15 | Tuhan Tidak Tidur
15
Tuhan Tidak Tidur
💕💕💕
Waktu sudah mulai beranjak sore saat mobil yang ditumpangi Cinta dan Pita tiba di sana. Di sebuah gedung yang kata Cinta merupakan tempat kerja Gustav. Sebagai akhir dari edisi jalan-jalan mereka hari itu.
Gedung ini besar. Dibangun tiga lantai dengan dinding kaca di bagian depan. Tanpa harus masuk, Pita tahu kalau ini merupakan tempat jual mobil. Terlihat dari deretan kereta besi dengan berbagai model yang sekilas tampak.
Satu langkah keluar dari mobil, genggaman Pita pada paper bag yang dibawanya mengerat. Ragu. Gustav pernah mengatakan tak ingin orang tahu tentang pernikahan mereka, tapi Cinta malah memaksanya datang ke sini. Pita sudah sempat menolak, tapi adik iparnya yang memiliki sifat keras kepala sang kakak tetap memaksa.
"Mbak," Pita langsung menggigit ujung lidah begitu kembali salah panggil, "Mmm, maksudku, mmm ... Cinta. Kita pulang aja, ya."
"Loh, kenapa?" Cinta menutup pintu belakang mobilnya sembari merapikan bagian depan hijab yang sedikit berantakan. "Sayang kan, udah beliin camilan buat Kak Gus, masa dibawa pulang? Sekalian Biar Mbak tahu tempat kerja suaminya." Tanpa ba-bi-bu, Cinta meraih tangan kanan Pita yang masih mencengkeram tali paper bag. Menariknya paksa menuju lobi. Saat berpasapan dengan dua satpan yang sudah dikenal, wanita itu tersenyum ramah. Salah satu yang bertugas membukakan mereka pintu.
Pita makin gugup setiap langkah. Dalam hati berdoa semoga Gustav tidak ada di tempat.
"Kak Gusnya ada kan, Pak?" tanya Cinta pada salah satu petugas.
"Kebetulan baru tiba, Mbak. Mungkin lagi di ruangannya."
"Oke, makasih." Tarikan Cinta pada lengan Pita mengencang. Mengajak Pita melangkah makin cepat. Melewati deretan mobil dan mengabaikan beberapa orang yang tengah melihat-lihat.
Keduanya meniaki lift menuju lantai tiga. Tempat ruangan Gustav berada. Dan keringat dingin Pita makin deras mengalir di sepanjang tulang punggungnya.
"Nggak usah tegang gitulah, Mbak. Santai aja," kata iparnya seringan kapas.
Tapi, bagaimana ia bisa tenang saat kemarahan Gustav menjadi taruhan?
Pitu lift terbuka. Tepat begitu mereka melangkah keluar, sosok Gustav muncul dari ujung lorong. Melangkah ke arah lift bersama dua orang. Satu berpaian sama formal, sedang yang lain begitu santai dengan celana selutut dan kaus berkerah.
Tiga orang itu tampak terlibat obrolan yang seru sampai tak menyadari kedatangan Cinta dan Pita sampai adik iparnya yang cukup usil berteriak memanggil.
"Kak Gus!"
Pita menunduk dalam secepat dirinya bisa. Sangat dalam hingga kepalanya terasa pusing dan leher ngilu. udara yang tertiup dari ac beberapa puluh centi di atas pintu lift menjadi berpuluh kali lebih dingin dari biasanya. Seolah meggigit seluruh tulang Pita.
Yang dipanggil, menghentikan kalimat yang belum selesai terucap pada rekannya demi menoleh ke sumber suara. Menelengkan kepala sedikit, lelaki itu tersenyum lebar sembari setengah berlari menuju tempat sang adik berada. "Hai, tumben ke sini?" Gustav menjatuhkan astu kecupan ringan di kening Cinta sambil merangkul bahunya dengan begitu akrab. Tak lantas menyadari Pita yang berdiri rikuh di belakang wanita hamil itu sampai ia melepaskan rangkulan.
"Kamu ke sini bareng siap—" senyum Gustav praktis hilang saat memindai seseorang yang datang bersama Cinta. Tentu, tanpa harus melihat wajahnya, Gustav tahu dia ... Pita. Tampak jelas dari bahasa tubuh dan tinggi badan yang sudah Gustav hafal di luar kepala.
"Adik lo, Bro?" Salah satu rekan Gustav yang entah sejak kapan sudah berada di belakangnya, bersuara. "Cinta, kan?"
