17 | Istri Rasa Pembantu
17
Istri Rasa Pembantu
💕💕💕
Pita berjalan setengah berlari menuju dapur, bersandar pada dinding dekat pintu. Tas belanjaannya jatuh dari genggaman, pun tubuh Pita yang tak lagi kuasa berdiri. Seluruh badan wanita itu gemetar. Sangat gemetar. Matanya sudah berembun, siap menumpahkan tangisan.
Oh, Tuhan, gumamnya. Apa yang sudah ia lakukan. Ia menutup wajah dengan dua tangan yang masih tremor. Nyaris tak sadar dengan apa yang terjadi beberapa saat lalu di pintu depan.
Pita melawan Gustav!
Demi apa dia bisa seberani itu melawan suaminya yang pemarah.
Ada rasa tak percaya, takut sekaligus senang yang menyerbu bersamaan begitu menyadari dirinya seberani tadi. Lebih dari itu, Pita masih ingin menangis. Entah karena apa. Barangkali karena Gustav tak menyangkal celetukan kawannya yang menyebut Pita sebagai pembantu. Atau karena hal lain seperti ... rindu.
Entahlah. Yang pasti, Pita benci keadaan seperti ini. Keadaan yang seolah membuatnya tak bisa bernapas dengan lega. Keadaan yang membuatnya selalu ingin melakukan sesuatu. Karena setiap kali diam, yang terputar dalam benak hanya kata-kata Gustav di kala siang menjelang sore hari itu. Hari yang menjadi awal mula hubungannya menjadi buruk dengan Gustav.
Pita tahu kehidupan pernikahnnya mungkin tidak akan lama. Pita tahu. Tapi, kenapa Gustav harus menegaskan lagi. Di depan Cinta, tepat setelah Pita menceritakan hampir segalanya. Pita benci diberi tatapan mengasihani. Dia benci membuat orang lain merasa iba.
"Pita, kamu kenapa?"
Bi Minar. Pita menurunkan tangan dari wajah yang sengaja ia tutupi. Tatapan nanarnya jatuh pada wanita 34 tahun itu yang kini bergerak mendekat dengan sedikit rasa khawatir dalam tatapan matanya.
Tubuh Pita masih gemetar, dan ia tak mau repot-repot menutupi semua itu dari pandangan Bi Minar. "Saya," ia membasahi bibir yang mendadak kering, "Saya kayaknya nggak enak badan, Bi. Boleh minta tolong bereskan semuanya? Sepertinya saya butuh istirahat."
Dan tanpa menunggu jawaban dari Bi Minar, Pita langsung bangkit berdiri. Membawa kakinya yang mendadak bagai jeli untuk bergerak. Meninggalkan dapur menuju kamarnya sendiri.
💕💕💕
Gustav mengembuskan asap rokok ke udara. Berharap segala kecamuk dalam benak ikut pergi bersama dengan gumpalan putih bulat yang perlahan mulai terurai itu.
Pita, desahnya dengan bibir mencebik. Antara kesal, geram dan penasaran.
Apa yang terjadi dengan perempuan itu? Perempun kecil yang berani, apa katanya tadi? Menghindar? Menghindari Gustav lebih dari satu minggu. Membuat Gustav nyaris kelimpungan karena kebutuhan biologisnya tak terpenuhi?
Sial!
Mendekatkan putung rokok kembali ke bibirnya yang kecoklatan, Gustav hisap benda itu dalam. Sangat dalam hingga dadanya terasa sakit, lalu ia embuskan lagi sebelum linting nikotin tadi ia banting ke dalam asbak.
Pita sudah mulai berani sekarang. Dia bahkan mengajari Gustav cara mengeja nama dengan benar, seolah Gustav manusia yang tak pernah menginjak lantai sekolahan. Padahal, siapa yang punya riwayat pendidikan rendah di sini?
Tidak. Gustav tidak bisa terus-terusan begini. Perempuan itu harus diberi pelajaran. Karena kalau dibiarkan, lama-lama Pita bisa melunjak.
Mengabaikan laporan keuangan yang harus diperiksa hari ini, Gustav bangkit berdiri. Mengambil ponselnya di meja, ia masukkan serampangan ke saku kemeja, lantas bangkit. Bergerak menuju pintu ruangan yang tertutup rapat.
