8 | Debar Pertama

8
Debar Pertama
💕💕💕

"Saya terima nikah dan kawinnya, Pita binti Durham Sujono dengan mas kawin tersebut, tunai!"

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"Saaahhh ...."

"Alhamdulillah."

Jam sepuluh pagi itu, bersamaan dengan jatuhnya tetes hujan pertama di atas bumi Jakarta setelah kemarau panjang, Pita resmi dipersunting oleh seorang Gustav Hutama. Yang kini sah menjadi suaminya.

Suami. Batin Pita berteriak ngeri. Membayangkan apa yang akan terjadi setelah hari ini sukses membuat seluruh bulu kuduk berdiri. Gustav pasti akan semena-mena. Melarang ini itu dan menyuruh begini begitu.

Meremas ujung kebaya putihnya, ia dapati punggung tangan besar tepat di depan hidung. Tanpa harus menoleh, Pita tahu siapa pemilik tangan itu. Gustav.

Menelan ludah susah payah, Pita menyambut. Tangan Gustav hangat. Berpadu dengan telapaknya yang sangat dingin. Tak ingin lama-lama mengalami kontak fisik dengan lelaki itu, Buru-buru Pita menunduk dan membawa punggung tangan kecokelatan Gustav menyentuh keningnya.

Lalu, ia kira sudah. Nyatanya, belum. Alih-alih menjauh, laki-laki itu malah makin dekat. Pita menarik napas terlalu dalam saat Gustav meraih belakang kepalanya. Mendekatkan posisi mereka dan ... cup!

Pita lupa cara mengembuskan karbon dioksida. Detak jantungnya juga ikut berhenti bekerja. Oh Tuhan ... Pita ... Pita nyaris kehilangan ingatan siapa dirinya tepat saat bibir Gustav yang juga hangat menyentuh kening.

Tadi, tadi itu apa?

Pita tak peenah berlari marathon berkilo-kilo meter sampai kehabisan napas, tapi sepertinya ia tahu bagiamana rasa kehilangan napas sekarang. Karena ia menhmgalaminya.

Begitu tubuh Gustav menjauh, barulah sedikit-demi sedikit udara mulai kembali keluar dari lubang hidung serta organ pemompa darahnya yang kembali normal. Bukan, bukan normal, malainkan jauh melebihi batas normal.

Seumur-seumur Pita tak pernah disentuh orang lain kecuali ayahnya. Pun Durham berhenti mencium Pita sejak sang putri masuk bangku SMP. Dan ini ... pertama kali. Menurutnya, wajar kalau ia sekaget itu.

Ya, Pita hanya kaget. Tidak lebih.

Berusaha bersikap biasa, Pita menangkup kedua tangan di atas pangkuan saat penghulu mulai memanjatkan doa keberkahan pernikahan. Mulut Pita bergerak, tapi bukan untuk mengamini, melainkan demi menghirup pasokan oksingen yang tak lagi cukup dengan hanya menggunakan dua lubang hidung. Sumpah mati jantung Pita berdebar-debar. 

Seperti kata Gustav dua minggu lalu. Pernikahan ini dilakukan dengan sederhana. Sangat sederhana. Hanya dengan wali hakim, penghulu, dua orang saksi, mempelai berdua, serta pihak keluarga inti. Wandi dan dua anakya yang lain beserta suami mereka. Cinta yang memang sudah Pita kenal. Yang satu lagi masih asing. Wajahnya hampir mirip dengan Cinta, hanya saja terlihat lebih judes. Eskpresinya Gustav sekali, Pita jadi agak takut. Sepertinya yang benar-benar ramah di keluarga ini hanya Wandi dan si bungsu.

Resti, Pita bersyukur wanita itu tidak ada di rumah sejak kemarin. Dengar-dengar pergi berlibur dengan keponakannya yang di Bandung. Syukurlah. Pita sudah lelah mendapat pelototannya yang menyeramkan.

Usai menandatangani bekrkas-berkas dari petugas KUA, Pita kira semua sudah selesai. Nyatanya belum. Menantu Wandi yang kalau tidak salah dengar dipanggil Airen ternyata datang membawa kemera dan meminta mereka melakukan sesi foto.

