10 | Sesuatu yang Berharga
10
Sesuatu yang Berharga
💕💕💕
Jam sudah menunjuk angka empat lewat sembilan menit saat Gustav membuka mata. Lelaki itu mengerang sebelum bangkit. Menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang sambil sesekali mengucek mata. Mendongak ke dinding di seberang tempat tidur, ia mendesah. Sudah sore ternyata.
Gustav hendak menyibak selimut saat menyadari sesuatu.
Dia telanjang. Bulat. Di atas ranjang kamarnya yang besar.
Menyipitkan mata, ia mencoba mengingat kejadian beberapa jam lalu. Dan ... kemudian menyeringai menyadari dirinya untuk pertama kali setelah dua tahun, kembali berhubungan dengan seseorang.
Istrinya.
Tapi, pandangan Gustav meliar ke seluruh penjuru kamar. Kosong. Wanita mungil yang beberapa saat lalu sempat merengek-rengek itu tak ada di sini. Hanya bercak kecil berwarna kemerahan yang tertinggal di seprai putih polos pembungkus kasur Gustav yang tersisa. Sebagai penanda bahwa kegiatan intim yang terekam di kepala lelaki itu bukan sekadar mimpi mengenaskan seorang duda.
Tentu tidak. Karena sekarang Gustav bukan lagi duda. Sudah ada seseorang yang halal ia sentuh lagi. Pelampiasan nafsu binatangnya yang sudah lama ia penjarai.
Mengingat kepolosan Pita saat menghadapinya tadi, seringai Gustav berubah menjadi senyum geli. Menikah untuk kali kedua ternyata tidak seburuk itu. Lebih-lebih, kini Gustav yakin dirinya tak sebodoh dan senaif dulu. Hatinya akan selalu menjadi miliknya. Jadi tak perlu khawatir ada yang akan melukai. Istri Gustav hanya sekadar properti. Anggap saja perlengkapan rumah. Dia mau berkhianat pun, Gustav tak akan peduli. Yang pasti, setiap kali butuh, Pita sudah harus merelakan diri.
Yah, sesederhana itu konsep pernikahan yang Gustav inginkan.
Omong-omong tentang Pita, Gustav mendengus sebal. Berani sekali gadis--ah, wanita itu meninggalkan Gustav sendirian tanpa izin.
Turun dari ranjang, Gustav membuka laci, mengambil sesuatu dari dalamnya sebelum meraih boxer dan kaus singlet yang teronggok mengenaskan di lantai. Buru-buru ia mengenakannya sambil melngkah terseok menuju pintu kamar. Hendak mencari Pita yang entah kabur ke mana.
Saat menuruni anak-anak tangga, ia berpapasan dengan Mbok Nah, salah satu sisten rumah tangga yang bekerja di rumah ini sejak pernikahan pertama Gustav. Wanita berusia empat puluh tahun bertubuh kurus itu tampak sedang membongkar 'riasan pelaminan sederhana' hasil kekreatifan Cinta kemarin malam.
"Mbok, lihat istri saya?" tanya Gustav. berhenti di anak tangga kedua dari bawah sambil celangak-celinguk mencari di setiap sudut.
"Neng Pita?" Mbok Nah yang barangkali belum terbiasa dengan satus baru sang majikan, balik bertanya. begitu Gustav mengangguk, beliau menjawab, "Tadi sih saya liat di dapur, Mas. lagi makan. laper banget kayaknya."
Mendengar kalimat terakhir Mbok Nah, alis Gistav naik sebelah. Terakhir yang Gustav ingat, Pita makan tadi pagi dengan hanya setangkup roti sebelum didandani Lumi. Siangnya, dia ketiduran. Bagun-bangun, alih-alih makan, Pita justru termakan. Pantaslah kalau lapar.
Berdeham untuk menyembunyikan senyumnya dari arah pandang Mbok Nah, Gustav melanjutkan langkah menuju arah dapur.