Gustav harus pulang. Tak peduli bahwa matahari belum tenggelam dan jam masih menunjuk angka empat sore. Pas.
💕💕💕
"Kamu gimana, sih? Kerja nggak pernah becus. Lihat, karpet saya jadi kotor, kan? Cepat bersihkan!"
Gustav baru sampai saat mendengar teriakan ibunya dari dalam rumah. Menggeleng maklum, ia terus melangkah semakin dalam. Lelah dan kesal. Mobilnya mogok di pinggir jalan hingga ia harus menelepon pihak bengkel untuk mengurusnya. Jadilah Gustav pulang menggunakan taksi online. Dan sampai di rumah saat sudah lewat isya.
Lima langkah memasuki pintu utama, Gustav tertegun saat melihat pemandangan tepat di depan matanya.
Pita, manusia yang seharian Gustav pikirkan, istrinya yang tadi pagi mengeluarkan taring setelah sekian lama berdiam dalam topeng lugu itu sedang menggulung karpet ruang tengah. Sedang Resti berdiri membelakangi Gustav dengan dua tanga terangkat ke pinggang. Sesekali mendumel marah.
"Makanya, lain kali kalau punya mata tuh dipake. Awas ya kalau sampai besok karpet itu belum bisa digelar la—"
"Apa yang Mama lakukan?" Lelah Gustav menjadi amarah. Ia berderap dengan langkah berat menuju posisi ibu dan istrinya berada.
Resti yang mndengar suara dalam putranya, kontan menoleh ke belakang. Dua tangan di pinggang ia turunkan kembali ke sisi tubuh.
"Kamu sudah pulang, Sayang?"
"Gus tanya, apa yang Mama lakukan?" Nada suara Gustav makin dalam. Ia berheti tepat di depan ibunya dengan ekspresinya yang berubah keras.
"Gustav—"
"Kenapa Pita meggulung karpet?" Ia menunduk, menatap ke balik badan Resti. Pada tubuh kecil Pita yang mendadak membeku sejak pertama mendengar suaranya mengalun dalam rumah ini.
"Dia nggak becus kerja. Masa minuman Mama ditum—"
"Kerja?" Gustav bertanya tak percaya. Kepalanya meneleng ke kiri. Matanya menyipit tajam, menatap Resti seolah melihat pencuri yang berani mengambil berlian tepat di depan hidungnya. Setengah ngeri, marah, dan ... entahlah. Yang pasti, aliran darah Gustav terasa melaju kian cepat dan panas.
Sialan. Apa selama ini begini istrinya diperlakukan? Di rumah Gustav sendiri?
Dia memang dari kalangan bawah! Bukan wanita pilihan. Berpendidikan rendah. Tapi, Pita istrinya! Gustav memang menempatkan Pita di kamar pembantu, karena hanya kamar itulah yang Resti perbolehkan untuk Pita tempati. Dan karena kamar pembantu di rumah ini masih cukup layak. Tapi, bukan serta-merta menganggap Pita juga pembantu!
Apa kata dunia nanti? Gustav, pebisnis supercar yang sukses di usia muda, memperlakukan istrinya yang rendahan bagai asisten rumah tangga?
Gustav memang tidak ingin dunia tahu tentang Pita, tapi bukan begini juga caranya.
"Berdiri!" Suara Gustav meninggi. Tapi bukan kepada Resti, melainkan istrinya yang keras kepala, yang setelah ketertegunannya berusaha kembali melanjutkan pekerjaan. Menggulung karpet besar dan tebal ruang tengah yang selama ini menjadi alas sofa. Kembali mengabaikan Gustav sepenuhnya.
Yang diseru, tak mengindahkan. Gustav yang tak sabar lantas berderap, melewati tubuh tambun ibunya menuju posisi perempuan itu, lantas meraih lengannya kasar.
"Berdiri saya bilang!"
Pita tak membantah. Hanya masih diam. Gustav menyeratnya ke hadapan Resti. Tak perduli wajah Pita yang kembali datar seperti tadi pagi.
"Dia istriku, Ma!" desisnya, "Dia masih istriku dan Mama berani memperlakukannya seperti pembantu?"