Cinta tersenyum sopan. Menangkup dua tangan di depan dada sambil mengangguk pelan.
"Kirain salah orang, abisnya keliatan beda dari terakhir kita bertemu," lanjut rekan Gustav yang tempil dengan setelan santai. Cinta mengenalnya, tentu saja. Dia merupakan aktor yang sering wara-wiri di tivi. Salah satu pelanggan tetap showroom ini. hanya saja, Cinta tak terlalu ingat nama pemuda itu.
Tak ingin berlaga sok akrab, Cinta hanya meringis menangapinya. Tahu betul perubahan yang dimaksud adalah bentuk badan yang lebih berisi.
"Kalau yang ini siapa? Adik lo yang satunya?" Lanjut lelaki itu. Pita makin mengeratkan dagu dengan tulang selangka hingga lehernya terasa nyaris patah. "Tapi bukannya adik lo yang satunya mantan model, ya? Tinggi."
Berbeda dengan rekan Gustav yang bersetelan santai, rekan yang satunya lebih banyak diam. Hanya mengamati, sesekali sibuk dengan ponsel. Seolah tak peduli.
Gustav, tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sembari mengalihkan pandang.
"Ini emang bukan Lumi, kok." Cinta memilih angkat suara. Namun sebelum ia kelepasan bicara, Gustav langsung menyela.
"Kalian tunggu di bawah aja. Nanti gue nyusul. Masih ada urusan sama adek gue soalnya."
Salah satu alis si aktor naik. Bibirnya menekuk tak yakin sebelum kemudian hanya mengangguk. Membiarkan Gustav membawa dua wanita itu lebih dalam menuju lorong yang mengarah ke ruangannya.
Bgitu tiba di sana, Gustav langsung membanting pintu.
Menarik napas dalam, ia berkacak pinggang. "Kamu ngapain bawa dia ke sini?" tanyanya langsung, menatap Cinta penuh tuduhan. Mengabaikan Pita yang sempat berjenggit kaget lantaran suara berdebam pintu yang terlalu keras dan terlalu tiba-tiba.
Ekspresi Cinta langsung berubah keruh mendapat perlakuan sekasar itu. Memperbaiki tali tas selempangnya yang melorot, ia mengubah tumpuan kaki. "Emang salah kalau aku bawa Mbak Pita ke sini?"
"Cinta tolong, ini tempat kerja Kakak!"
"Dan kenapa kalau ini tempat kerja Kak Gus? Aku juga tahu, kok."
Geraham Gustav mengetat mendapat tatapan skeptis dari adiknya. Kembali menarik napas panjang demi menahan diri, ia menyugar rambut tak sabar. "Banyak rekan bisnis dan kenalanku di sini Cinta."
"Dan?"
"Dan mereka tidak boleh tahu siapa Pita!" bentak Gustav kesal. Lelaki itu melirik Pita yang masih belum berani mengangkat kepala di sudut ruangan. Bahu ringkihnya tampak sedikit gemetar.
"Kak Gus—"
"Jangan bicara apa pun. Sebaiknya sekarang kamu pulang. Dan bawa dia." Gustav melangkah berat melewati tubuh adiknya menuju sisi jendela yang terbentang memenuhi satu dinding. Pemandangannya mengarah langsung pada jalana Ibukota yang siang mejelang sore itu tak terlalu padat. Satu tangan Gustav masuk ke kantung celana, sedang tangan lain masih bertahan di pinggang. Bibirnya tertekuk kesal.
Berapa orang di gedung ini yang sudah melihat Pita? Dan berapa dari mereka yang menanyakan siapa dia? Lalu siapa saja yang sudah Cinta beritahu?
Oh Tuhan, hanya dengan memikirkannya saja kepala Gustav sudah nyaris pecah.
"Kenapa mereka nggak boleh tahu?" Cinta yang keras kepala, menolak menuruti perintah kakaknya. "Kenapa Kak Gus menyembunyikan staus kalian? Pita berhak mendapat pengakuan!"
"Jangan uji kesabaranku, Ta."
Cinta mendengus setengah tertawa sarkas. Ia kehilangan kata-kata melihat punggung kakaknya yang tanpak kokoh sekaligus tak tersentuh. Melirik Cinta, ibu hamil itu hampir menangis membayangkan berada di posisinya.
