13 | Bayi Besar

13
Bayi Besar
💕💕💕

Gustav sakit. Demam. Sialan.

Lelaki itu melenguh di atas tempat tidur lantaran tubuhnya yang menggigil. Kepala nyut-nyutan. Punggung ngilu. Serta keringat yang tak berhenti mengucur.

Jangan tanya apa penyebabnya. Gustav malas mengingat.

Memiringkan posisi tubuh ke kanan, ia mencoba memejamkan mata. Hidung yang mendadak mampet, membuat ia kesualitan berapas. Jadilah Gustav menggunakan mulut saat harus menarik oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida meski terasa melelahkan.

Tepat saat kelopaknya merapat, otak cerdas Gustav yang sudah kembali waras, berpikir. Apa yang terjadi dengannya semalam sampai rela tidur di gudang?

Apa?!

Apa, ya Tuhan ....

Dan saat tuntutan makin menggelisahkan sementara jawaban rasional belum ia dapat, kedua kelopak itu praktis kembali terbuka demi mengumpatkan satu kata. Sinting!

Gustav tidak tahu apa yang terjadi. Barangkali karena siangnya ia terlalu banyak mengonsumsi nikotin hingga membuat seluruh kewarasan hilang.

Demi Tuhan, Gudang! Pasti semesta sedang bercanda dengannya. Jangankan Gudang, tidur si lantai kamarnya yang luar biasa bersih sampai nyaris licin saja, seumur-umur tak pernah Gustav lakukan.

Beralas kardus. Argh! beruntung kakinya tak digigit tikus!

Lebih beruntung lagi, ia tak ketahuan. Berterimakasihlah pada Pita yang terbiasa bangun subuh. Perempuan itu langsung membangunkan Gustav pelan. Sangat pelan. Suaranya yang merdu dan wajahnya yang syahdu, semula membuat Gustav yang baru membuka mata terbuai.

Lalu apa yang terjadi selanjutnya?

Gustav mengubur diri di dalam selimut. Berusaha menyingkirkan seluruh ingatan subuh tadi.

Tapi, rasa lembut bibir Pita, erangan pelannya, kepasrahannya ....

Gustav positif gila!

Dan Pita, dia pasti penyihir kecil yang licik! Gustav harus menghindar sebisa mungkin demi kesehatan fisik dan otak.

Rasa kasihan tahi kucing!

Merapatkan pejaman mata, Gustav sudah nyaris tertidur saat mendengar kenop pintu dibuka. Gustav berusaha tak menghiraukan. Paling juga Bi Minar yang datang untuk mengingatkan minum obat siang.

Gustav benci obat. Dia lebih baik disuntik sepuluh kali daripada harus menelan butiran berbau aneh dan terasa pahit itu.

Bunyi pintu ditutup. Derap langkah kaki makin dekat. Gustav tetap tak bergeming.

"Bang?"

Bangsul!

Daun telinga Gustav langsung mekar seiring dengan lonjakan organ pemompa darahnya.

Sial.

Ia kenal sekali suara mencicit yang mirip tikus terjepit pintu ini. Istrinya yang Gutav curigai punya ilmu sihir. Siapa lagi?

Tidak, ia tidak akan membuka mata. Jangankan mata. selimutpun ia cengkeram makin erat.

Lagi pula, siapa yang mengijinkan perempuan kecil itu masuk ke kamarnya?

"Bang Gus?"

Gustav berusaha menahan geraman. Betisnya yang mendadak gatal ia tahan-tahan. Dalam hati mengusir Pita ribuan kali disertai umpatan.

"Bang Gus tidur." Pita seperti bergumam pada diri sendiri. Dan ... mata Gustav terbuka sedikit di balik selimut.

Dia tidak gagu.

Apa gagunya selama ini saat mereka berhadapan hanya akting?

Oh, tentu saja. Ingatlah, Gustav, perempuan penuh tipu muslihat. Tak terkecuali istrinya yang sok polos dan lugu. Usia boleh muda, tapi isi kepala ... siapa yang bisa menduga?

Gutav berdecih. Ia tidak akan terjebak lagi.