Ah, Pita lelah. Semalam ia nyaris tidak bisa tidur. Hal pertama yang ia inginkan saat ini hanya ke kamar dan mengurung diri. Menjaga jarak sejauh-jauhnya dari Gustav kalau bisa. Syukur-syukur bisa terlelap. Tapi, ia tak punya pilihan, kan? masa depannya saja mereka yang tentukan. Pita hanya bisa berdoa, semoga semua acara hari ini secepatnya usai.

"Senyum dong, Mbak. Masa foto pengantin kaku gitu. Lo juga, Bang. Yaelah. Kalian kayak korban perjodohan aja, sih!" Iron sudah nyaris membidik, tapi hasil di kameranya yang tidak terlihat bangus kontan membuat ia protes.

Cinta yang duduk di sebelah Lumi, terbatuk demi menyembunyikan tawa begitu mendengar omelan suami kakaknya. 

"Sekali lagi, yak! jangan lupa senyum."

Pita melirik ekspresi wajah Gustav satu kepala di atasnya. Laki-laki itu tampak sama lelah, tapi berusaha tersenyum. Pita mencoba menirunya. Ia berdiri rikuh. Dua tangan jatuh terkulai di sisi tubuh. Sudut-sudut bibir ia tarik ke samping. Berharap si pemegang kamera tak lagi mengajukan protes.

"Satu ... dua—"

"Pose kalian kok kayak orang musuhan sih?"

Kali ini bukan Iron, tapi istrinya. Pita nyaris megerang. Seumur-umur ia berfoto rapor, ijazah sampai kartu nikah, rasanya tidak pernah ada yang seribet ini.

"Yaudah sih, foto doang ini, kan?" Dan Gustav si sumbu pendek sudah menunujukkan tanda-tanda akan meledak.

"Dipeluk dong, Kak, istrinya." Cinta yang entah sejak kapan menjadi usil, menyeletuk sambil lalu. Yang langsung diangguki kembarannya.

"Kayak gini!" Istri Iron yang duduk tak jauh dari sang suami, memeluk erat pinggng Iron yang praktis membalas rankulannya dan spontan mendaratkan ciuman di kening wanita hamil itu. "Biar keliatan mesra." Melihat mereka, pipi Pita langsung merona.

Ia tidak munngkin harus memeluk Gustav seperti itu kan? pikirnya malu setengah ngeri. Ciuman sekilas tadi saja sudah hampir membuatnya pingsan, bagaimana kalau benar sampai harus—

"Lumi, jangan aneh-aneh!" tolak Gustav tanpa pikir panjang. "Foto ya foto aja, sih!"

"No ... no!" Wanita yang Gustav panggi Lumi menggeleng sambil menggoyangkan jari telunjuk ke kanan dan ke kiri. Ia melepaskan diri dari belitan Iron. Menghampiri dua pengantin baru yang kini berdiri kaku di depan dinding ruang keluarga yang disulap menjadi ruang pesta sederhana.

Gustav memang tidak menyiapkan dekor, jadila Cinta menyiapkan sofa berukuran tanggung dengan hiasan bunga-bunga rambat dan kelambu jaring-jaring yang ditempel di dinding sebagai tempat pelaminan. Adik bungsunya itu memang luar biasa kreatif akhir-akhir ini. Terlalu kreatif hingga Gustav kesal.

"Gini, nih!" Lumi maju. mendorong tubuh besar Gustav hingga menubruk pelan tubuh mungil istri kecilnya. Jantung Pita yang sudah tenang sejak beberapa saat lalu, tentu kembali berulah. "Tangan Abang taruh di sini." Lumi memposisikan dua telapak Gutav menempel di pinggan Pita, sedang Pita dibuat setengah bersandar pada dada bidang si lelaki pemarah.

Pita mengerjap beberapa kali, nyaris kehilangan kesadaran. Lebih-lebih gedorang di rongga dadanya yang bertalu senada dengan tabuhan jantung Gustav di balik punggunya membuat ia makin ... makin ... ah, sangat gugup.

Demi apa pun. Pita menelan ludah kaku, jangan bilang Gustav juga sama degdegan?

"Nah, begini baru bagus!" Iron mengangkat satu jempol sebelum membungkuk, siap mengambil gambar. "Oke, senyum, ya! Satu, dua ...."

