2 | Tentang Masa Depan
2
Tentang Masa Depan
💕💕💕
"Kami sudah berusaha, tapi Tuhan punya kehendak lain. Nyawa Pak Durham tidak bisa diselamatkan."
Pita langsung jatuh terduduk begitu mendengar tiga kalimat paling pengerikan setelah berita kematian ibunya. Sang ayah meninggal. menyusul mendiang ibu Pita yang lebih dulu berpulang. Sedang dirinya, lagi-lagi ditinggalkan. Sendirian.
Pipi Pita basah. Air mata jatuh tak terbendung. Terus turun tanpa suara. Jangankan berteriak, terisak pun ia tak kuasa. Suaranya mendadak hilang entah ke mana.
Pak Risman yang berdiri di sampingnya ikut berjongkok. Menepuk pelan pundak Pita sebagai bentuk dukungan. Berharap gadis muda itu bisa menghadapi cobaan ini.
"Setiap yang hidup pasti akan kembali pada-Nya, Nak. Kamu yang tabah, ya." Pak Risman berujar dengan suranya yang mendaak serak. Barangkali juga ikut kehilangan. Atau tak tega melihat kondisi Pita yang mengenaskan.
Namanya Pita. Tanpa nama tengah dan nama belakang. Dua orangtuanya adalah sepasang anak panti asuhan yang berusaha berjuang di tengah kerasnya Ibukota yang kejam. Tanpa bekal. Tanpa saudara. Dan dengan kepergian Durham, Pita praktis sebatang kara. Gadis malang.
"Kami akan segera mengurus jenazah, Almarhum. Administrasinya tolong diurus dulu," ujar si dokter lagi sebelum berlalu pergi. Meninggalkan Pita yang masih menangis serta Pak Risman yang berusaha menenangkannya. Juga, seorang lelaki seumuran ayah Pita yang berdiri tak jauh dari posisi mereka. Termangu. Tanpa sepatah kata terucap sejak Pita dan Pak Risman tiba. Mungkin beliau yang mengantarkan Durham ke sini, atau dia ... yang menabraknya?
Pemikiran tersebut sontak membuat Pita mendongak. Menatap lurus-lurus laki-laki paruh baya itu dengan dengan tatapan menuntut. Mengusap kasar air matanya yang enggan berhenti mengalir, ia bangkit. Melangkah terseok hingga berada persis tiga jengkal di hadapan lelaki berjas mengilap itu.
Dia, Wandi, menelan ludah saat mataya bersirobok dengan kelereng madu, siapa tadi namanya? Ah, Pita. yang kalau tak salah tangkap merupakan putri korban yang tak sengaja ia ... bunuh.
Wandi telah membunuh seseorang. Keringat dingin sebesar biji jagung jatuh dari pelipisnya yang mulai keriput.
"Bapak," Suara Pita serak lantaran terlalu lama menangis. Kelopaknya bengkak, serta ujung hidung semerah tomat. Dilihat dari wajah dan postur tubuhnya, dia tampak masih begitu muda. Bahkan jauh lebih muda dari Cinta. "Bapak yang menyelamatkan ayah saya?" Pertanyaan itu tak terdengar seperti pertanyaan, lebih seperti tuduhan. Tatapan Pita turun, terarah pada kemeja putih dibalik jas hitam pekar Wandi yang dilumuri darah setengah kering.
Dan Wandi tak dapat berbohong. Bahunya makin turun seiring dengan arah matanya yang teralih pada lantai. "Saya yang telah menabraknya."
Sudah bisa Pita duga. Gadis itu menutup mulut dengan tangan yang gemetar. Pak Riswan di belakang sana yang masih bisa mendengar percakapan mereka sontak berdiri. Melangkah cepat menghampiri posisi Wandi dan tanpa aba-aba langsung mendaratkan bogem mentahnya sekuat tenanga. Membuat Wandi jatuh tersungkur. Bibirnya robek dan terluka. Seakan tak ingin memberi waktu Wandi bernapas, Pak Risman kembali menyerang dengan menarik kemeja mahal yang ia kenakan. Suasan di depan ruang UGD yang sepi seolah mendukung kemarahannya. Satpam berada jauh di ujung lorong. Dan tiga suster yang bertugas masih di dalam ruangan bersama jasad sahabatnya.