Hening cukup lama, Gustav duga Pita sudah leluar, tapi bunyi kenop pintu belum juga terdengar. Barangkali dia masih melangkah. Gustav harus sabar sebntar lagi untuk menggaruk betisnya yang makin gatal.

Melepas cengkeraman pada selimut yang menutupi seluruh tubuh, kain tebal nan hangat itu tertarik.

Eh?

Gustav spontan membuka mata.

Dan ... jebakan!

Pita sama sekali belum beranjak dari sisi ranjang. Aih-alih berniat pergi, ia justru membungkukkan tubuh dan membuka pelan selimut Gustav.

Sialnya, Gustav kalah siasat.

Hendak membentak dan mengusir Pita dari kamar ini, silabel pertama yang harusnya melompat dari celah bibir Gustav tertelan kembali saat rona merah serta merta muncul dia dua belah pipi perempuan itu. Lalu melebar. Gustav yakin rona tersebut bahkan sampai telinga serta leher Pita seperti saat ... apa yang lagi-lagi ia pikirkan?

"M-m-maaf!" Pita langsung menunduk, msmutus segala jenis kontak mata di antara mereka.

Gustav berdecih. Dia gagu lagi.

Dasar licik!  Harusnya dia jadi aktris, bukan penggoda para duda. Lebih-lebih duda tua seumur Wandi.

"Sa-saya nggak t-t-tahu kalau A-abang—"

"Sedang tidak tidur. Hanya tidak ingin diganggu." Gustav melanjutkan dengan wajah datar. Berusaha menjaga kewarasan agar tetap di tempat.

Ingat, Pita punya sihir. Sihir yang dapat membuat seseorang lupa segalanya, bahkan di mana ia tertidur.

Pita yang semula membungkukkan tubuh, menjauh. Menegakkan kembali punggungnya dengan dagu yang masih menempel erat pada tulang selangka.

Gustav menahan napas saat samar-samar wangi parfum murahan tercium di udara saat perempuan itu bergerak.

Gustav padahal sudah membelikan parfum dengan wangi yang lebih tajam dan tentu saja lebih harum. Tapi, perempuan ini masih saja menggunakan parfumnya lamanya. Yang pernah tak sengaja Gustav hidu di pertemuan pertama mereka.

"Ma-maaf." Pita meremas jari-jemarinya yang saling bertaut di depan perut.

Gustav melengos. "Katakan ada perlu apa sampai kamu berani masuk ke kamar saya tanpa diminta?"

"Kata Bi Mi-minar, A-abang s-sakit. Sa-saya cuma mau ... mmm," dia menggigit bibir, "minta ma-m-maaf. Abang be-begini pasti ka-karena temenin sa-saya, kan?"

"Hmm."

Pita mengambil langkah mundur. Lalu berhenti sejenak. Menunjuk nampan kecil di meja nakas. Terdapat semangkuk bubur, segelas air mineral dan tablet obat di atasnya. "Sebagai p-perminta-aan ma-maf d-dan terima kasih, sa-saya buatkan bu-bubur buat Abang."

"Ya, ya, ya," sahut Gustav malas, "kamu boleh langsung pergi. Saya butuh istirahat."

Pita mengangguk tanpa berani membantah. Buru-buru ia melangkah menuju pintu kamar dan menghilang dibalik daun kayu jati terbaik itu. Lalu mendesah.

Bang Gus kenapa? pikirnya muram. Padahal semalam dia baik sekali padanya. Apa Pita kembali membuat kesalahan?

Ah, ya. Gustav sakit gara-gara menemaninya di gudang. Sudah tentu Gustav marah.

Tapi, Pita tak pernah meminta, kan?

Atau karena demam ia jadi ketus begitu?

Mendesah panjang, Pita berusaha mengukir senyum. Gustav memang galak. Meski baik, dia tetaplah galak. Bersumbu pendek dan gampang darah tinggi. Pita harus belajar terbiasa.

