11 | Istri yang Tak Dianggap
11
Istri yang Tak Dianggap
💕💕💕
Pita bosan. Hampir tiga minggu dia berada di rumah ini dan sama sekali tak melakukan apa pun. Hanya duduk di kamar tanpa jendela seharian. Keluar pun paling hanya ke kamar mandi untuk membersihkan diri atau hanya sekadar mengambil wudhu. Dan makan ke dapur. Itu pun kalau Mbok Nah sudah memanggil.
Mau melakukan sesuatu, Pita tidak tahu. Takut dipandang salah dan kena omel kalau sampai ketahuan. Lebih-lebih, Resti sudah pulang sejak kemarin lusa. Sebisa mungkin Pita berusaha tak terlihat.
Mendesah, ia bangkit dari ranjang. Berdiri di depan cermin setinggi badan yang tertempel di sudut kamar. Memerhatikan penampilannya yang jauh berbeda ketimbang dulu. Baju yang ia kenakan bagus. Kainnya halus dan dingin. Harganya pasti mahal.
Bukan hanya pakaian yang berubah, wajah Pita juga tak lagi kusam. Gustav membelikannya banyak sekali berbagai macam perawatan tubuh. Dari ujung kaki hingga kepala. Krim-krim yang katanya harus dipakai saat pagi dan sebelum tidur. Juga masker seminggu dua kali.
Merepotkan sekali.
Berpikir sejenak, Pita memutuskan untuk memberanikan diri keluar. Semoga saja Gistav dan Resti sedang tidak di rumah. Kalau beruntung, ia ingin ikut Mbok Nah berbelanja ke pasar. Kemarin wanita paruh baya itu sempat mengajaknya, tapi Pita belum memastikan. Takut keadaan tak mendukung.
Begitu membuka pintu kamar, ia celangak-celinguk. Rumah sepi. Tak ada suara apa pun terdngar. Hanya denting samar dari dapur dan bunyi kran di kamar mandi luar.
Aman. Pita segera melipir mencari keberadaan Mbok Nah yang biasanya jam segini tengah memasak untuk sarapan.
Benar saja, beliau di dapur. Sedang ... "Itu mau diapain, Mbok?"
Mbok Nah yang hendak membuang sesuatu ke tempat sampah, menghentikan gerak tangannya demi menoleh pada Pita. Wanita paruh baya itu mendelik lantaran istri baru majikannya nyaris membuat ia gagal jantung.
"Ngagetin aja sih, Neng!" tegurnya setengah menggerutu. Sama sekali tak merasa sungkan. Tentu saja, Pita bukan majikan kendati posisinya sebagai istri bos. Seluruh penghuni rumah ini seakan tahu, pernikahan itu sekadar status. Kaduanya juga tinggal di kamar terpisah dengan komunikasi yang sangat jarang. Setiap waktu makan, Pita selalu melakukannya di dapur bersama para pekerja. Resti bahkan tak pernah menganggapnya ada.
"Hehe ... maaf." Pita nyengir polos, dan kalau sudah begitu, Mbok Nah tak tega mengomelinya. "Lagian itu nasinya mau diapain, Mbok?"
Mbok Nah menoleh pada wadah magicom berisi nasi sisa semalam yang sudah hampir basi. Hendak menuangkannya pada tempat sampah dapur. "Mau dibuang, atuh."
"Boleh Pita liat?"
"Buat apa?" tanya Mbok Nah sangsi. Kendati demikian, ia mengurungkan niatnya semula dan menghampiri Pita yang berdiri di sisi kitchen island.
Pita hanya tersenyum kecil. Mengambil wadah berbahan aluminium yang hampir terisi penuh itu. Melihatnya, kemudian dengan tangan lantas mendekatkan pada hidung.
Teksturnya masih bagus. Tidak terlalu lengket dan baunya juga belum menyengat. Nasi begini mau dibuang?
"Ini belum basi, Bi," katanya pelan, teramat sayang. Dulu bahkan Pita pernah mengonsumsi nasi yang lebih buruk saat kondisi keuangan keluarganya benar-benar tak tertolong. "Bisa dihangatkan lagi atau dijemur buat camilan."
"Siapa yang mau makan atuh, Neng? Bu Resti sama mas Gus bisa marah kalau dihidagkan nasi sisa," ujar Mbok Nah sembari mengerjakan tugas dapur yang lain. Mencuci beras di wastafel untuk ditanak. Menu sarapan pagi ini memang belum disiapkan. Kalau tidak salah, kemarin ibu mertuanya menyuruh Mbok Nah membuatkan nasi goreng.
