11 | Orang Ketiga

1 1 | Orang Ketiga



TANPA perlu Uriel ceritakan, Valdi dan Matthew langsung tahu soal Wisteria kemarin. Saat jam makan siang, Ipoy menceritakan soal Wisteria yang dia temui bersama Uriel di Bloom Market, dan mereka melihat gadis itu akrab bersama Julian.

Dua teman Uriel yang mendengar cerita itu sekarang menatap Uriel dengan agak prihatin. Ini membuat Uriel agak terganggu, sebab dia terlihat seperti orang menyedihkan yang ditolak—padahal bukan itu kenyataannya. Mungkin karena melihat Uriel yang lebih pendiam dari biasanya, ketiga teman Uriel itu tak banyak bicara untuk sementara.

Uriel sempat melihat Wisteria saat berjalan melewati koridor, tapi dia tak menyapa karena Wisteria sedang berjalan berdua dengan Julian. Melihat mereka akrab, Uriel otomatis bertanya-tanya, sedekat apa mereka berdua? Kenapa pula dia harus melihat keakraban Julian dengan calon tunangannya terus-menerus?

"Lo kenal si Julian-Julian ini?" tanya Valdi ketika dia, Uriel, Ipoy, dan Matthew sedang main game di kamar Uriel. Kamar Uriel mendapat sinyal wi-fi paling kencang karena paling dekat dengan router. Mereka kadang memang mengunjungi kamar Uriel hanya untuk mengobrol, baca komik, atau main game.

"Tahu gue," ujar Matthew. "Dia anak konsentrasi akademik, pernah ikut OSN. Emang populer sih. Bokapnya pengusaha garmen."

"Hm." Valdi manggut-manggut. "Apa Wisteria tipe yang peduli banget sama kekayaan keluarga cowok yang mau deketin dia? Harusnya enggak, ya. Riel nggak mungkin naksir cewek kayak gitu."

"Dia nggak terlihat seperti itu," Uriel memberi validasi. "Lagipula, Wisteria sendiri nggak berasal dari keluarga yang status ekonominya kurang. Ibuku pernah bilang, keluarga tiap murid yang bisa sekolah di Kandjaya itu nggak ada yang status ekonominya menengah ke bawah, jadi kita semua nggak perlu mengkhawatirkan dapat pasangan yang sangat struggling dalam masalah finansial."

We have to check our privileges, begitu ibu Uriel sering menasihati putranya.

"Hm, benar kata Riel," ujar Matthew. "Berarti, persaingannya adalah dari segi kepribadian. Siapa tahu Wisteria lebih mau sama cowok yang populer dan supel?"

"Lho, ini si Riel apa kurang populer?" balas Valdi. "Famous dia. Anak kelas satu dari konsentrasi akademik aja tahu kok siapa dia. Memang sih, Riel bukan tipe friendly yang gampang deket sama orang kayak si Julian. Tapi, kepribadian Riel tuh nggak buruk. Cewek yang mau sama dia banyak."

"Iya, bener. Tapi, Riel itu pendiam. Sedangkan Julian lebih easy going, supel. Cewek biasanya lebih suka cowok yang lebih approachable. Makanya cewek rata-rata suka sama cowok humoris."

"Tapi kan ada cewek-cewek yang sukanya sama cowok cool dan pendiam."

"Lo semua tuh ngelupain satu hal yang lebih penting dari bibit, bebet, bobot itu," sela Ipoy, suaranya lebih keras untuk membuat mereka mendengarkannya. Dia lalu mendekat untuk memberi jawaban, "Kenyamanan."

Valdi ber-oh panjang dan manggut-manggut, sedangkan Matthew hanya bergumam. Valdi lalu berkata, "Bener, sih. Kalo dari segi bibit, bebet, bobot udah sama-sama oke, pasti yang dicari adalah yang paling bisa bikin nyaman. Eh, tapi kalo cowoknya lebih approachable, lebih supel atau humoris, otomatis lebih gampang bikin cewek nyaman, ya nggak sih?"

"Betul," ujar Matthew, lalu melirik Uriel. "Tapi, kita harus lihat realita bahwa Uriel nggak humoris ataupun supel."

Uriel mengernyit. Di balik adu argumen itu, dia agak bingung bagaimana dia harus menjelaskan kepada teman-temannya bahwa sebenarnya, sang ibu sudah menjodohkannya dengan Wisteria tanpa sepengetahuan gadis yang bersangkutan. Orangtua Wisteria belum mengatakannya kepada gadis itu karena Clementine ingin Uriel dan Wisteria mengenal satu sama lain lebih dalam dulu sebelum memberi tahu soal pertunangan mereka. Situasi ini akan sulit dijaga jika dia mengatakan soal pertunangannya kepada Valdi dan yang lain.

