6 | Calon Istri Gustav
6
Calon Istri Gustav
💕💕💕
Apa yang harus ia katakan pada ibunya malam ini?
Gustav mondar-mandir di depan pintu ganda rumahnya yang setengah terbuka. Sesekali ia mendesah panjang. Sesekali mengumpat tak jelas. Kali yang lain ia menggerutu. Pun tangannya yang tak bisa diam. Mengacak rambut. Menggaruk tengkuk. Meninju udara hampa.
Dasar mulut sialan! Gustav mengumpat lagi. Mungkin untuk yang ketiga, empat, ... tujuh kali. Kenapa pula dirinya harus tersulut emosi sampai salah bicara hanya karena tak ingin kalah dari si gembel?! Eught! Baiklah, Gustav tidak terima ditolak terang-terangan tepat di depan hidungnya sendiri. Dikalahkan Wandi yang ... jauh lebih tua. Ayolah, Gustav tampan. Semua orang mengakui itu. Dalam masa paling prima. Sukses. Dikenal banyak kalangan. Sama kaya dengan Wandi. Puluhan wanita berharap menjadi pasangannya. Tapi, si gembel? Oh, tentu saja. Dia kan hanya mengincar harta Wandi! Dasar wanita. Mata duitan. Penghianat dan tak bisa dipercaya. Kecuali Cinta. Gustav tak akan tertipu dengan wajah polosnya.
Getar ponsel di saku kemaja abu-abu Gustav yang sudah berantakan, berhasil menghentikan kegelisahan lelaki itu. Merogoh serampangan, dilihatnya nama si pemanngil di layar yang menyela terang lantaran kontrasnya belum sempat dikurangi sejak berada di luar ruangan siang tadi.
Panggilan dari Mama.
Mati!
Gustav tak punya pilihan lain. Iambol terpaksa menggeser ikon hijau dengan gerakan malas lantas Mendekatkan benda pipih berlogo apel tergigit itu ke telinga kiri. Lalu diam. Mendengarkan Resti menyapa.
"Halo, Gus. kamu jadi pulang, kan? Ingat kata-kata Mama kemarin. Kalau malam--"
"Hmm, aku pulang." Setelahnya, klik. Gustav memutus sambungan sepihak. Bukan. Bukan karena enggan, lebih pada ... aaahhh, Gustav takut pembicaraan mereka melebar ke mana-mana mengingat emosinya yang sedang tidak stabil.
Malam ini jodoh pilihan Resti akan datang. Oh, bahkan dia sudah datang dilihat dari Fortuner dengan plat nomor tak dikenal yang nangkring manis di halaman. Bahkan sejak Gustav tiba nyaris setengah jam lalu.
Mengecek Rolex hitam di pergelangan tangan kiri, napas lelah terembus dari mulut Gustav yang dibulatkan. Ia harus siap kembali memulai pertengkaran. Tadi dengan Wandi. Lalu sebentar lagi Resti yang akan menabuh genderang perang.
Memutar badan 180 derajat, ekspresi galaknya refleks terpasang. Entah mengapa tensi darah selalu naik setiap kali memandang sosok itu. Si gembel yang sesuai hasil kesepakatan—kesepatan Cinta seorang—akhirnya ikut Gustav. Tidak mungkin dia bersama Wandi mengingat beliau hanya tinggal sendiri, sedang Cinta sudah bersuami. Jadilah Gustav yang lagi-lagi jadi tumbal. Selain karena Gustav punya beberapa pembantu di rumah, ada Resti juga yang akan mengawasi mereka.
Gustav, tak bisa menolak setelah mulut sialannya lancang asal ceplos bersedia menikah dengan ... siapa tadi namanya? Vita, bukan?
"Baiklah, Vita. Kamu ikut saya masuk. Jangan banyaktanya dan jangan berbicara apa pun. Mengerti?"
Yang diajak bicara masih menunduk dalam. Hanya mengintip Gustav dari balik bulu matanya yang lurus dan pendek. "Pi-pita, Bang," koreksinya pelan. Sangat pelan hingga nyaris tidak terdengar. Dan Gustav memang tak bisa menangkap gelombang bunyi dari mulutnya yang mirip cicitan tikus terjepit pintu lemari.
Mengangkat satu alis, Gustav bertanya, "Kamu ngomong sesuatu?" Berbeda dengan cara bicara Wandi yang pelan dan penuh perhatian, nada Gustav justru terdengar seperti gertakan. Praktis membuat Pita berjengit hingga refleks mengambil satu langkah mudur.
