1. Awal Rana
Bagian 1
Awal Rana
"Mas, Mama ada urusan sebentar. Kamu bisa 'kan jaga rumah?"
Arkana terdiam, menatap mamanya yang tengah membenahi baju yang dikenakannya supaya rapi, meskipun semuanya tahu jika baju itu bahkan sudah lebih dari rapi. Kemudian ia mengangguk kecil.
"Pinter! Ya, udah Mama pergi dulu, ya!" Setelah berpamitan dengan memberikan tangan kanannya untuk disalami Arkana, mamanya pergi. Meninggalkan anak laki-lakinya yang sudah terbiasa sendirian. Terbiasa dititipi rumah seperti ini.
Setelah mengunci rumah dan mengecek beberapa hal fundamental dan bisa membahayakan seperti kompor yang belum dimatikan, ia langsung menuju kamarnya, bersiap mengerjakan tugas rumah yang diberikan gurunya. Padahal hari ini adalah hari Minggu.
Arkana memasuki kamarnya. Kamar yang tidak terlalu besar tapi cukup baginya untuk istirahat, beribadah dan melakukan hal lainnya. Kamarnya juga istimewa, setidaknya begitulah menurut pemiliknya. Kamarnya itu tidak memiliki balkon, saat melongok keluar maka kedua matanya akan menemukan jajaran genting, atap rumahnya. Dan dirinya suka itu. Ia memandangnya seperti sesuatu yang tak biasa. Berbeda.
Apalagi saat senja atau malam hari. Rasa senangnya bertambah, ketika ia bisa puas menatap langit kemarau keunguan atau langit penuh bintang-gemintang. Kebahagiannya muncul tanpa dipaksa ketika ia menikmati pemandangan itu dari dalam kamar. Bukankah itu sebuah keberuntungan yang menyenangkan?
Mendadak gawai kecil miliknya berbunyi, tidak nyaring karena suaranya banyak terserap ke tempatnya ditaruh yaitu kasur. Kendati masih ingin diam menatap keluar, menyaksikan beberapa tetangganya yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ia paksakan kakinya melangkah mendekati kasur. Di layar gawai itu tertera nama kecil yang sudah bosan ia lihat.
Putra Agung. P
Ar, gue ke rumah lo, ya?
Anda
Lha ngapain?
Putra Agung. P
Main-main ae :v
Anda
Yoi.
Sehabis membalas pesan yang cukup tidak berfaedah dari temannya itu, ia putuskan untuk keluar kamar. Memilih menunggu di ruang tamu.
Jam sepuluh, tergolong masih pagi di hari Minggu yang cerah ini. Dan untuk Arkana, ia sama sekali tidak punya alasan apa yang hendak temannya itu lakukan pagi hari ini. Seorang Putra jelas tak akan menyia-nyiakan kesempatan bersantai atau sekedar nongkrong saat libur begini, pikir Arkana. Namun, seperti tahu apa yang ada di otak Arkana, sahabatnya itu datang.
"Arkana! Lo ngapain duduk cantik gitu, hah?" serunya membuat Arkana mendengus. Ngerusak hari Minggu gue aja. "Kena angin apa lo tiba-tiba kemari?" Arkana, empunya, memberi gestur seperti tak ingin berlama-lama dengan makhluk di hadapannya itu.
Putra hanya mengangkat bahu. Senyum jail timbul di wajahnya setelah melihat sahabat karibnya itu tidak bersahabat, "Yee temannya datang, disambut, kek!" seloroh Putra dengan tertawa-tawa lantas menghempaskan pantatnya ke sofa ruang tamu Arkana.
Sejenak setelah melihat gelagat kenyamanan Putra, yang bisa Arkana lakukan hanya memutar bola mata. Ia tahu kalau mengusirnya hanya akan membuang suara dan tenaganya saja. Jadi, lebih baik ia diam. Merelakan hari Minggunya diambil alih oleh Putra yang kini tengah menyesuaikan posisi duduknya.
"Ar, tugas fisika lo udah belum?" seru Putra membuat Arkana melirik sepintas dari kegiatan bermain ponsel rianya. Ia tak langsung menjawab tapi sudah menduga jika Putra akan bertanya seperti itu. Memang apalagi alasan baginya datang ke rumahnya kalau bukan karena tugas?
Arkana mengangguk mantap tanpa menoleh. Dan sesuai dugaan juga, Putra spontan mendekatinya dengan tingkah seperti balita. "Wahh, kasih tahu dong, Ar. 'Kan lo orangnya baik hati dan tidak sombong." Tapi maaf saja, rayuan receh yang seperti ini sudah sering diterima Arkana. Maka, kali ini ia takkan tergoda. Sama sekali.
