1 | Dampak Masa Lalu

1
Dampak Masa Lalu
💕💕💕

Kenapa Ayah belum pulang?

Pita mondar mandir di depan rumah kontrakannya yang bahkan tak layak disebut tempat tinggal. Hanya sebuah bangunan yang terbuat dari lembar triplek berukuran empat kali dua setengah meter. Berdempet dengan kontrakan lain yang sama tak layak ditinggali.

Sudah jam satu. Pagi. Tak biasanya ayah Pita belum pulang selarut ini. Beliau memang terbiasa lembur, tapi biasanya paling larut, jam sebelas sudah di rumah. Menekan lama angka satu pada tombol ponsel gendutnya dengan sedikit memberi kekuatan lebih karena tombol itu sudah mulai eror, Pita mendekatkan si mungil ke telinga kanan dengan layar kekuningan menampilkan kontak atas nama 'Ayah'.

Bunyi tut ... tut ... tut ... terdengar meyakitkan. Pita menelan ludah kelat seiring dengan nada tunggu yang kian lama terdengar memekak telinga.

Sekali. dua kali. Tiga kali. Tak ada jawaban. Pita tambah resah. Meremas ponsel makin erat, ia memutuskan mencari. Entah ke mana. Terserah. Ia tak bisa terus menunggu dalam ketidakpastian sepeti ini. Pak Risman, tetangga di ujung gang yang bekerja di pabrik rokok yang sama dengan ayahnya bahkan sudah pulang sejak isya. Saat Pita bertanya, beliau hanya menjawab kalau ayahnya menitipkan pesan agar Pita tidur duluan. Durham memilih lembur seperti biasa. Bukan tanpa alasan. Keluarga mereka memiliki hutang cukup besar pada pemilik rumah kontrak tempat mereka tinggal. Bukan, bukan biaya bulanan yang menunggak. Melainkan hutang untuk membiayai ibu Pita yang sakit keras. Tiga tahun lalu. Meski percuma. Karena Tuhan lebih menyayanginya. Ibu Pita meninggal. Menyisakan hutang puluhan juta yang bahkan sampai saat ini belum bisa mereka lunasi.

Dan kalau sampai akhir tahun masih tersisa, maka .... Pita menggeleng keras. menolak berpikiran jelek. Sisa sembilan juta lagi. Mereka pasti bisa dengan bekerja lebih giat dan lebih keras.

Tiba di ujung gang, Pita menggigit bibir tapa bisa melakukan apa pun. Matanya nyalang menatap pintu triplek rumah Pak Risman. Ragu. Keluarga kecil Pak Risman yang hidup bahagia meski dengan kondisi perekonomian yang mencekik, pasti tengah pulas dalam tidur. Egois sekali kalau Pita berkeras membangunkan seluruh penghuni di dalam sana dengan bunyi ketukan jemarinya yang kasar.

Tapi, Ayah belum pulang. Satu suara dari ujung terjauh dalam kepalanya menjerit. Makin membuat Pita khawatir. Mengangkat satu tangan tak yakin, ia membuat keputusan.

Namun belum juga kulitnya bersentuhan dengan daun triplek yang terkelupas di banyak sisi itu, pintu rumah Pak Risman lebih dulu bergerak mundur. Memberi celah cukup lebar sampai sosok yang akrab ia panggil paman muncul. Lelaki susia ayahnya terkesiap kasar. Barangkali kaget, tak menyangka akan menjumpai Pita berdiri di muka pintu rumahnya di pagi buta.

"Pita," gumamnya sarat ... ketakutan. Pupil Pak Risman bahkan tampak mengecil. "Kamu—"

"Iya, ini Pita, Paman." Pita memaksakan senyum yang berakhir gagal. Bibirnya sulit diajak bekerja sama untuk membuat lengkungan. "Ayah belum pulang," ujarnya kemudian tanpa basa-basi. Kerongkongannya perih sekali saat berucap. Dan ... entah mengapa telaga bening gadis itu terasa panas. "Apa pabrik rokoknya memang biasa buka dua puluh empat jam? Ayah nggak mungkin lembur semalaman sampai nggak pulang kan, Paman?"

Sudut-sudut bibir Pak Risman  turun, pun kerutan bibir hitamnya yang terlihat tak menyenangkan. "Pita," beliau menatap gadis muda di depannya tak tega, "barusan Paman dapat telepon."

Mendengarnya, bola mata bulat Pita membundar penuh harap. Genangan samar di kedua kelereng cokelat madu itu bertambah lantaran haru. Akhirnya ia mendapat kabar. Tanpa harus merasa terpaksa, bibir tipisya membentuk senyum simpul. "Dari Ayah, kan?"