💕💕💕

Tiba di lantai bawah, Pita menahan napas saat menemukan Resti sedang menerima tamu di ruang tengah. Berjalan sepelan mungkin agar langkahnya tak mengasilkan suara, ia titi anak-anak tangga satu per satu.

Namun, harapan untuk tak terlihat menjadi mustahil saat salah satu tamu Resti tak sengaja meliriknya dan lantas berceletuk ringan.

"Itu siapa, Jeng?"

Praktis membuat perjatian Resti yang semula tertuju pada katalog di atas pangkuannya, teralih. Wanita paruh baya itu menoleh ke arah yang ditunjuk satu dari dua temannya.

Tatapan Resti langsung berubah tajam dalam seketika. Pita berusaha tak acuh dan terus melangkah dalam diam. Tapi, tepat saat ia hendak berbelok ke arah dapur, suara Resti terdengar penuh hinaan.

"Oh, dia? Pembantu baru."

Hati Pita sakit mendengarnya.

Ah, kenapa harus sakit? Bukankah sejak awal konsep pernikahannya memang begini? Ia akan menikah dengan Gustav, tanpa seorang pun tahu kecuali keluarga inti suamianya.

"Masa sih pembantu? Pakaiannya keliatan mahal loh, Jeng."

"Alah, kalian kayak nggak tahu pembantu jaman sekarang aja kayak gimana. Mereka malah lebih belagu dari majikan."

"Kaliatan masih muda banget, ya? Nggak takut anaknya tergoda Mbak?" Suara lain bertanya, yang Pita tebak sebagai tamu Resti yang satu lagi. "Mana mukanya lumayan lagi. Ambil di yayasan mana?"

"Lupa. Lagian bekerja kan nggak mandang umur, Jeng. Anak saya juga mana mungkin tergoda. Kalian kan tahu mantan istrinya kayak apa? Tipe anak saya yang pasti selevel dengan keluarga kami, dong."

Pita berusaha mengangkat tumitnya yang entah mengapa terasa berat. Dia menunduk makin dalam, tak peduli tulang lehernya yang kini ngilu. Berusaha melangkah makin cepat. Tak ingin menjadi pusat perhatian dan sumber pembicaraan.

Namun, belum juga dua langkah terambil, Resti memanggilnya.

"Pita," dengan nada angkuh khas seorang nyonya, "kemari!"

Sungguh, Pita ingin menolak. Tapi, tau posisinya memang bukan siapa-siapa. Menelan ludah pahit, ia pun menunurut. Berjalan sesopan mungkin menghampiri Resti yang duduk di ujung kepala meja dengan dagu terangkat pongah. Sebuah katalog merk pajaian ternama terpangku manis di atas pahanya yang tumpang tindih.

"Iya, Bu?" sahut Pita.

"Tolong ambilkan minuman sama camilan buat teman-teman saya. Dan jangan lama-lama!" titah beliau yang mau tak mau harus Pita turuti. Ia segera berbalik dengan badan yang sedikit dibungkukkan. Menuju ke arah dapur di ujung sana.

"Oh, ya," dua langkah Pita kembali terheti saat Resti kembali bersuara keras, yang sudah pasti ditujukan padanya, "untuk saya jus alpukat. Pakai susu dan jangan terlalu banyak pakai gula. Jeng Sinta sama Mbak Mina mau minum apa?" lanjut beliau dengan tanya. Nadanya jauh berbeda dengan yang digunakannya saat berbicara pada Pita.

"Saya terserah aja deh, Mbak. Yang penting seger."

"Saya juga."

"Kamu dengar sendiri, kan? Yang segar. Yaudah, cepetan sana!"

Pita menghela napas. Meneruskan langkah yang sempat terhenti demi melaksanakan perintah sang nyonya. Apa pun, asal jangan sampai kena pukul dan dikurung.

Pita memang bukan pembantu, melainkan menantu. Dan bukankah menantu harus patuh pada mertua sebagaimana kepatuhan terhadap orangtua?

Anggap saja ini sebagai salah satu bentuk bakti untuk Resti. Ibu Gustav yang kini juga merupakan ibunya.

💕💕💕

"Capek ya, Neng?" Mpok Nah duduk di sebelah Pita dengan segelas air putih yang ia letakkan di atas meja.