Melirik jam dinding di atas pintu dapur, Pita mengalihkan pandangan ke luar. Sudah pukul enam pagi, tapi baik Resti maupun Gustav belum ada yang bangun.
"Kenapa bukan kita aja yang makan?" jawab Pita dengan tanya. Pertanyaan polos yang sukses membuat Mbok Nah menoleh dari wastafel ke arahnya dengan banyak kerutan di sekitar kening dan mata.
"Nasi sisa?"
"Tapi ini masih bagus kok, Mbok."
"Kalau mau, Neng Pita aja yang makan, saya sama yang lain sih nggak biasa." Ada nada merendahkan yang terselip dalam kalimat Mbok Nah, tak terlalu kentara memang, tapi Pita menyadarinya.
Memaksakan senyum agar tetap bertahan di bibirnya, Pita mengangguk. "Iya, buat saya aja," katanya sembari berbalik. Mengambil nampan bulat lebar yang tersimpan di kolong dapur.
Dielapnya benda itu sampai bersih, lalu pelan-pelan menyentong seluruh isi dalam wadah magicom. Memindakannya ke atas nampan. Kemudian diratakan sampai hampir setiap butir terpisah. Mbok Nah hanya sesekali melirik tanpa minat. Melanjutkan pekerjaannya sendiri karena menu sarapan harus sudah jadi sebelum Gustav berangkat kerja jam delapan nanti.
Saat pita mengangkat nampan berisi nasi sisa yang sudah diratakan, hendak membawanya ke halaman belakang, Mbok Nah menarik ujung bajunya, menatap Pita tak yakin, "Mau diapain atuh, Neng?"
"Dijemur."
"Ke halaman belakang?"
Pita mengengguk dua kali. Sama sekali tak mengerti akan kecemasan Mbok Nah yang menurutnya tak masuk akal.
"Atuhlah jangan aneh-aneh. Kalau ketahuan Mas Gus sama Bu Resti nanti saya yang kena. Lagian itu buat apa, sih?"
Benar juga. Pita menunduk muram. Memerhatikan nampan di depan perutnya yang ditahan dengan dua tangan. Kalau sampai Resti atau Gustav melihat keberadaan nampan ini di halaman belakang dengan nasi sisa yang dijemur, bisa-bisa Pita kena omel lagi. Bukan hanya Pita, pasti Mbok Nah juga kena.
"Jadi baiknya dijemur di mana ya, Mbok? yang kiranya nggak ketahuan sama mereka?"
Mbok Nah melepaskan tarikannya pada bagian belakang baju Pita. Tampak berpikir.
Sejujurnya beliau kasihan dengan gadis ini. Di masih terlalu muda dan bodoh. Kepolosannya seringkali membuat Resti marah. Ah, tidak. Bukan hanya kepolosan, karena dengan hanya melihat batang hidungnya saja Resti sudah naik darah. Karenanya Mbok Nah berusaha berbuat baik dan mengajak bicara, meski sebenarnya Mbok Nah tak terlalu menyukai Pita. Karena menurut desas-desus para pekerja di rumah ini, Pita menjebak Gustav agar dinikahi. Oleh karena itu Resti benci dan Gustav tak terlalu memganggap keberadaannya.
Alasan lain Mbok Nah tidak suka Pita adalah ini. Meminta para pembantu mengonsumsi makanan sisa? Yang benar saja!
"Mmm ..." Mbok Nah menggaruk bagian belakang kepala yang tak gatal. "Mungkin di halaman atas kali, ya?" gumamnya. "Bu Resti sama Mas Gus jarang ke sana. Biasanya kalau minggu si Mas pas olahraga aja."
"Halaman atas?"
"Iya. Taman buatan yang ada di lantai tiga. Dekat ruang gym."
"Boleh jemur di sana?"
"Harusnya sih, nggak. Tapi, mending jemur di sana aja biar lebih aman. Tapi kalau ketahuan, jangan bawa-bawa nama saya ya, Neng."
Pita mengangguk semangat. Ia langsung berbalik. Meletakkan nampan besi itu di atas kepala dan memegangi dengan satu tangan agar bisa bergerak lebih gesit. lantas melangkah setengah berlari menuju halaman atas yang dimaskud Mbok Nah. Berharap sekali para majikan di rumah ini masih terlelap dalam mimpi.
Saking semangatnya, Pita bahkan menaiki anak-anak tangga sekali dua. tak menyadari di lorong lantai dua Resti sudah keluar dari kamar, hendak turun ke bawah.
Tepat saat berbelok ke lorong yang mengarah pada tangga lain menuju lantai tiga, Pita tidak sengaja menubruk sang ibu mertua yang tak terlalu memerhatikan jalan lantaran sibuk menyampul ikatan jubah tidurnya yang mulai longgar.