"Dia istri Kak Gus!" Cinta mencengkeram tali tas marah. Mereka jarang bertengkar. Terakhir empat tahun lalu. Gustav selalu berusaha menjadi sosok kakak terbaik baginya.
Tapi, tidak dengan suami yang baik untuk Pita!
"Bilang sama aku, kenapa kenyataan ini harus ditutupi?"
"Kamu benar-benar ingin tahu?" Gustav menolehkan kepalanya ke belakang, sebatas bisa menatap Cinta dengan ekor mata.
Cinta megangkat dagu lebih tinggi. Menantang.
"Karena kemungkinan besar hubungan kami tidak akan bertahan lama."
Rahang Cinta naris jatuh membentur lantai saking lebarnya ia terganga. Kehilangan kata. Ah, Cinta bahkan tak bisa bersuara.
Megap-megap seperti ikan kekurangan air, pandangannya tak sengaja jatuh pada Pita yang masih berdiri di sudut tanpa bergeser sedikit pun sejak menginjak lantai ruangan ini. Dan dia, tetap menunduk. Memegang paper bag berisi makanan ringan yang tadi mereka beli di perjalanan untuk Gustav.
Seolah sadar Cinta menatapnya penuh rasa mengasihani, wanita itu mengangkat kepala. Balas menatap Cinta. Bibirnya serta merta ditarik lebar. Jelas sekali memaksakan diri. Membentuk senyum tegar yang demi Tuhan membuat hati Cinta remuk redam.
Kendati demikian, genangan bening yang nyaris tumpah itu sama sekali tak bisa menipu Cinta. Pita jauh lebih terluka.
"Kenapa Kak Gus nggak nolak sejak awal, kalau pada akhirnya begini? Demi Tuhan aku lebih ikhlas dia menikah dengan Papa!"
"Cinta—"
"Apa?!" Nada Cinta naik seketika. Membalas kakaknya sama keras. "Sejak awal seharusnya aku nggak pernah membuat usulan konyol itu, kan? Peduli apa dengan persetujuan Kak Gus? Aku juga nggak seharusnya mempertimbangkan perasaan Mama. Dia juga hanya bisa membuat hidup Mbak Pita makin sengsara. Aku—"
"Cinta—"
"Jangan bicara apa pun sama aku!" Satu tangan Cinta terangkat ke depan penuh antisipasi. Pipinya sudah basah. Kecewa atas sikap kakaknya yang pengecut sekaligus merasa bersalah pada Pita yang terlanjur menjadi korban. Semula Cinta hanya berpikir, kakaknya takut memulai hubungan baru lantaran sejarah perkawiannya yang buruk. Tapi, ia bahkan tak pernah menyangka kakaknya akan berlaku sedemikian buruk. Ia lupa kesombongan Gustav yang hampir tak bisa dipanjat. Dia lupa bahwa Pita bukan dari kalangan mereka. Dia lupa bahwa Gustav dan ibunya begitu memuja status. Dia lupa ... ah, apa yang cinta pikirkan sampai bisa menyodorkan manusia serapuh Pita pada kakaknya yang memiliki ego setinggi Everest?
"Aku yang memulai semua ini, jadi aku yang akan memegang permainan yang sudah terlanjur kita mulai." Cinta mengusap air matanya kasar. Ekspresinya berubah datar dan dingin.
"Apa maksud kamu?" Gustav berbalik badan. Sepenuhnya menghadap Cinta dengan jarak tiga meter terbentang di atara meraka. Nadanya tak lagi tinggi. Hanya penuh penekanan dan amarah terpendam. "Permainan apa?"
"Aku yang sudah menjerumuskan Mbak Pita dalam pelukan Kak Gus. Pelukan sementara, kan? Jadi aku juga yang akan menariknya dengan penuh harga diri."
"Kamu—"
"Aku akan menyekolahkannya." Cinta berdiri tegak. Ganti Gustav yang kehilangan kata.
Pita, yang lagi-lagi jalan hidupnya dikendalikan tanpa bisa membantah, menatap bagian sampinng tubuh Cinta tak percaya.
"Setelah menjadi istri Kak Gus, Pita tidak akan bisa kembali pada Papa. Dan kalau benar Kak Gus akan menceraikannya, Pita nggak akan punya apa-apa. Aku yang akan membuatnya bisa menghadapi dunia saat Kak Gus benar-benar melepaskan dia," ucap Cinta dengan nada final.
"Kalau aku tidak setuju?" Kobar amarah dalam mata Gustav membesar.
"Aku akan tetap melakukannya."
