14 | Cinta
14
Cinta
💕💕💕
"Assalamualaikum, Mama."
Pagi itu matahari bersinar cerah. Cahayanya terasa hangat menyentuh kulit Resti yang mulai berkerut. Melihat cuaca yang mendukung, wanita paruh baya itu memilih untuk berjemur di samping kolam renang. Berbaring malas di kursi santai yang langsung menghadap sang mentari. Kaca mata hitam bertengger di atas tulang hidungnya yang mancung. Rambutnya diikat tinggi. Daster selutut yang beliau kenakan sedikit tersingkap saat bergerak.
Detik jam menunjuk angka delapan lewat beberapa menit saat suara femilier putrinya yang sangat ia kenal terdengar. Menoleh, senyum Resti terukir. Majalah yang tengah dibaca, langsung ia tutup dan diletakkan sembarangan di atas meja rendah samping tempatnya berbaring.
"Cinta?!" seru wanita paruh baya itu sambil membuka kacamata. "Waalaikum salam. Tumben pagi-pagi udah di sini aja." Beliau bangkit. Mengubah posisi berbaring menjadi duduk. Pun dua kakinya yang diturunkan.
Cinta tersenyum lebar. Melangkah ringan menghampiri Resti dengan tangan terentang. "Kangen," katanya. Sedikit membungkuk demi memeluk tubuh tambun Resti yang tampak ta sesegar dulu lagi. Uban di sisi-sisi kepalanya terlihat lebih banyak dari terakhir kali mereka bertemu. "Kebetulan mau belanja kebutuhan bulanan juga. Mampir ke sini buat nyari temen. Cinta lagi males keluar sendirian." Melepaskan pelukan, ia duduk di samping Resti dengan pandangan menjelajah. "Kak Gus udah berangkat kerja?"
"Barusan. Ada masalah dengan pihak perpajakan gitu kayaknya. Dari tadi dia sibuk nerima telepon. Kamu sudah makan?"
"Belum." Cinta tercengir lebar. Menampilkan deretan giginya yang berjejer rapi. Gigi taringnya sedikit menonjol saat ia melakukan itu.
"Mama juga belum. Mau sarapan bareng?"
Resti rindu putrinya. Perceraian dengan Wandi membuat mereka tinggal terpisah sejak empat tahun lalu. Membuat ada jarak yang lebar di antara ibu dan anak itu. Terlebih masalah dengan Lumi, Cinta tampak sekali kecewa padanya. Namun semenjak segalanya membaik, hubungan mereka menjadi lebih dekat, meski tak sedekat dulu.
Menoleh pada Resti, kening Cinta mengernyit membentuk v kecil. "Tumben Mama nggak nemenin Kak Gus sarapan? Bukannya dia suka ngedumel kalo makan sendirian?"
Resti menghindari tatapan menyelidik sang putri. Menatap ke arah lain, pada jendela penghubung antara kolam renang dan ruang keluarga. Saat tak sengaja melihat menantunya melintas di sana, Resti menahan diri untuk tak mendengus.
"Ah, Cinta lupa. Kakak kan udah punya istri baru. Mama pasti nggak mau jadi nyamuk di antara mereka, kan?" lanjut Cinta sok tahu.
Resti mendelik tak kentara. Semua gara-gara gadis itu, pikirnya dengki. Gara-gara insiden kemarin, ia bertengkar dengan Gustav. Gustav bilang, hukuman yang Resti berikan Pada Pita sudah keterlaluan, dan ia menuntut ibunya untuk meminta maaf. Resti tentu menolak. Ia merasa sama sekali tidak bersalah, Pita pantas mendapatkan lebih.
Demi Tuhan Pita sudah menumpahkan sisa nasi basi dan membuat seluru tubuhnya kotor! Tapi, Gustav sama sekali tak membela. Gustavnya yang manis, yang begitu penurut, untuk kali pertama berani melawan. Padahal siapalah gadis itu?
"Kakakmu buru-buru. Dia sarapan di jalan." Resti tak sepenuhnya berbohong. Gustav memang tak sempat sarapan, tapi dia juga tak membawa bekal. Istrinya yang tak bisa diandalkan itu baru keluar kamar tepat setelah mobil Gustav hilang dari halaman.
Oh, tidak. Itu bagus. Resti tak akan membiarkan Pita menyentuh meja makan mereka.
"Jadi Mbak Pita juga belum sarapan?"
Eh?
"Kita bisa sarapan bareng kalau gitu." Dan tanpa sama sekali menunggu jawaban Resti, purinya sudah beranjak pergi. Masuk ke ruang keluarga dan memanggil Pita dengan nada mendayu.
