20 | Alasan Bertahan
20
Alasan Bertahan
💕💕💕
Hampir ashar. Pita tertidur setelah kegiatan mereka yang menyenangkan. Gadis itu telentang dengan kepala miring ke arah Gustav. Rambutnya tergerai di atas bantal dalam keadaan cukup berantakan. Baunya harum, seperti aroma lavender yang menyenangkan.
Dia pasti kelelahan. Gustav meraba hidungnya yang mungil seperti buah jambu air kecil. Jambu air kecil yang merah. Tapi mambayangkang hidung istrinya diganti jambu air merah, Gustav tersenyum konyol. Hidung Pita jelas lebih menggemaskan, membuatnya ingin menggigit.
Dan bibir itu ... ranum sekali. Sewarna delima namun selembut karamel. Seakan yaris lumer saat dicecap saking lembutnya. Berbentuk tipis dan agak lebar. Gustav suka megecupinya berlama-lama.
Ah, Pita. Dia benar-benar penyihir kecil. Entah apa matra yang sudah dirapalkannya hingga Gustav ... demi Tuhan kamar ini panas. Kasurnya kecil dan terasa kasar di punggung. Tapi, anehnya, Gustav enggan beranjak.
Pasti istrinya ini punya semacam ajian atau mantra ajaib yang digunakan untuk menjerat Gstav. Pasti.
Mengangkat tangan untuk merapikan anak-anak rambut Pita yang sebagian menempel di wajah berbentuk hati sang istri, Pita mengerang. Buru-buru Gustav menarik tangan kembali ke balik selimut dan cepat-cepat memjamkan mata.
Erangan Pita berubah menjadi lenguhan pendek. Disusul lesak kasur yang terasa makin makin dalam. Pita bangun. Gustav mengintip dengan membuka satu mata tak kentara. Selimut yang semula dikenakan Pita sampai sebatas dada, kontan saja mulai melorot saat ia bangkit untuk duduk. Kain tebal itu meluncur pelan. Sangat pelan melewati kulit Pita yang kuning langsat. Lantas jatuh tepat di atas pangkuannya dengan begitu manis.
Ah, selimut yang beruntung.
Gustav ... oh, imannya diuji lagi. Ia menahan diri untuk tidak mengumpat keras dan menerjang Pita kembali mengingat hari hampir sore.
Sialan bocah ini.
Tak ingin menyiksa diri lebih lanjut, Gustav memutuskan memejamkan kedua mata rapat. Pura-pura tertidur.
Suara adzan samar-smar terdengar di kejauhan. Gustav merasakan kasur kembali melesak sebelum tempat di sampingnya terasa kosong. Pita kemungkinan turun dari ranjang. Dan Gustav tak mau membuat sesuatu terbangun bila nekat mengintipi istrinya yang sedang membuka pintu lemari—barangkali untuk megambil baju ganti.
Pintu lemari ditutup. Derap langkah pelan Pita terdegar samar sebelum bunyi derit pintu kamar menyapa telinga.
Aha! Pita sudah keluar. Gustav mau pergi dari kamar ini diam-diam.
Namun tepat saat membuka mata, dua kelereng besar itu entah sejak kepan berada tepat di depan wajah Gustav! Spontan membuat lelaki itu reflesk berusaha bangkit menjauh, Tepat saat ia mengangkat kepala dengan geralan kelewat cepat lantaran terlalu kaget, tanpa sengaja ia malah menyundul ubun-ubun Pita.
"Shit!" Gustav tak bisa mengontrol mulutnya untuk tidak mengumpat keras.
Pita, si sialan yang entah sejak kapan hobi megagetkan itu hanya meringis sambil mengelus ubun-ubunnya yang pasti ngilu sekali.
Persetan. Gustav tak eduli mengingat kepalanya sendiri sudah seperti mau pecah.
"Kamu apa-apaan, sih?!" bentaknya kesal sambil memegang kening yang pasti akan benjol.
Yang dintanya—beruntung sudah mengenakan baju—menjatuhkan diri di samping Gustav dengan bibir cemberut.
Cemberut.
Sejak kapan perempuan cemberut terlihat bertambah cantik?
Ck, pasti otak Gustav brtambah eror akibat benturam tadi. Syaraf matanya pun kena. Pita yang berntakan dan cemberut jadi terlihat begitu ... ah!
Kemarahan Gustav yang semula timbul sirna seketika, berganti sesuatu. Sesuatu, mmm ... lebih tepatnya suatu. Suatu keinginan. Keinginan untuk mengembalikan posisi wanita ini kembali berbaring di bawahnya.