"Apa itu artinya, Riel harus belajar cara jadi humoris dan supel biar Wisteria nyaman?" tanya Valdi. "Gimana menurut lo, Yel?"

Uriel mengangkat bahu. "Aku nggak tahu apa yang bikin dia nyaman. Bukankah lebih baik aku bertanya langsung ke dia?"

"Bener juga, ya," ujar Matthew. "Kalau bingung, tanya aja. Sekalian jadi topik pembicaraan buat ice breaker."

"Gitu, Yel," ujar Ipoy. "Jadi tugas lo adalah bikin Wisteria nyaman."

"Iya," ujar Uriel dengan anggukan. "Tapi, apa selama ini, aku udah bikin kalian semua nyaman?"

Semuanya terdiam. Canggung. Beberapa detik berlalu dengan hening. Kemudian Valdi berkata, "Uh ... gimana, ya, Yel? Bukan begitu cara mainnya."

"Cara main? Bukankah harusnya aku bikin dia nyaman?"

"Iya, maksud gue cara bikin cewek nyaman itu beda sama cara bikin temen-temen cowok lo nyaman."

Uriel manggut-manggut. Dia pun beranjak dan mengenakan jaketnya, lalu mengambil parfum untuk menyemprotkan di titik nadi.

Ketiga temannya terbengong.

"Eh, eh, Yel," panggil Matthew. "Ini lo mau pergi? Ke mana?"

Uriel menatapnya. "Mau temuin Wisteria."

"Buat?"

"Bertanya apa hal-hal yang membuat dia nyaman."

"Hah? Harus sekarang banget?"

Uriel mengangguk. "Mumpung asrama putri belum ditutup."

"Bentar dulu, Yel," Valdi mengangkat tangan. "Wisteria bisa aja sibuk. Lo infoin dulu ke orangnya kalau lo mau ketemu."

Uriel bergumam. Untung dia sudah menyimpan kontak Wisteria, jadi dia bisa langsung bertanya kesediaan waktu gadis itu untuk ditemui.

"Bisa kok," ujar Uriel. "Dia bisa ditemui nanti jam setengah sembilan. Aku tinggal tanya apa yang bikin dia nyaman, kan?"

Ketiga teman Uriel menghela napas. Valdi lalu berkata, "Gini nih, kalau cowok udah kebiasaan dideketin cewek. Giliran dianya yang naksir duluan dan mau deketin, malah nggak tahu harus ngapain dulu."

Pesan balasan dari Wisteria muncul. Gadis itu berkata dia bisa ditemui di kantin luar asrama putri pada pukul 20.30. Tapi saat Uriel sudah dalam perjalanan ke lokasi, Wisteria memberi pesan bahwa dia akan tiba agak telat karena urusan anggota timnya.

Hampir lima belas menit Uriel menunggu, akhirnya Wisteria datang juga. Gadis itu langsung berjalan cepat ke arah mejanya. Para penjual di kantin dekat asrama sebenarnya sudah banyak yang tutup, hanya tersisa satu kios warung toserba.

"Maaf banget ya aku telat," ujar Wisteria, terlihat bersalah. Napasnya agak terengah. "Eh, kamu mau beli minum dulu, nggak? Udah makan?"

"Sudah." Uriel tak membeli makanan atau minuman yang tak sesuai dengan dietnya sebagai atlet. "Ada masalah di tim ekskul kamu?"

"Uhm." Wisteria terlihat ragu untuk menjelaskan, dan akhirnya dia berkata, "Aku nggak yakin apa aku bisa cerita soal masalah internal ekskulku ke kamu."

"Kalau begitu, nggak usah diceritakan."

"Aku mau cerita, berhubung kamu mungkin bisa kasih masukan," ujar Wisteria. "Jadi, jagoan tim renang putri kami udah nggak masuk sekolah sejak awal kenaikan kelas. Padahal sebentar lagi kami udah harus daftar untuk olimpiade. Guru-guru dan pelatih kami maunya dia yang didaftarkan. Perenang lain memang ada, tapi nggak ada yang sejago dia. Guru-guru yakin bahwa dia bisa mendapat medali emas untuk kami. Tapi sebagai ketua, aku sadar bahwa masih ada anggota lain yang mau mendapatkan posisi dia. Guru menugaskan aku buat datangi rumah anak ini. Tapi pas aku datangin, pekerja di rumah itu bilang bahwa anak ini lagi nggak ada di rumah. Hapenya nggak bisa dihubungi. Media sosial dia juga udah nggak aktif. Aku pusing."

Uriel bisa paham kenapa hal ini genting. Sebab tim ekskul olahraga sekolah mereka itu bukan sekadar ekskul untuk asik-asikan. Tiap ekskul memegang reputasi dan tuntutan tersendiri untuk mendapat medali dan piala. Sebagai murid dari konsentrasi olahraga, mereka seharusnya tidak underperform. Performa mereka harus bagus dan senantiasa menjadi lebih baik untuk menjaga reputasi, serta untuk membuat portofolio mereka makin bagus.

