18 | Hati yang Tercuri

18
Hati yang Tercuri
💕💕💕

Dia yang meminta untuk tidak dihiraukan, maka abaikan saja!

Gustav menyendok nasi dari piringnya. Menyupakan ke dalam mulut dengan gerak pelan. Lalu dikunyah. Namun, entah mengapa geraham Gustav tak bisa melakukan tugas ringan itu. Barangkali karena nasi yang keras atau giginya yang mendadak lembek. Tak tahan, ia telan makanan dalam mulut setengah bulat. Dan ... langsung diteguknya segelas air miniral yang sudah tersedia di atas meja. Krongkongan Gustav sakit bagai menelan kerikil.

Sial.

Dia meminta untuk tak dihiraukan, maka abaikan saja!

Menarik napas, Gustav berusaha lagi. Mengambil makanan dengan sendok meski tak sesemangat sebelumnya. Lantas mengangkak ke depan bibir, namun satu detik sebelum benda logam berisi tumpukan butiran nasi itu ia masukkan ke dalam mulut, ujung matanya yang mendadak tajam, tak sengaja melirik sosok Pita yang melintas di dekat tangga. Perempuan keras kepala itu bergerak gesit membersihkan seluruh penjuru rumah. Kain lap tersampir di bahunya yang dibalut kaos berlengan panjang warna biru. Kerudungnya diikat sederhana ke belakang dengan rok plisket senada hijabnya.

Dan ... napsu makan Gustav hilang.

Dia meminta untuk tak dihiraukan, maka abaikan saja!

Tapi, bagaimana Gustav bisa abai saat kata-kata Pita semalam berhasil menamparnya dengan begitu keras. Sangat keras hingga lelaki itu merasa menjadi laki-laki paling berengsek di dunia. Gustav bahkan tak bisa tidur dibuatnya!

Meletakkan sendok kembali ke atas piring, nyaris membanting, ia tuang lagi air ke dalam gelas yang sudah kosong. Lantas diminum dalam beberapa kali teguk. Tapi, ulu hati Gustav masih panas. Kerongkongannya tetap saja kerontang, dan dadanya sakit.

Dasar wanita sialan! Gustav mengumpat dalam hati. Menjauhkan piring yang masih terisi penuh dari hadapannya, ia dorong kursi yang ditempati ke belakang, menimbulkan bunyi berderit lantaran gesekan kaki kursi dan lantai. Lalu bangkit berdiri. Tak lagi bernapsu meski perut keroncongan.

Demi Tuhan dia belum makan sejak semalam.

"Gus, nasi di piring kamu belum habis."

"Aku kenyang!" Gustav bahkan sama sekali tak menoleh pada ibunya saat bicara.

Dia meminta untuk tak dihiraukan, maka abaikan saja!

Gustav bergerak mejauhi meja makan. Bermaksud kembali ke kamar. Ini sabtu, Gustav malas ke mana-mana. Namun, kaki-kaki sialan itu, alih-alih melangkah menuju tangga, justru berjalan menuju ruang tengah tempat istrinya membereskan meja ruang keluarga yang berantakan.

Sejenak Gustav bingung. Demi apa dia ke sini? Tidak mungkin untuk menonton televisi, karena di kamatnya tersedia satu unit berukuran sama besar.

Tapi, sudah terlanjur. Duduk saja sekalian. Di meja tepat di tengah ruangan, ada tumpukan majalah koleksi Resti. Barangkali ada yang cocok Gustav baca—lupakan bahwa ibunya sangat menggilai fashion dan sama sekali tidak menyukai otomotif.

Berdeham, Gustav melanjutkan langkah dengan lebih ringan. Ia mengambil tempat di salah satu sofa tunggal. Lantas menjatuhkan bokong penuh harga diri. Dua tungkainya ia silang. Tatapan mata meliar, sesekali melirik Pita yang tampak merapikan majalah-majalah yang tadi dimaksud, diam-diam.

Tangan-tangan Pita bergerak lincah. Tumpukan majalah ibunya disusun berdasarkan edisi terbit dan ditaruh di tengah meja, tepat di samping kanan pot bunga kecil. Jari-jari lentik itu sesekali mengibas debu tak kasat mata di atas taplak bercorak serabut yang baru diganti kemarin lusa, Dan otak Gustav yang korslet lantaran kurang tidur tadi malam, membayangkan kegiatan apa saja yang—lebih menyenangkan—bisa jari-jemari istrinya lakukan selain bebersih.