Sial!
Oh, lihat bibir tipis itu yang kini manyun ke depan. Benar-benar mirip bebek. keningnya juga. Alis pendeknya yang semula berjauhan bahkan nyaris menyatu. Dan dengan ekspresi begitu, seharusnya Pita terlihat jelek. Seharusnya.
Ah, dia pasti membaca sebuah mantra lain untuk mengusir amarah Gustav dengan pesonanya. Atau jangan-jangan dia mengenakan susuk? Ah, bisa jadi!
"Sudah ashar. Saya hanya ingin membangunkan Abang," jawab Pita setengah menggerutu.
Selain keras kepala, rupanya Pita juga sudah berani bersungut-sungut! Bibirnya benar-benar minta diberi pelajaran!
"Sejak kapan membangunkan seseorang harus benar-benar menatap wajahnya begtu dekat?"
"Saya cuma lagi nyari tahu aja. Abang benar tidur apa cuma pura-pura tidur!" ujarnya seraya beranjak dengan gerakan kasar dari ranjang. Menoleh sekilas pada Gustav hanya untuk memberinya delikan sebelum keluar dari kamar.
Oh, Sial! Rambut di atas kening Gustav ia jembak kasar saat nemikirkan kembali tutur terakhir istrinya.
Pura-pura tidur!
Jangan bilang, bocah itu tahu kalau sejak tadi Gustav memperhatikannya dan justru si sialan itulah yang pura-pura tidur?
Dasar penyihir!
Gustav mengutuki diri lantaran sudah bertingkah begitu bodoh. Demi Tuhan, apa maunya? Dan apa menariknya dari wajah Pita yang memiliki standart gadis jawa itu?
💕💕💕
Ahad yang berbeda dari biasanya. Gustav mengajak Pita pergi keluar rumah. Dan ini untuk kali pertama setelah hampir dua bulan Pita tinggal di rumah lelaki itu.
Mengeratkan cengkeraman pada tali tas selempang hitam berukuran sedang yang kata Bi Minar terbuat dari kulit buaya—Pita sempat menolak memakainya karena tidak tega membayangkan kulit buaya dijadikan tas—Pita melangkah mengekori Gustav yang tampak sangat aneh hari ini.
Lelaki itu mengajak Pita ke salah satu mal dengan penampilannya yang sudah seperti penjahat. Adam yang Tuhan takdirkan menjadi suaminya ini mengenakan kaus Putih yang dibalut jaket kulit hitam serta celana jins biru pudar.
Namun bukan itu keanehannya. Dia, si sumbu pendek mengenakan atribut berupa kaca mata hitam besar, topi baseball, dan masker putih yang berkawat di bagian tulang hidung. Membuat wajahnya nyaris tak dikenali.
Saat Pita bertanya kenapa Gustav berpenampilan seperti itu, ia hanya menjawab, "Kamu nggak lihat berita? Keadaan udara di Jakarta buruk sekali. Setiap warga memang dianjurkan memakai masker yang bisa menyaring udara sampai sembilan puluh persen."
Pita tak mebantah, hanya saja ia yakin alasan Gustav bukan itu. Mengingat sang suami hanya mengenakan masker hari ini saja. Saat hanya keluar dengannya.
Sebegitu burukkah Pita sampai Gustav tak ingin dikenal saat mereka pergi bersama?
Sayangnya, Pita sadar. Ia memang serendah itu di mata Gustav.
Berusaha tak terlihat murung, Pita mengangkat dagu sedikit lebih tinggi. Mengekori Gustav yang berjalan dua langkah di depannya bagai anak ayam. Mengitari mal besar itu untuk kedua kalinya sepanjang ia hidup. Pertama, saat bersama Cinta.
Mereka berhenti di toko perhiasan. Dan Gustav sepertinya tak ada niatan membuka masker. Andai ada orang lain lagi berpenampilan seperti suaminya di mal ini, Pita tak yakin bisa membedakan yang mana Gustav asli dan tiruan.
"Selamat siang, Mbak, Mas. Ada yang bisa kami bantu?" Si pramuniaga yang semula menata cincin di etalase, menghentikan kegiatannya demi menyapa mereka.
Gustav berdeham. Maskernya ia turunkan sebatas bibirnya bisa terihat saat bicara, lantas menjawab, "Bisa lihat koleksi cincin berliannya?"
Si pramuniaga tak langsung menjawab. Wanita itu malah memperhatika Gustav sedikit lebih lama dari seharusnya. "Saya kayak kenal Bapak, deh!" serunya antusias. "Bapak ini pengusaha mobil itu yang beberapa kali diundang talkshow di tivi, kan?"
