3 | Awal dari Segalanya
3
Awal dari Segalanya
💕💕💕
"Ini sih keren, Bang!" Iron tak berhenti berdecak kagum sejak menyentuh mobil yang istrinya taksir. Ia menatap Gustav yang duduk di bangku kemudi dengan mata membulat tak percaya. Dua tangannya terangkat ke udara. Membiarkan mobil pintar itu melaju sendiri. Sesekali melambat saat mendeteksi kendaraan lain di sekitar. "Cocok kayaknya buat bini gue pake kalo beneran bisa nyetir sendiri nih mobil."
"Kayak lo rela aja Lumi nyetir sendiri." Gustav mencibir. Iron hanya tergelak pelan dengan sindiran halus abang iparnya. Tentu saja tidak. Iron tidak akan pernah mengizinkan Lumi menyetir sediri. "Tapi ini setirnya nggak bisa dibiarkan lebih dari tiga puluh detik, Ron," lanjut Gustav sembari menyentuh roda kemudi sekilas, "Pegang aja kayak gini, lepas lagi nggak apa-apa. Asal jangan bener-bener dilepas." Melihatnya, Iron kembali menurunkan tangan. Kembali mengendalikan laju kereta besi itu.
"Kenapa kalau dibiarin lebih tiga puluh detik?"
"Mobilnya bakal berhenti otomatis. Jadi nggak bisa tidur pas nyetir. Bahaya, kan. Lo juga bisa ngatur ac dari monitor." Gustav kemudian menarikan jari telunjuk tangan kirinya yang kidal di layar. "Bisa diarahkan ke atas atau ke bawah kayak gini," jelasnya bersamaan dengan hawa dingin yang mulai terasa seiring dengan gerak jari Gustav. Iron manggut-manggut berdengarnya. Terpesona. Terlebih, mobil itu sangat hening. Tanpa bunyi mesin dan ramah lingkungan. Kapasitas bagasi yang lega juga menjadi salah satu kelebihan yang dengan serius Iron perhitungkan. "Kalau mau menghidupkan radio atau musik, lo tinggal pilih mana yang lo mau di sini. Bisa main game sekalian. Ya, tapi jangan main sambil nyetirlah."
"Gue nggak suka main game, sih. Tapi bolehlah." Iron manggut-maggut menatap layar lebar itu dengan bibir setengah mencebik penuh perhitungan. "Tapi, by the way ini kan mobil listrik, berapa lama waktu yang dibutuhin buat isi ulang batrenya?"
"Bisa dilakukan enam sampai delapan jam untuk tarikan listrik dua ribu sampai dua ribu lima ratus Watt. Dan mampu dijalankan hingga lima ratus tiga puluh sembilan kilo meter sekali pengisian."
"Kalau tentang perawatannya gimana? Sama nggak sama mobil biasa gitu?"
"Bedalah." Guatav menyamankan posisi duduk dengan menyandarkan punggungnya pada jok kursi. Membiarkan Iron menambah kecepatan. "Ini kan udah nggak pake mesin, jadi perawatannya lebih ringan dong. Cuma tinggal cek kondisi fisiknya aja secara rutin. Dan kalau pun ada kerusakan, nih mobil bakal ngasih sinyal dan informasi ke sistem online yang mana bisa mengetahui kerusakan serta melakukan kalibrasi secara otomatis dengan software yang dimiliki. Ajib, kan?"
"Okelah sesuai harga."
"Gimana? Jadi ngambil?"
"Boleh, deh. Tapi yang gedean kayaknya. Dapet diskon nggak nih gue?"
"Sorry, Bro. Business is business," ujar Gustav sok jemawa.
"Parah sih lo. Sama adik sendiri juga."
"Yang beli kan bukan si Lumi, tapi lakinya. Beda dong."
"Sama aja kali."
"Ya, nggaklah."
"Buat calon ponakan lo, gitu? Anggap aja hadiah."
"No. Nanti kalau anak kalian lahir, gua kasih hadiah lain."
"Pelit sih lo!"
