5 | Bumi dan Langit

5
Bumi dan Langit
💕💕💕

"Ini gila!" Gutav melempar kompres es batu yang beberapa detik lalu menempel di ujung bibirnya begitu mendengar penjelasan Wandi yang panjang lebar. Terlalu panjang. Dan terlalu lebar. Luka di sudut bibir Gustav sudah mulai mengering. Tak lagi mengeluarkan darah. Hanya menyisakan warna lebam yang mulai memerah. Serta rasa marah yang masih makin berkobar di balik dada.

Es batu malang itu nyaris mengenai Pita yang berdiri rikuh di sudut ruangan. Beruntung gadis itu lekas bergeser ke samping hingga lemparan Gustav hanya mengenai dinding sebelum jatuh berguling di lantai.

Cinta sama sekali tak bersuara. Duduk diam di ujung sofa panjang ruang tengah ayahnya. Usai mendengar berita mengejutkan itu di lorong apartemen beberapa saat lalu, baik ia dan Gustav bagai kerbau dicucuk hidungnya. Terdiam linglung. Dan hanya menurut saat Gustav mengajak berbicara baik-baik di dalam.

Kini, di sinilah mereka berada. Wandi di ujung meja, sedang Gustav duduk di sofa yang sama dengan adiknya.

"Dia bahkan jauh lebih muda dari Cinta! Demi Tuhan, delapan belas tahun, Pa!" tunjuknya pada Pita yang sejak tadi menunduk dalam. Sesekali mengusap pipinya pelan. Barang kali menangis. Atau pura-pura menangis. Gustav tak mau ambil peduli. Tasnya yang jelek dan ditambal di beberapa sisi, teronggok menyedihkan di sampingnya. Sama menyedihkan dengan sang empunya.

"Keaadaannya tidak sesederhana itu, Gus! Tolong mengerti."

"Sederhana saja. Papa yang membuatnya rumit."

Wandi sudah menceritakan segalanya. Segalanya. Tentang kecelakaan sialan yang menewaskan ayah ... siapa tadi nama gadis sialan itu? Vina? Vita? Peduli setan.

"Seharusnya cukup Papa beri dia uang kompensasi. Sudah, kan? Berapa yang dia butuh untuk pemakaman? Biaya hidup sampai menikah? Seraus juta? Lima ratus juta?"

"Yang dia butuhkan bukan cuma uang!" Wandi menyugar rambut ke belakang dengan memberi penekanan di setiap ujung jari. Hampir habis kesabaran memberi penejelasan pada Gustav yang menolak mengerti. "Dia masih begitu muda. Butuh perlindungan."

"Tapi, itu bukan urusan Papa!"

"Jelas urusan Papa! Papa yang sudah menyebabkan ayahnya meninggal."

"Hidup dan mati sudah ditentukan, Pa."

"Gustav—"

"Dan aku tidak habis pikir, bagaimana bisa gadis semuda itu bersedia menikah dengan Papa yang bahkan sudah hampir enam puluh tahun?" potong Gustav. Enggan mendengar seribu alasan Wandi yang masih tak masuk akal menurutnya. Terlalu klise. Menyebabkan seseorang ayah mati, lalu sok menjadi pahlawan dengan menikahi putrinya yang malang. Bah, drama sekali.

Berdiri, Gustav melangkah pelan penuh keangkuhan. Mendekati posisi Pita dengan aura gelapnya. Gadis malang itu makin beringsut ke belang hingga punggungnya menempel ketat dengan dinding ruang tengah apartemen Wandi. Tepat tiga langkah darinya, Gustav berhenti. Berdiri menjulang dengan satu tangan berkacak pinggang.

"Ah, dia punya banyak modal," gumam Gustav penuh kebencian. "Cantik," ia nyaris menggigit ujung lidahnya sendiri saat mengakui fakta sian itu, "tubuhnya juga bagus. Sangat muda. Dan sepertinya dia tahu semua yang dimilikinya sangat menguntungkan." Satu tangan yang lain mengelus dagu yang dihiasi jambang tipis. Menyorot tubuh Pita yang makin tremor dari ujung kaki hingga kepala. Gigi Gustav bergemelutuk. "Delapan belas, ya. bersedia menikah dengan laki-laki nyaris enam puluh tahun. Tentu saja. Apalagi yang dia cari selain uang?"