"Aku suamiya, Cinta!"
"Oh ya?" Cinta melipat kedua tangan di depan dada penuh tantangan. "Kalau begitu ayo kita bikin kesepakan."
"Kesepakatan?"
"Akui Pita kepada seluruh dunia sebagai istri Kak Gus, dan aku tidak akan ikut campur lagi urusan rumah tangga kalian. Atau ..."—Cinta sengaja menggantung ujung kalimat untuk memancing kakaknya yang pemarah. Tapi Gustav tetap diam, dengan ekspresi keras ang sama sekali tak berubah—"Tetap tutupi hubungan kalian, tapi sebagian hidup Pita punyaku! Aku akan ikut turun tangan untuk masa depannya."
Geraham Gustav mengetat seiring katup bibirnya yang menipis. Lelaki itu masih diam dengan tatapan jauh menembus kepala Cinta. Tampak tak bisa menentutan apa pun dan tidak menyetui segalanya. Tapi membantah pun percuma. Cinta bisa sangat gigih saat menginginkan sesuatu.
"Kita pulang, Mbak." Tahu kakaknya akan terus diam entah sampai kapan, Cinta menurunkan tangan-tangannya kembali ke sisi tubuh. Ia berbalik dengan gerakan dramatis. Menghampiri Pita dan langsung menarik tangannya. Membawa perempuan malang itu pergi dri gedung terkutuk milik sang kakak.
Namun baru sampai pintu, langkahnya terhenti. "Oh, iya." Dia menunduk, menatap paper bag cokelat dalam cengkeraman Pita, lantas mengambilnya. "Ini camilan buat Kak Gus. Tapi, ah ... kayaknya Kakak nggak akan suka. Jadi, buat satpam depan saja."
Dan, blam! Pintu dibanting dari luar.
💕💕💕
"Karena kemungkinan besar hubungan kami tidak akan bertahan lama."
Pita meremas kain baju tepat di bagian dada saat kalimat suaminya terus terngiang di telinga. Seperti kaset rusak yang berputar berulang. Meramaikan kepala Pita dengan suara-suara yang tumpang tindih mengaumkan kata-kata serupa.
Berusaha memejam, tetes air mata yang terasa panas, jatuh dari ujung kelopak.
Pita sudah tahu hubungannya dengan Gustav memang kemungkinan tidak akan berlangsung selamanya. Tapi, mendengar langsung setelah satu minggu mereka yang cukup menyenangkan, kenapa rasanya begitu sakit?
Ah, Pita menghapus tetes bening itu keras. Bagian bawah matanya terasa agak sakit saat tak sengaja tertekan bagian mata cincin nikahnya. Cincin emas bertahta berlian yang tampak bersinar saat terkena lampu kamar. Benda yang Gustav berikan di hari perkawinan mereka dengan cara tak biasa.
Benda itu kebesaran. Hati Pita makin sakit mengingat ia sampai menggunakan benang jahit untuk menganjalnya agar bisa pas di jari manis.
Namun, ternyata hanya untuk Pita pernikahan ini berharga. Gustav tidak demikian. Bahkan, barangkali cincin ini hanya sebagai balasan atas harga dirinya yang sudah ia serahkan dengan cuma-cuma untuk lelaki itu.
Beringsut mengubah posisi, Pita menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Bagian dalam bibirnya ia gigit keras saat memaksa benda itu keluar dari jari manis. Rasanya sakit karena Pita mengganjal terlalu kuat. Melilitkan banyak benang. Sengaja agar cincin itu tidak bisa lepas.
Pita takut cincinnya hilang. Lebih dari itu, benda ini begitu berharga untuknya. Hanya untuknya.
begitu keluar dari ujung jari, satu lagi tetes bening jatuh mmebasahi pipi. Menatap tanpa kedip selama yang ia sanggup, Pita letakkan cincin tersebut di atas meja nakas.
Dan ia memilih untuk jatuh dalam lelap dengan dua tangan menekan dada kuat-kuat.
Hidup biarlah berlanjut. Sepahit apa pun itu. Takdir yang indah akan tiba pada masanya. Karena Tuhan tidak pernah tidur.
💕💕💕
Siapa yang mau bejek Bang Gus?
Wkwkw... mari kita uji seberapa kuat Pita😂
Karena buat dampingi Bang Gus yang memiliki ego setinggi Everest—kata Cinta—butuh mental sekuat baja🤭
03 Nov 2019
Repost, 17 Mar 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top