Bab 3: Rapat
Rapat dilaksanakan pagi hari, Kates masih mengingat mimpinya semalam, kakinya terus berjalan, mengkhianati rasa khawatirnya kepada sang adik. Seperti tidak ada sinyal waspada, ia terus saja berjalan. Layaknya anak indigo yang bisa mematikan gelombang. Ia acuhkan segala rasa gaib yang ada.
Kates masuk ke dalam riang rapat, ia duduk di salah satu bangku. Minten, Gio, dan juga Juan sudah duduk di tempatnya masing-masing. Kates masih mengatur tempat duduknya, mencari titik aman yang bisa membuatnya lupa akan mimpi semalam.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Minten.
"Nggak apa-apa," jawab Kates, ia membelai rambutnya, mengusap keringatnya dengan tissue. Ia melihat wajah temannya yang keturunan kuntilanak-anjing itu.
"Lo kayak pucat gitu."
"Mimpi buruk semalam, biasa."
"Si nenek?" bisik Minten.
"Bukan, bukan dia. "Permen."
Minten mengangguk, sebagai keturunan kuntilanak ia paham, bila yang dimaksud Kates adalah pocong. Pocong memang mengesalkan, apalagi bila sudah masuk ke dalam mimpi. Minten juga ada pengalaman buruk dengan pocong. Beberapa pocong memiliki sifat angkuh yang sangat menjadi-jadi bila diladeni.
Seperti halnya dengan Lucifer, atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Mysterious God. Makhluk itu kesombongannya tidak main-main, pocong dan para permennya bukanlah tandingan Lucifer dalam hal kesombongan.
Kembali ke poocng, Minten pernah suatu kali memakan es krim, lalu keluarga pocong mendekatinya, menghakiminya karena katanya mukanya jelek. Minten menangis, lalu ia mengingatkan mereka agar tidak sombong dan menyuruh mereka untuk mengingat Tuhan tetapi itu tidak mempan bagi mereka
Yang ada itu adalah penderitaan Minten, ia dihina lalu dimaki-maki dengan perkataan yang tidak senonoh, dibilang pelacur kunti. Ia sering berkondlik dengan mereka. Berkelahi bahkan mengumpat-umpat mereka.
Minten sebenarnya orang yang pendiam, namun bila diganggu, ia bisa mendadak mengamuk lalu mengusir para pocong yang sangat diskriminatif terhadapnya. Kini, ia tidak mau memikirkan mereka lagi, ia hanya ingin konsentrasi untuk rapat.
Rapat pun akhirnya dimuai, beberapa orang sudah bersiap-siap. Kates memimpin rapat, para anggota rapat mendengarkan pengarahan Renata selama rapat berlangsung.
"Kalau kita hitung-hitung, kita bisa melaksanakan acara ini dua minggu lagi. Ini bisa dilaksanakan kalau dana kita sangat kuat." Kates berkata, lalu ia menatap Juan.
"Juan, bagaimana dana kita saat ini? Apakah peserta yang ikut acara semuanya sudah membayar biaya acara?"
Juan berdehem, ia membuka catatannya, ia membaca total hasil dana yang terkumpul. Wajah Juan tersenyum sumringah. Dana yang sudah terkumpul sudah melebhi target, artinya beberapa minggu lagi acara dapat dilaksanakan.
Acara untuk melatih kebersamaan dan kerjasama diharapkan bisa dilaksanakan secara lancar, begitu pikir Juan.
"Dana yang terkumpul sebesar tiga ratus juta rupiah, ini sudah lebih dari cukup."
Para peserta rapat ikit tersenyum, Kates pun juga tersenyum. "Untuk seksi konsumsi, Minten, bagaimana alokasi biaya makanan pas acara? Apa makanannya?"
Minten merapikan rambutnya lalu menjelaskan dengan suara jelas. "Nanti kita akan makan ayam bakar, nasi rawon, dan juga sayur-mayur. Ada pun buah-buahan nanti tim kami yang sedang mencari buah apa yang cocok dikonsumsi."
"Catat saja, apel, pisang. Itu dulu," balas Kates.
"Baik."
"Bagaimana dengan seksi keamanan? Apakah sudah siap semua?
Keamananan, P3K?" mata Kates kali ini mengarah kepada Gio.
"Sudah, bahkan gue sudah dikasih tahu ke Juan, apa yang harus dibeli."
"Bagus untuk saat ini rapat selesai, terakhir, rundown acara sudah gue susun dan nanti malam gue share di grup.