Kepala Pak Risman tampak berat sekali saat menggeleng. Senyum Pita lenyap secepat datangnya. "Lalu dari siapa?" tanyanya setengah tercekat.

"Suara asing."

Bahu Pita melorot seiring dengan kepalanya yang tertuduk lesu. "Bukan kabar dari Ayah."

"Dia bilang," Pak Risman melanjutkan dengan tatapan mengasihani, "Ayah kamu ... kecelakaan. Di rumah sakit. Kritis."

Pita pingsan.

***

"Kamu pulang?"

Gustav Elkavi Hutama menghentikan langkahnya tepat di undakan tangga terbawah begitu mendengar suara lembut milik sang ibu mengudara di ruang luas nan sunyi itu. Suana temaran lantan nyaris semua lampu telah dimatikan, membuat Gustav harus memicing untuk bisa menemukan sosok tambun Resti yang menjulang di ambang pintu kamar beliau di ujung lorong.

Dalam balutan daster rumahan, wanita yang Gustav panggil dengan sebutan mama itu melangkah. Mendekati putra semata wayangnya yang nyaris selalu pulang pagi buta. Tiba di depan Gustav yang sudah berbalik badan, Resti mengulurkan tangan, yang Gustav sambut dengan senyum kecil sebelum mencium takzim seperti kebiasaannya sejak kecil. Lalu menarik tangan yang sudah keriput itu hingga berakhir dalam pelukan.

"Baru selesai meeting, Ma," ujarnya sebelum menjauhkan diri dengan sorot mata yang begitu lembut. "Maaf."

"Mama bahkan sudah lelah menerima permintaan maaf dari kamu." Gustav tinggi. Sangat. Lebih dari 180 centi, menuruni ayahnya. Membuat Resti yang bertubuh mungil harus selalu mendongak setiap kali mereka berbicara dalam posisi berdiri. "Sudah makan?" tanyanya penuh perhatian.

Sejak perceraian dengan Wandi, Gustav memang lebih memilih tinggal dengannya. Berbeda dengan si bungsu Cinta yang amat sangat kecewa degan keputusan kedua orangtuanya yang memilih mengakhiri hubungan di meja hijau hingga memutuskan tinggal di apartemen sendirian selama masih lajang. Rasa sayang Cinta yang imbang terhadap ayah dan ibunya membuat ia tak bisa memilih. Dan Resti bisa memaklumi itu.

Gustav mendesah. Sudah. Ia sudah makan. Tak smpai satu jam lalu. Bersama kliennya dari Arab yang memesan mobil listrik keluaran terbaru. Salah satu super car andalan showroom-nya saat ini mengingat harga yang cukup terjangkau dengan fitur canggih. Minggu ini Gustav memang sangat sibuk. Peminat mobil jenis ini banyak, terutama kalangan artis dan pejabat. Restorannya bahkan sampai terbengkalai saking tak sempatnya ia tengok. Pulang ke rumah pun hanya karena Resti. Gustav tak ingin membuat ibunya khawatir.

"Mama masak?" Alih-alih menjawab, ia justru balik bertanya. Semoga tidak, batinnya. Karena sungguh, ia masih kenyang.

"Iya. Makanan kesukaan kamu." Oh, tidak! Gustav nyaris mengerang. "Mama nunggu kamu dari tadi. Kangen pengen makan bareng. Akhir-akhir ini kita sudah jarang ketemu meski tinggal si satu rumah. Kamu sibuk terus," ujar Resti dengan sdikit gerutuan di akhir kalimat.

Mendengar sang ibu belum makan karena menunggunya, Gustav tak tega menolak. Mendekap Resti erat, ia berkata setengah hati, "Aku juga mau makan sama Mama."

"Kalau begitu Mama hangatkan dulu makanannya, ya." Melepaskan diri dari dekapan Gustav, Resti melangkah riang menuju dapur. Meninggalkan putranya yang hanya bisa mendesah sambil memukul perut ringan sebelum menghidupkan lampu ruang tengah dan menyusul wanita paruh baya itu.

Gustav sadar ibunya kesepian. Tinggal hanya berdua dengan Gustav dan beberapa pembantu, rumah tak seramai dulu. Meski berat diakui, keadaan seperti ini kadang membuat ia merindukan Lumi. Adik tirinya. Biang dari segala kerusuhan dan masalah yang terjadi di keluarga mereka.

Menarik salah satu kursi makan, ia menjatuhkan bokong. Menatap Resti yang bergerak ke sana-kemari di dapur. Menghangatkan berbagai macam makanan yang alih-alih membikin Gustav berselera, yang ada lelaki itu ingin muntah begitu menghidu aromanya. Tentu saja karena dia sudah kenyang.