Sial! Resti mengutuk bibirnya yang sembarangan berucap. Seharusnya tadi iyakan saja saat Cinta berspekulasi sang kakak sudah sarapan dengan istrinya.
Resti lupa, Cinta menuruni ketajaman pikiran Wandi.
Padahal, siapa yang tadi mengatakan tak akan membiarkan Pita menyentuh meja makan keluarga mereka?
Sial, Resti tak bisa berbuat apa pun kalau Cinta sudah bertindak. Demi hubungan mereka yang mulai membaik.
Enggan, Resti ikut bangkit. Berjalan di belakang tubuh Cinta yang menggemuk lantaran kehamilan. Di sisi tangga, putrinya berhenti saat menukan sosok Pita yang tengah—
Oh Tuhan .... Resti menahan napas.
"Mbak Pita kok bersih-bersih bufet?"
Yang ditanya, semula sibuk mengelap guci hias di bufet bawah tangga, kontan langsung berdiri. Kaget. Guci mahal yang ia pegang nyaris jatuh andai tak langsung dipeluk erat.
"Astaghfirullah, Mbak Cinta!" desahnya lega. Merenggangkan dekapam pada guci kecil berhias bunga lily itu, Pita mengelap sekali lagi dengan kain halus di tangannya, lantas mengembalikan benda tersebut ke atas bufet. Berbalik badan demi bisa berhadapan dengan Cinta sepenuhnya, senyum yang sudah akan Pita sunggingkan untuk sang ipar, pupus sebelum berkembang saat menemukan sosok Resti di belakang wanita hamil muda itu.
Pita langsung salah tingkah. Menunduk takut-takut agar tak kena marah. Bagaimana pun, ia nyaris menjatuhkan guci tadi.
"Mbak Pita kenapa bersih-bersih? Pembatu yang harusnya melakukan ini di mana?" ulangnya keras kepala. Kernyitan di antara kedua alisnya makin dalam melihat perubahan tingkah Pita yang mendadak rikuh.
Melirik ke balik punggungnya, Cinta tak bisa menahan diri untuk tidak memutar bola mata jengah. "Mama yang nyuruh Mbak melakukan ini?" tanyanya tanpa merasa segan sama sekali.
Pita meremas kemoceng dan kain lap di tangan. Mengangkat sedikit kepala, tatapannya disambut pelototan galak Resti yang penuh ancaman. Cepat-cepat Pita menggeleng. "Bu-bukan!" ia menyangkal sembari berusaha mengangkat sudut-sudut bibir agar melengkung membentuk senyum. "Sa-saya ... ini melakukan karena ke-keinginan sendiri."
Cinta mengangkat satu alis tak yakin.
"Cinta, kenapa kamu selalu beeburuk sangka sama Mama?" Di balik punggungnya, Resti ikut bersuara setengah menggerutu. "Kamu pikir Mama setega itu?"
Mengedik acuh, Cinta menarik tangan kakak iparnya. "Kalau sama Lumi aja Mama tega, kenapa nggak sama orang lain, kan?"
Resti sukses terdiam. Pita makin mengeratkan dagu pada tulang selangka. Dalam hati berdoa agar hal ini tak membuat Resti kembali menghukumnya.
"Pita bukan dari kalangan kita, Cinta. Dia terbiasa bersih-bersih sejak sebelum tinggal di sini. Saat dia mau melakukannya, bagaimana Mama bisa melarang?" Nada Resti berubah tersakiti. Ibunya yang tahun ini menginjak usia 55 tahun itu mendesah muram. "Tapi, nggak apa-apa kalau kamu berpikir begitu. Mama memang pernah salah."
"Ma," dan Cinta yang berhati selembut kapas, mana tega melihat ibunya seperti itu, "Cinta yakin kok Mama bisa berubah," ujarnya dengan senyum dikulum. Masih dengan satu tangan menggenggam lengan kiri Pita, Cinta peluk ringan tubuh tambun Resti sambil sesekali menepuk bahu rapuh itu pelan. "Maafin Cinta yang udah buruk sangka."
Resti tersenyum kecil debgan pandangan sayu. Membalas pelukan Cinta dan memberi tatapan penuh peringatan pada Pita yang melirik takut-takut.
"Udah, ah. Kita jadi sarapan bareng, kan?" Melepas pelukan dari ibunya, nada Cinta kembai ceria. Ia menoleh pada Pita dengan senyum kelewat lebar, memancing iparnya untuk ikut tersenyum.
"Tentu saja," sahut ibunya. Ia mendelik tak kentara pada Pita sebelum berbalik, "Mama akan minta Mbok Nah siapkan sarapan." Lantas berlalu dengan satu tangan yang tanpa sadar meremas kain dasternya erat.