Pita memang ada di sana. duduk di kursi plastik dan menjadikan kitchen island sebagai meja makan. Sudah berganti pakaian dengan yang lebih santai. Bukan. Bukan dengan baju lusuh tentu saja, karena Gustav sudah meminta salah satu asisten keluarganya membuang semua barang lama Pita dan menganti dengan yang baru. Yang lebih sesuai untuk ukuran properti Gustav. Dan ya, dia jauh lebih baik mengenakan salah satu brand kenamaan itu. Membuatnya tampak lebih bersinar dan lebih ... enak dipandang.
Berhenti di ambang pintu, Gustav menyandarkan punggung pada kusen dengan dua tangan terlipat. Memerhatikan Pita yang dengan lahap menggigit paha ayam yang dagingnya bahkan sudah habis. Piringnya pun bersih. Hanya noda sambal yang tersisa. Dia pasti benar-benar kelaparan sampai tak menyadari kehadiran Gustav.
Ah, tidak. Sejauh pengamatan Gustav dua minggu ini, Pita sepertinya memang tipe orang yang hanya bisa fokus pada satu hal. Tapi, perhatiannya gampang teralih. Dia juga sedikit bodoh. Maklum, hanya lulusan SMP. Gustav berdecih remeh mengingat riwayat pendidikan istrinya yang menyedihkan. Hanya tamatan bangku menengah pertama. Mbok Nah saja tamatan SMK.
Tak sabar melihat Pita yang tak kunjung selesai mengemut tulang paha ayam, Gustav akhirnya bersuara juga. "Enak?!" tanyanya retoris, berusaha tidak mendengus.
Pita ... lagi-lagi dia terlonjak kanget sampai-sampai tulang ayamnya terlempar. Hampir saja mengenai kepala Gustav. Ia bahkan Nyaris terjengkang dari kursi plastik andai tak dengan sigap menyeimbangkan diri.
Beristigfar sambil mengelus-elus dada beberapa kali, wanita itu mendongak. Lalu, terkesiap.
Reaksinya yang berlebihan kontan melahirkan banyak kerutan di antara dua alis tebal Gustav yang hampir mirip ulat bulu. Gustav yakin wajahnya tampan. Jauh dari kesan menakutkan. Suaraya juga cukup merdu untuk ukuran seorang yang bukan penyanyi. Tapi, entah kenapa setiap kali ia membuka mulut dan berhadapan dengan istrinya, Pita seolah-seolah melihat hantu. Beruntung tak sampai pingsan. Gustav memberengut tersinggung.
"Ba-ba-bang Gus!"
Satu lagi, Dia juga mendadak gagu.
"Bukan! Gendoruwo!" Gustav yang kesal, mendelik sewot. Pita jangan ditanya, Dia sudah menunduk takut. Piring di atas kitchen island, pelan-pelan ia tarik, lalu disembunyikan di atas pangkuan. Tersembunyi dari arah pandang sang lawan bicara. Gustav makin kesal. Dikiranya ia sepelit itu apa, sampai melarang orang lain—terutama istrinya—makan?!
Namun, ada satu hal yang menarik perhatian Gustav hingga dua tangannya yang semula terlipat di depan dada kembali turun ke sisi-sisi tubuh. Matanya menyipit dan kepalanya sedikit dicondongkan ke depan, meski jaraknya dan pita masih sama sekali tak berkurang. Masih terbentang ruang kosong seluas tiga meter di antara mereka.
Gustav yakin riasan make up Pita sudah dihapus, karena kini wajah istrinya kembali polos. Bibir sewarna delima itu memang sudah pemberian Tuhan, bukan lantaran polesan. Hanya saja ... ada yang berbeda. Pipi Pita merona. Merah sekali, mengingatkan Gustav pada pantat bayi.
Apa dia malu? Pada Gustav? Tapi, kenapa? Tidak mungkin hanya karena ketahuan makan, kan?
Atau ... seringai Gustav kembli hadir.
Menjauhkan punggung dari kusen pintu, ia melangkah. Menghapus jarak di antara mereka. Pita beringsut berusaha menjauh. Yang percuma saja karena posisi kursi tak berpindah. Tahu segala yang dilakukannya sama sekali tak membuahkan hasil, Pita menunduk makin dalam. Pipinya kian memerah.