"Wisteria, kenapa kamu yang terpilih sebagai ketua ekskul renang putri?" tanya Uriel. "Aku bukan meragukan kepemimpinanmu. Tapi, biasanya ketua yang terpilih itu adalah murid dari konsentrasi olahraga. Kamu dari konsentrasi akademik, kan?"

"Iya. Ahh, jadi gini, dua anak renang putri di angkatanku itu student exchange ke luar negeri. Mereka dari konsentrasi olahraga. Pelatih bilang bahwa aku dipilih karena aku yang lebih bisa manage orang dibanding anggota seangkatan yang lain. Kalau dua murid ini nggak student exchange, pasti mereka yang akan terpilih."

Uriel bergumam dan mengangguk. "Terus, kamu mau minta masukan apa dari aku?"

"Aku mau tanya, sebagai pemain andalan di tim kamu, kira-kira apa alasan yang bikin kamu mendadak nggak sekolah berhari-hari, tapi bukan karena sakit?"

Sejenak, Uriel mengambil waktu untuk berpikir. "Kayaknya ... nggak ada. Aku nggak kepikiran untuk meninggalkan tim tanpa kabar sampai berhari-hari. Kecuali ... mungkin kalau aku sengaja mau kabur dari mereka? Tapi, aku nggak punya alasan untuk kabur."

"Kabur, ya." Wisteria mengelus dagunya. "Apa jangan-jangan, anggota aku ini di-bully?"

"Bisa jadi."

"Hmm, begitu." Wisteria mengangguk, lalu berkata, "Eh, maaf ya malah ngobrol soal masalahku duluan. Padahal kamu yang ada urusan sama aku. Kamu mau ngobrol soal apa?"

Uriel terdiam sejenak. Dia tahu bahwa tujuan awalnya adalah bertanya soal apa yang membuat Wisteria nyaman. Tapi karena Wisteria menyinggung soal masalah ekskul renang, dia jadi teringat dengan Julian. Sebab itulah hal yang menganggu pikirannya seharian sejak kemarin malam. Dan, Uriel sendiri heran kenapa dia menunda-nunda waktu untuk menanyakan hal ini ke Wisteria. Kenapa dia tak bertanya langsung saja saat pagi tadi? Kan, tinggal bertanya saja lewat chat. Kenapa dia menunda? Apa dia takut Wisteria memang dekat dengan Julian dan sudah nyaman dengan lelaki itu?

"Wisteria," panggil Uriel. "Kemarin aku lihat kamu jalan bareng Julian di Bloom Market. Kalian udah lama kenal, ya?"

"Oh, kamu di situ juga, toh? Kok nggak nyapa?" tanya Wisteria. "Iya, mungkin bisa dibilang aku udah lama kenal sama Julian. Dia teman SMP aku, tapi dulu nggak terlalu dekat. Sekarang jadi dekat karena kami satu ekskul bareng."

Dekat?

Kalau sudah dekat dari dulu, sekarang sudah sedekat apa?

Itulah yang ingin ditanyakan Uriel. Namun tentu, dia merasa konyol karena emosinya begitu tak stabil saat membicarakan topik ini.

"Oh, begitu," ujar Uriel. "Kalian memang kelihatan akrab."

Wisteria terkekeh. "Kamu juga kelihatan akrab sama teman-temanmu."

"Siapa? Ipoy, Valdi, Matthew?"

"Iya, mereka. Kalian selalu jalan bersama kalau ke kantin."

Uriel menyipitkan mata. "Kamu memerhatikan?"

"Iya, lumayan. Soalnya orang-orang agak heboh sendiri kalau lihat geng kamu lewat."

"Kenapa heboh?"

"Karena kalian populer."

Uriel melihat jam tangannya. Dia masih punya waktu dua puluh menit lagi untuk bicara. Sisanya adalah untuk kembali ke asrama sebelum gerbang dikunci. Jadi dia akan bertanya hal sesuai tujuannya. "Wisteria, kira-kira apa cara yang bisa bikin kamu nyaman sama seseorang? Jika ada orang yang mau dekat sama kamu, apa yang perlu dia lakukan supaya kamu merasa nyaman?"

Alis Wisteria terangkat. "Pertanyaannya unik, ya."

"Itu pertanyaan penting."

"Oh, oke. Cara bikin aku nyaman ya? Hm ... pertama, tanyain keadaanku. Terus ... duh, apa ya? Kayaknya ini butuh waktu buat inget-inget."

