, Rana menyetopnya begitu saja. Arkana kembali memfokuskan perhatiannya pada dara yang sedang melempar tatapan bertanya padanya. "Nggak kok," ujar Arkana sembari menampakkan barisan giginya.

Rana menoleh ke arah lain setelah menyunggingkan senyum padanya, netra gadis itu seperti enggan menatapnya setelah ia berucap demikian. Membuat Arkana menjadi serba salah. "Lo pasti mikir yang nggak-nggak ya, Ar?"

Arkana terkejut menerima pertanyaan itu. Apa maksud gadis ini bertanya seperti itu padanya. Apa dia pikir, Arkana berpikiran jorok tentangnya atau hal lain. Persoalan-persoalan  itu menggelayuti pikiran Arkana hingga ia buka suara. "Nggak, kok. Santai aja, Ran."

"Gue gak ada pikiran jorok sama lo, kok." Mendengar hal itu malah membuat Rana tertawa. "Maksud lo apa sih, Ar? Maksud gue bukan itu, kok," ujar gadis itu setelah tawanya sedikit surut.

"Terus apa?"

Rana menanggapinya dengan mengangkat bahu, "Ya, apa gitu, cerita teman-teman lo soal gue."

Arkana tak tahu harus memberi balasan apa pada ucapan Rana kali ini, sebab ia memang tak terlalu peduli soal omongan teman-temannya tentang Rana. Karena sejauh yang ia tahu semua itu hanya pujian. Jadi, ia lengah saja.

"Hmm ... nggak tahu, sih. Emang kenapa?" Jawaban itu bukanlah jawaban yang menyenangkan, setidaknya begitu menurut Arkana. Dan persis, jawabannya pun direfleksikan lagi dengan ekspresi Rana.

Gadis itu memaksakan diri untuk tersenyum, "Gak pa-pa, sih. Gue paranoid banget, ya."

Arkana menangkap sinyal jika gadis di depannya ini sedang memerlukan teman untuk bercerita. Maka, setelah jiwa dan raganya siap, ia memberanikan diri untuk bertanya, "Lo mau cerita sesuatu, Ran? Kali aja gue bisa kasih solusi, biar lo gak paranoid,"

Keberuntungan seperti menjadi sahabatnya hari ini. Terbukti dari bagaimana kepala Rana kembali terangkat dan mengarah padanya. Seperti tumbuhan yang berfototropisme, bedanya, pusatnya bukan matahari melainkan Arkana, yang kini berusaha tersenyum ramah padanya. Setelahnya, dibiarkannya laki-laki itu mendengar ceritanya. Membiarkan pemuda itu tahu dan memberi komentar. Ia takkan takut lagi.

Kedua manusia itu membiarkan perasaan masing-masing terbawa sesuatu yang bernama kenyamanan, sekaligus membiarkan keramaian di sisi kanan dan kiri mereka berlalu-lalang begitu saja. Siapa pula yang akan peduli jika bersama orang yang membawa kehangatan?

Arkana pun begitu, baru kali ini ia merasa begitu fokus meski sekitarnya riuh. Ia pun tersenyum ketika cerita Rana mencapai penghujungnya. Entah, tanpa berpikir panjang rasanya ia sudah tahu apa jawaban untuk masalah gadis itu. Tak perlu dehaman untuk memikirkan kata-kata yang pas untuk menjawab segala keluh-kesahnya.

Maka dengan satu tarikan napas ia berucap, "Gak usah khawatir, santai aja, kali. Jadi diri lo sendiri aja, gak usah pikirin pendapat orang lain. Kalo emang mereka teman lo, mereka pasti dukung tindakan baik yang lo lakuin." Ia mengakhiri ucapannya yang biasa itu. Ya, baginya mungkin biasa, tapi bagi Rana, itu bentuk dukungan yang belum pernah ia dengar dengan intonasi setulus itu.

Gadis itu bersinar lagi. Begitulah arti sorot matanya sesaat setelah mendengar sejurus ucapan Arkana dan mencernanya.

"Hm, makasih, ya," ujar gadis itu sembari tersenyum, membuat hati Arkana menghangat untuk kesekian kalinya.

Arkana balas tersenyum. "Santai. Kalau lo butuh temen cerita, bisa ke gue, kok," balasnya. Tapi hal itu justru mengundang kernyitan di kening Rana, "Lo ikhlas gak? Nanti gue disuruh bayar."

Arkana terkekeh sedangkan batinnya meronta-ronta soal mengapa gadis di depannya ini teramat sangat manis. "Ikhlaslah. Ya, selama lo gak nelepon gue seharian pakai Whatsapp, gue ikhlas-ikhlas aja," ujarnya balas memberikan candaan. Membuat perempuan dengan rambut terurai di depannya itu ikut tertawa.

Menit-menit berikutnya mereka habiskan dengan mengobrol ringan, menghabiskan sore berhias warna jingga. Arkana dan Rana sama-sama tidak menyangka akan semenyenangkan ini bila bisa saling bercakap-cakap. Tidak ada yang menduga demikian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top