Ugh, sial! Demi Tuhan barj seminggu lebih beberapa hari! Sebelum ini bahkan ia bisa bertahan dua tahun.

Menarik napas, Gustav berdeham.lagi sambil pura-pura menatap ke seluruh penjuru ruangan.

Saat Pita meraih remot tivi dari ujung meja untuk dirapikan serta bersama remot ac ke kantung penyimpangan yang tersampir di sandaran sofa panjang, buru-buru Gustav memajukan tangan, ikut mengambilnya hingga tangan mereka nyaris bersentuhan. Dan seolah terkena aliran listrik bertegangan tinggi, Pita langsung melepas benda panjang bertombol banyak itu. Lanjut membereskan taplak meja lagi dengan gerakan rikuh. Kemudian lanjut membersihkan sofa dengan vacum cleaner. Sepenuhnya mengabaikan Gustav seolah laki-laki itu tak pernah ada.

Sial!

Dia meminta untuk tak dihiraukan, maka abaikan saja!

Hah, siapa yang minta tak dihiraukan dan siapa yang malah diabaikan!

Gustav berdeham dongkol. Ia mengubah posisi kaki-kakinya dengan punggung yang masih sekaku papan triplek. Berlagak seorang diri di ruangan besar ini demi membalas sikap tak acuh perempuan kecil tak tahu diri itu, ia arahkan remot yang tadi direbutnya ke arah televisi, lantas menghidupkannya.

Suara salah satu artis kenamaan yang memandu suatu acara pagi langsung mengudara. Menggosipkan artis lain dengan nada nyinyir. Gustav tak peduli, demi Tuhan! Dia sama sekali tak bermaksud menonton TV. Persetan dengan acara apa pun yang tayang.

Melirik diam-diam, ia dapati Pita yang sudah selesai dengan alat vacum cleaner, dan kini sudah pindah mengelap kaca bufet.

Gustav berpikir, apa yang harus ia lakukan pada manusia yag sejak semalam menghuni kepalanya itu?

Gustav merasa ... baiklah, bersalah. Kata-katanya teralu kasar. Dan, ya. Meskipun ia tak ingin mengakui Pita pada siapa pun, Pita berhak mendapkan uang bulanan darinya tanpa dia harus membalas jasa dengan bersikap bagai pebantu.

Ah, Pita bekerja sebagai pembantu, kemungkinan sejak mereka menikah, dan Gustav belum memberi apa-apa. Ini lebih dari sekadar keterlaluan.

Namun sekarang, Gustav harus apa? Gustav ingin segalanya kembali seperti sedia kala. Ia tak bisa menanggung perasaan mengganjal ini lebih lama. Lebih-lebih, kebutuhannya yang mendesak butuh disalurkan.

Saat Pita berbalik badan ke arahnya usai mengelap kaca bufet, Gustav langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak ingin ketahuan tengah memerhatikan.

Dan ... tidak. Pita memang berbalik ke arahnya, tapi bukan untuk bergerak padanya, melainkan berjalan melewati tempat Gustav duduk bagai raja.

Berjalan melewati Gustav.

Melewati Gustav!

Melewati!

Dengan tatapan lurus ke depan. Tidak menoleh kanan-kiri.

Dan entah kenapa, Gustav kesal! Dia ada, demi Tuhan, dia ada di ruang yang sama, tapi Pita tetap keras kepala bersikap seolah dirinya sendirian saja.

Baiklah, istrinya berkeras memerankan posisi sebagai pembantu, kan? Pembantu harusnya menunduk sopan saat melewati sang tuan, bukan main nyelonong!

"Pita!" Gustav bukan jenis manusia dengan kesabaran tak terbatas. Oh, bahkan bisa dikatan, ia sama sekali tak memiliki kesabaran.

Pita meminta tak dihiraukan, tapi Gustav justru tidak bisa abai! Bukankah ini aneh?

"Ya?" sahut Pita dari balik punggung Gustav tanpa repot-repot berbalik badan.

Menegakkan bahu yang sudah tegak menjadi lebih tegak, dagu Gustav diangkat tinggi. Dengan punggung selurus papan kayu, ia bersandar pada bagian belakang sofa hingga tampak aneh. "Ke mari!" perintahnya dengan suara angkuh.

Pita tak menyahut lagi. Ia hanya menuruti perintah lelaki itu. Berderap mendekati si pemanggil dan berdiri di sisinya.

