PROLOG

PROLOG
💕💕💕

"Untuk apa kamu datang lagi ke sini?"

"Kamu tidak pernah mengangkat teleponku dan selalu menghindar setiap kali kita tidak sengaja bertemu."

"Untuk apa? Ingat, Wan, kita sudah tidak memiliki hubungan apa pun lagi."

"Aku tahu. Tapi, apa salah kalau aku merasa ... rindu."

"Tidak. Tidak lagi setelah semua yang terjadi."

Hhh ... Wandi mendesah. Lelah. Matanya otomatis terpejam saat kejadian beberapa jam lalu kembali terulang dalam benak. Tentang pertmuannya dengan Resti di kediaman wanita itu. Ibu dari dua anaknya.

Yah, mereka sudah bercerai nyaris empat tahun lalu. Tentu saja karena Wandi yang tak becus menjadi suami. Tiga puluh empat tahun membina rumah tangga, yang bisa ia berikan pada Resti hanya ... luka.

Wandi mencintai perempuan lain. Rista namanya. He-em. Nama yang mirip dengan wanita yang telah memberi ia penerus. Tidak, bukan hanya nama, karena wajah mereka mirip. nama blakang pun sama. Bahkan darah mereka juga sama.

Wandi memang berengsek. Dia mencintai Rista, tapi menikahi adiknya hanya karena mencari sesuatu bernama ... sempurna. Keputusan gila yang menjadi awal mula petaka dalam hidup lelaki 55 tahun itu.

Anggap saja karma, meski ia sendiri tak percaya dengan hal itu. Namun, tabur tuai sepertinya memang ada. Hidup Wandi kini berantakan. Sejak bercerai dengan Rista, ia tinggal sendiri. Ketiga anaknya hanya datang setiap dua minggu--kalau sempat. Gustav, si sulung akhir-akhir ini kian sibuk. Dia paling sering absen. Cinta pun demikian. Semenjak menikah enam bulan lalu, kegiatannya terbatas karena harus menyesuaikan demgan jadwal suami. Sedang Lumi, ah ... Lumi. Gadisnya yang malang. Anak tak berdosa yang harus menaggung segala keegoisannya di masa lalu itu tengah hamil muda. Riwayat kesehatannya membuat ia tak leluasa beraktifitas, harus lebih banyak beristirahat lantaran kondisi kandungan yang lemah. Jadilah hampir dua bulan ini ia sama sekali belum bertemu dengan mereka.

Dan Wandi, makin merasa kesepian.

Tak sengaja melirik Rolex hitam yang melingkar di pergelagan tangan, senyum mirisnya terbit. Sudah hampir tengah malam. Jam dua belas kurang lima. Ah, siapa pula peduli. yang akan menyambut di rumah hanya ... hampa.

Mengembuskan desah berat melalui mulut yang dibulatkan, Wandi menginjak gas makin dalam. Dulu saat masih menikat, Resti melarangnya bekerja di atas jam sembilan. Kini, tak ada lagi yang memberi larangan. Ia bebas melamukan apa pun sampai pagi. Dan malam ini, Wandi baru selesai melakukan pertemuan dengan salah satu kliennya yang bertempat tinggal di daerah pinggiran Jakarta.

Jalan sepi membikin Wandi leluasa. Mencengkeram roda kemudi, diinjaknya gas  makin dalam. Audi hitam itu melaju kian kencang. Membelah malam dan mengusik sunyi dengan deru halusnya.

Wandi butuh sesuatu. Sesuatu yang bisa sedikit membuat tenang.

Di mana rokok? Wandi merogoh saku jas. Rata. kosong. Tangannya pindah ke kantong celana.

Tidak ada. Demi Tuhan, di mana rokok sialan itu ia letakkan terakhir kali?

Mengumpat, Wandi melirik dasbor. Membukanya dengan gerakan serampangan. Tak lagi memerhatikan jalanan.

Ketemu. Kotak kecil itu terselip di sana. Napas Wandi terembus lega. Ia mengambilnya. Mengeluarkan satu linting dengan sebelah tangan. Lalu menyelipkan ke celah bibir sebelum mendongak dan--

Tarikan napasnya terdengar tajam. Kelebat bayangan melintas di tengah jalan. Lintingan rokoknya jatuh. 

Rem! Rem!

Terlambat.

Tubuh tak berdaya itu tertabrak. teriakan kagetnya sama sekali tak bisa Wandi tangkap. Karena yang terdengar di telinga yang mendadak disfungsi itu hanya suara desingan asing serta detak jantung terakhirnya yang menyakitkan. Mata Wandi nyalang menatap seonggok daging  yang terpelenting. Jauh. Jauh sekali. Satu meter. Dua meter. Tiga meter. Ah, tidak. Persetan dengan jarak.

Sungguh ... Wandi telah ... menabrak seseorang.

💕💕💕

17 Okt 2019
Repost, 15 Feb 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top