07 | Jatuh

0 7 | Jatuh



URIEL mengecek detak jantungnya sendiri.

Apa dia berdebar? Tidak. Jantungnya hanya berdetak seperti normal. Kalau jatuh cinta, bukankah harusnya dia berdebar kencang hingga keringat dingin? Uriel tak merasakan itu di depan Wisteria. Biasa saja. Dia jelas sedang tidak jatuh cinta dengan gadis ini.

Tapi, apa yang sudah direncanakan harus dituntaskan. Dia sudah berusaha untuk berbicara dengan Wisteria. Sayang jika usahanya disia-siakan hanya karena jantungnya tak berdebar di depan gadis itu. "Berdua," ujar Uriel, melirik ke arah gadis di samping Wisteria. "Maaf. Aku mau bicara berdua sama Wisteria."

"Eh, i-iya." Teman Wisteria itu manggut-manggut. "Sure, of course. Take your time. Gue ... eh, Ri, gue duluan ke kamar ya. Ntar lo ketok kamar gue aja kalau udah kelar."

"Oke." Wisteria tersenyum, mengamati kepergian temannya. Kemudian dia menatap Uriel. Pandangan lelaki itu sepertinya tak berhenti mengarah kepadanya, baru teralih sekilas ketika sejenak menatap Jovanka. Wisteria tetap menyunggingkan senyum sopan. "Ya, Uriel? Ada apa?"

"Riel aja," ujar Uriel. "Semua orang manggil namaku begitu."

"Oh, oke. Riel. Ada apa?"

Uriel menimang sejenak apa dulu yang harus dia bahas. Kemudian dia memutuskan, "Aku mau minta nomor kamu."

"Oh, oke. Coba siniin hape kamu." Wisteria mengulurkan tangannya. Uriel memberikan ponselnya untuk diisi nomor Wisteria. Usai itu, Uriel menerima kembali ponselnya untuk menyimpan kontak. "Selesai, ya. Ada lagi?"

Uriel menatap Wisteria dengan ganjil. Dia menyimpan ponselnya dan menegakkan tubuh. "Wisteria, kamu nggak mau ... bahas sesuatu?"

Alis Wisteria menyatu. Sedari tadi, dia merasa Uriel seolah menunggu sesuatu. Tapi dia tak bisa menebak apa tepatnya yang ditunggu Uriel. "Bahas apa?"

Kenapa ... dia kayak orang yang nggak tahu masalah pertunangan ini? Uriel mengernyit menatapi calon tunangannya. Atau dia memang beneran nggak tahu? "Orangtuamu nggak kasih tahu sesuatu?" tanya Uriel. "Tentang aku? Atau ibuku?"

"Uhm ... kalau tentang kamu, nggak terlalu banyak sih. Kalau ibumu sih cukup tahu. Soalnya kami udah lumayan sering ngobrol. Kenapa?"

Ini mencurigakan. "Apa aja yang orangtuamu—atau ibuku—kasih tahu tentang aku?"

"Nggak banyak. Cuma tentang kamu anak voli, masuk Timnas U19, orangtuamu cerai sejak kamu kecil." Wisteria mengingat-ingat dengan telunjuk menempel di dagu. "Oh! Sama kamu suka makan bakso. Kayaknya?"

Uriel masih menatapnya dengan ekspresi yang sama. Wisteria merasa lelaki itu sedang menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang entah bagaimana, tidak atau belum mau Uriel bicarakan kepadanya. "Begitu ya." Uriel cuma mengangguk. "Nggak ada yang lain selain yang kamu sebutin?"

Wisteria menggeleng dengan wajah penasaran. "Nggak ada. Memang kamu ngiranya gimana?"

"Kupikir ada hal lain. Tapi kayaknya aku salah."

"Uhm, gitu ya." Raut wajah Wisteria masih bingung. Tapi dia segera menyadari sesuatu dan bertanya, tidak lupa memasang senyum, "Riel. Aku mau nanya."

"Iya. Silakan."

"Apa kamu disuruh ibumu buat akrab sama aku?"

Uriel membeku. Seperti tidak yakin bagaimana harus membalas.