Gustav tampak gelagapan. Buru-buru dia menaikkan maskernya kembali dan mengelak. "Mungkin Mbak salah orang. Bisa tunjukkan saja koleksi berliannya." Dengan nada tak menyenangkan.
Si Mbak pramuniaga masih berkeras menatapnya, tapi kemudian dia hanya menggeleng, "Memang bukan kayaknya. Di tivi orangnya nggak judes soalnya," gumamnya kecil. Yang sialnya masih bsa Gustav dengar. Hanya saja Gustav memilih menahan geram karena tak ingin memancing keributan.
Menarik sekotak besar tempat cincin dari etalase, ia tunjukan koleksi toko pada mereka. "Ini barang baru kami, silakan dipilih," katanya sambil sesekali masih melirik Gustav.
Berusaha tak menghiraukan si pramuniaga sialan itu, Gustav menyenggol bahu Pita sembari menunjuk banyak cincin di atas etalase dengan dagu.
Mengerti isyarat itu, Pita mulai menuduk. Tubuhnya yang kecil, membuat ia harus sedikit berjinjit.
Terlalu banyak pilihan membuat Pita bingung. Ia makin berjinjit untuk dapat melihat secara keseluruhan. Dan Gustav yang barangkali tak tega melihat usaha istrinya, berinisiatif mengambil benda berbentuk persegi yang membuat banyak cincin tersebut dan dipegang sendiri di depan perut. Dan hal kecil itu saja berhasil membuat dada Pita kembali menghangat.
Ah, lelaki ini, meski menyebalkan, pemarah dan kadang bikin gondok setengah mati, tapi Pita tahu kalau sebenarnya Gustav baik. Hanya saja dia terlalu sombong dan suka memandang seseorang sebelah mata. Itu minus terbesarnya.
Menarik napas sambil memilin ujung jilbabnya yang menjuntai hingga ke depan perut, Pita berusaha menenangkan debar jantung yang mendadak bertingkah. Sambil menggigit bibir, Pita mulai kembali memilih. Tatapannya terhenti tepat di baris ke tiga deret kelima. Pada cincin sederhana dengan batu permata mungil nan cantik di bagian tengah. Persis sama dengan cincin yang Gustav berikan di hari pernikahan mereka.
"Ini," katanya, menunjuk malu-malu.
"Ambil dan cobalah," kata Gustav sabar.
Pita mendongak menatapnya dengan mata bundar cokelat madu yang berpendar cemerlang itu lagi. "Boleh?" tanyanya lugu.
Seolah terhipnotis, Gustav mengangguk. Pita tak langsung menurut. Ia melirik pramuniaga yang sejak tadi mengawasi mereka. Dan saat tak menemukan larangan dari pegawai itu, ragu-ragu, Pita mengambilnya. Dicoba pada jari manis tangan kiri dan ... "Pas!" katanya nyaris menjerit kesenangan. Karena sungguh, Pita tak menginginkan model lain. Hanya ini.
Mengembalikan kotak cincin ke atas etalase, Gustav bertanya pada si pramuniaga tanpa menatap wajahnya yang masih diam-diam mengawasi. "Yang itu berapa, Mbak?" tanyanya.
Pita melepas cincin tersebut dari jari manis. Meletakkan terpisah di samping kotak. Si pramugari memeriksa sejenak sebelum menyebutkan harga.
"Ini satu koma dua, Pak."
Semula, Pita pikir harganya satu koma dua juta. Namun beberapa saat setelah si pramuniaga menyerahkan cincin yang dipilihnya bersama sebuah nota ke dalam paper bag, Pita iseng memeriksa di dalam mobil. Kelereng cokelat madunya nyaris melompat dari tempat begitu mendapati banyak sekali angka nol di sana.
Menunjuk dengan jari karena takut salah, Pita mulai berhitung.
Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh. Delapan.
Delapan nol.
Di depannya ada angka satu dan dua.
Satu koma dua miliar!
Jantung Pita copot. Melorot ke bawah, bergabung dengan usus-usus.
Satu koma dua miliar!
Seolah baru tersadar, cepat-cepat Pita masukkan cincin yang sudah kembali ia kenakan di jark manis ke dalam kotak kaca mungil dan menyipannya rapat ke paperbag bawaan toko, lantas Pita sodorkan benda itu pada Gustav. Tepat ke atas pangkuan suaminya yang sedang menyetir pulang.
"Kenapa dikasih ke saya? Ini kan buat kamu."
Pita menggeleng keras. masih terlalu syok.