"Apa tadi saya menyakiti kamu?" Tidak, Gustav sama sekali tidak bertanya sebagai bentuk berhatian. Malainkan ... hanya sekadar ingin menggoda wanita muda yang baru saja lepas perawan. Ia berhenti tepat di depan pita. Dua tangannya ditumpukan pada meja alumium yang menjadi pemisah raga mereka.
"Me-me-menyaki-kiti?" ulang Pita sambil bergerak tak nyaman.
Gustav memutar bola mata. Gagu dadakan Pita yang selalu kumat 'hanya' saat sedang bersamanya itu terasa sangat menganggu. Padahal saat sedang berbicara dengan Wandi, Cinta, atau para pembantu, suaranya baik-baik saja. Dengan Lumi dan Resti pun tak separah ini.
"Lidah kamu kenapa? Mau saya kerok pake emas?!" Dan Gustav yang tak sabaran, batal lanjut menggoda lantaran kembali kesal.
Pita yang sepertinya tak paham dengan topik pembicaraan mereka yang melompat-lompat, mendongak dengan wajah polosnya. Mata sewarna cokelat madu itu berpendar penuh tanya. Rona di pipinya sedikit berkurang.
Yah, Pita segampang itu teralihkan.
"Ke-kenapa dengan li-lidah saya?"
Tapi, gagunya masih tetap. Gustav menahan geram.
"Penyakit gagu kamu parah," jawab Gustav terlalu jujur. Setengah sarkas. "Orang bilang, kalau ada bocah yang bicaranya gagu, lidahnya harus dikerok pake emas tepat di bawah matahari saat siang bolong."
Pita menggeleng cepat. Ngeri mendengar penjelasan Gustav. "Sa-saya ti-tidak g-g-gagu!"
"Buktinya itu. Cara bicara kamu setiap kali berhadapan dengan saya."
Pita menggigit bibir. Menghindari tatapan mata Gustav yang sejak tadi enggan berpaling. Bingung harus menjawab apa. Karena dirinya pun tak tahu. Ia memang begitu setiap kali berbicara dengan seseorang yang membuat tak nyaman dan dianggapnya mengerikan. Sejauh ini yang paling mengerikan adalah Gustav. bahkan terhadap Juragan Basir Pita tak separah ini.
"Jadi benar kamu gagu?" tanya Gustav lagi karena Pita tak kunjung mejawab. Wanita itu kembali mengeleng, hanya saja kali ini lebih pelan.
"Kalau begitu coba bicara tanpa patah-patah."
Pita melirik sekilas. Saat menyadari Gustav masih memerhatikannya, buru-buru ia membuang muka. Bibirnya sempat bergetar saat hendak berucap, "Mmmm-maaf." Tak berhasil, Pita mengutuk dirinya sendiri. Satu kakinya ia hentak-hentakan ke lantai. Makin merasa tak nyaman berada di bawah tatapan mata Gustav yang begitu tajam. Mengingatkan Pita pada tatapan lelaki itu saat ... saat melihat tubuhnya yang telanjang.
Telanjang! Oh Tuhan, Gutav sudah melihat semuanya. Semua, termasuk banyak hal yang coba Pita sembunyikan. Gustav bahkan menyadari keberadaan tahi lalat kecil di bawah tulang belikat Pita dan menyentuhnya berlama-lama. Sesekali mengecup. Dan mengingat sentuhan itu serta merta membuat Pita panas dingin.
Uuh ... Pita malu. Gugup. Dan jutaan rasa lain yang membuatnya ingin sekali memuai menjadi serpihan abu. Karena itu pula ia langsung kabur begitu Gustav jatuh tertidur lantaran kelelahan setelah ... setelah kegiatan suami istri yang baru Pita tahu ternyata sekompleks itu. Pita bahkan nyaris tak mengenal dirinya sendiri saat merengek pada Gustav untuk sesuatu yang sama sekali asing. Tapi, menyenangkan. Gustav berhasil memebawanya terbang. Tinggi. Sangat tinggi hingga menggapai bintang. Lalu terhempas pelan.