Tak mendapat jawaban, Gustav bertanya lagi. Kali ini lebih kasar. "Kamu ngomong sesuatu?!"
Pita sudah membuka mulut, siap menanggapi. Namun Gustav yang tidak sabaran malah kembali marah. "Kalau orang nanya tuh, jawab! Kamu tuli, ya?!"
Pundak Pita sekali lagi tersentak. Air matanya bahkan sudah menetes. Pita memang sangat cengeng. Barangkali karena sejak kecil selalu dididik penuh kasih sayang di tengah kerasnya kehidupan mereka yang serba susah. Orang-orang di sekitarnya biasa memperlakukan Pita dengan sangat baik, sebab siapa yang berani berbuat kurang menyenangkan padanya, maka dia harus berurusan dengan Juragan Basir. Satu-satunya manusia yang suka membentak hanya Juragan Basir sendiri, itu pun jarang. Lelaki itu justru lebih sering merayu meski selalu berhasil Pita tampik. Sedang Gustav, dia mengamuk hampir tiap detik. Selalu membentak. Selalu membuat kaget. Pita khawatir tak sanggup bertahan lebih dari dua jam bersamanya. Karena sungguh, setiap kali lelaki itu mengeluarkan suara, jantung Pita langsung menghentak cepat, berhenti sejenak untuk kemudian berpacu dua kali lebih cepat. Mengedor-ngedor tulang dada hinga terasa sakit. Maka daripada tambah dimarahi, Pita akhirnya memilih menggeleng. Dimaksudkan sebagai jawaban untuk Gustav atas pertanyaan sebelumnya.
"Oh, jadi kamu nggak mau jawab saya?" Dan Gustav yang salah paham, kian naik pitam. Sukses membuat tangis Pita makin menjadi. Gadis itu bahkan sudah terisak sekarang.
"Nangis lagi. nangis lagi! Oh, Tuhan! Kamu ujian banget, sih!" Gustav menjambak rambut sendiri lantran terlalu geram. Dia paling benci air mata. Lebih-lebih air mata buaya. "Mau kamu sebenarnya apa, sih? Ditanya nggak jawab! Dinasihatin geleng-geleng. Kamu gagu? Tapi, tadi ngomong lancar banget di depan Papa." Tepat di kalimat terakhir, nada Gustav terdengar nyinyir disertai dengusan jengah.
Pita makin menunduk. Isak yang mati-matian ia tahan lolos juga dari katup bibir.
"Kalau ditanya tuh jawab!"
Pita harus menjawab apa? Gustav selalu marah-marah padanya. Padahal apa salah Pita? Tak sanggup berdiri, gadis malang itu akhirnya membiarkan tubuh merosot ke lantai keramik di teras minimalis rumah mewah yang diduga milik sang lawan bicara yang galak. Wajahnya ia tutup dengan tangan. Setengah malu dan sepenuhnya merasa sial.
Dengan suara yang masih terbata, ia berusaha berucap, "Aku mau pu-pulang." Lalu terisak makin kencang. "Ma-mau pulang."
Gustav memutar bola mata melihat tingkah si gembel yang terlalu drama. Mengeram, ia berusaha berpikir dan meredakan sedikit emosi. Menarik napas panjang, ia embuskan karbon dioksida itu melalui mulut dengan kasar. Dua tangannya naik ke pinggan. Kepalanya mendongak pada plafon. Menatap fokus pada lampu LED yang menyala terang.
Berpikir. Berpikir. Berpikir, Gus! Perintahya pada mahluk-mahluk kerdil penghuni batok kepala.
Argh!
Kenapa otaknya mendadak kosong? Ke mana perginya semua ide sialan yang biasa wara-wiri bahkan di saat tak dibutuhkan?
Sial! Sial! Sial!
Gembel pembawa sial!
Kalau sudah begini, Gustav bisa apa? Dia sudah terlanjur bersedia. Wandi bahkan mengancamnya. Kalau dalam satu bulan ini Gustav tak juga menikahi si gadis menyedihkan, maka Wandi yang akan mengambil alih kembali.
Gustav bisa saja membuangnya di tengah jalan seperti onggokan sampah, tapi ... oh ya ampun, mana mungki bisa ia lakukan saat dua pesuruh Gustav mengekori mobilnya dan kini terparkir manis di bahu jalan komplek perumahan ini. Mengawasi.
Iya, sesayang itu Wandi pada si gembel.
Ah, siapa tadi namanya?
Vita, ya.