"Kenapa? kamu bosen sama modelnya? Kita bisa balik dan tuker lagi, kok. mumpung belum jauh," kata gustav enteng. Seolah yang mereka beli hanya selembar kaus lima putuh ribuan yang kebesaran di badan dan seenak jinat mau main tukar. Bagaimana kalau masih harus menambah biaya? Membayangkan saja Pita pening.
"Bukan begitu," Pita mengernyit dalam. Bagian dalam pipinya ia gigit. "Tapi harganya."
Satu alis Gustav naik, melirik Pita sekilas sebelum mengembalikan pandangan pada jalanan Ibukota yang selalu padat. Gustav mendengus kecil saat pemahamannya muncul. "Kemurahan?" tanyanya dengan nada penuh ejekan. Semua perempuan memang materialistis, pikirnya.
Sombong! Pita memutar bola mata.
"Lagian kamu ambil berliannya yang kecil. Kan ada yang lebih besar." Gustav memintahkan paper bag dari Pita ke dasbor mobil. Mood-nya mendadak buruk.
"Bukan itu, Bang!"
"Lah, terus?"
"Mahal sekali," desah perempuan bertubuh mungil itu. "Kalau hilang, gaji saya seumur hidup sebagai pembantu juga nggak bakal bisa menggati cincin ini."
Gustav spontan menginjak rem dalam-dalam begitu mendengar alasan istrinya yang ... luar biasa. Membuat beberapa kendaraan di belakang mobil mereka terpaksa harus ikut mengerem. Barangkali kesal, pengendara-pengendara itu menekan tombol klakson keras-keras, lantas menyalip mobil Gustav yang akhirnya berhenti di bahu jalan demi memastikan jawaban sang istri.
"Kemahalan?" ualngnya. Nyaris tak habis pikir. Gerahamnya bahkan terbuka lebar, seolah hampir bisa menyentuh bagian bawah mobil.
Dia pikir .... Ah, wanita ini. Kenapa tak tertebak sekali?
Kemahalan? Gustav ingin tertawa keras-keras. Sangat keras seperti orang gila. Oh, bahkan saat ini pun Gustav tak yakin dirinya masih waras.
"Kenahalan?" Lagi, Gustav mengulang pertanyaan dengan nada makin tak percaya.
Pita mengangguk yakin.
"Bukannya tadi kamu denger sendiri pegawai itu bilang harganya berapa?"
"Saya kira satu koma dua juta." Pita memainkan jari-jemarinya yang ia tautkan di atas pangkuan. Merasa Gustav terlalu berlebihan karena sampai melihatnya begitu. Seolah Pita mahluk luar angkasa yang nyasar ke Ibukota.
"Kamu bercanda?" Gustav melepas tangan dari roda kemudi dan dijatuhkan secara kasar ke atas paha setengah menepuk hingga menimbulkan bunyi 'plak' keras. "Kamu tahu cincin yang saya kasih ke kamu sebelumnya?" tanya Gustav lagi, retoris. Bodohnya, Pita malah menggeleng, menjawab.
"Satu koma lima."
Mata bulat Pita makin bulat. Spontan, ia balik bertanya, "Jadi ... seandainya kemarin saya memilih kabur, cincin itu bisa memenuhi kebutuhan saya sampai mati?"
Dan ...
Ekspresi Gustav langsung berubah tegang dan keras. "Kamu berencana kabur dari saya?"
O-ow. Menyadari pertanyaan konyolnya, Pita langsung menutup mulut sambil menoleh cepat ke depan. Berusaha menghindari tatapan menyelidik Gustav.
Pita memang sempat berpikir untuk pergi saat mendapat hukuman kurung di gudang dari Resti. Hanya saja, setelah Gustav menemaninya, Pita memaksa diri bertahan. Toh, ia juga tak punya tujuan. Tak punya uang. Pergi dari Gustav bukan pilihan, kala itu.
Namun, seandainya Pita tahu kalau cincin nikah dari Gustav memang semahal itu, pasti Pita sudah benar-benar memilih pergi. Tapi, tidak sekarang. Hatinya sudah terlanjur ia serahkan.
Merasa Gustav masih menatapnya tajam dan menakutkan, Pita meringis. Perlahan ia menurunkan dua tangan yang disilang di depan bibir. "Saya kan bilang andai. Buktinya saya masih di sini. Bertahan di samping Abang, meski saya tahu suatu saat Abang akan membuang saya."
💕💕💕
Wkwkw ... si Pita konyol juga ya.
Bang Gus juga egois, ih. Nggak mau ditinggal, tapi mau ninggalin😣
08 November 2019
Repost, 03 Apr 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top