Pita tampak kelelahan. Duduk di kursi panjang teras belakang sambil memijat bahu sendiri.

Perempuan muda itu sudah tentu lelah. Sejak siang Bu Resti tak membiarkannya diam. Ada saja yang diperintah untuk dikerjakan.

Mengepel seluruh ruang di lantai bawah yang memarin sudah dilakukan Bi Minar. Mengelap kaca yang bahkan sama sekali tak berdebu. Membereskan kamarnya yang sengaja dibuat berantakan. Menyetrika tumpukan baju yang kemarin pagi sudah Bi Minar cuci.

Bu Resti tampak masih dendam atas insiden kemarin.

"Lumayan, Mbok," Pita mengulum senyum. Berhenti memijit bahu yang masih pegal dan memangku kedua tangan. "Saya emang nggak biasa melakukan tugas rumahan. Biasanya juga jaga warung bakso."

Maksud kalimat Pita adalah dia tidak biasa mengerjakan tugas rumahan sebesar ini. Karena rumahnya kecil, pakaiannya dan sang ayah sedikit. Sangat sedikit bila dibanding tumpukan baju Resti dan Gustav yang tadi harus ia setrika.  Tapi, Mbok Nah salah tangkap. Ia malah mengira Pita pemalas. Jadilah rasa simpatinya makin berkurang.

"Bagus dong, Neng. Anggap aja ini latihan jadi sitri yang baik buat Mas Gus," tanggapnya. Menyodorkan gelas yang tadi ia bawa pada Pita. "Minum dulu."

"Makasih, Mbok." Pita menerima dengan senang hati. Meminum tiga teguk lantas meletakkan kembali gelas tadi ke atas meja rendah di hadapan mereka.

Sore hari itu mendung. Pita yang bosan memilih beristirahat di sini sambil memerhatikan beberapa tanaman bunga dalam pot-pot berukuran sedang yang kata Bi Minar merupakan hasil rawatan tangan Resti langsung. Bunga-bunga itu tampak cantik. Sebagian bahkan sudah mekar. Angin di musim penghujan sesekali menebarkan aroma semerbaknya. Cukup membuat kepala Pita yang agak pening menjadi lebih tenang. Diatmbah bunyi gemerisik air mancur buatan di sisi teras. Dibawahnya, beberapa ikan hias yang tak Pita tahu jenisnya berenang lincah. Pita suka berlama-lama di sini untuk menengkah diri dan menghapus lelah.

"Keadaan Mas Gustav sekarang gimana? Sudah mendingan?"

Mengalihkan pandangan dari air mancur buatan, Pita melirik Mbok Nah dengan mata sendunya. "Saya belum ngecek lagi, Mbok."

Dua alis Mbok Nah bertahut tak senang mendengar jawaban Pita. "Gimana sih, Neng, suami sakit kok nggak diurusin?" Nadanya sarat tuduhan. "Mas Gus itu susah makan kalau nggak enak badan. Harus ditunggui sampe makanannya benar-benar habis. Apalagi kalau udah urusan sama obat, bener-bener harus dibujuk."

"Oh." Pita menatap lurus titik putih di ujung kuku ibu jarinya. Tak tahu harus menanggapi bagaimana. Dia sama sekali tidak mengenal Gustav. Dan Gustav juga jelas-jelas menunjukkan sikap tak ingin mengenal Pita lebih jauh.

Sebagai istri, Keinginan merawat suami yang sedang sakit itu pasti ada. Tapi, apa yang harus Pita lakukan, saat masuk ke kamar suaminya saja ia dilarang kecuali atas kehendak Gustav langsung.

Lebih dari itu, Pita butuh istirahat sejenak. Tulang-tulangnya serasa remuk setelah nyaris setengah hari melaksanakan segala titah Resti.

"Kok malah oh doang atuh, Neng." Mbok Nah tampak kehilangan kesabaran melihat Pita yang sama sekali tak memiliki inisiatif bergegas langsung menemui suaminya di lantai atas. "Buru, samperin Mas Gus. Kasian. Bubur yang tadi siang pasti belum dimakan."