"Anda tahu apa yang sudah Anda lakukan?!"
Wandi kembali bungkam. Dia tahu. tentu saja. Membunuh. Meski tak sengaja, tetap saja namanya membunuh. Dia salah. Mengemudi dengan kecepatan di atas rata-rata tanpa benar-benar memerhatikan jalanan.
Satu pukulan nyaris kembali Wandi terima. tangan Pak Risman sudah terangkat ke udara. Tapi suara lirih yang lolos dari kerongkongan Pita berhasil menarik perhatian. "Apa tuntutan orang kecil seperti kami bisa didengar?"
Oh. Jantung Wandi terasa ditinju. Menelan ludah sekali lagi, ia perhatikan sosok Pita dibalik punggung lawan pukulnya. Menelisik penampilan gadis itu yang berantakan dan tampak kumal.
Orang kecil.
Wandi harus menjawab apa? Bahwa dia salah seorang pengacara kondang yang punya koneksi dengan kepolisian dan kejaksaan? Bahwa pihak berwajib akan melepaskannya dengan mudah sekali pun Pita melapor sampai menangis darah.
Wandi punya kuasa. Namanya cukup dikenal karena sering memenangkan banyak kasus. Bila pun dia menyerahkan diri ke polisi dan mengaku telah menabrak seseorang hinggga meninggal, yang ada mereka hanya akan tertawa dan menyuruhnya pulang saja. Terlebih karena si korban hanya seorang ... rakyat kecil.
Wandi harus menjawab apa?
"Tentu tidak, Nak," alih-alih Wandi, yang menjawab justru Pak Risman. Cengkeramannya melemah pada kerah sang lawan sebelum lepas sepenuhya. Wandi yang mendadak lemas, langsung jatuh tertduduk. Dua kakinya serasa tak lagi punya kekuatan. "Siapalah kita bagi orang besar? Mereka punya banyak uang. Mereka bisa membeli segalanya. Termasuk harga diri seseorang."
Berusaha tegar, Pita berbalik badan. Punggungnya makin terguncang. Gadis muda itu mejatuhkan diri pada bangku panjang di depan ruang UGD sambil mmeluk diri sendiri. Terlihat begitu lemah dan menyedihkan. "Kalau begitu, Bapak pulang saja. Toh, Bapak tidak ada gunanya di sini. Tapi tolong, lunasi biaya rumah sakit. Karena ... karena kami tidak sanggup." Saat mengatakannya, Pita bahkan tak sudi menatap Wandi.
Dan rasa bersalah itu kian mencengkeram makin erat. Wandi ingin melakukan sesuatu. Apa pun sebagai penebusan dosa. "Sa ... saya akan memberikan santunan," ujarnya terbata.
Pita yang masih terguncang, sontak marah mendengar penuturan itu. Ia menghunus Wandi dengan tatapan matanya yang tajam. "Apa Bapak kira semua bisa selesai dengan uang? Kalau uang memang bisa membeli segalanya, apa Bapak bisa gunakan seluruh harta Bapak untuk kembali menghidupkan ayah saya?!"
"Pita!" Pak Risman menegur. Dia juga marah dengan Ridwan yang dengan ceroboh menabrak sahabatnya. Tapi mendengar kata 'uang santunan' terucap dari si manusia kaya, Risman mulai melunak. Pita jelas butuh uang. Banyak uang untuk kelanjutan hidup. Gadis malang itu hanya bekerja sebagai palayan rumah makan kecil. Gajinya 30 ribu perhari tanpa makan siang. "Ingat, kamu punya hutang sama Juragan Basir. Kalau orang kaya ini bersedia memberikan santunan sebanya yang kita minta, hutang kamu bisa—"
"Setelah hutang lunas, lalu apa, Paman?" potong Pita cepat. Air matanya menetes makin deras. Ya, hutang itu. Oh Tuhan! "Apa setelah hutangnya lunas," ujarnya disela isak, "adakah jaminan Juragan Basir akan lepasin Pita?" Pita tercekat. tenggorokannya makin sakit. Dadanya sesak. Menyiksa sekali.