Gue juga minta maaf Herman tidak bisa hadir saat ini dikarenakan bentrok dengan kelas lain."
Para peserta mengangguk. Kates dan teman-temannya keluar dari ruang rapat. Kates sedikit lelah karena sulit menghubungi Herman. Namun, ada titik terang, beberapa menit setelahnya Herman muncul dari tangga berjalan ke arahnnya."
"Sayaang! Gimana rapatnya? Maaf ada kelas dadakan. Aku udah kasih tahu di grup."
"Semuanya baik, aman. Gimana kamu kelasnya?"
"Kelas aku seru banget! Kuis aku dapat A."
"Wah hebat! Senang deh punya pacar anak ilkom terus cerdas lagi!"
"Kayak kamu! Psikolog hatiku!"
"Ih apa deh kamu, gombal! Oh ya, makan yuk di kantin, mau siomay."
Mereka pun makan siomay pedas favorit mereka berdua. Siomay-siomay lumer di mulut Herman. Herman melamun dan menikmat makanan paling favorit di kantin. Ia sedang melamun Indira. Ia ingin tahu, gaya seks apa apalagi yang harus ia lakukan bersama ibu angkatnya itu.
"Kenapa senyum-senyum?" Kates tertawa, tangan kanannya mengusap-usap rambut Herman.
"Nggak, abis nonton kartun semalam, lucu banget!"
"Kamu tuh kalau nonton kartun ya ngajak-ngajak gitu loh. Aku kan ingin melihat kartun sesekali."
"Ah aku tahu, kamu pasti mau nonton kartun horor kan?"
"Udah bosen kali lihat setan. Hehehe! Udah lihat guling lompat belum? Kamu berani nggak ketemu guling lompat?"
Wajah Kates berubah. Ia seperti ditantang untuk menghancurkan pocong. Sebenarnya a ingin bercerita tentang mimpinya, tapi ia malas karena Herman bisa-bisa minta ikut ia penelusuran ke alam jin.
"Kamu kenapa?"
"Pocong kan nyeremin. Aku nggak berani. Aku yang indigo aja nggak berani."
Mendadak ada sebuah suara yang menghampiri mereka, Minten dan Gio saling berangkulan sambil ke kantin.
"Hei kalian pasangan yang suka nempel terus, serasa ya bumi milik kalian berdua." Minten meledek sepasang kekasih di depannya.
"Hah lo! Lo jug berduaan mulu sama Go. Jangan-jangan kalian tidak bisa lepas. Nempel mulu."
"Ya dong, kita kan pasangan terbaik. Ya, gak?" Minten memanyunkan bibirnya. Gio tanpa basa-basi mengecup bibir Minten. Keduanya malu-malu."
"Ciuman jangan di sini, nggak seru!" ledek Herman.
"Apaan sih lo Man! Kayak pernah ngentot aja," ejek Gio membalas.
"Hey, bahasamu." Minten menggeleng-gelengkan kepala.
"Udah sini kalian berdua duduk, kita double date, gue yang traktir." Kates berkata.
"Hore!" Minten dan Gio bersorak bersama-sama.
***
Indira tersenyum ketika Herman sudah pulang. Indira tak sabar ingin memijat Herman, anak angkatnya itu. Bi Yuri sedang berseliweran, menyiapkan makanan. Indira selalu berpesan kepada Bi Yuri bila anak-anaknya sudah pulang berarti makanan harus segera disiapkan. Bi Yuri menyiapkan makanan.
"Ma, aku pegal nih! Mau dibalur dong!"
"Ya udah, ke kamar yuk. Bi Yuri, siapkan makanannya lebih cepat! Saya balurin dulu Herman ya Bi!"
Mereka berdua masuk ke dalam kamar Indira. Herman melepas bajunya. Secara agresif Indira menciumi bibir Herman.
"Mana yaaaang pegal sayang?"
""Punggungku pegal, kebanyakan duduk kayaknya."
"Sini aku pijitin." Indira mulai melancarkan rayuannya.
Ia memijat-mijat punggung Herman di saat Herman terngkurap, lalu kemudian ia mengelus-elus punggung Herman.
"Sayang, aku juga pegal, nunggu kamu pulang. Kamu tolong goyang aku ya."
Sontak keduanya bercumbu, perlahan-lahan, Indira memastikan mereka tidak bersuara kencang, khawatir Bi Yuri mendengar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top