Menunduk, Gustav mengerjap lantaran matanya berkunang-kunang kebiruan begitu melepas tatapan dari LED demi mengalihkan fokus pada bocah cengeng dengan pandangan lelah. Nadanya tak sekasar tadi. Takut tangisnya kian menjadi. "Tolong diam. Kamu bikin kepala saya tambah pusing."
Alih-alih menurut, dia malah menggeleng lagi. "Aku mau pulang."
"Pulang ke mana? Kamu bahkan nggak punya rumah!"
Terisak beberapa kali, dia menjawab, "Ke rumah Pak Wandi. Aku nggak mau nikah sama Abang."
"Kamu pikir saya mau nikah sama kamu?" balas Gustav tersinggung.
"Kalau begitu," gembel itu menurunkan tangannya yang basah oleh air mata. Mendongak membalas tatapan Gustav dengan kelereng cokelat madu beningnya yang berkaca-kaca. "Kalau begitu, tolong," mengelap tangan-tangannya ke ujung baju, ia tangkup di depan dada penuh permohonan, "tolong kembalikan saya ke Pak Wandi." Dengan bibir mencebik dan pucuk hidung semerah jambu monyet. "Saya juga nggak mau nikah sama Abang."
Gustav membuang pandangan ke arah pintu masuk rumahnya. Dan kembali teringat. Ia harus segera masuk kalau tidak ingin Resti mengamuk. Tapi, bagaimana dengan si gem—ah, siapa tadi sih, namanya?
Vita!
Kenapa Gustav selalu lupa?!
Malas berdebat lebih panjang, ia mengalah. "Berdiri!" perintahnya.
Pita yang tak mengerti, melongo dengan wajah polos. Sesekali masih terisak.
"Berdiri, Vita! Kamu tuh beneran budeg, ya!" Dan sumbu Gustav yang kelewat pendek hangus tersulut melihat reaksi bodoh gadis itu. "Gembel. Nggak tahu diri. Nyusahin. Hidup pula!" hinanya tanpa ampun.
Pita sudah akan menangis lagi, tapi batal karena Gustav yang kembali membentak. "Berani kamu keluarkan air mata buaya dan isakan berisik itu, saya cakik kamu!"
Spontan, Pita mengedip-ngedip demi menahan air mata. Bibirnya yang sedikit gemetar ia tutup rapat agar tak lagi mengelurkan isak. Takut benar-benar kena cekik Gustav.
"Bagus. Sekarang berdiri!"
Pita menurut. Dia bangkit dengan gerakan takut-takut. Tangannya yang tremor agak kesusah meraih tali tas jinjingnya yang teronggok tak berdaya di lantai. Lalu ia genggam tali-tali itu erat. Sangat erat seolah benda tersebut merupakan satu-satunya pegangan hidup. Kepalanya tak berani ia tegakkan. lehernya bahkan sudah terasa sakit. Matanya yang merah ia arahkan pada keramik halus di bawah kaki.
"Oke, dengar!" Gustav bersuara, Pita tak berani menyela. "Kita akan masuk, dan ingat kata-kata saya sebelumnya. jangan bicara apa pun. Cukup melangkah di belakang saya. Mengerti?"
Sebagai jawaban, Pita mengangguk sekali. Tak ingin Gustav kembali murka.
"Bagus!" komentar Gustav sebelum berbalik. Lantas membuka pintu rumahnya makin lebar. Masuk ke sana dengan gerakan tak nyaman.
Pita, seperti instruksi sebelumnya, hanya mengekor seperti anak ayam. Tak berani bertanya. Tak berani bersuara. Bahkan napanya pun ia atur sedemikian rupa takut terdengar sampai ke telinga Gustav. Hanya kaki Gustav yang ia perhatikan. Dia hanya menunduk sepanjang langkah membawa.
"Assalamualaikum, Ma." Gutav berhenti menggerakkan kaki. Pita pun ikut berhenti. Bunyi obrolan pelan yang tadi sempat meramaikan ruang tamu langsung terhenti begitu salamnya mengudara.
Resti yang duduk di salah satu sofa panjan bersama seorang wanita asing menoleh. Senyumnya melebar begitu mendapati sosok sang putra yang sudah tiba tepat waktu.
"Akhirnya kamu pulang!" Beliau bangkit berdiri. Menghampiri Gustav lalu mengulurkan tangan. Membiarkan si sulung menciumnya seperti biasa. "Mama tahu kamu nggak akan pernah bikin Mama kecewa."
Senyum Gustav kaku dan tampak sangat aneh.