"Nggak apa-apa. Aku bebas sampai jam sepuluh kurang lima belas menit." Uriel lalu baru menyadari sesuatu. "Maaf, tadi aku belum tanya. Apa permintaanku buat bertemu itu ganggu kegiatan kamu?"

"Eh, enggak sih. Aku juga lagi free sebenernya, tapi tadi ada urusan mendadak aja, makanya telat. Terus untuk ngejawab pertanyaanmu ... ntar kamu kelamaan nunggu aku mikir gitu. Nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa."

Wisteria bergumam, dia memejamkan mata untuk berpikir. Raut berpikir gadis itu terlihat menggemaskan, sampai-sampai Uriel tak sadar dia tersenyum memerhatikannya.

"Oke," Wisteria membuka mata. "Aku mau dia tanyain kabarku, tapi juga ngabarin soal harinya, jadi aku bisa merasa dekat sama dia. Terus juga bisa jadi pendengar yang baik, nggak langsung meninggalkan aku kalau tahu aku melakukan hal yang nggak dia setujui. Terus, kami bisa makan bareng sesekali." Gadis itu terdiam, lalu bertanya, "Eh, Riel, kamu nanyain ini buat apa ya?"

Uriel mengangkat alis. "Buat pendekatan ke kamu."

"Pendekatan?" Wisteria mengernyit. "Oh! Biar kita nggak asing-asing banget ya kalau ortu kita ketemuan dan ngajak kita ke acara mereka?"

Uriel mengernyit. "Mungkin semacam itu."

"Hm ... oke. Cara kamu deketin aku agak ... unik. Aku baru pertama kali dideketin dengan cara begini."

"Unik dalam artian buruk? Apa kamu merasa terganggu?"

"Sama sekali enggak. Malah rasanya refreshing. Kamu unik."

"Terima kasih."

"Sama-sama! Hehehe." Wisteria pun tersenyum dan bertopang dagu di atas meja. "Kalau kamu, gimana? Hal apa yang bisa bikin kamu merasa nyaman?"

Uriel mengernyit. "Mengobrol, saling bercerita, saling bertanya kabar, bisa mendengarkan dan memberi masukan."

"Kurang lebih mirip-mirip sama aku, ya. Kayaknya kita bisa berteman baik ke depannya."

Begitu pelak, rasa janggal dirasakan Uriel mendengar kata 'berteman' itu. "Maksudku begini, Wisteria." Dia merasa harus meluruskan kesalahpahaman mereka. Karena Uriel tidak mau dianggap 'cuma teman' oleh Wisteria. "Aku bertanya soal kenyamananmu, karena aku mau mendekati kamu. Aku mau berkencan sama kamu." Terdiam sesaat, Uriel pun menambahi, "Ini adalah caraku untuk PDKT."

Wisteria membuka mulut, terlihat tak menyangka Uriel akan mengucapkan hal itu. "O-oh." Dia mengerjap-ngerjap. "Uhm, kamu ... suka sama aku?"

"Bukan. Mungkin belum. Tapi, aku tertarik sama kamu. Baru bisa bilang masih tahap tertarik, karena kita masih belum kenal dekat."

"Betul juga." Wisteria manggut-manggut, lalu tersenyum. "Aku suka karena kamu terus terang seperti ini, Riel. Aku sama sekali nggak keberatan didekati sama kamu. Semoga aku juga bisa bikin kamu nyaman."

Kini, Uriel merasakan debaran yang membuat dia mendadak ingin tersenyum. Banyak hal yang ingin dia tanyakan, seperti, apa makanan kesukaan Wisteria? Warna favoritnya? Apa dia ingin memelihara hewan tertentu? Tipe lelaki seperti apa yang dia suka? Namun segala pertanyaan itu tak sampai ke ujung lidah, sebab Wisteria melihat pesan masuk di ponselnya dan buru-buru membalasnya dengan tampang serius.

"Maaf, Riel. Kayaknya kita nggak bisa lama." ujar Wisteria. "Soalnya tinggal lima belas menit lagi, gerbang asrama ditutup."

"Iya. Kamu udah mau balik?"

"Hmm, tergantung sih, kamu masih mau nanya?"

Uriel melihat jam tangannya. "Kayaknya lebih baik disudahkan saja." Kemudian, Uriel teringat lagi dengan nasihat teman-temannya. "Wisteria, apa ... kamu mau makan siang bareng aku besok?"

"Makan siang di kantin sekolah?" tanya Wisteria. "Boleh kok."

Uriel tersenyum. Ada lonjakan kecil dari dalam hatinya yang tak dia pahami kenapa. Padahal dia hanya diterima untuk makan bersama. Bukan sesuatu yang besar. "Okay, then, see you tomorrow."

Wisteria tersenyum kecil, lalu dia melambai sebelum pergi. "See you."

[ ].

31/5/2023
2k words

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top