Gembel itu tidak seharusnya makan bersama mereka.
💕💕💕
Cinta itu cantik. Selain cantik, dia juga baik dan dewasa. Terlihat begitu tulus dan berwajah ceria. Benar-benar definisi perempuan yang sempurna. Siapa pun yang menjadi suaminya pasti berasa beruntung sekali. Jangankan suami, Pita saja senang mengenal wanita ini.
Wanita yang tanpa segan menarik tangannya ke sana-ke mari. Membawa Pita mengelilingi salah satu pusat perbelanjaan yang bahkan tak Pita tahu pernah ada di Ibukota.
Jika melihat seorang Cinta, tak satu pun akan percaya dia merupakan adik Gustav si pemarah atau anak Resti yang ... Pita menggeleng-gelengkan kepala. Berusaha mengusir segala pemikiran buruk dari kepalanya.
Cinta punya ayah yang baik. Pak Wandi. Pasti sifat beliaulah yang menurun pada si bungsu ini. Seseorang yang tak oernah memandang rendah manusia lain hanya karena status sosial. Andai semua orang kaya seperti adik iparnya, betapa indah dunia.
Menarik tangan Pita lebih kencang, Cinta menyeretnya memasuki sebuah ... Pita celangak celinguk. Melihat sekeliling. Meja-meja bulat berisi pengunjung hampir memenuhi seluruh ruangan. Aroma harum roti panggang berpadu dengan wangi kopi menguar di udara. Sukses membuat Pita lapar.
"Kita mau ngapain di sini, Mbak?" tanyanya tanpa bisa menahan diri.
"Makan," jawab Cinta sembari melepas tangan Pita dan menarik sebuah kursi di sala satu meja kosong. "Duduk, Mbak. Mau pesan apa?" Menjatuhkan bokongnya dengan santai pada dudukan kursi, ia menyodorkan buku menu pada istri kakaknya yang tampak kebingungan.
Ragu-ragu, Pita meraihnya. Membuka pelan dengan senyum setengah meringis. Ia mengerjap begitu membaca deretan kata yang berjejer di sisi setiap gambar makanan yang tampak begitu asing. Sama sekali tak mengerti dengan penggunaan bahasa yang tertera di buku tipis berukuran besar itu.
"Sejak hamil aku jadi gampang laper. Porsi makan juga nambah. Makanya bisa jadi ngembang gini." Cinta mengangkat kedua bahu. Alisnya yang panjang dan hitam pekat menurun pasrah. "Kalau kata Kak Gus, aku udah kayak bola bekel. Mulut kakakku yang satu itu emang minta dicabein." Ia lanjut menyerocos. Tak menyadari Pita yang sepenuhnya menutup wajah dengan buku menu demi tak memperlihatkan wajah bingung. "Kalo dia ada ngomong sesuatu yang jahat, jangan dengerin ya, Mbak. Emang gitu tuh orangnya," lanjutnya masih dengan senyum yang sedari tadi tak pernah lepas dari bibir tebalnya. "Jadi Mbak Pita mau pesen apa?"
Menurunkan buku menu, Pita menggaruk punggung tangan kiri dengan jemari kanan. "Kalau Mbak Cinta pesan apa?" jawabnya dengan tanya.
"Aku kok risih ya denger Mbak Pita manggil aku Mbak juga. Jadi kedengaran kayak ada jarak gitu. Cukup Cinta aja. Aku kan adik Kak Gus. Adik Mbak Pita juga sekarang." Tanpa permisi, ia mengambil buku menu di tangan Pita tanpa sungkan. Gesturnya yang tak menunjukkan sikap kaku membuat hati Pita menghangat. Merasa begitu dihargai dan dianggap.
"Baik, Mba—mmm, maksudnya, Cinta."
Cinta tersenyum puas dari balik buku menu. "Aku Energetic Choc Cheese Sandwich. Sama minumnya jus alpukat aja. Mbak Pita?"
"Sama," sahut Pita tanpa pikir panjang. Karena sesungguhnya, ia bahkan tidak tahu jenis makanan yang Cinta sebutkan itu seperti apa. Semoga saja cocok di lidahnya yang sederhana.
"Oke." Cinta mengangkat satu tangan tinggi-tinggi. Lalu beberapa saat kemudian, seorang pelayan laki-laki datang mendekati meja mereka. Menanyakan pesanan keduanya. Pita hanya memerhatikan saat Cinta dengan begitu luwes menyebutkan menu yang dimau. Begitu selesai, pelayan tadi pun pergi meninggalkan mereka.