Klik!

💕💕💕

"Hei, Kakak Ipar!"

Tubuh Pita langsung membeku. Ia yang semula sudah mengendap-ngendap untuk kabur dari perkumpulan keluarga kecil suaminya, tenyata ketahuan juga. Padahal ia sudah melangkah pelan, sambil membungkuk dan nemplok di dinding. Tapi, kenapa adik Gustav ini jeli sekali? Menyapa dengan suara keras pula.

Pita yang semula sudah hendak berbelok ke lorong dapur, praktis menegakkan tubuh pelan. Dua tangannya yang menyingsingkan rok kebaya yang menyusahkan itu langsung terlepas. Menarik napas, ia berbalik.

Ugh, petaka!

Pita kira yang menyapanya adalah Cinta, ternyata putri Wandi yang lain. Lumi kalau tidak salah. Istri iron yang tadi membantunya berpose di hadapan kemera.

"Kakak ipar mau ke mana?" tanya wanita itu dengan mata menyipit. Ekspresi menyelidiknya persis sekali dengan Resti saat mencurigai Pita hendak mencuri lusa kemarin hanya karena ia sedang mencari mie istan di kabinet dapur pada tengah malam demi mengisi perutnya yang keroncongan.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Pita sukses salah tingkah. Lebih-lebih, semua mata yang kini memenuhi sofa-sofa ruang keluarga tengah memperhatikan mereka. Pasti karena suara Lumi yang cukup nyaring.

Hhh ... Pita gagal kabur.

"Eee ... anu ...." Ia menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. Sesekali melirik Gustav yang ... melolot lagi. Dia pasti marah. "Saya ... saya," bibirnya ia gigit, tak tahu harus menjawab apa. Pita tak pernah bisa berbohong. Orangtuanya selalu mengajarkan untuk selalu berkata jujur. Tapi, oh Tuhan ... Pita tak mungkin mengakatan dirinya merasa tak nyaman berada di tengah-tegah keluarga Gustav yang sejak tadi membicarakan topik yang tak Pita mengerti. Tentang bisnis, kenaikan harga saham, ekonomi dan segala hal yang membuat Pita merasa terasing. Seolah menampakkan sejalas mungkin betapa jauh perbedaan hidup mereka dengannya.

Lantas, ia harus menjawab apa?

Melirik ke balik punggung Lumi, pandangan Pita langsung bersirobok dengan sepasang kelereng sehitam jelaga milik suaminya. Gustav mendengus pelan. Anehnya, Pita merasa ia bahkan bisa mendengar bunyi dengusan itu.

"Emm, saya itu ...."

Wandi yang seolah mengerti perasaan gadis itu, menyahut, "Mungkin dia lelah dan butuh istirahat."

"Begitu?" Wanita—jiplakan Resti sekali—itu menaikkan satu alis tak yakin. Pita makin keras menggingit bibir. Tak mengangguk atau menggeleng. Membiarkan Lumi berspekulasi sendiri. Seharusnya, cukup dengan melihat interaksinya dan Gustav, mereka udah tahu bahwa pernikahan ini cukup aneh. Bahkan sejak selesai ijab kabul, tak sekalipun Gustav berbicara padanya. Interaksi terintim keduanya hanya saat sesi foto tadi. Itu pun karena Lumi yang memksa mejadi peraga. Gustav sempat menolak, tapi Lumi bersikeras.

"Tapi kan nggak sopan kalau pergi gitu aja tanpa pamit." Lumi yang ceplas-ceplos, memang kesusahan menjaga mulut untuk tak mengeluarkan protes atau kritik. Pita yang sejak awal melihatnya seperti sosok Resti junior, tak berani membela diri. Terlebih dirinya memang salah. Jadilah gadis muda itu hanya menunduk.

"Maaf," katanya.

"Udahlah, Al, mungkin dia kecapekan banget." Iron menimpali. Tahu betul sifat istrinya yang masih sedikit menyebalkan, terlebih begi orang yang tak terlalu mengenalnya. "Apalagi kan di masih baru di sini. Pasti butuh penyesuaian, Sayang. Kamu ngerti, dong."

