12 | Rasa yang Tak Seharusnya Ada
12
Rasa yang Tak Seharusnya Ada
💕💕💕
Lelaki itu bergeming dengan senter menyala terang dari ponsel pintarnya. Pita makin menunduk, selain ketakutan, juga silau. Matanya ia pejam rapat-rapat. Berharap Gustav menyangka tidur atau pingsan. Sungguh, satu-satunya hal yang Pita inginkan saat ini hanya keluar dari gudang dan meminum seteguk air demi meredakan kering di tenggorokan lantaran kelamaan menangis.
Gesekan alas kaki Gustav dengan lantai terdengar, mengisi hening dalam ruang ini. Hawa panas tubuh lelaki itu terasa makin mendekat. Mata Pita kian memicing rapat.
Tanpa kata, Gustav duduk di sampingnya. Meletakkan sesuatu yang berbunyi keresek di sisi Pita. Lalu, meraih dagu wanita yang masih memejam itu. Sedikit menelengkan ke kiri dan kanan. Barangkali memeriksa luka di wajah Pita.
Desah pendek terdengar samar sebelum bunyi keresek mengisi hening dalam gudang. Wajah Pita sejenak dilepaskan untuk kemudian kembali dalam tangkup tangan Gustav yang hangat. Disusul rasa dingin dan perih lantaran Gustav menempelkan sesuatu di sudut bibirnya yang robek.
Mau tak mau, Pita mengerang. Gagal pura-pura pinsang. Merasa perihnya makin menjadi, ia memaksa diri menjauh, meski Gustav menahan kepalanya makin kuat. "Pelan," kata Pita setengah memohon.
Gustav menurut. Mengurangi tekanan tangannya dan memelankan setiap gerak. Selesai dengan bagian kiri, Gustav berganti menempelkan obat berbau antiseptik itu ke bagian kanan. Lalu mengompres Pipi Pita yang bengkak dengan handuk basah.
"Lain kali, tolong jangan cari gara-gara dengan Mama." Akhirnya dia bersuara. Tangannya masih belum bisa diam. Mengambil kantong kresek yang tadi ia letakkan sembarangan di lantai, lantas mengeluarkan sebuah bungkusan kertas makanan beserta satu botol air mineral. Menyodorkan pada Pita dengan tangan kirinya yang kidal.
Sejenak Pita ragu, sepenuhnya tak paham dengan sikap Gustav yang terkadang baik, namun seringkali berbuat tak menyenangkan.
"Saya bukan orang yang pandai membujuk, Vita," kata Gustav lagi saat tak mendapat tanggapan. Pita membiarkan tangannya menggantung di udara begitu saja. "Kalau kamu menolak ini, akan langsung saya buang ke tempat samp—"
Dan sebelum kalimatnya tergenapi, segera Pita merampas bungkusan itu dari tangan suaminya yang sama sekali jauh dari kata manis. Karena Pita yakin, begitu kalimat tadi selesai terucap, tanpa menunggu lama, Gustav akan benar-benar membuangnya ke tempat sampah, atau tempat mana pun di sudut ruang pengap ini.
Menghapus jejak air mata di wajahnya yang pasti sangat berantakan, telaga bening Pita kembali memanas saat membuka bungkusan cokelat yang Gustav sodorkan. Nasi padang. Menggigit bibir, ia lirik Gustav yang kontan menghindari tatapannya. Lantas berdeham.
Meraih botol air minum, Pita kesulitan membuka tutupnya yang masih tersegel. Pita bahkan sampai menggeram untuk mengeluarkan segenap tenaga yang ia punya demi melepas tutup bandel itu, tapi tetap saja gagal.
"Apa susahnya minta tolong kalau benar-benar tidak mampu?" Gustav balik merampas dari tangan Pita. Memutar dua kali, dengan mudahnya tutup botol itu terbuka. Gustav menyodorkannya kembali.
"Te-terima k-kasih."
Gustav tak menjawab. Menatap lekat Pita saat meneguk air mineral pemberiannya penuh nafsu. Hingga beberapa tetes keluar dari ujung bibirnya yang sobek.
Puas minum, Pita lanjut makan setelah membasuh tangannya yang kotor.
Dia makan seperti manusia kelaparan. Oh, sudah tentu. Perempuan ini terkurung sejak pagi tanpa bisa mencecap apa pun. Matanya yang bengkak adalah saksi bisu berapa lama ia menangis. Seorang diri di sini.