Pak Risman terdiam. Satu tetes air matanya lolos, namun sebelum meluncur, segera ia hapus. Pita benar. Tanpa Durham, gadis itu tak lagi punya tempat berlindung. Juragan Basir, pemilik rumah kontrakan mereka akan makin semena-mena padanya. Terlebih, sejak awal lelaki beristri tiga itu sudah menaruh perhatian lebih pada putri sahabatnya yang memang cantik. Bahkan sejak Pita menginjak usia emapt belas tahun. Dia ingin menjadikan Pita istri keempat.
"Maaf, Ta. Paman tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu kamu."
Pita menggeleng pelan. Punggung tangannya ia gunakan untuk mengelap ingus. "Bukan salah Paman. Mungkin sudah takdir." Mengangkat pandangan, ia menatap Pak Risman dengan senyum dipaksaan. "Menjadi istri keempat Juragan Basir mungkin nggak akan seburuk yang Pita bayangkan."
Yah, tidak seburuk. Melainkan lebih buruk. Sangat Buruk. Juragan Basir merupakan laki-laki berusia 45 tahun dengan perangai jelek dan ringan tangan. Dan mata keranjang.
Pita sesegukan. Dirinya kehilangan, tapi seolah tak diberi waktu untuk beduka, karena kenyataan masa depan yang mengkhawatirkan menyita separuh pikirannya. Membuat kesedihan itu kian terasa dalam. Hidup seperti sebuah beban berat yang ditimpakan di atas kedua pundaknya yang lemah.
Wandi yang sejak tadi diam-diam memerhatikan obrolan pelan dua manusia itu, berusaha bangkit di atas kedua kakinya yang masih terasa lemas. Di perhatikannya sosok Pita sekali lagi. Yah, dia sangat muda. Cantik. Sebatang kara dan butuh perlindungan. Dunia seolah musuh yang nyata baginya.
Sedang Wandi, duda. Sama-sama hidup sendiri meski dalam konteks berbeda. Dia bisa memberi Pita perlindungan. Dan butuh teman.
Wandi bisa menjadikan Pita anak angkat, ah ... tapi, tidak. Dia laki-laki normal yang dewasa. Masih cukup prima di usianya yang ke 55 tahun. Satu-satunya wanita yang terbayang sebagai istri hanya sosok Resti. Tapi, Resti menolak kembali. Tidak salah kan, kalau ia menikah lagi.
Dengan gadis belia yang bahkan jauh lebih muda dari putri bungsunya. Tentu saja tidak.
Menarik napas, Wandi bersuara, "Saya duda. Saya bisa menjamin keamanan hidup kamu. Kalau menjadi istri saya, apa kamu mau, Pi-Pita?"
Satu detik selepas kalimat itu terlontar, detik itu pula tubuh Wandi kembali terjungkal.
Risman kembali memukulnya lantaran mulut Wandi yang begitu lancang.
***
"Kalau mobil listrik tipe ini bagus nggak sih, Bang?" tanya pemuda itu sambil menunjuk gambar salah satu mobilmewah dalam katalog supercar di showroom milik kakak iparnya.
Gustav mengembuskan asap rokoknya yang berbentuk donat ke udara sebelum meletakkan nikotin yang hampir habis itu ke pinggiran asbak. Menurunkan kaki kanan yang ditimpakan ke atas kaki kiri, ia mengubah posisi duduk. Mencondongkan tubuh ke arah meja. Menatap gambar dalam katalog yang ditunjuk adik iparnya.
"Oh, itu," tanggapnya enteng. "Bagus. Tapi kalo buat lo, gue saranin yang tipe X aja. Lebih gede."
"Yang tipe X lebih mahal, ya?"
"Selisihnya dikit, kok."
"Berapa?"
"Cuma dua ratusan ribu doang."
"Gila! Dua ratusan ribu dollar lo bilang cuma!"
"Jangan sok susah deh! Lagian, emang lo serius mau beli?
"Pengennya sih, nggak. Tapi, adik lo tuh. Ngidamnya beginian gara-gara liat lo ngiklan di ig," ujarnya setengah menggerutu.
Gustav yang mendengarnya spontan tertawa, "Hahaha ... kalo dia gue percaya. Beda jauh sama Cinta. Nikmati ajalah."