"Dulu waktu masih baru di keluarga kamu, aku nggak butuh penyesuaian!" Lumi yang keras kepala, menoleh ke belakang dengan mata menyipit ke arah suaminya yang membalas dengan memutar bola mata jengah.

"Kamu kan beda."

"Apa bedanya?"

"Dulu kamu nggak punya malu!"

Skak mat! Lumi langsung cemberut. Lebih-lebih saat mendengar cekikian Cinta. Wandi hanya geleng-geleng kepala. Sedang Suami Cinta pamit lebih dulu karena masih ada meeting dengan klien. Gustav pura-pura tuli dengan memfokuskan diri pada ponsel. Seolah yang dipermasalahkan adalah orang lain dan bukan istrinya.

"Yaudah, deh. Istirahat sana. Tapi, lain kali tolong jangan diulangi, ya. Kita di sini keluarga. Apalagi kamu istri Bang Gus, yang berati kamu kakak kami juga. Harus ngasih contoh yang baik sekali pun menurut segi usia kamu jauh lebih muda." Lumi menasihati.

Pita hanya sanggup mengangguk. Cukup malu mendapat teguran di depan orang banyak atas keteledorannya. Dan yang lebih menyakitkan, Gustav sama sekali tak mebantu. "Maaf," katanya sekali lagi.

"Nggak masalah. Semua orang pernah berbuat salah. Yang terpenting kita mau berubah."

Gustav yang diam-diam memperhatikan insteraksi dua perempuan itu mencolek pundak Iron yang sejak tadi tak lepas memandangi Lumi lekat. "Dia berubah bayak gitu, lo yang ngajarin?" tanyanya agak sangsi. Karena yang Gustav tahu, Lumi tidak sebijak itu. Yang biasa keluar dari mulutnya rata-rata kalimat profokatif dan kata-kata tidak sopan. Gustav salah satu lawan adu mulut dan adu sindirnya dulu.

Yang ditanya hanya mengedipkan sebelah mata sambil tersenyum bangga. Ada banyak cinta yang tampak di matanya, padahal dulu Gustav tahu sekali betapa benci Iron pada Lumi. Siapa sangka hati bisa berubah begitu drastis. Gustav memang pernah mendengar kebencian sangat berpotensi menjadi cinta. Dan seketika Gustav bersyukur karena merasa tak membenci Vita, jadi potensi itu tidak akan pernah ada.

Oh ya, namanya bukan Vita, tapi Pita. Gustav baru tahu tadi pagi saat mendapat teks yang harus dihafal dari adik bungsunya. Pita. Tanpa nama tengah dan nama belakang. Kampungan sekali.

Bermaksud Menoleh pada Lumi, mata Gustav tanpa sengaja melirik istrinya yang tampak tak berdaya. Lalu tatapannya terkunci. Tak bisa ke mana-mana. Menatap Pita dari ujung kepala hingga kaki. Dan baru meyadari sesuatu. Pita lebih cantik dari biasanya dengan setelan kebaya dan riasan wajah sederhana.

"Oh iya, kita belum kenalan, kan?" Lumi kembali bersuara. Gustav mengerjap sembari mengembalikan perhatiannya pada ponsel. "Namaku Aluminia. Panggil aja Lumi." Wanita hamil itu mendekatkan bibirnya pada telinga Pita dan lanjut berbisik, "Jangan panggil Al, karena itu panggilan sayang suami. Oke!"

Pita cepat-cepat mengangguk. Lumi yang puas mendapatkan respon sang lawan bicara lantas berbalik badan dan kembali ke sisi suaminya yang kelihatan menggerutu. Entah apa, yang sekilas dapat Pita tangkap sebelum melanjutkan setengah perjalan ke arah kamar di dekat dapur hanya ekspresi Gustav yang memberengut.

"Eh, tapi kalau Pita butuh istirahat, kenapa ke arah situ? Kan kamar Kak Gus di lanati atas?" Cinta yang seolah menyadari kejanggalan itu tiba-tiba menyeletuk.

Pita dan Gustav langsung membeku. Mati kutu.

💕💕💕

Yang udah nggak sabar mereka nikah, tuh udah nikah😋


27 Okt 2019
Repost, 03 Ma 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top