"Tadi papa kamu ke sini," ujar Resti sambil lalu. Seolah hal yang ia ceritakan sama sekali tak berarti.

Punggung Gustav sontak menegang mendengarnya. "Papa ke sini? Untuk apa?" Menyipit, Gustav perhatikan bahasa tubuh Resti betul-betul. Berusaha mencari sesuatu, secercah rindu misalnya. Karena ia tahu, ibunya masih sangat mencinyai Wandi. Dan yah, hal itu Gustav temukan di nada suara ibunya yang sedikit ... bergetar.

"Nggak ada." Beliau mengedik sok tak acuh sambil mengaduk sop jagung. Membuat pangan yang dipanaskan makin menguarlan aroma—yang seharusnya—nikmat. "Cuma mau ketemu katanya."

"Hanya itu?" Gustav menolak percaya. Terakhir kedua orangtuanya bertemu enam bulan lalu. Di acara pernikahan Cinta. Wandi selalu berusaha mengajak Resti bicara, tapi wanota itu sebisa mungkin selalu berusaha menjauh. Menjaga jarak dari seseorang yang—Gustav yakin—masih sangat Resti cintai. Hanya saja hantu masa lalu tak mengizinkan mereka terus bersama. Bayang-bayang wanita lain di hati Wandi tak bisa selamanya Resti toleransi.

Yah, penghianatan dalam bentuk apa pun memang tak seharusnya diberi toleransi.

"Apa yang kalian bicarakan selama Papa di sini?"

Resti tak langsung menjawab. Beliau mengangkat sop jagung dari atas kompor. Menuang ke dalam mangkuk lalu beralih pada microwave. "Nggak banyak. Nggak penting juga."

Dua tangan Gustav terlipat di depa dada. "Dia ngajak Mama balikan?"

Resti yang hendak membuka mesin penghangat makanan itu sejenak terhenti hanya untuk tertawa kering kemudian. "Jangan ngaco," katanya setengah bergumam.

Gustav mendengus. Bisa dipastikan benar. Wandi termasuk lelaki plinplan. Siapa pemilik hatinya saja tak bisa dipastikan. Entah Resti atau Rista. Gustav juga tak ingin peduli. Memang dia masih berhubungan baik dengan Wandi. Semata sebagai bentuk bakti. Namun sikap Wandi yang pernah menyakiti hati ibunya tak bisa Gustav benarkan. "Jangan mau, Ma. Aku gapapa kok punya orangtua divorce. Jangan mau Mama kembali makan hati hanya karena kasian liat hidup Papa sekarang."

"Dari pada ngomongin papa kamu terus, mending kita makan." Selesai dengan urusan menghangatkan makanannya, beliau menata di atas meja sebelum mengambilkan piring untuk si sulung. mengisi dengan cukup banyak nasi, sayur dan lauk mengingat posi makan Gustav sebakul. Barulah mengmbil untuk diri sendiri. Sama sekali tak peka dengan ekspresi Gustav yang menatap gunung makanan di piringnya dengan ngeri. Tak yakin bisa habis.

Cukup lama dalam hening yang terasa nyaman, Gustav pasrah menyantap nasi dan lauk dengan cepat, semata kenyangnya tak terlalu terasa.

"Mama kesepian, Gus."

Gustav yang kembali hendak menyuapkan sesendok nasi entah yang ke berapa kali, menghentikan gerak tangannya di udara begitu mendengar keluhan Rasti.

Rasti perempuan kuat. Setidaknya itu yang Gustav tahu. Beliau masih bisa berdiri mendampingi Wandi meski sudah pernah disakiti. Beliau bahkan bisa menerima Aluminia, anak hasil hubungan terlarang Wandi dengan saudara kembar Resti sendiri meski setengah hati. Dan kini, ibunya mangadu. Mengeluh. Kesepian. Gustav yang sejak awal tak berselera makan, makin enggan. Meletakkan kembali sendoknya ke atas piring dengan keadaan masih penuh, ia berkata, "Gustav minta maaf karena nggak bisa berbuat apa pun untuk kesepian Mama. Mama kan tahu, Gus harus kerja. Untuk hidup kita juga."

Resti menyuapakan pangan untuk dirinya sendiri. Ia tak langsung menyahut. Lebih dulu mengunyah pelan dan menelan, lantas menanggapi. "Kamu bisa. Uang bukan segalanya," kata beliau tenang. menatap Gustav lurus-lurus. Mendapati kerutan ketidakpahaman dari sag lawan bicara, Resti melanjukan, "Menikah, Gus. Apa lagi?"