"Gustav!" Tak tahan dengan tingkah putranya yang kian menjadi, Wandi ikut berdiri. Berusaha menegur dengan bentakan. Tak ingin kembali adu hantam. Terlebih, Wandi memang sudah tidak muda lagi. Salah-salah, dia bisa spot jantung mendadak menghadapi situasi ini.

Namun Gustav yang menuruni sifat keras kepala ibunya, mana mungkin mau mendengar. "Sepuluh atau lima belas tahun lagi, kemungkinan Papa sudah punya penyakit strok atau mati. Sedang dia masih begitu muda. Janda muda yang kaya raya. Jika bisa mendapat uang semudah itu, kenapa tidak. Iya, kan?"

"Kamu sudah keterlaluan, Gus!" Wandi beranjak, hendak kembali menghajar wajah  Gustav yang memiliki ketampanannya sewaktu muda. Namun belum juga dua langkah terambil, tangan kiri Guatv lebih dulu terangkat ke atas. Isyarat agar Wandi berhenti. Menoleh ke belakang, sorot matanya menggelap.

"Aku tidak akan membiarkan Papa memukulku dua kali hanya karena perempuan sialan ini."

"Papa tidak akan memukul kamu jika saja kamu mau bersikap lebih sopan dengan gadis pilihan Papa."

Mengibaskan bagian bawah jasnya, Gustav berbalik ke belakang. Menghadap Wandi yang tamak dengan tatapan murka. "Aku, Cinta, Lumi, tidak pernah melarang Papa menikah. Dengan siapa pun. Tapi, tolong. Carilah perempuan yang sepadan dengan keluarga kita. Dan sepantaran dengan usia Papa! Gadis menyedihkan seperti dia tidak pantas masuk dalam keluarga kita!"

"Papa sudah menceritakan alasan Papa melakukan ini. Kamu sudah dewasa. Papa hargai pendapat kamu, tapi maaf, Keputusan Papa sudah bulat. Papa akan tetap menikahinya meski tanpa persetujuan kamu."

Tangan-tangan Gustav terkepal di sisi tubuh. Bibirnya menipis. Aura lelaki itu makin pekat. Ia melirik Pita di balik punggungnya dengan sinis sebelum mendengus. Mengangguk sekali, ia berkata, "Baik. Papa nggak butuh pendapat, kan? Kalau begitu aku pulang!" Gustav kembali melangkah. Melewati tubuh tua Wandi dan dengan segaja menyenggol kasar bahu beliau. "Ayo, Cinta!"

Yang diajak mendongkat. Cinta yang sejak tadi hanya diam, menatap Gustav penuh arti. Membuat bulu kuduk sang kakak sedikit meremang. Tanpa sadar Gustav menelan ludah. Terakhir kali Cinta menatapnya begitu adalah saat ia memutuskan merelakan Iron untuk Lumi di malam pertunangannya sendiri.

Nanar dan penuh perhitungan.

"Cinta," Ragu, Gustav kembali memanggil. Dia bahkan mengulurkan tangan. Berharap sekali Cinta akan menyambut.

"Kak Gus benar. Dia terlalu muda buat Papa," ujarnya, mengabaikan tangan Gustav yang terulur. Mendengar penuturan kalem Cinta, Gustav praktis tersenyum. Wandi sama sekali tidak mendapat dukungan dari siapa pun  terkait keputusan gilanya. Bila Cinta saja menolak, apa kabar Lumi saat mendengar berita ini? Gustav yakin dia akan mencak-mencak. Tapi, tidak. Kondisi kesehatan Lumi tidak memungkinkan untuk mendengar kabar kegilaan ayah mereka. Lumi tidak boleh stress.

"Papa tahu ini akan sulit bagi kalian, tapi—"

"Tapi, tidak semuda itu untuk Bang Gustav. Iya, kan, Pa?" sela Cinta, tak memberi kesempatan Wandi menyelesaikan kalimatnya. Meski terkesan berbicara dengan sang ayah, namun tatapan Cinta sama sekali tak lepas dari si sulung.

Kening Gustav berkerut. Dalam. Detik kemudian, seiring dengan kerutannya yang memudar, mata lelaki 33 tahun itu melebar. Spontan dia mengumpat. "Sinting!"

Cinta sama sekali tak tersinggung dengan kata kasarnya. Alih-alih, dia tersenyum. Senyum simpul yang demi Tuhan terlihat begitu menjengkelkan.

"Jangan gila kamu, Cinta!"