Kembali bungkam, Gustav menatap sosok berantakan istrinya lekat. Ponselnya ia letakkan di tumpukkan kardus dengan mengaktifkan senter sebagai satu-satunya sumber cahaya.
Ini kali pertama Gustav benar-benar memerhatikan seseorang makan. Begitu lahap pula. Saking lahap dan laparnya, Pita bahkan hanya mengunyah beberapa kali, lalu ditelan begitu saja. Gustav yakin, nasi-nasi itu belum benar-benar halus terkunyah saat dipaksa masuk ke dalam lambung.
Fokus pada satu titik, Gustav menelan ludah. Bibir Pia terkatup rapat saat rahangnya bergerak konstan. Sesekali terbuka untuk menerima suapan atau saat menggigit lauk. Gutav sengaja membelikan banyak paha ayam daripada lauk lain hanya karena kemarin sempat melihat wanita ini menjilat-jilat tulang unggas berkokok itu dengan penuh minat dan tampak begitu nikmat.
Seperti saat ini.
Dua paha besar sudah habis Pita lahap. Dia bahkan tak sadar bibir dan pipinya sudah cemong. Dasar bocah, dengus Gustav pelan.
Setelah seluruh makanan habis, Pita bersendawa keras lantaran kekenyangan. Begitu sadar ia tak sendiri, Pita praktis menutup mulut. Sama sekali tak berani melirik Gustav yang tak lepas memandanginya karena takut kena marah.
Namun alih-alih marah, suaminya yang sulit ditebak itu menunjuk bagian mulut Pita yang cemong. Mengerti isyarat tersebut, Pita menyentuh posisi yang Gustav tunjuk dengan ibu jari untuk membersihkan. Gustav menggeleng. Pita menatap penuh tanya. Mendesah tak kentara, Gustav mendekatkan wajahnya. Pita praktis memundurkan kepala menjauh. Tapi si keras kepala terus mengejar hingga posisi Pita telentang ke lantai. Gustav menyeringai. Tanpa aba-aba, ia mengecup sudut-sudut bibir pita, sesekali menjilati bagian yang belepotan. Membersihkan sekitar mulut istrinya dengan lidah. Setelah dirasa bersih, ia bangkit lagi seolah sama sekali tak pernah terjadi apa pun di antara mereka. Mengabaikan Pita yang jantungnya nyaris melompat keluar dari rongga.
Anehnya, rasa perih di sudut-sudut bibir Pita langsung menghilang entah ke mana. Seakan tersapu oleh rayuan lidah suaminya yang nakal. Dan Pita mendapati pipinya luar biasa panas.
Beringsut rikuh, Pita mencari posisi terjauh. Berusaha membuat jarak hanya agar Gustav tk mendengar detak jantungnya yang kelewat heboh.
Suasana di antara mereka kembali hening. Hanya cicit tikus yang sesekali terdengar, dan Pita sama sekali tak merasa risih akan hal tersebut, barangkali karena sudah terbiasa.
Pita pikir Gustav akan langsung pergi begitu segala urusannya di sini selesai, nyata-nyata tidak. Dia masih di sana. Duduk bersila dengan negitu angkuh. Dua sikunya bertumpu pada ujung paha dengan jari-jemari terjalin yang dijadikan penyangga dagu. Entah menatap ke arah mana. Mungkin ke titik gelap dikejauhan sana. Biar saja.
Ada sesuatu yang aneh terjadi pada Pita. Ia yang semula merasa kesakitan dan sendirian, kini justru nyaman berada di sini. Apa mungkin karena keberadaan Gustav?
Iya. Gustav yang sama yang suka mencaci sekaligus merayunya. Gustav yang sama yang tadi pagi menatapnya penuh tuduhan. Gustav yang sama yang memberinya cincin. Gustav yang sama yang tadi pagi hanya bisa melihat saat dirinya mendapat pukulan.
"Maaf."
Pita mengerjap. Ia menoleh ke sumber suara, tak yakin benar suaminya yang bicara. Dan seolah mengerti kecamuk dalam benak wanita itu, Gustav kembali mengulang.
"Maaf."
Kedua alis pendek Pita terangkat spontan. Kepalanya sedikit meneleng ke kanan. Mulutnya sedikit menganga, tak percaya Gustav yang memiliki ego setinggi langit, meminta maaf?
"Maaf atas nama Mama."
Oh.
Atas nama mama. Tentu saja.
Gustav yang merasa tak pernah salah mana mungkin meminta maaf? Pita tak seharusnya berharap.