Pembahasan ini lagi. Asam lambung Gustav serasa naik, membuat perutanya yang kekenyangan makin mual. Ia benci pembahasan pernikahan mengingat nasib perkawainnya yang kandas gara-gara perselingkuhan perempuan sialan itu. Gustav bahkan tak sudi menyebut namanya. "Tolong, aku males ngomongin hal-hal semacam itu, Ma."

"Kenapa? Karena Rency pernah menghianati kamu? Nggak semua perempuan begitu, Nak."

"Tidak!" Gustav tak menyangkal. Dia meurunkan kedua tangannya dari meja makan. Bersandar pada punggung kursi. Menatap Resti skeptis. "Cinta tidak begitu. Aku tahu."

Medesah, Resti ikut menyandarkan tubuhnya yang sudah mulai cepat lelah karena usia. "Lalu, apa kamu akan terus hidup sendirian?"

"Aku nggak sendiri. Ada Mama." Gustav keras kepala.

"Lalu setelah Mama mati?"

"Aku punya banyak uang. Aku nggak akan kesepian."

"Mama punya banyak uang. Punya dua anak. Tapi, Mama kesepian."

"Ma, tolong!" Gustas kesal. Dia lelah. Kekenyangan. Dan mengantuk. Besok pagi-pagi dia harus sudah berada di Showroom untuk mendiskusikan pengimporan mobil pesanan pelanggan, lalu mengecek restoran siangnya. Gustav butuh banyak tenaga. Satu-satunya hal yang ia inginkan saat ini hanya istirahat. Tidur. Bukan makan atau kembali mendebatkan hal tak berguna seperti pernikahan.

"Gus, Mama mohon!" Tapi, sepertinya Resti memiliki pemikiran lain. "Sekali ini saja. Mama nggak pernah minta apa pun sama kamu. Hanya ini. Kalau kamu memang berat melakukan untuk diri kamu sendiri, makan lakukan demi Mama."

"Dan kalau aku tetep nggak mau?"

Resti terdiam. Barangkali tak menyangka Gustav akan menanggapi demikian mengingat anak lelakinya tak sekali pun pernah mengecewakan. Membuang muka, beliau kembali bersuara. "Mama punya kandidat yang cocok buat kamu. Dia cantik. Baik. Dari keluarga terpandang. Berpendidikan—"

"Jenis perempuan macam itu banyak, Ma. Tapi, nggak ada jaminan mereka bisa setia dan menghargai perasaan kaum kami," sela Gustav tajam. Sakit hatinya lantaran dikhianati dua tahun silam tak akan pernah bisa ia lupakan. Tak akan. Ia percaya di dunia ini masih banyak yang baik dan setia, sama banyak dengan jumlah betina yang mengerikan dan suka menghianati kepercayaan. Mantan istrinya salah satu contoh. Dan contoh lain, kakak Resti sendiri. Ibu Aluminia. Bukan hanya menghinati kepercayaan Resti, si jahanam itu bahkan tega menelantarkan putrinya sendiri.

Gustav tak ingin bertemu setan-setan dalam wujud manusia seperti mereka. Resti juga tidak bisa dikatakan sebaik itu. Karena meski berat diakui, Resti salah satu pemain utama yang memulai petaka dalam keluarga mereka yang sudah buruk sejak awal. Demi Tuhan beliau yang merebut Wandi dari Rista. Tapi sebagai anak, Gustav tak bisa menyalahkan sang mama sepenuhnya.

Cukup Gustav terluka dengan masa lalu kedua orangtua dan kisah perkawinannya dua tahun lalu, jangan lagi hal tersebut terulang di masa depan. Jangankan mengalami, membayangkan saja ia tak sanggup. Sakitnya luar biasa.

Namun Resti yang keras kepala seolah tak mendengar kalimat tajam Gustav, beliau tetap melanjutkan, "Lusa Mama akan membawanya ke sini. Saat makan malam. Kalau kamu tidak pulang tepat waktu, maka saat kamu tiba, Mama pastikan kamu nggak akan menemukan Mama di rumah ini lagi."

Gustav bungkam. Gerahamnya mengetat. Lelaki itu menatap ibunya yang masih memandang entah apa di kejauhkan sana dengan api kemarahan. Bukan. Bukan kemarahan pada Resti, tapi lebih pada keadaan mereka dan takdir yang menyebalkan ini.

Lantas, apa sekarang Gustav punya pilihan?

💕💕💕

Yeay ... bab satu akhirnya meluncur, Cah.

17 Okt 2019

Repost, 17 Feb 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top