"Gustav," Resti tak mengerti, kenapa anaknya semarah ini. "Dia memang pantas jadi pembantu! Kalau tidak bekerja seperti yang lain, lalu apa gunanya dia di rumah ini? Enak-enakan makan dan tidur begitu? Sedangkan semua kebutuhannya kita penuhi—"
"Aku yang penuhi. Bukan kita!" Lagi-lagi Gustav menyela. Cengkeramannya pada lengan Pita mengerat, namun saat mendengar ringis kesakitan perempuan itu, perlahan cengkeramannya ia longgarkan tanpa sadar. "Sekali pun dia hanya makan tidur di rumah ini, terserah dia selama menurtku tidak mengganggu," tegasnya lamat-lamat dan penuh penekanan. "Ini rumahku, Ma. Aku berhak megatur setiap orang yang tinggal di bawah propertiku."
"Gustav," Resti melangkah mundur, menatap putranya yang tampak asing dengan sorot nyalang. Gustav tidak pernah berani marah padanya. Tapi, semenjak kedatangan Pita ke rumah ini, sudah dua kali mereka bertengkar. Penyebabnya sama. Karena wanita pilihan Wandi untuk putra mereka. "Kamu—"
"Tolong jangan salahkan Bu Resti." Pita angkat suara. Memutus kalimat ibu mertuanya yang belum tergenapi. Praktis menarik perhatian dua manusia lain di ruangan ini.
Resti yang ikut marah, menatap Pita penuh benci.
"Saya mengerjakan semuanya karena keinginan saya sendiri," lanjut wanita muda itu, "dan saya melakukan kesalahan, wajar kalau beliau marah," lanjutnya dengan tatapan entah ke mana. Yang pasti tidak pada Gustav, tidak juga pada Resti. Tidak juga menunduk. Mata perempuan itu lurus, mengarah pada tembok ruang tengah tanpa fokus.
"Apa maksud kamu?" Tangan Gustav masih belum lepas mencengkeram legan kanan Pita yang ... lembut. Membuatnya mati-matan harus menahan diri agar tak lantas menyeret istri kecilnya ini ke kamar. Detik itu juga.
Oh, tidak. Ingat, mereka masih terlibat perselisihan yang sangat perlu diselesaikan!
"Tidak ada maksud apa-apa, hanya sekadar meluruskan kebenarannya," lanjut Pita, berusaha menahan ngilu pada bagian lengan yang Gustav cengkeram. Ia tidak sepenuhnya berbohong. Awal-awal memang terasa berat dan terpaksa, tapi makin ke sini, Pita menikmati perannya sebagai pembantu dan melakukannya karena kehendak sendiri. "Dan kalau Abang keberatan dengan keinginan saya atau merasa bersalah," ia mendongak, tatapannya kosong, "cukup beri saya gaji seperti pekerja yang lain di rumah ini. Jadi kita impas. Saya memberi jasa, Abang membayar upah."
"Kamu—"
"Karena memang saya lebih pantas sebagai pembantu, bukan istri Bang Gustav. Seharusnya kita memang tidak pernah menikah." Dan lagi, Pita berani memotong kalimat suaminya tanpa gentar. Oh, sangat gentar sebenarnya, namun ia sembunyikan mati-matian.
Sial! Gustav mengumpat dalam hati. Perempuan ini kembali memprofokasi. Anehnya, alih-alih makin marah, hati Gustav justru ... terluka.
Tidak, bukan hati. Melainkan harga diri. Ego, tekannya pada diri sendiri.
Melepas cengkeraman dari lengan Pita, tangan itu Gustav gunakan untuk menyugar rambutnya dengan memberi banyak kekuatan di setiap ujung jari guna menekan bagian syaraf-syaraf kepala yang mulai pening.
"Kamu istri saya. Dan saya mau kamu berhenti berlagak seperti pemantu karena saya tidak akan pernah menggaji kamu!"
"Dan kalau saya tidak mau?"
Dan kalau dia tidak mau? Tangan Gutav turun dari kepala dalam bentuk kepalan erat. "Apa mau kamu, Pita?" geramnya. "Apa?" Dan saat satu pemahaman datang bagai lampu bohlam yang meyala luar biasa terang di atas kepalanya yang makin pening, Gustav tertawa. Pelan, namun penuh ejekan.