"Ayo, sini mama kenalkan sama tamu Mama." Wanita paruh baya itu sudah hendak menarik tangan Gustav mendekati wanita cantik yang masih duduk manis di sofa saat tanpa sengaja matanya melirik ke belakang tubuh elaki itu, yang spontan membuat gerakannya terhenti. Menatap Gustav dengan kening berkerut samar, beliau bertanya, "Siapa yang kamu bawa, Gus?" Hidung Resti mengernyit mana kala menilik penampilan gadis itu dengan seksama. Wajahnya tak tampak terlalu jelas karena ia menunduk dalam dan sedikit terhalang bagian atas jilbabnya. "Jangan bilang pembantu baru? Rumah ini sudah cukup punya banyak pembantu, Sayang. Lagian kamu ambil dari mana, sih? Kok dekil gitu?"
Gustav meringis. Bingung harus menjawab apa? Dan ... ugh, wanita pilihan Resti benar sudah ada di sini. Dia ... cantik. Sangat. Bebet, bibit dan bobotnya, Gustav yakin tak perlu dipertanyakan. Pilihan Resti sudah tentu bagus. Entah dengan sikap dan karakter. Gustav malas menebak-nebak. Toh, siapa pun yang nanti akan menjadi istrinya, maaf saja, dia hanya akan punya status. Tidak dengan hati Gustav yang pintunya sudah tergembok rapat dan berkarat.
Menarik dasinya lebih longgar, Gustav berdeham pelan. Sesaat tatapannya tak sengaja beradu dengan pandangan wanita pilihan Resti. Perempuan itu langsung tersenyum dengan dua belah pipi merona.
Sayang sekali pilihan Resti jauh lebih cantik dari Vita. Sangat cantik. jenis kecantikan yang akan membuat orang-orang yang menglihatnya terpesona hingga enggan mengalihkan pandangan. Berbeda dengan Vita yang cantik saja. Cukup membuat orang lain puas hanya dengan menoleh padanya dua kali.
"Ma, bisa kita ngobrol berdua aja dulu. Ada yang ... mmm, harus Gustav katakan," ujar Gustav setengah meringis.
"Ada apa?"
"Plis." Gustav memohon dengan ekspresi mengiba. Dia tidak mungkin mengutarakan semuanya di sini. Di depan tamu kehormatan Resti. Gustav masih cukup punya tata krama. Lebih-lebih, pembicaraannya nanti masih berkaitan dengan si tamu.
Resti sejenak ragu. Ia melirik Pita sekali lagi sebelum menatap lekat anaknya yang sedikit aneh malam ini. Ada seskig lebam di ujung bibirnya. Pasti telah terjadi sesuatu. Berkedip, ia mengangguk kecil. "Tania," katanya, Gustav tebak, pada wanita do sofa itu. "Tante tinggal sebentar boleh?"
"Boleh kok, Tante." Bukan hanya cantik, suaranya pun enak didengar dan menyejukkan. Sikapnya pun sopan sejauh pengamatan Gustav. Terlihat dari gestur tubuh dan cara berpakaiannya yang tidak terlalu terbuka dan elegan.
Ah, untunglah Gustav tak harus menikahinya. Karena Gadis cantik, sopan dan berpendidikan cenderung membuat setiap kaum adam tertarik. Setidaknya, pilihan Wandi tak memiliki potensi itu.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" Resti berbelok ke arah dapur dan berhenti. Berdiri satu langkah tepat di hadapan Gustav yang menjulang tinggi. "Siapa gadis aneh yang kamu bawa itu, Gus?"
Menarik saliva kelat, Gustav merasa kehausan. Alih-alih menjawab, ia melewati tubuh mungil nan gempal ibunya menuju dipenser di sudut dapur. Mengisi gelas kosong dengan air mineral hingga penuh, lalu membawanya ke kursi terdekat. Mendudukkan diri di sana lantas meneguk habis seluruh isinya.
"Ma," ucap Gustav kemudian bersamaan dengan bunyi benturan gelas yang beradu dengan meja aluminium saat meletakkan benda itu dengan sedikit kasar ke atas kitchen island, "maaf."
"Jadi kamu beneran bawa pembantu baru ke rumah ini? Buat apa sih, Gus?" Resti melipat kedua tangannya di depan dada. Bersandar pada pintu dapur yang terbuka.
"Sayangnya," Gustav tak berani balas menatap mata ibunya, "dia bukan pembantu."
"Lantas?"
"Dia ... dia calon istri Gustav."
💕💕💕
Wkwkw... saya rajin banget, yak XD
Seneng nggak kalian?
Pamekasan, 25 Oktober 2019
Repost, 27 Feb 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top