"Kenapa kamu minta maaf?" tanya Gustav kemudian, berhasil membuyarkan ingatan Pita tentang kebersamaan mereka beberapa jam lalu. "Sadar kesalahan kamu yang sudah meninggalkan saya sendirian di kamar setelah ...." Pipi Pita memanas lagi, tahu betul laki-laki itu sengaja menggantung ujung kalimatnya untuk membuat Pita mati kutu.
"Kan, A-a-abang yang nyu-nyuruh keluar se-setelah semu-mua orang pe-pergi." Pita meringis menyadari cara bicaranya yang ternyata memang seburuk itu. Pantas Gustav kesal. Tapi, ia pun tak tahu cara menghentikannya.
"Jangan gagu, Vita, atau saya akan benar-benar mengerok lidah kamu dengan emas."
"J-jangan ...."
"Kalau begitu jangan gagu!" bentak Gustav, tambah kesal karena merasa Pita yang terlalu keras kepala menanggapi peringatannya.
Mendapati nada Gustav yang seketika naik, tubuh kurus Pita lagi-lagi berjenggit. "Ng-nggak bb-bisa," katanya setengah merengek. Bibirnya bahkan sudah mencebik, hendak menangis.
"Kenapa dengan ayah saya bisa?"
Gigitan Pita pada bagian dalam bibirnya mengencang. Ini perasannya saja atau Gustav memang menggeram saat mengajukan pertanyaan berusan?
Tak ingin dibentak lagi, Pita hanya mengeleng tanpa mengeluarkan suara.
"Julurkan lidah kamu."
Hah? Pita mengintipnya melalui bulu mata pendek itu. Tak mengerti.
"Jangan membuat saya mengulangi perintah. Julurkan lidah kamu sekarang! Atau besok siang saya—"
Belum selesai Gustav bicara, Pita sudah lebih dulu mendongakkan kepala dengan mata terpejam. Ragu-ragu, ia julurkan lidah seperti permintaan suaminya yang bersumbu pendek. Pasrah terhadap apa pun yang terjadi. Hanya saja, semoga Pita tidak dicekik. Sekejam-kejamnya Gustav, dia belum pernah bermain tangan. Dan semoga tidak.
Dua detik berlalu, tidak terjadi apa pun. Tapi di detik ketiga, Pita merasakan sesuatu yang dingin dan agak berat jatuh di atas permukaan lidahnya. Rasanya agak aneh.
"Jangan ditelan!" perintah Gustav seolah tahu Pita nyaris membawanya lebih dalam ke area mulut. "Lain kali, jangan pernah lagi meninggalkan saya sendirian di ranjang. Kalau pun ingin pergi, bagunkan saja saya dulu dan izin baik-baik. Mengerti."
Cepat-cepat Pita menganguk. Mengapit benda di atas lidahnya dengan gigi atas bagian depan agar benda tersebut tidak jatuh atau tertelan tanpa berani membuka mata.
Jenak kemudian, sayup-sayup telinga Pita mendengar langkah berat yang dua minggu ini ia kenal sebagai milik Gustav menjauh. Lalu menghilang di lorong yang mengarah ke ruang keluarga.
Pelan, Pita mulai membuka mata. Napas lega terembus pelan dari lubang hidungnya begitu sosok sang suami sudah menghilang.
Melepahkan benda dalam mulut ke atas telapak tangan, mata Pita membulat melihatnya.
Ini ... cincin. Cincin emas sedehana bertahtakan satu permata di bagian tengah.
"Awas jangan sampai hilang!" teriak Gustav dari kejauhan. Seolah tahu Pita sudah melihat pemberiannya dan terpukau.
Ah, lelaki mengerikan itu ... kenapa bisa bertingkah manis juga?
Pipi Pita kembali menghangat seiring dengan ujung-ujung bibirnya yang tertarik ke samping membentuk senyum kecil. Ini kali pertama seseorang memberinya sesuatu yang berharga. Cincin. Emas pula. Pasti mahal. Mana mungkin Pita berani menghilangkannya? Bahaya kalau sampai nanti Gustav minta ganti.
💕💕💕
Hahahahaha ... no comment😝 nunggu kalian komen aja🤣🤣🤣
29 Okt 2019
Repost, 07 Mar 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top