Baik Pita maupun Resti sama-sama memekik kaget. Resti yang baru bangun tidur dan masih setengah linglung, langsung tersungkur.
Nampan besi putih di atas kepala Pita meleset ke depan. Dan jatuh dalam posisi terbalik tepat ke atas kepala Resti dengan seluruh isinya yang tumpah memandikan tubuh tambun sang ibu mertua sebelum jatuh ke lantai membuat suara kelontang yang nyaring dan menghebohkan seluruh penghuni di rumah besar itu.
"GADIS SIALAANNNN .... APA YANG KAMU LAKUKAN PADA SAYA?!"
Mendengar teriakan menggelegar itu dari lantai atas, Mbok Nah serta Bi Minar yang semula berada di kamar mandi mencuci pakaian, kontan lari tergopoh-gopoh saling susul menuju sumber suara. Tiba di puncak tangga, keduanya praktis mematung dengan mulut menganga saat melihat pandangan beberapa meter di hadapan mereka.
Pita yang berdiri ketakutan dan Resti yang terduduk di lantai dengan seluruh tubuh berlumur nasi sisa semalam.
Pita dalam bahaya! pikir mereka. Dan benar saja, karena detik kemudian Gustav juga tiba dengan penampilan bangun tidurnya yang acak-acakan.
"Pita, kamu apakan ibu saya?!" tanyanya dengan suara yang berhasil membuat bulu roman semua orang meremang.
💕💕💕
Di sini dingin. Pengap. Gelap. Bau apak memenuhi ruangan. Dan sejauh ia meraba, debu tebal mengotori tangan.
Pita terisak. Ujung kepalanya perih dan kepalanya nyut-nyutan. Perut kelaparan.
Memeluk diri sendiri dengan begitu erat, ia meringkuk di atas kardus yang digelar. Entah berapa jam berlalu, Pita sudah jatuh tertidur beberapa kali dalam kesakitan.
Ia dihukum atas kesalahan tadi pagi. Dikurung di gudang belakang tanpa makan setelah ditampar dan dijambak ibu mertuanya.
Pita bersalah, ia sadar. Jadi dirinya tak bisa memprotes apa pun, Mungkin ini ganjaran yang setimpal karena sudah membuat Resti jatuh dan kotor.
Gustav juga sempat marah, tapi terhenti begitu Pita yang berdiri gemetar serta-merta ditampar kelewat keras oleh ibunya hingga jatuh tersungkur.
"Mama!" serunya. Barangkali kaget, tak menyangka Resti akan bermain tangan.
"Apa?!" Resti meraung marah. "Kamu lihat ini? Kamu lihat kondisi Mama?" Beliau menunjuk diri sendiri dengan napas terengah lantaran emosi. "Istri sialan kamu ini berani-beraninya menuangkan nasi busuk pada Mama!"
Gustav bungkam. Dia sempat menatap Pita kecewa. Dan itu lebih menyakitkan dari tamparan Resti. Karena sungguh, Pita tak sengaja meakukannya, tapi padangan Gustav menyiratkan sebaliknya.
Memegangi pipi yang sepertinya bengkak saking kerasnya tamparan sang ibu mertua, sengatan tajam Pita rasakan seiring dengan kepalanya yang tersentak ke belakang.
Resti menjambak rambutnya dibalik kerudung hingga jilbab persegi yang Pita kenakan nyaris terlepas.
"Kamu bukan siapa-siapa di rumah ini, tapi sudah berani berniat mencelakai saya?!"
Pita meringis. Ia melirik Mbok Nah penuh permohonan. berharap asisten rumah tangga Gustav yang paling baik padanya itu mau membantu dengan mengatakan pada Resti bahwa nasi sisa yang dibawanya hanya untuk dijemur di halaman atas. Bukan untuk ditumpahkan pada siapa pun, terutama Resti.
Namun, alih-alih membantu, Mbok Nah justru berpaling muka dengan ekspresi tak berdaya. Pita mengerti. Mbok Nah tidak berani.
Didorong ke depan, Pita kembali mendapat tamparan keras di sisi pipi sebelah hingga bibirnya robek. Kerudung yang ia kenakan sepenuhnya terlepas.
"Ma, sudah!" Gustav menahan tubuh Resti saat beliau hendak menendah tubuh kecil Pita. "Cukup, Ma!"
"Cukup kamu bilang?!" dia memberontak, berusaha melepaskan diri dari belitan Gustav. "Istri sialan kamu sudah keterlaluan, Gus!"