"Nikmati! Gue harap lo juga bakal menikmati masa-masa kelimpungan kayak gue."
Gustav tersenyum setengah mendengus. Malas menanggapi kalimat terakhir Iron yang mengingatkannya pada percakapan dengan Resti malam tadi. Gustav tak ingin menikah, otomatis ia tak pernah berharap bisa memiliki keturunan. Kalau pun menginginkan seorang anak, ia bisa merawat bayi Lumi atau Cinta nanti. Dia tidak akan kesepian seperti kata ibunya. Hidup terlalu berharga untuk dihabiskan hanya dengan memikirkan tentang masa depan suram.
"Emang Lumi pengen banget mobil kayak gitu? Kalo menurut lo nggak terlalu butuh, ya jangan." Gustav mencoba mengembalikan pembicaraan pada topik semula. Tak ingin percakapan mereka melebar ke mana-mana.
Yang ditanya mendesah dramatis setengah meringis. "Nggak sih," katanya sambil menggaruk kepala. "Dia malah nggak ada bilang apa-apa sama gue."
"Lah," Gustav mengubah tumpuan kaki sembari menjentikkan ujung rokok ke asbak di tengah meja, "bukannya tadi lo bilang dia ngidam?"
"Lo tuh, racun banget!" tuding Iron. "Pas liat postingan lo yang sok keren di ig bareng mobil ini dia kayak mupeng gitu. Diliat berulang-ulang. Kayak pengen banget tapi berusaha nahan diri. Lo tahu sendiri kan, belakangan dia udah nggak pernah minta apa pun lagi sama gue kecuali emang beneran butuh. Kadang gue kesel sendiri."
Gustav tersenyum separuh mendengar gerutuan Iron yang ... terdengar manis. Ah, laki-laki dan manis bukan perpaduan yang sempurna. Terlebih bila manusia itu Iron yang ... dulu pernah mengikrarkan kebencian setengah mati pada Lumi. Tapi, lihat sekarang. Dia tampak benar-benar sudah diperbudak oleh cinta. Menyesap putung rokok pelan, Gustav embuskan asap putih mengepul itu ke udara sambil menatap langit-langit.
"Kalian udah ada dua mobil di rumah. Emang Lumi nggak bakal marah kalo lo nambah lagi?"
"Gue ada rencana jual yang Audi sih."
"Jadi fix beli?"
"Kalo liat-liat dulu boleh nggak?"
"Bisa. Tapi adanya cuma yang S. Seri X ada tiga, tapi udah punya orang."
"Tapi sama aja kan, Bang."
Gustav mengembuskan sesapan terakhirnya sebelum mematikan putung rokok dan membuang ke asbak seraya berdiri. Jasnya yang sedikit kotor lantaran rokoknya tadi ia bersihkan pelan dengan tangan. Lantas melangkah dari ruang khusus nikotin itu. Membimbing Iron melihat contoh salah satu koleksi showroom-nya berada.
Showroom Gustav terbilang besar. Berdiri tiga lantai di daerah Jakarta Selatan. Mobil-mobil mewah berderet di sana. Bantley, Lamborghini, McLaren, Aston Martin, Tesla. Yang terahir adalah jenis yang Lumi taksir. Dan semua kereta besi itu bernilai milyaran rupiah.
Iron melambatkan langkah saat melewati satu ruangan yang berbeda. Terdapat dua mobil di sana. Koenigsegg dan Bugatti. Dua jenis mobil yang dijuluki hypercar. Iron tidak begitu tahu perbedaan mobil itu dengan mobil mewah lainnya. Yang Iron tahu hanya harganya yang selangit. Buggati 90 miliar, sedang Koenigsegg 64 miliar. Dan Iron sama sekali tak tertarik memilikinya. Uang sebesar itu lebih baik ia investasikan pada properti yang selalu naik setiap tahun. Bukan pada otomotif yang biasanya suka turun.
💕💕💕
Buat yang nggak suka drama, harap melipir ya, karena cerita ini sinteron banget. Mirip-mirip FTV azab kayaknya😂
Tapi apalah arti drama saat hidup kita juga penuh drama. Ye, kaaannn ....
18 Okt 2019
Repost, 19 Feb 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top