"Papa benar. Papa harus bertanggungjawab atas kematian ayah Pita. Terlepas dari kematian yang memang sudah ditakdirkan, Papa memang bersalah. Dan kalau Kakak tidak setuju Papa menikahinya, maka Bang Gus, selaku anak laki-laki Papa yang harus melakukannya." Jelas Cinta penjang lebar. Mengabaikan protes Gustav dan Pita yang nyaris pingsan mendengar saran Cinta yang juga gila.

"Kalau aku menolak?" Gustav menantang. Tak ingin menyerah dan kalah. Menikahi gadis kecil yang gembel itu? Cinta pasti bercanda. Mereka berasal dari kasta yang berbeda. Usia selisih lima belas tahun. Juga penampilan yang sudah bagai bumi dan langit. Gustav dengan setelah rapi dari berbagai merk dunia, sedangkan dia? Baju pembantu di rumah Gustav bahkan jauh lebih bagus. Baiklah, dia cantik. Tapi, cantik saja tidak cukup untuk menjadi istri Gustav. Harus sepadan. Jelas bebet, bibit, bobot. Bukan yatim piatu yang entah berasal dari keturunan mana. Mantan istri Gustav saja anak pejabat dan berprofesi sebagai dokter spesialis anak—sialan yang berselingkuh dengan ayah pasiennya. Terlebih, Gustav tak ingin menikah lagi, jadi jika terpaksa harus kembali terikat, minimal harus lebih segala-galanya dari sang mantan.

"Maka biarkan Papa yang menikahinya," jawab Cinta mantab.

"Cinta," Gustav menggerm tak habis pikir. Apa Cinta tidak sadar dengan apa yang baru saja dirinya katakan? Membiarkan Wandi menikah dengan gadis muda mata duitan itu, sama saja membiarkan nama keluarga mereka dipermalukan. Dan yang jauh lebhi penting dari itu adalah perasaan Resti yang pasti terluka.

Resti, di balik rasa sakit hati dan penolakannya terhadap Wandi, Gustav tahu betul ibunya masih sangat mencintai ayah mereka. Dan Cinta, dengan mudahnya melontarkan kata setuju seolah sama sekali tak peduli terhadap perasaan beliau. Benar Gustav tak setuju keduanya kembali, tapi bukan begini juga caranya. Bagaimana dengan Resti nanti kalau sampai tahu Wandi akan menikahi anak kecil selepas ajakan rujuknya beliau tolak?  Selain terluka, Resti pasti akan merasa sangat terhina. Posisinya sebagai Nyonya Wandi Hutama digantikan oleh ... si batu kali. Oh, Tuhan! Ini penghinaan besar.

"Cinta, tolong hargai perasaan Mama."

"Justru karena aku menghargai perasaan Mama, aku ngasih usul ini. Yang patut dipertanyakan di sini tuh, Kakak. Kalau Kak Gus memang benar takut Mama terluka, gantiin Papa. Toh, Papa nggak akan keberatan. Iya, kan, Pa?"

Wandi tak langsung menjawab.  Ia tampak berpikir selama kurang lebih seperempat detik sebelum kemudian mengangguk dengan berat hati demi menghargai pendapat putrinya.

Wandi tidak main-main mengajak Pita menikah. Dirinya benar-benar kesepian dan butuh teman di hari-hari tua. Yang akan menyambut saat diriya pulang kerja. Dan kalau beruntung, Wandi juga ingin punya anak lagi.

berat diakui. Selain karena sebagai bentuk tanggungjawab, alasan Wandi ingin menikahi Pita adalah ... karena gadis itu memiliki mata yang mengingatkan Wandi dengan seseorang.

"Papa setuju."

Di sudut lain, Pita, yang jalan hidupnya sedang dirundingkan oleh tiga manusia itu sontak berkeringat dinging. Tidak, gumamnya pelan. Sama sekali tak terdengar. Dia tidak mau menikah dengan Gustav. Pita seribu kali lebih suka menikahi Wandi meski jarak usia mereka sangat jauh daripada dengan laki-laki berlidah setajam silet itu.

Menarik napas panjang, Pita memberanikan diri mendongak. menatap Gustav yang tampak menggeram frustrasi hanya karena diminta menikahinya.  Membuat perasaan Pita serasa dipilin. Apa ia memang seburuk itu? pikirnya muram. Pita tidak menyukai Gustav. Sama sekali. Tapi melihat seseorang yang begitu tertekan hanya karena diminta menikahinya, tentu saja Pita sedih dan merasa tersinggung. Tak ingin terjebak dengan kegilaan ini lebih lama, ia pun berkata, "Tidak." Pita berharap suaranya bisa keluar lebih keras dari ini. Bukan sekadar bunyi lirih yang bahkan lebih mirip cicitan tikus.