Menarik napas dalam, Gustav tak sengaja menghidu aroma parfum murahan Pita samar-samar. Aroma manis yang hampir sama dengan bau cokelat, membuat ia tambah lapar. Namun bukan lapar dalam arti yang sebenarnya.

"Jadi kamu masih akan tetap keras kepala bermain drama istri rasa pembantu?"

"Mungkin maksud Abang pembantu rasa istri," dan si keras kepala kembali membantah. Membuat Gustav berpikir, apa perbedaan dari dua kalimat itu? Tapi, ah, sial! Bukan itu intinya.

"Jadi, benar?"

"Maaf."

"Jawabannya hanya dua, Pita. Benar atau tidak?!"

Gustav tak bodoh. Ia tahu betul maksud dari kata maaf yang Pita layangkan, hanya saja ... ugh, entahlah.

"Benar."

Lalu apa? Pita sudah mengakui. Dan Gustav malah masih harus berpikir untuk pemilihan kata selanjutnya.

Pita sudah membuat keputusan, tapi Gutav belun. Dan ... oh, ayolah. Kenapa dia menunduk dengan dua tangan di depan perut sambil memegang kemoceng dan lap meja? Gustav jadi benar-benar merasa berbicara dengan pembantu alih-alih istri. Terlebih, perasaan ini sungguh tak tertahan.

Perasan bersalah, tentu saja.

Haruskah ia minta maaf?

Ah, tidak. Pita juga bersalah. Pita tahu jenis pernikahan apa yang mereka jalani, dan harusnya ia sudah mengerti.  Tak seharusnya Pita mengambil hati atas setiap kata yang ia ucapkan, kan?

"Baiklah," Gustav berucap lamat-lamat, semata karena sambil berpikir keras hingga kabel-kebel di otaknya nyaris benar-benar korslet, "Saya akan menggaji kamu sesuai permintaan kamu semalam."

"Terima kasih."

Hah?

Hanya itu? Gustav mendongak. Menatap Pita ... ingin mencekiknya. Tak tahukah dia, dibutuhkan sesuatu ... apa sebutannya yang benar? Usaha meruntuhkan harga diri? Oh, tidak. Itu terlalu berlebihan. Intinya, dibutuhkan sesuatu dalam diri Gustav. Sesuatu yang besar hingga ia bisa mengalah dan mengajak manusia satu ini bicara. Manusia sialan yang sepertinya tak bisa menghargai pengorbanan seorang Gustav.

Dan dia membalasnya hanya dengan ucapan 'terima kasih'? Terpuji sekali! Gustav menggeram pelan.

Hatusnya Gustav mendapat pelukan!

"Kalau hanya itu yang ingin Abang sampaikan, saya mohon undur diri. Masih banyak pekerjaan di belakang yang harus saya selesaikan," Dia bicara lagi. Dengan pilihan kalimat yang lagi dan lagi membuat perut Gustav melilit lantaran bertambah kesal.

'Hanya itu' katanya? Hanya itu!

Saat Gustav sampai tak tidur semalaman hingga matanya memerah demi memikirkan bagaimana cara mengajak Pita kembali bicara dengan benar setelah perdebatan ssngit mereka, dan istrinya yang tidak tahu diri menyebut segalanya dengan 'hanya itu'. Gustav sampai tak enak makan. tak enak hati. Bahkan irama jantungnya terdengar tidak enak sama sekali! Bernapas pun terasa salah.

Oh, apa yang ia pikirkan?

Hanya itu!

Tak kuasa menahan gondok, Gustav meraih bungkus rokok di saku bajunya. Mengambil satu batang, ia jepitkan linting panjang itu ke celah di antara apitan bibir. Gustav sudah akan meyulut api, tapi sebelum korek di tangan kirinya ia petik, sebuah ide kembali muncul di otaknya yang cemerlang.

Berdeham entah ke berapa kalinya pagi ini, Gustav sodorkan korek itu pada Pita tanpa menoleh. Tatapannya masih angkuh terarah pada layar berukuran empat puluh dua inchi yang menempel di dinding ruang tengah.

"Ini ..." Pita bertanya ragu, "untuk apa?"

"Masak!" Gustav memutar bola mata, "Ya buat nyulut rokok sayalah," Ia mendelik pada Pita dengan rokok yang masih terapit di bibir. "Cepat. Mulut saya asam."

"Baik." Pita mengambilnya. Menyentuh bagian ujung korek yang Gustav sodorkan dengan tangan kiri, seolah takut sekali kulit mereka bersentuhan. Padahal Gustav tidak ada penyakit kulit apa pun. Dan hal tersebut cukup membuatnya tersinggung.

