10. Menyadari
Bagian 10
Menyadari
Adara mengerjap-ngerjapkan matanya. Ponsel digenggamannya seolah bukan lagi sebagai fokus utamanya. Otaknya melanglang ke mana-mana.
Ia harus segera bertanya pada Oli dan Laras jika benar dirinya sama seperti anggapan laki-laki itu. Pokoknya, gue kudu nanya dulu ke Laras sama Oli, masa dia seenaknya bilang gitu, padahal kan belum kenal banget sama gue.
•••
"Oli, Laras!" Kedua pemudi yang berjalan berdampingan itu sontak menoleh ke asal suara. Di belakang mereka rupanya sudah ada Adara yang berlari-larian, menerabas siswa dan siswi lain.
Laras tersenyum menanggapi, tangannya dilambaikan. Sedangkan Oli hanya tersenyum singkat, ia juga ikut berhenti, mengikuti langkah Laras, padahal kedua kakinya ingin sekali diistirahatkan dengan duduk di bangku. Dirinya siap memberi cacian paling pedas jika tertahan lebih lama sana, untung saja kedua kaki Adara tak butuh waktu lama untuk sampai.
"Ada acara apa lo pakai lari-lari gitu, hah?" tanyanya tak sabaran, bahkan ketika napas Adara belum kembali normal. Baru setelah itu, gadis yang tadi bersemangat itu menjawab, "Gue mau nanya sesuatu sama kalian, yuk masuk kelas, gue capek nih!" jawabnya sembari berjalan mendahului kedua temannya yang memandangnya dengan keheranan.
Kelas mereka, kebanggaan mereka, kini sedang di fase ramai-ramainya. Maklum, masih pagi. Banyak siswa yang posisinya baru datang sama seperti Adara, Oli dan Laras. Ketiga pemudi itu langsung duduk di bangku masing-masing. Setelah kedua kakinya sudah lega, Adara mengubah posisi duduknya ke samping, mengambil ancang-ancang untuk memberikan dongeng kepada kedua temannya yang juga sudah siap.
"Lo mau nanya apa, sih? Jangan bilang, lo mau nanya soal mantan lo yang berengsek itu, dia ngajak balikan terus lo minta pendapat sama kita buat nerima dia lagi apa nggak," Itu suara Oli yang sedang berapi-api. "Sampai gue dengar lo ngomong gitu, mending gue resign aja deh jadi temen lo. Bisa-bisa gue mati darah tinggi, tahu, nggak!" Adara tergelak saat memberikan respons, "Nggaklah!" Tawanya itu malah membuat Oli nampak bersungut-sungut.
Sesaat setelah drama kecil itu, Adara mulai bercerita dan mereka berdua mendengar dengan saksama. Laras dengan suara hmm yang mendominasi sepanjang Adara bercerita dan Oli yang menaik dan turunkan kedua alisnya. Respons mereka menjadi teman suara Adara yang kadang terhenti—membuatnya dongkol—karena beberapa suara teriakan tidak jelas dari teman-temannya yang gaduh. Hingga perempuan itu akhirnya mengkhatamkan ceritanya, membuat suara hmm dan pergerakan alis Oli berhenti.
"Gimana menurut kalian?" tanya Adara, sedangkan kedua temannya saling melempar pandangan.
Oli membuka mulutnya terlebih dahulu. Sepertinya menunggu Laras menjawab duluan adalah tindakan paling bodoh, sebab gadis itu pasti takkan mampu melakukannya. "Ya, nggak gimana sih, Dar. Apa yang dibilang sama Arkana gak salah. Emang bener, semenjak lo pacaran sama si Aldo, lo jadi berubah. Gue sih, nggak masalah, kalau lo berubah atas dasar kemauan lo sendiri, tapi pas lo curhat ke gue, Laras plus Arkana gitu. Gue makin yakin kalau lo berubah cuma gara-gara mantan lo yang berengsek itu. Lo gak ikhlas."
"Kayak lo berubah, cuma buat memuaskan mantan lo itu. Gak buat lo sendiri."
Adara mengembuskan napas, setengah dirinya tak menyangka jika Oli mengucapkan itu. Namun, setengah lainnya juga enggan menyangkal. Tatapannya kini beralih pada gadis yang duduk tepat di sebelah bangkunya, Laras. Pemudi itu nampak salah tingkah dilempari tatapan olehnya.
"Kalo menurut lo gimana, Ras?"
Leher Laras bergerak, ada saliva yang ia telan. Rupanya, sejak tadi ia menyiapkan diri untuk berbicara di antara sahabat-sahabatnya. Bukan hal mudah, ia sadar seratus persen akan hal itu. Tapi inilah waktunya, begitu juga maksud dari ekspresi yang ia dapati dari Oli. Dan begitu mental dan fisiknya siap, ia menarik napas dalam-dalam lalu memulai jawabannya.
"Gue juga setuju sama Oli." Baiklah, hanya satu kalimat itu yang mampu ia katakan bahkan dari semua kata-kata yang sudah ia patri sungguh-sungguh di otaknya.
Adara balas mengembuskan napas, lagi. Ia berusaha menerima semua yang dikatakan teman-temannya. Anggukan ia tampilkan sebagai tanda persetujuan. "Kalo soal yang ekspektasi itu, gimana? Kalian setuju juga sama Arkana?"
Oli berdeham sebentar. Kali ini, ia tak perlu memikirkan kata-kata apa yang hendak ia keluarkan. Dara yang sedikit bertolak belakang dengan Laras itu mengeluarkan dehaman hanya untuk menjeda ucapan Adara. "Setuju juga. Kadang gue mikir ekspektasi atau harapan lo sama orang lain itu ketinggian, Dar. Termasuk ke gue sama Laras. Gue sadarnya tuh, pas lo bener-bener gak bisa toleransi ke gue pas gue batalin janji. Inget, gak?" tanya Oli, memberi spasi pada pernyataannya.
"Ya, gue tahu sih kalo itu nyebelin banget. Tapi lo sadar nggak, kalo gue gak sering gitu dan juga, gue ngasih alasan yang masuk akal. Tapi lo langsung cut dan main diem-dieman gitu seminggu," Oli mengistirahatkan pita suara sejenak demi melihat tatapan tak menyangka dari kedua sahabatnya.
"Kalo gak karena Laras, gak tahu lagi gimana akhirnya. Tapi, ya, udah, gak usah diambil serius. 'Kan kita udah baikan, ya, nggak?" Oli lantas mengakhirinya dengan sedikit bercanda, meski justru terdengar satire di telinga Adara.
Adara tersenyum kecut. Garis lengkung itu ia hadirkan di tengah-tengah otaknya yang memutar ulang saat Oli yang tiba-tiba meneleponnya, membatalkan acara mereka. Bukan tanpa alasan, gadis sedikit tomboi itu membatalkannya karena mendadak kerabat-kerabatnya datang mengunjungi keluarganya. Ah, kini, Adara merasa menjadi orang paling payah sejagat raya.
Ia paksakan paru-parunya menerima pasokan oksigen sebelum menanyakan hal yang sama pada Laras. Tak lama, jawaban lain muncul. Dan tak kalah mengejutkan baginya.
"Gue juga ngerasa hampir sama kayak Oli, Dar. Lo gak bisa maksain kehendak lo dan lo juga harus ngurangin ekspektasi lo ke orang lain. Atau kalo terus-terusan gitu, gue khawatir lo selalu kecewa sama orang di sekitar lo. Gue gak mau Dar. Kurang-kurangin, ya. Percaya deh, apa yang udah buat lo, bakalan buat lo kok."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top