Wandi yang seperti menyadari sesuatu, menoleh padanya dan bertanya, "Kamu bicara sesuatu?" Sontak menarik perhatian yang lain. Dua anaknya kini juga ikut menoleh. Cinta dengan tatapan ingin tahu dan  Gustav yang ... sudah seperti ingin menguliti hidup-hidup.

Mencoba tak melirik Gustav sama sekali, Pita memaksakan diri mengangguk. Yang berakhir dengan gerakan kepala naik turun kaku.  Sumpah mati, dia merasa sangat-sangat terintimisai. Produksi keringat dingin di tangan dan sepanjang tulang punggungnya makin banyak. Pita yakin baju bagian belakangnya pasti sudah basah.

"Apa yang kamu katakan tadi? Bisa diulang?" tanya Wandi penuh perhatian.

"Sa-saya," suara Pita tercekat. Berdeham pelan, dia mencoba mengulang. Mengumpulkan keberanian lebih banyak. "Saya tidak mau menikah dengan ... dengan anak Bapak."

Sorot mata Gustav menajam seiring dengan kelopaknya yang menyipit begitu mendengar kalimat si gembel yang terpatah-patah. Mendengus, ia kembali berkata kejam. "Lihat?! Dia menolakku! Si gembel itu—"

"Pita, Kak, namanya," potong Cinta spontan. Mulai kesal mendengar kata-kata penghinaan Gustav yang tiada habis  untuk gadis malang itu.

"Terserah!" Gustav memutar bola mata. "Kakak juga nggak sudi nikah sama dia. Dia juga lebih senang sama Papa yang sudah tua, kan? Coba jelaskan apa alasannya selain karena Papa duda kaya yang akan mewarikannya banyak harta kelak? Bukan denganku yang masih mudah, kuat, bugar, dan jemungkinan tidak akan mati dalam waktu dekat!"

Pita menggeleng keras. menolak tudingan jahat itu. "Bu-bukan begitu." tangannya yang sudah sangat licin ia usapkan ke ujung baju hijaunya yang lusuh. "Sa-saya takut sama A-abang itu. Dia ... dia suka marah-marah dan matanya melotot terus. Seperti Juragan Basir."

Cinta spontan tertawa mendengar penuturan Pita yang terlalu jujur dan begitu polos. Ekspresinya benar-benar seperti bocah yang ketakutan. Ah, Cinta lupa. Pita memang masih bocah.

Wandi berusaha tidak tertawa dengan pura-pura mengeluarkan batuk.

Sedangkan Gustav, rahangnya nyaris jatuh menyentuh lantai begitu mendengar kalimat panjang gadis gembel itu pertama kali. Tentu saja bukan terpeson pada suaranya yang ... well, cukup empuk. Tapi, apa katanya tadi? Gustav, si duda yang diincar banyak wanita, tampan dan sukses di usianya yang masih terbilang muda disamakan dengan Juragan Basir? yang kata Wandi merupakan pemilik kontrakan kecil di salah satu perkampungan kumuh dan hobi menikahi gadis muda?

Lancang sekali dia!

Mulut Gustav terbuka. Siap mendebatnya. Namun sebelum satu silabel lolos, Cinta lebih dulu bersuara.

"Dia baik, kok ...." Di akhir kalimat, ucapannya menggangtung di udara. Bigung harus memanggil Pita dengan sebutan apa. Mereka belum berkenalan secara baik. Dan Wandi sempat mencetuskan Pita sebagai calon istri? "... M-mbak." Ragu, Cinta melanjutkan dengan memilih sebutan  paling aman.

Pita yang barangkali risih dipanggil 'Mbak' oleh Cinta yang sepuluh tahun lebih tua, mengoreksi. "Pita saja."

"Oke, Pita. Aku Cinta. Anak bungsu Pak Wandi. Kamu ... mmm, bisa duduk saja di sini?" Cinta menepuk tempat tepat di sampingnya yang kosong. Bekas duduk Gustav. Sadar bahwa sejak tadi gadis itu hanya berdiri. "Kamu pasti capek, kan?"

Sebelum menjawab, Pita melirik ke arah Gustav dan menemukan laki-laki itu masih melotot dengan satu alis terangkat. Spontan, Pita langsung menggeleng keras. "Sa-saya kotor. Tidak pantas duduk di kursi mahal," tolak Pita mengingat tudingan-tudingan kejam Gustav padanya sebelum ini. Dan ya, drinya memang tidak pantas.