Gustav tergelak, sama sekali tak merasa tersinggung atas tudingan iparnya yang terlalu jujur. Dan yah, bisnis adalah bisnis. Dia tak akan mengingat siapa teman atau keluargan jika berhubungan dengan harga. Pelanggan tetap pelanggan. Harus diperlakukan sebagaimana pelanggan. Bukan karena pelit, tapi karena jikalau ada harga teman atau harga saudara, bisnisnya sulit berjalan. Terlebih mengingat modal yang dikeluarkan untuk membangun usahanya cukup besar dengan biaya perawatan yang tidak sedikit. Dan untuk sampai di posisi ini, jalannya tidak mudah. Terlebih, Gustav sama sekali tak mendapat dukungan dari kedua orangtuanya, mengingat Wandi dulu berkeras agar si sulung menjadi pengacara. Bisnis yang ia geluti saat ini ia mulai sendiri dari nol. Dengan hanya bermodal uang hasil menjual mobil sport-nya semasa kuliah, lalu diputar lagi untuk membali mobil mewah lain dengan harga miring dan didagangkan kembali dengan keuntungan yang lumayan. Terus begitu sampai akhirnya ia cukup punya modal untuk membangun showroom hingga kuliahnya terbengkalai. Merasa sama sekali tak memiliki minat di dunia hukum, ia memilih berhenti. Wandi dan Resti tentu sempat marah. Marah besar hingga Gustav sempat terusir dari rumah.
Namun, lihat sekarang. Usaha Gustav membuahkan hasil. Kerja kerasnya berbuah manis meski tanpa campur tangan atau bantuan orang lain.
Mengambil bungkus rokok dari saku kemeja birunya, gerakan tangan Gustav terhenti sebelum bisa benar-benar mengeluarkan kotak tipis kertas itu saat merasakan getaran di saku jas.
Pesan Whats App dari Cinta yang mengajaknya berkunjung ke rumah Wandi siang nanti untuk makan bersama. Kebetulan ayah mereka sedang berada di rumah, tidak bekerja sejak kemarin. Katanya tidak enak badan. Cinta yang khawatir berencana akan memasakkan makanan kesukaan ayah mereka, sekalian berkumpul bersama mengingat akhir-akhir ini semuanya seolah sibuk dengan urusan masing-masing.
Mendesah, Gustav mengiyakan chat adik bungsunya itu setengah hati. Mengingat acara makan, serta merta ia ingat ultimatum Resti kemarin lusa.
Nanti malam, ya?
Gustav tidak ingin menikah. Kalau pun iya, maka seseorang yang akan ia nikahi adalah wanita buruk dengan seribu kekurangan agar ia tak harus jatuh cinta.
Sial!
"Lumi masih bed rest total?" tanyanya kemudian tanpa menoleh pada Iron. Ponselnya ia letakkan sembarangan di dasbor. Pun lupa mengambil rokok, meski kebutuhan akan nikotin itu kian mendesak.
"Iya. Dokter masih ngelarang dia terlalu banyak gerak sampai kendungannya cukup kuat. Kenapa?"
"Nggak sih. Barusan Cinta WA gue, ngajak ke rumah bokap buat makan siang." Melirik jarum jam pada arloji di pergelangan tangan kiri, ia mendesah. "Jadi Lumi nggak bisa ikut, ya?"
"Untuk sekarang dan beberapa minggu ke depan masih belum. Salamin aja deh buat Papa sama Cinta."
Gustav hanya bergumam pelan sebagai jawaban. Selanjutnya, ia lebih banyak diam. Membiarkan Iron berbicara ngalor ngidul tentang istrinya yang begini dan begitu dengan nada menggerutu serta bangga yang menjadi satu.
Iron jelas tampak amat bahagia dengan pernikahannya. Tidak seperti Gustav.
💕💕💕
Sejak bercerai dari Resti, Wandi pindah ke sebuah unit apartemen di daerah Sudirman mengingat dirinya hanya sendrian. Rumah keluarga besar mereka dijual karena dianggap terlalu banyak menyimpan kenangan buruk—menurut mantan istrinya. Tidak dengan Wandi yang selama ini merasa semua baik-baik saja.
Mengetukkan cardlock pada kotak sensor, bunyi pip samar terdengar. Wandi menarik gagang pintu apartemennya ke bawah hingga daun pintu di depan mereka terbuka. Menoleh ke belakang, ia dapati sosok gadis muda yang menatap pintu apartemennya penuh dengan tatapan kagum yang tak ditutup-tutupi. Melihat ekspresi menggemaskannya, Wandi tersenyum. "Ayo masuk," ajaknya seraya melebarkan celah agar mereka bisa menyelinap ke dalam.