"Aku tuh tahu restoran ini dari suami," Cinta kembali memulai saat Pita masih diam, "Dia sering makan di sini. Dan ternyata enak. Pelayanannya ramah. Tempatnya juga bersih. Aku suka." Dia melipat tangan di atas meja. Menatap sekeliling sambil terus bicara. Pita yang memang sulit akrab dengan seseorang, lebih banyak menjadi pendengar.
Ini kali pertama Pita keluar rumah semenjak tinggal bersama Gustav. Dan ternyata cukup menyenangkan. Cinta banyak mengenalkannya pada hal-hal baru. Membawa Pita membeli beberpa pakaian yang sudah aman dalam mobil. Serta beberapa barang lain termasuk kebutuhan rumah tangga Cinta.
Bukan cuma berbelanja, Cinta juga mengajaknya ke salon. Melakukan perwatan dari ujung kaki sampai kepala. Membuat Pita merasa dua kali lebih percaya diri dari sebelumnya karena merasa lebih segar dan lebih cantik. Ia jadi tak sabar ingin segera pulang.
"Mbak Pita dari tadi diem aja. Cerita, dong. Gimana kehidupan Mbak sebelumnya. Aku kan juga mau tahu. Bukan cuma Kak Gus aja." Melepas tautan tangannya di atas meja, Cinta bersandar pada punggung kursi. Sesekali mengelus perutnya yang membuncit.
"Saya nggak tahu mau cerita apa. Kehidupan saya biasa aja." Dan Gustav juga tidak pernah mau susah-susah bertanya, lanjutnya yang sayang hanya bisa ia suarakan dalam hati.
"Masa kecil gitu. Atau saat-saat sekolah. Oh, SMA biasanya masa paling indah. Mbak Pita bisa cerita juga. Udah pacaran berapa kali? Cinta pertama?"
Selain menyenangkan, bicara dengan Cinta juga cukup membuat kewalahan. Adik Gistav yang satu ini lumayan cerewet. Dia juga tak sabaran meski tidak separah abangnya. "Saya nggak pernah menginjak bangku SMA," jawab Pita pendek. Masih bingung apa yang harus diceritakan dari masa kecilnya yang ... terlalu sederhana. Dan pasti tak akan semenyenangkan masa kecil lawan bicaranya.
"Maksud Mbak?" Cinta memajukan tubuh, ekspresi bingung tergambar dari wajah cantik itu.
"Saya lukusan SMP dan langsung kerja. Nggak ada biaya buat lanjut."
"Oh," Cinta berseru pendek, seolah baru ingat bawah ayahnya sudah pernah mengatakan ini. Lalu raut bersalah itu muncul karena merasa tak seharusnya ia menyinggung kembali. "Maaf ya, Mbak."
"Kenapa minta maaf?" tanya Pita tak paham. Justru ia yang harusnya meminta maaf karena tidak bisa banyak bercerita pada Cinta tantang masa lalunya.
"Nggak enak aja sih, sama Mbak Pita." Dia nyengir, memperlihatkan gigi gingsulnya yang sedikit menonjol. Membikin wajah bulat itu tampak makin menarik dipandang. "Kalau gitu cerita yang lain aja. Mmm, keseharian sejak nikah sama Kak Gustav!" di akhir kalimat, ia menaikturunkan alisnya menggoda. "Ayo cerita. Aku kan penasaran gimana cara Mbak Pita naklukin manusia darah tinggi yang satu itu."
Pita, jangan ditanya. Pipinya langsung merona. Entah kenapa saat Cinta memintanya bercerita tentangnya dan Gustav, yang muncul pertama kali dalam benak malah kenangan kemarin sore. Saat ia menyuapi bayi besar itu makan.
Dan kata 'menyuapi' dalam kamus Gustav ternyata bukan menggunakan sendok. Entah apa yang lelaki itu pikirkan.
Pita menggeleng, berusaha mengusir seringai Gustav yang menari-menari dalam kepalanya karena sudah berhasil membuat ia kewalahan.
Ingatkan Pita agar lain kali jangan pernah lagi menawarkan diri melakukan kebaikan apa pun pada suaminya yang menyebalkan.
"Kok pipi Mbak Pita jadi merah gitu?" Cinta makin memajukan tubuhnya. Menilik wajah merona Pita lebih dekat. "Pasti sesuatu terjadi di antara kalian, kan? Cerita!" tuntut Cinta tak sabar.
Apa yang harus Pita ceritakan? Tentang abangnya yang suka mencari kesempatan dalam kesempitan, begitu?
💕💕💕
Bang Gus mungkin lagi ngurus pajak impor, jadi nggak bisa nongol malam ini. Jadi Neng Pita malmingannya sama Cinta aja. Sama Gistavnya besok🤭
02 Nov 2019
Repost, 15 Mar 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top