"Ya, tapi nggak harus dipukul juga, kan?"
"Terus, harus Mama apakan manusia nggak berguna ini?!" Reti ganti memelototi Gutav tajam hingga matanya memerah. Ekspresi wajahnya mengerikan. Urat-urat di lehernya sampai menonjol keluar.
Gustav mendesah, menoleh pada Pita yang menangis dalam diam dengan tatapan penuh arti. "Kita bisa memberinya hukuman lain."
"Jadi, kamu tidak terima Mama memukul istri kamu?"
Gustav berpaling kembali pada ibunya seraya mendesah panjang. "Bukan begitu. Tapi, tolong. Jangan sampai hal yang terjadi sama Lumi terulang lagi, Ma."
Resti langsung bungkam. Ia melengos dengan napas masih memburu. Menghindari tatapan Gustav. Berusaha menyembunyikan rasa bersalahnya dalam-dalam. Bukan pada Pita tentu saja.
Gustav menatap Pita diam-diam dari balik bulu matanya yang panjang. Sejujurnya, ini kali kedua ia melihat istrinya setelah pernikahan mereka minggu lalu. Gustav memang sesibuk itu. Berangkat pagi dan pulang tengah malam. Pita juga sepertinya jarang keluar dari kamar. Barangkali menghindarinya, entahlah. Ia juga tak mau peduli.
"Bi Minar, seret dia ke gudang dan jangan diberi makan sampai besok!" perintahnya final setelah hening beberapa saat. Lalu menghentak belitan tangan Gustav dari pinggangnya. "Dan Mbok Nah, bersihkan lantai sampai kembali kinclong!" Tatapan tajam tak lepas ia hujamkan pada Pita yang berbaring menyedihkan di lantai, lantas pergi dari sana, menuju arah kamarnya berada.
Mengingat kejadian tadi pagi, dada Pita kembali sesak. Jantungnya berdenyut nyeri. Tenggorokan wanita itu bagai tersumbat biji salak.
"Ayah," gumam Pita sedih, "Ibu," tambahnya, "Kenapa kalian nggak pernah bilang sama Pita, kalau dunia sekejam ini. Pita sendirian, Yah. Pita takut. Pita kangen pelukan Ibu." Lalu tangisnya menjadi.
Gadis itu mengencangkan pelukan pada tubuhnya yang menggigil. Dua kakinya ia tekuk hingga menekan perut. Berusaha menahan lapar.
Pita sudah pernah hidup susah. Tapi, dia tak pernah dikasari sebegini parah.
Andai, pikir Pita mengelana, andai saja yang menikahinya adalah Wandi, akankah masih sebegini kejam perlakuan yang Pita terima? Ayah suaminya itu terlihat begitu lembut dan baik hati. berbanding terbalik dengan putranya. Hanya wajah mereka saja yang mirip. Sikap, jangan ditanya.
Ah, Gustav. Tidakkah dia khawatir terhadap Pita yang terkurung di sini. Sendirian. Seburuk apa pun Pita, bukankah ia masih istrinya?
Istri yang tak dianggap, batin Pita pilu. Air matanya menderas.
Berusaha terlelap lagi agar seluruh sakit di tubuh tak terasa, bunyi kunci yang diputar terdengar. mata Pita sontak kembali terbuka penuh harap.
Apa dua puluh empat jam sudah lewat? Apa hukumannya berakhir? Apa Mbok nah datang menolong?
Pintu gudang terbuka separuh, sebatas bisa dilewati satu orang. Bayang-bayang panjang terlihat samar di mata Pita yang bengkak saat cahaya lampu kekuningan dari luar masuk melewati celah pintu, sebelum mengecil dan kembali hilang. Menyisakan gelelapan dan bunyi kunci yang kembali diputar.
Pita mendesah kecewa. Namun dua detik kemudian, cahaya itu datang lagi, tapi bukan dari celah pintu, melainkan dari senter persegi yang dipegang seseorang. Menyipit agar pandangannya makin jelas, bola mata Pita melebar saat melihat yang menjulang tinggi di hadapannya adalah ... Gustav.
Pita beringsut makin jauh hingga bergeser dari kardus bekas yang ia jadikan alas. Hingga tubuhnya makin dingin lantaran langsung bersentuhan dengan keramik penuh debu di ruang itu.
Untuk apa Gustav datang?
hendak menolongnyakah? atau memberi hukuman tambahan?
💕💕💕
Saya udah bilang ini bakal kayak FTV azab, tapi kalian masih bertahan sampai sejauh ini😝
Buat yang nggak suka drama, harap melipir daripada mual😂
30 Okt 2019
Repost, 09 Mar 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top