Alih-alih menurut, Pita justru meringis sambil melirik Wandi takut-takut. Bagaiman pun baiknya seorang Wandi Hutama, beliau tetap orang asing. Pita baru mengenal beliau kemarin. Dan harus masuk ke sana hanya berdua, entah mengapa terasa begitu salah. Menelan saliva pelan, ia bertanya dengan nada mencicit. "Di dalam, ada orang lain lagi nggak, Pak?" Dua tangannya mencengkeram tali tas berukuran cukup besar yang ia tenteng. Berisi seluruh barang-barangnya yang diboyong dari kontrakan usai menyelesaikan seluruh urusan dengan Juragan Basir beberapa saat lalu.
Ah, Juragan Basir, mengingatnya, pita praktis bergidik. Bagaima tidak, laki-laki mata keranjang itu sempat mencengkeram tangannya kasar hingga menyisakan bekas kemerahan di pergelangan kanan. Alih-alih merasa berduka, pemilik kontrakan yang sombong itu justru menyeringai begitu mendengar berita kematian Durham. Katanya, "Jangan sedih, Sayang. Masih ada Abang yang akan selalu berada di samping kamu."
Sumpah mati bulu roman Pita berdiri mendengar kalimat menjijikkan itu. Terlebih bau alkohol yang bercampur aroma rokok busuk menguar di udara setiap kali Juragan Basir bersuara. Pita yang tak berdaya hanya bisa mencari perlindungan ke balik punggung Pak Risman. Mereka baru pulang usai menguburkan Durham di pemakam umum tak jauh dari perkampungan kumuh ini. Pita bahkan belum berganti pakaian dengan setelah hijau lumut yang merupakan baju terbaiknya sejak dua tahun lalu. Acara pemakaman memang sempat tertunda satu hari karena pihak rumah sakit melarang mereka membawa jasad korban sebelum adminitrasi dilunasi. Wandi yang seharusnya bertanggung jawab, jatuh pingsan lantaran pukulan bertubi-tubi dari Pak Risman bahkan harus mendapat penanganan cukup serius.
"Pita, jangan takut sama Abang." Juragan Basir tak menyerah. Ia berusaha mendekati Pita yang makin mengkerut ketakutan dibalik punggung Pak Risman. Sahabat ayahnya yang tak tega melihat wajah pucat Pita, berusaha menghalangi
"Juragan, tolong. Pita baru kehilagan ayahnya."
"Dan gue nggak peduli. Justru bagus, dong. Pernikahan kami bisa dipercepat. Bukan begitu, Pita?" Tubuh tinggi besar Juragan Basir melongok ke belakang punggung Pak Risman yang ringkih. "Toh, hidup pun ayah kamu juga tidak ada gunanya. Pada akhirnya, sekeras apa pun dia bekerja untuk melunasi hutang kalian, percuma saja. Karena kamu tetap akan menjadi milikku. Hahaha ...."
Tubuh Pita gemetar. Sama sekali tak bisa menyangkal. Mendongak saat merasa hawa panas di atas kepalanya, ia nyaris terjengakng mendapati sosok Juragan Basir yang entah sejak kapan sudah berada tepat di hadapannya. Sedang Pak Risman tersungkur tak berdaya di tanah berlumpur sisa hujan tadi pagi. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu tak ada satu pun yang bersedia membantu. Semua hanya diam. Berbisik-bisik prihatin. Pita paham posisi mereka, karena melawan Juragan Basir sama dengan terusir.
"Jangan takut, Sayang. Cep ... cep ... cep." Dicengkeramnya tangan Pita saat Gadis itu hendak menjauh. "Abang nggak bakal nyakitin kamu, kok. ASAL DIAM!" bentaknya kemudian. Yang sontak membuat Pita berjenggit kaget. Tangisnya yang semula reda, kembali berderai. "Apa susahnya sih, nurut?!" Cengkeramannya makin menguat. Pita menggigit bibir menahan tangis. Cengukannya ia telan kembali. Hanya membiarkan tetes bening yang terus jatuh. Melirik ke samping, dilihatnya Pak Risman yang hanya bisa menatap iba. "Lihat tuh istri-istri Abang yang lain? Sikapnya manis-manis, kan? Kamu juga harus meniru mereka. Abang nggak suka perempuan pembangkan!" Melepas lengan Pita, Juragan Basir ganti mencengkeram dagu gadis itu. Mengarahkan paksa tatapan Pita pada kumpulan kecil perempuan-perempuan malang yang tersenyum sedih seolah mengerti perasaannya.
Tangis Pita makin menjadi saat memikirkan, akankah dirinya menjadi bagian dari mereka kelak?
Sepertinya tidak, karena detik berikutya, pahlawan yang Pita harapkan datang.