"Tadi pagi,"—Lelaki itu menoleh, membuat pandangan keduanya berada pada garis lurus yang sama sebelum lagi-lagi Pita menunduk. Menatap jeri-jemari kakinya yang ditekuk rikuh—"apa benar kamu sengaja menyiramkan nasi sisa ke tubuh Mama?"
Pita bahkan tak bisa membedakan, apakah kalimat tersebut merupakan pertanyaan atau tuduhan. Karena bila Gustav yang mengutarakan, satu kata saja bisa memiliki banyak maksud. Dan Pita tak ingin salah tangkap. Jadilah ia kembali diam. Bingung.
"Vita, saya bertanya." Nada Gustav terdengar dalam, seolah keluar dari ujung kerongkongan. Tanda bahwa dia berusaha menahan sabar.
"S-sa-saya ... ng-nggak senga-ngaja," jawab Pita tanpa berani mengangkat kepala.
Gustav tak langsung menanggapi Tatapannya makin lekat menilik wajah wanita itu yang nyaris tak terlihat saking dalamnya menunduk. Dan Gustav baru menyadari, Pita tak mengenakan hijab. Kerudungnya entah di mana. Barangkali tertinggal di lantai atas tadi pagi dan sudah diamankan oleh Mbok Nah.
Rambut Pita sehitam malam. Sepinggang dan tebal. Lurus bagai tirai. Menjuntai di sisi-sisi tubuhnya membentuk perlindungan. Tampak begitu ... indah.
Ah, apa yang Gustav pikirkan? Menarik napas panjang, ia kembali menatap kejauhan. "Kenapa kamu tidak membela diri kalau benar tidak salah?"
Pita memeluk lututnya di depan dada. "Ap-apa kalau saya mem-membella di-diri, Bu R-Resti akan be-berhent-t-ti memukul?" balasnya balik bertanya lirih. Keningnya bertaut tajam, penuh antisipasi dengan bibir tertekuk ke bawah.
Tidak! Gustav menggigit lidah saat kata itu hampir melompat dari mulutnya yang sialan. "Lalu untuk apa kamu membawa nasi sisa ke lantai atas?"
"Mau s-saya je-jemur."
"Untuk?"
"Buat k-kerupuk."
Hah? Spontan Gustav kembali menoleh. Sangsi. Menatap Pita seolah istrinya alien berkepala lima. "Nasi basi dijemur jadi kerupuk?!" tanyanya tak pecaya.
Pita mengangguk sekali. Makin mendekatkan dagu pada lutut. Berharap kepalanya bisa tenggelam di sana agar tak terus ditatap sedemikian rupa oleh sang suami.
Dan Gustav ... kehilangan kata-kata. Ingin sekali tertawa, tapi takut Pita tersinggung. Ah, Pita bukan berasal dari kalangan yang sama dengannya.
Baiklah, bisa diterima.
Hening lagi. Gustav mendadak tidak tahu apa yang harus ia katakan pada sang lawan bicara yag hanya ... wanita biasa. Gustav enggan menyebut Pita gembel sejak mereka menikah. Karena membayangkan diri pernah meniduri gembel itu seolah seperti ... membanting harga diri ke dasar neraka.
Dan berat diakui, saat ini ... Gustav merindukan tubuh itu lagi. Di gudang yang dingin, pengap, berdebu dan banyak tikus. Ugh!
Berdeham demi menghidupkan keadaan serta berusaha menyingkirkan segala fantasi liar, ia melirik Pita dari ujung mata. "Apa masih sakit?"
"Ap-apa?" Pita balas melirik, sekilas, sebelum melarikan tatapan karena tak berani beradu mata lebih lama.
"Pukulan Mama."
Pita memilih menggeleng demi ketentraman diri.
Mata sehitam jelaga Gustav menyipit. "Sungguh?"
Dan Pita yang tak terbiasa berbohong, bungkam.
"Bagian mana yang sakit?" Gustav melepaskan tautan jari-jemari. Menegakkan punggung dan bergeser mendekati Pita yang langsung kelabakan.
Tepat saat wanita itu akan beringsut kembali ingin menjauh, Gustav menangkap pinggang rampingnya. "Saya tidak akan menyakiti kamu."
Pita menolak percaya. Tapi ia yang tak berdaya, tidak kuasa melawan. Hanya terdiam. Tubuhnya sekaku kayu dalam rangkulan Gustav.
Gustav maklum kalau dirinya membuat Pita takut, tapi ... kenapa ia tidak suka dengan sikap tubuh wanita ini yang sdolah ingin melindungi diri?