"Saya tahu," katanya, menatap tepat manik cokelat Pita dengan marah yang kembali berkobar. "Ini wajah asli kamu, kan? Bersikap sebagai pembantu untuk memberontak karena selama ini saya tidak pernah memberi kamu uang? Sikap lugu kamu yang dulu hanya topeng. Benar?"
Pita tak langsung menjawab. Tatapan matanya masih sekosong tadi. Hanya punggungnya yang tampak lebih tegang dan kaku. Berkedip sekali seiring dengan tarikan napasnya yang cukup panjang, ia berucap, "Anggap saja begitu."
"Baik!" Bibir Gustav menipis, "Berapa yang kamu inginkan? Anggap saja ini bayaran untuk jasa kamu. Tapi bukan jasa sebagai pembantu." Gustav menaikkan tangan ke udara, tepat ke hadapan wajah Pita yang harus mendongak demi bisa menatap matanya. Tangan besar itu bisa saja menangkup wajah Pita dalam sekali raih, tapi tidak. Gustav tak melakukannya. Hanya membiarkan tangan itu menggantung beberapa senti di samping pipi Pita. "Melainkan sebagai istri saya d ranjang." Dua jarinya menekuk begitu kalimat terakhir usai ia ucapkan.
Pita menelan ludah, Dua sisi bajunya ia remas sebagai penyalur rasa sakit.
Apa kata Gustav tadi? Sebagai istri ... di ranjang?
Maksudnya, dia menawarkan sejumlah uang untuk ... membeli tubuhnya?
Penghinaan macam apa ini?
Tangan Gustav yang berada di depan wajah Pita, dijentikkan hingga menimbulkan bunyi 'plok' keras. Membuat Pita spontan mengerjap. Nyaris roboh.
"Saya tidak dapat memungkiri ini. Tubuh kamu," Suami pita menlusuri tubuhnya dari ujung kaki sampai kepala, lalu tersenyum menyeringai, "cukup memuaskan. Saya masih ingin merasakannya. Dan malas bermain drama dengan pertengkaran-petengkaran yang melibatkan hati seperti yang terjadi sebelum ini. Jadi, bila saya sudah membayar atas jasa kamu, kamu tidak punya alasan lagi untuk menghindar setiap kali saya ingin, apa pun yang terjadi. Bukan begitu?"
Gustav tidak bermaksud berkata demikian. Setidaknya tak sekasar ini. Dia berniat pulang cepat memang untuk kembali bicara dengan Pita. Tapi, bukan membeli tubuhnya. Tubuh yang memang sudah halal ia sentuh. Hanya saja, sifap keras kepala yang entah Pita dapat dari mana serta sikapnya yang ... demi Tuhan dia bukan pembantu. Lalu pembahasan tentang uang. Membuat Gustav marah.
Bah. Di mana-mana semua wanita sama. Mata duitan!
"Tentukan jawaban kamu sekarang!"
"Saya tidak menjual tubuh saya. Abang memang berhak atasnya." Seolah tersadar dari keterlejutan, Pita menjawab dengan keenyitan kecil di kening. Kernyitan dangkal seperti ekspresi seseorang saat menahan sesuatu.
Wanita ini! Gustav nyaris gila menghadapinya. "Lalu apa mau kamu?!"
"Tetap seperti ini." Pita kesulitan menelan ludah. Ia sudah merasa tak sanggup berdiri, tapi memaksakan diri untuk tetap mendongak dengan dagu terangkat. Pita tak akan lagi membiarkan harga dirinya diijak. "Biarkan saya melakukan apa pun yang saya mau selagi tidak menggangu Abang. Sampai waktunya tiba saya diceraikan. Jangan abaikan saya dan anggap saja saya tidak ada. Kalau Abang memang butuh saya di ranjang, katakan saja dan saya akan datang. Gaji seperti pembatu yang saya minta tadi hanya ... untuk bekal bila suatu hari nanti saya harus keluar dari rumah ini. Itu pun bila Abang berkenan."
Resti yang diam-diam menyimak, melirim putranya yang mendadak pasi.
💕💕💕
05 Nov 2019
Repost, 23 Mar 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top