Bukan. Dia bukan pangeran berkuda putih seperti dalam kisah-kisah dongeng yang dulu sering ibunya ceritakan saat Pita kecil. Bukan pula pemuda tampan nan gagah. Dia hanyalah seorang Wandi Hutama. Duda yang tak sengaja membunuh ayahnya. Laki-laki paruh baya yang kemarin malam menawarkan pernikahan.
Wandi yang berwajah babak belur lantaran dipukul habis-habisan datang dengan dua orang pria bertubuh lebih besar dari Juragan Basir, menolong Pita dari cengkeraman lelaki jahat itu.
"Siapa lo? Berani ikuta campur urusan gue! Harus lo tahu, ini daerah kekuasaan gue, jadi—"
"Saya Wandi," jawab si paruh baya tanpa merasa takut sama sekali. memotong kalimat sombong Juragan Basir dengan berani. Barang kali beliau tak tahan menghidu aroma busuk yang menguar dari mulut juragan gila itu. "Dan saya," lanjutnya sambil melirik Pita, meminta bantuan untuk menjawab. Karena rasanya terlalu angkuh bila ia mengaku sebagai seorang pengacara yang cukup berpengaruh dan memiliki kekusaaan jauh lebih besar dari si juragan. Juga malu mengaku diri sebagai penabrak ayah Pita.
Mengerti arti tatapan itu, Pita megepalkan kedua tangannya yang masih gemetar. "Dia," katanya pelan. nyaris tak terdengar. Di saat-saat geting dan terjepit begini, otaknya dipaksa berpikir keras. Dan Pita sudah membuat keputusan bulat. Setidaknya, ia yakin, keputusan kali ini tidak akan membuatnya lebih menyesal daripada harus menikah dengan Juragan Basir. "Dia calon suami saya."
"Kalau kamu tidak nyaman hanya berdua dengan saya, tidak masalah. Saya akan memanggil asisten rumah tangga segera. Tapi, untuk sekarang kita masuk saja dulu. Saya janji tidak akan macam-macam sampai kita menikah," ujar Wandi ramah, berhasil mebangunkan Pita dari lamunannya tentang kejadian beberapa saat lalu.
Dan mendengar kata menikah, hatinya mendadak gamang. Tapi, inilah pilihannya. Setidaknya dia akan menjadi satu-satunya istri. Bukan yang keempat. Selama perjalanan ke sini, Wandi juga sudah menunjukkan bukti-bukti bahwa dirinya benar duda. Memiliki tiga anak. Dua perempuan yang sudah menikah, dan satu laki-laki yang juga menduda sejak dua tahun silam.
Pita tak bisa berbohong, dia senang Wandi tinggal terpisah dari anak-anaknya. Karena membayangkan berada di bawah atap dengan anak tiri yang jauh lebih tua pasti rasanya menyiksa sekali.
Menarik napas panjang, Pita berusaha menerima segalanya. Sudah terlambat berubah pikiran sekarang. Dia tak akan bisa pergi ke mana-mana dengan kondisi mengenaskan begini. Tanpa uang sepeser pun. Terlebih, Wandi sudah membantu melunaskan seluruh hutang pada Juragan Basir serta menyelamatkannya dari cengkeraman monster mata keranjang itu. Yah, inilah awal dari segalanya.
"Kamu percaya saya, kan?" Wandi kembali bersuara saat kalimat sebelumnya tak mendapat tanggapan.
Pita akhirnya mengangguk pelan. Ia percaya pada Wandi. Lelaki tua ini kemungkinan orang baik. Terbukti, dia tidak lari setelah menabrak ayahnya. Beliau justru bertanggung jawab dan dengan lantang mengakui kesalahan. Padahal dia bisa kabur sejauh mungkin, tak ada saksi mata dalam kecelakaan itu.
"Kalau begitu, ayo."
Wandi mendorong pintu makin ke belakang hingga terbuka sepenuhnya. Pita hanya bisa mengekor tanpa bantahan. Namun belum juga selangkah masuk ke ruangan besar nan mewah itu, gerak kaki Pita terhenti begitu mendengar suara bariton yang bertanya tanpa keramahan sama sekali dari balik punggung mereka.
"Siapa gembel yang berani Papa bawa ke sini?"
💕💕💕
Semoga suka deh sama yang sinetron episode ini, ya🤣
Beneran drama banet kan???
Udah ketemu tuh si Pita sama Bang Gusgus...
20 Okt 2019
Repost, 21 Feb 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top