Pita tidak apa ditolak oleh Gustav. Dia juga tidak peduli sekali pun Gustav tidak menyetujui pernikan Wandi dengannya. Yang pasti, Wandi sudah berjanji, dan Pita sudah terlanjur pergi dari kontrakan tempatnya tumbuh besar sejak lahir. Pita akan berusaha mermuka tebal setiap kali bertemu Gustav. Pernikahannya dengan Wandi harus tetap dilanjutkan. Karena sungguh, Pita tidak tahu harus pergi ke mana kalau Wandi mengikuti keinginan Gustav. Tidak mungkin ia kembali ke kontrakan mengingat kekacauan yang sudah terlanjur terjadi sebelum dirinya angkat kaki.

Sekalipun Pita dilepaskan dengan uang saku yang sangat banyak, untuk apa kalau ia bahkan tidak tahu harus menggunakan untuk apa dan pergi ke mana. Seumur hidup tinggal di tempat kumuh dalam keadaan miskin, Pita hanya bisa bersekolah sampai tamat SMP. Setelahnya bekerja di warung bakso dekat rumah untuk membantu perekonomian orangtuanya dan selalu pulang sebelum magrib. Membantu ibu memasak makan malam sembari menunggu ayah pulang. Lantas tidur. Kalaupun penat dam butuh hiburan, Pita hanya akan diajak jalan-jalan ke pasar atau mencicipi makanan kaki lima. Sudah. Dia tak pernah jauh dari rumah. Lalu keadaan mendadak sangat sulit saat ibunya sakit. Masa-masa bahagia dalam kehidupan yang begitu sederhana seolah sirna. Keluarga mereka terlilit hutang dengan Pita sebagai jaminan.

Lantas sekarang harus terjebak di sini.

Pita yang nyaris seumur hidup selalu berada di lingkungan kumuh, terjebak di sebuah bangunan mewah, tinggi nan asing yang dulu hanya bisa ia lihat dari kejauhan, rasanya aneh.

Lelu terancam terbuang ... Pita tentu merasa bingung. Usianya masih 18 tahun. Belum banyak asam garam yang ia cecap. Membayangkan di luaran sana bisa jadi ia bertemu dengan juragan-juragan Basir lain, Pita tak sanggup. Lebih baik ia berada di bawah perlindungan Pak Wandi saja yang menjanjikan rasa aman dan nyaman. Tak peduli meski harus mendapat tatapan mencemooh putranya. Toh, meraka akan jarang bertemu nanti. Pikir Pita sempit

"Kamu nggak kotor, kok. Sini duduk. Jangan dengerin omongan Kak Gus. Dia emang gitu orangnya."

Pita mengerjap. Membalas senyum Cinta dengan lengkungan kaku bibirnya yang kering.

Gustav memang begitu orangnya, kata Cinta tadi. Maksudnya, dia memang biasa marah-marah dan melotot seperti itu? Seram sekali. Pita bergidik makin ngeri. Dalam hati berdoa ribuan kali agar Gustav berkeras menolak menikahinya agar Wandi tak memiliki pilihan lain. "Tapi, saya tidak akan dinikahkan sama dia, kan? Sama Pak Wandi aja, kan?" tanyanya memastikan.

Cinta meringis. Wandi menatapnya iba. Gadis itu masih begitu putih. Begitu polos. Diplototi Gustav saja dia sudah setakut itu.

Gustav tentu makin tersinggung. Dan ketersinggungan itu membuat bibirnya asal bicara yang detik kemudian langsung ia sesali. "Tentu saja kamu akan menikah dengan saya!"

💕💕💕

Bang Gus yang songong  balik lagi dong....
Siapa yang udah gatel mau maki? Dipersilakan ya...

Btw, si Gustav  ini songongnya  kek Lumi tapi nyebelin kayak emaknya, jadi ya gitu. Perpaduan yang sempurna sekaliii😂

Buat yang kemarin nanya cast Gustav, saya sih bayangannya dia tuh Rudi Salim. Dia emang pebisnis Super Car Indonesia yang masih muda dan sukses. Wkwkwk, yap, tokoh Gustav terinspirasi dari dia😂 tapi, kalian boleh bayangan siapa aja, kok.
Yang nggak tahu Rudi Salim, cari aja di google ya.

Buat Pita, saya belum ada bayangan.

24 Okt 2019

Repost, 25 Feb 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top