Setengah menit. Dua menit. Lima menit berjalan dan waktu yang dirasakan Arkana terasa begitu lambat ditambah dengan wajah memohon Putra yang alangkah, sungguh minta ditonjok. Merasa lelah, alhasil ia menuruti permintaan Putra. Ia beranjak untuk mengambil buku fisika lantas kembali dan memberikannya pada Putra, membiarkan temannya itu menyalin hasil pekerjaannya.
"Subhanallah, ya, akhi!" Putra nyaris memekik saking girangnya menerima buku fisika yang beberapa menit yang lalu membuatnya bersujud-sujud untuk mendapatkannya. Matanya tak kalah berbinar menatap benda di pangkuannya itu.
Arkana hanya melirik selintas, lantas mendengus pelan. Wahai penguasa alam semesta, tolong ubah sikap teman gue ini. Kemudian kembali fokus pada gawai kecil nan canggih miliknya, tak acuh lagi pada temannya yang kini sibuk mengutip jawaban-jawaban miliknya.
Ditemani kue cokelat lezat di dalam stoples plus suara musik indie yang mengalir lembut, Putra dengan gerak santainya menulis, ia juga sesekali ikut berduet dengan penyanyi yang ada di ponselnya. "Ar, lo tahu gak cewek yang sering diomongin anak-anak?"
Lagi, Arkana menoleh sekilas. Melihat tak ada respons darinya, Putra melanjutkan, "Namanya Rana. Beuh, Man cantik ajegile!"
Embel-embel 'ajegile' milik Putra ialah tanda jika perempuan yang tengah ia singgung memanglah cantik. Karena memang jaka itu tidak terlalu sering mengucapkan kata tersebut bila perempuan yang ditemuinya tidak benar-benar ia anggap cantik. Paling-paling hanya kata 'wow cantik' atau sebangsanya.
Ya, setidaknya kata itu mampu merobohkan ketidakpeduliannya pada Putra yang kini bersiul, mengikuti irama lagu yang sedang terputar.
"Trus lo naksir?"
Sontak, Putra mengangkat kepalanya lalu terbahak cukup lama. "Nggaklah, Man!" sahutnya setelah cukup lama terbahak oleh tanggapan singkat Arkana. Hal itu mengundang kernyitan di keningnya, merasa janggal. "Lo pikir karena gue bilang, gue naksir gitu? Gini-gini gue juga tahu diri!"
Juga mengundang banyak pertanyaan di otaknya. "Trus maksud lo ngomong ke gue apaan, Put?" Dengan wajah datar ia mengeluarkan pertanyaan yang paling membuatnya heran.
Putra mengangkat bahunya santai. "Ya, gak ada. Cuma bilang aja."
Sebagai jawaban, Arkana hanya menatapnya datar. Pagi ini Putra menunjukkan keanehan—biasanya sudah aneh—baru. Kalau Arkana menyeragamkan tingkah Putra sekarang dengan yang biasanya maka bisa disimpulkan ini yang paling tidak biasa. Sebab, jika temannya itu sudah memuji dengan kata berlebihan seperti tadi, maka besar kemungkinan Putra akan 'memburu' gadis itu sampai dapat. Itu pula sebab mengapa kata 'ajegile' adalah pertanda jika Putra akan mencari gadis untuk dijadikan pacarnya, ditambah dengan fakta bahwa kini ia sedang menjomblo.
"Man, thanks, ya!" Ucapan Putra mengalihkan kembali dunia Arkana yang sejak tadi berputar pada keanehan temannya rersebut. Ia mengangguk kecil mengambil buku itu dari genggaman temannya.
Setelah Arkana menyimpan kembali bukunya, mereka menghabiskan sisa hari Minggu dengan mengobrol ringan diselingi dengan suara kue yang terkunyah dan lagu yang berputar silih berganti—kini lagunya ialah soundtrack film anak SMA berbahasa jawa kesukaan mereka berdua—hingga tak terasa hari yang sejuk tadi berubah terik.
"Bro, besok bubar sekolah ikut gue, yoi, gak?"
Putra bersuara saat ia selesai menghidupkan motor, keluar dari halaman rumah Arkana. Ia hendak pulang sesaat setelah suara azan masjid dekat rumah Arkana menerobos masuk ke dalam rumah, menghentikan lagu yang sedang dimainkan.
Arkana diam sejenak, pandangannya terarah pada motor Putra yang sudah dihidupkan. "Boleh," jawabnya singkat lantas tersenyum singkat ketika Putra pamit, menjalankan motor, meretakkan sepi di jalanan lengang depan rumah Arkana. Menyisakan ia dan rumahnya yang kembali sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top