Mematik sekali, nyala api kecil muncul. Pita dekatkan pada ujung rokok suaminya. Gustav hisap linting panjang itu hingga bagian yang terkena api mulai terbakar.

Setelahnya, Pita letakkan korek tadi ke atas meja tepat saat Gustav mengembuskan asap putih dari nikotin yang ia sesap. Pita yang tak pernah menyukai asap rokok, terbatuk. Ia menutup hidung dan mulut dengan satu tangan sembari mengambil dua langkah mejauh dari suaminya.

Melihat reaksi Pita, kening Gustav mengernyit. Ia mengambil rokok dari bibirnya menggunakan dua jari, lantas bertanya, "kamu kenapa?"

"Dada saya sesak setiap membaui asap rokok."

Dan hanya dengan mendengar satu kalimat itu saja, Gustav langsung menyudutkan bagian ujung nikotinnya pada asbak di atas meja. Hanya karena tak ingin ada seseorang yang mati karenanya.

"Oh, saya tidak tahu," katanya pelan. "Tapi, kamu tidak apa-apa, kan?"

Tatapan Pita lurus pad aasbak rokok di meja dengan sorot aneh. Perlahan, tangannya yang semula menutup hidung, Pita turunkan kembali ke depan perut. Meremas kain lap dengan gugup.

Tidak, jangan gugup. Pita menarik napas pelan. Karena gugup bisa membawa petaka. Setiap kali gugup, gagunya akan kambub lagi

Tapi, kenapa Gustav sampai emmatikan rokok hanya karenanya? Dan perasaan Pita yang lemah, kembali tersentuh lantaran merasa sedikit dihargai.

Dulu saja, Juragan Basir, seseorang yang katanya menyukai Pita, tak pernah mau repot-repot mematikan rokok saat dk dekat Pita meski ia sudah terbatuk-batuk lantaran asapnya yang mengepul dan bau.

Pita menunduk. Dia harus cepat-cepat kembali ke belakang sebelum terlanjut terbawa perasaan. Sebelum hatinya yang lemah tak bisa lagi tertolong.

Mengencangkan cemgkeraman pada kain lap untuk menekan gugup, ia berucap, "Ka-kalau ..." Suara Pita tersendat. Gustav menoleh dengan kerutan dalam di kening. "Kalau begitu saya izin ke belakang," lanjutnya. Dan tanpa menunggu balasan dari sang lawan bicar, cepat-cepat Pita berbalik. Pergi secepat mungikin, menjauh dari Gustav yang tak pernah bisa ia tebak.

Lebih dari itu, perut Pita yang sejak subuh terasa aneh, kembali bergejolak. Wanita itu pun makin menpercepat gerak kakinya. Alih-alih ke dapur, Pita justru berbalik ke arah kamar mandi. Alat-alat di tangannya ia lempar sembarangan saat gejolak itu makin tak tertahan.

Mendekat ke arah wastafel, ia membungkuk dalam. Memuntahkan segala isi dalam perutnya yang hanya berupa cairan bening. Ah, Pita ingat ia belum sarapan. Waktu santap malam pun terlewat bgitu saja lantaran terlanjur emosi lantaran perdebatan berdebat dengan Gustav.

Pita mual mungkin karena asam lambungnya naik sebab terlalu lapar. Atau karena asap rokok Gustav tadi.

Entahlah. Yang pasti ia lapar.

Membasuh sekitar mulut dengan air keran, Pita mendongak menatap cermin. Wajahnya tampak kuyu dan lesu. Kantung matanya sedikit kehitaman. Pita memang kurang tidur akhir-akhir ini. Mengedip sekali, ia dapati pipinya merona. Merah, dan makin pekat saat mengingat Gustav mematikan putung rokok hanya karena mengkhawatirkannya.

Gustav, setidaknya dia masih sedikit peduli.

Hati Pita yang lemah, barangkali sudah terlanjur tercuri. Bahkan mungkin sejak ciuman pertama itu terjadi. Hal terakhir yang Pita inginkan selama ini, karena semua akan lebih menyakitkan saat drama mereka berakhir nanti.

💕💕💕

Wkwkwkw... Bang Gusnya snewen.
Pita maagnya kambuh😌
Tapi, sejak kapan Pita punya maag ya?
🤣🤣🤣

06 Nov 2019
Repost, 26 Mar 2022



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top