Sejenak kemudian, Wisteria tertawa. "Oalah, I see. Oke, gini." Gadis itu berdeham dan menatap Uriel. "Riel, hanya karena orangtua kita akrab, kamu nggak harus memaksakan diri untuk akrab juga sama aku. Bukan berarti aku nggak mau berteman sama kamu. Mau-mau aja kok nambah temen. Tapi, kamu kayaknya memaksakan diri untuk akrab sama aku."

Uriel terdiam menatap gadis itu. Dugaannya terkonfirmasi secara tidak langsung. Ucapan barusan, keganjilan ini, reaksi Wisteria, semuanya ... benar-benar tidak mencerminkan bahwa Wisteria tahu tentang pertunangan mereka.

"Paham," Uriel membalas. "Aku nggak merasa dipaksa sama ibuku untuk mengenali kamu. Rata-rata anak yang orangtuanya dikenal sama ibuku, biasanya aku udah berkenalan sama mereka. Cuma kamu yang belum. Aku juga baru tahu tentang kamu belakangan ini. Padahal selama ini kita satu sekolah."

"Oh ya? Belakangan ini? Jadi ... selama ini kamu nggak tahu ibumu suka ke rumahku dari kita tingkat satu?"

Uriel membeliak. "Ibuku udah kenal kamu dari kita tingkat satu?"

"I-iya. Kamu baru tahu ya?"

"Iya, aku nggak tahu tentang itu. Tapi, kalau dari dulu kamu tahu kalau orangtua kita akrab, kenapa nggak ngomong ke aku?"

"Ngomong ke kamu? Kayak, memperkenalkan diri gitu?" Wisteria mengernyit. "Bukannya bakal aneh? Bayangin kalau tiba-tiba aku ajak kamu kenalan hanya karena orangtua kita saling kenal? Memangnya kamu nyaman kalau ada yang berlaku begitu?"

Uriel menyipit. Kenyamanan? Ada yang mempertimbangkan hal itu ketika diajak berkenalan? Aneh sekali. Selama ini dia tak mempermasalahkan orang-orang yang mengajaknya berkenalan. Entah mereka mau mendekatinya karena dia Cakrawangsa, karena dia pemain andalan voli, atau karena dia anak populer di sekolah, semua alasan itu tidak masalah. Kenapa menambah koneksi menjadi sesuatu yang tidak nyaman? Kenyamanan adalah suatu pertimbangan yang aneh. "Biasa aja. Kenapa harus nggak nyaman?"

Wisteria mengangkat alis. "Oh, bukan berarti harus nggak nyaman sih. Tapi, biasanya ada yang nggak nyaman kalau tiba-tiba dideketin cuma karena orangtua mereka deket. Apalagi karena keluargamu Cakrawangsa."

"Kenapa dengan Cakrawangsa?"

"Aku nggak mau kamu menganggap aku SKSD hanya karena kamu keturunan Cakrawangsa. Karena kalau kayak gitu, nanti citra keluargaku juga jadi kurang baik di matamu."

Alis Uriel sedikit menyatu. Ini tidak terduga. Jadi, Wisteria tak pernah mengajaknya berkenalan atau menyapa karena ini? Karena takut citra keluarganya jadi kurang baik? Uriel tak pernah berpikir sampai situ. Tapi mungkin, seharusnya dia mulai memikirkan hal ini ke depannya. Pemikiran semacam itu adalah langkah baik untuk bersosialisasi di acara besar, terutama yang melibatkan kaum sosialita.

Uriel pun menatap Wisteria dengan pandangan agak tercerahkan. "Begitu. Aku nggak kepikiran sampai sana. Tapi aku nggak masalah kalau kamu dari dulu ajak aku kenalan. Menambah teman itu bukan sesuatu yang buruk."

"Iya, tapi sebelum itu, kita harus kasih impresi pertama yang baik untuk bisa berteman, kan? Jangan sampai bikin lawan bicara nggak nyaman, gitu."

"Nggak selalu. Tapi," Uriel mengernyit, "apa aku sudah kayak gitu?"

"Gitu gimana?"

"Kasih impresi pertama yang bagus?"

Wisteria menatapinya dengan alis terangkat, kemudian disusul tawa. Tawanya bertahan hingga hampir semenit berlalu. "Untuk orang yang nada ngomongnya monoton, kamu lucu juga ya." Dia tertawa lagi. Ada sedikit gelak dalam tawanya yang menggemaskan. Uriel terdiam hingga gadis itu selesai tertawa.