Haruskah? Pita membalas tatapan mata Mbok Nah sambil menggigit daging pipi bagian dalam. Mbok Nah membalas tatapan matanya setengah geram.

Berpaling muka, Pita akhirnya mengangguk. Lantas bangkit setengah hati. Melakukan seperti yang Mbok Nah perintahkan. Datang ke lantai atas dengan perasaan waswas. Dan begitu sampai di depan pintu kamar lelaki itu, ia terdiam.

Mengangkat tangan dengan posisi siap mengetuk, Pita urungkan niatnya. Bagaimana kalau Gustav sedang tidur dan merasa terganggu? Dia pasti marah kalau sampai terbangun karena suara ketukan.

Tapi, ini sudah sore. Gustav tidak mungkin masih tidur.

Menarik napas dalam, Pita mengambil keputusan. Dia menekuk jemari tangan kanannya, lalu dipukulkan pelan pada permukaan pintu. 

"Masuk!" seru suara serak dari dalam.

Pita mengembuskan napas lega. Sukurlah kalau kehadirannya tak menganggu.

Menarik gagang besi, Pita dorong daun kayu persegi ke belakang sembari melongokkan kepala. Gustav sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Pita berusaha memanjangkan leher untuk mengintip isi di atas nampa yang tadi siang diantarkannya. Maksud hati, kalau bubur yang ia buatkan Gutav makan beserta obatnya diminum, Pita akan langsung pergi sebelum lelaki itu sadar siapa yang datang mengganggu.

Namun, posisinya dan nakas terlalu jauh. Pita jelas tak bisa memastikan isi di dalam mangkuk itu.

"Ngapain kamu di situ?"

Uh oh. Pita meringis. Dirinya ketahuan. Berusaha menampilkan cengiran, istri mungil Gustav melebarkan celah pintu sebatas tubuhnya bisa masuk. Lantas mendekat. Lagi-lagi menunduk.

"Anu," katanya kikuk, "i-itu," begitu posisinya dan nakas tak berjarak terlalu jauh, Pita meremas ujung baju bagian depannya.

Mangkuk masih penuh. Hanya isi dalam gelas yang tinggal separuh. Pun tablet obat masih utuh.

Mbok Nah benar.

"A-abang belum ma-makan?" saat bertanya, tatapan Pita meliar. Ke mana saja asal bukan telaga bening Gustav yang menatapnya enggan.

"Nggak napsu."

"Ta-tapi Bang Gus h-harus makan."

"Dibilang nggak napsu juga."

"Mau sa-saya s-s-suapi?" Selepas pertanyaan tersebut terucap, Pita menampar pelan bibirnya.

Demi apa dia menawarkan diri menyuapi Gustav? Kalau suaminya bersedia, alamat dia harus berada di ruangan ini lebih lama.

Lebih lama di bawah tatapan mata Gustav itu bahaya. Belum lagi risiko melakukan kesalahan yang berujung omelan. Cukup Resti yang memarahinya hari ini. Jangan ditambah lagi.

Semoga saja Gustav menolak, harapnya dalam diam.

"Nggak. Makasih."

Alhamdulillah. Napas Pita terembus lega. Dia bisa segera kembali ke kamar. Bila Mbok Nah bertanya, jawab saja sejujurnya. Dan kalau wanita paruh baya itu tak terima, biar beliau saja yang mengurus bayi besar ini. Batin Pita lelah.

Namun sayang, Gustav melihat ekspresi senangnya yang kentara. Lelaki itu sukses tersinggung. Memberenggut kesal, ia berkata, "Hangatkan buburnya dan suapi saya makan."

Senyum samar Pita lenyap secepat datangnya.

💕💕💕

Demi apa, ini proses ngetik paling lamaaaa....
Dari magrib, Cah🤧🤧

Entah kenapa makin ke sini makin ilang aja idenya.

Yang penting kalian suka aja deh. Kalau makin ngawur, kasih tahu yak!

01 Nov 2019

Repost, 13 Mar 2022


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top