Bergerak makin dekat, tangan kiri Gustav yang merangkul pinggang Pita bergerak ragu. Mengelus punggung ringkih itu pelan. Tangan yang lain berusaha membebaskan lutut-lutut kaki Pita yang menempel erat pada bagain dada hingga berselonjor. Dan, masih dengan gerakan hati-hati, Gustav menidurkan kepala Pita pada pundaknya yang kokoh.
"Kamu mau memaafkan Mama?" tanyanya. punggung Pita yang mulai rileks, kembali tegang. "Dia memang begitu," lanjut Gustav, mendekap makin erat. Dagunya ia sandarkan pada puncak kepala Pita. menunpukan bulu-bulu halus di dagunya pada rambut Pita yang begitu lembut.
Pita sama sekali tak menyahut. Merasai dekapan Gustav yang hangat dan menawarkan perlindungan, Pita makin menyurukkan wajah ke dada lelaki itu.
"Kamu pasti lelah. Tidurlah. Sekarang sudah malam."
Ah, malam rupanya. Berati Pita sudah menghabiskan satu siang dalam kesendirian dan tidur berulang kali. Tapi, entah mengapa, sekarang ia mengantuk lagi. Lebih-lebih mendengar gumaman pelan Gustav yang yang tak terlalu jelas. Pita mempercayakan dirinya untuk malam ini pada lelaki yang sudah berjanji akan menjagaya sampai mati di hadapan Tuhan.
Malam ini saja.
Merasai tubuh Pita yang sudah melemas dan napsnya yang teratur, Gustav yakin wanita ini benar-benar lelap. Bergerak pelan, ia mengubah posisi Pita. Menidurkan kepala sang istri ke atas pahanya. Lalu kembali mengamati.
Gustav masih yakin Pita tak selugu wajah dan tingkah lakunya selama ini. Tapi, entah mengapa, melihat dia yang tampak tak berdaya pagi tadi menerima segala bentuk kekerasan ibunya, hati Gustav mendadak ... ah, kasihan.
Dan rasa kasihan itulah yang membuat Gustav seharian tak bisa fokus pada apa pun. Bahkan saat mengisi seminar di salah satu kampus swasta yang mengundangnya sebagai pembicara, pikirannya ke mana-mana. Mengingat wajah pilu Pita. Mengingat tangis tanpa suaranya. Mengingat tatapannya yang penuh arti.
Gutav benci.
Merasa tak bisa melakukan apa-apa sebelum memastikan wanita ini baik-baik saja, Gustav memilih pulang. Membatalkan pertemuan dengan calon pembeli yang berpotensi memberi keuntungan besar hanya untuk ... dia.
Eskpresi Pita tadi pagi mengingatkan Gustav pada seseorang saat berada di posisi yang sama. Dan tak dapat dipungkiri, ia khawatir. Sejarah Lumi tak boleh terulang. Gustav tidak mau hidup dengan menaggung rasa sesal lebih daripada dulu.
Mengasihani Pita tidak buruk, kan? Tidak. Hal tersebut manusiawi. Tetrlebih, Pita istrinya. Yang sudah Gustav putuskan sebagai salah satu properti yang harus dilindungi.
Gustav janji kejadian tadi pagi tidak akan terulang kembali. Tidak selama Pita masih bersikap manis.
Terlebih, Malihat Pita tersiksa, memunculkan rasa kasihan yang tak seharusnya ada. Dan bila hal tersebut terjadi berulang kali, Gustav takut hatinya mulai melemah terhadap gadis ini.
Tidak. Sekali mengasihani sudah cukup. Jangan lagi. Karena Gustav tak ingin, rasa kasihan yang menderanya berubah menjadi cinta bila terjadi di lain kali.
Merasa kelopaknya mulai memberat, Gustav kembali mengubah posisi Pita. Mengangkat kapala peremouan itu pelan. Menidurkan pada alas kardus yang ia tata. Lantas ikut berbaring. Menelusupkan lengan ke lekukan leher puta sebagai bantalan, lantas memeluknya demi mendapat kehangatan. Lantas ikut berkelana ke alam mimpi.
Lupa bahwa seharusnya ia membawa Pita keluar diam-diam dari ruang pengap ini.
💕💕💕
Bang Gus sering muncul, nih. Yang merasa terganggu, kasih tahu yak😂
Gimana si Abang malam ini? Suka, tak?
31 Okt 2019
Repost, 11 Mar 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top