Namun karena melihat Uriel hanya memasang ekspresi serius tanpa senyum—dari tadi selalu seperti itu—Wisteria jadi terdiam. Dia menutup mulutnya untuk menghentikan tawa. Takut ternyata dia malah menyinggung lelaki itu. "Ehm, maaf. Bukan bermaksud ngetawain gaya ngomong kamu." Wisteria berdeham. "Eh, itu, maksudnya, iya sih aku ngetawain. Tapi bukan dalam artian buruk. Aku nggak berniat menyinggung kamu. Maaf ya."

"Aku nggak tersinggung."

"Oh ya? Syukurlah." Dia terkekeh. Matanya menyipit ketika bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyuman ketika menatapnya. Dan Uriel baru sadar kalau dia harus mengatakan sesuatu.

"Itu," Uriel terdiam, baru sadar kejanggalan ucapannya. Itu ... apa? Kamu mau ngomong apa, Riel? "Aku harus balik ke asrama."

"Oh, iya. Aku juga mau balik." Dia masih memasang senyumnya. "Sampai jumpa, Riel. Kalau butuh aku, tinggal chat aja."

"Kamu juga. Kalau butuh aku, kontak aja." Beberapa detik kemudian, Uriel baru ingat kalau cuma dirinyalah yang menyimpan kontak Wisteria. Yang sebaliknya justru tidak terjadi. Ketika Wisteria sudah berbalik dan menjauh, Uriel berujar dengan volume lebih tinggi, "Nanti kukirim pesan!"

Gadis itu membeku. Dia menoleh ke kiri dan kanan di mana orang-orang memerhatikannya dan Uriel. Pipinya lalu merona. Namun dia tetap tersenyum canggung ke arah Uriel dan mengangguk sebelum berbalik.

Setelah melihat Wisteria memasuki gerbang asrama putri, Uriel baru berbalik dan berjalan menuju asramanya. Namun dehaman dari suara-suara familier membekukannya di tempat.

"Kapten. Kok lo nggak cerita-cerita kalau lagi deketin cewek?" goda Ipoy sambil berjalan cepat menyejajari Uriel. "Temen lu sendiri dianggurin nih dari tadi!"

Uriel terdiam. Benar-benar baru ingat kalau teman-temannya masih menunggunya. "Kalian mau pulang, atau mau tetap di sini?"

"Ya pulanglah! Kita-kita di sini cuma buat lihat lu pedekate," ujar Valdi dengan nada tinggi. "Eh, gimana tadi pedekatenya? Cocok? Oke?"

"Baik."

Matthew cuma tersenyum dan manggut-manggut. "Tapi asli sih. Sama yang tadi udah cocok kok."

Ipoy menyengir. "Iya, Yel. Lo cocok jadi bodyguard-nya."

"Elah, ngerusak suasana aja lu, Poy," Valdi mendecak. "Eh, Kapten. Jadi lo fix nih sama yang itu?"

"Fix apa?"

"Fix mau lu jadiin pacar," balas Matthew mendahului Valdi. "Namanya siapa, by the way?"

"Wisteria."

"Wuidih." Valdi geleng-geleng. Sementara Matthew dan Ipoy juga terlihat takjub. "Nggak heran. Ternyata namanya secantik wajahnya."

"Untung Wisteria-nya udah nggak ada," ujar Matthew. "Malu gue denger gombalan lo gembel gitu."

"Eh, dengerin. Yang namanya gombal tuh, mau segembel apa pun nggak masalah. Yang penting tulus dan bisa bikin ceweknya hepi." Valdi melirik ke arah kaptennya. "Gitu, Yel. Selama lo deketin si Wisteria dengan tulus, gue yakin minimal dia bakal goyah deh buat nerima elu."

Uriel mengangguk. Walau sebenarnya dia tak mungkin bisa mendekati Wisteria dengan tulus. Jelas-jelas dari awal dia mendekati gadis itu karena dijodohkan. Intensinya tidak murni dari dirinya sendiri. Melainkan dari pihak luar.

Teringat tentang pihak luar, dia harus segera menghubungi ibunya. Ada kesalahpahaman yang perlu diluruskan. Dia pun segera berjalan cepat menuju asrama bersama yang lain. Ibunya harusnya punya penjelasan atas keganjilan reaksi Wisteria. Maksudnya ... masa iya, dia mendekati calon tunangan yang sama sekali tidak tahu mereka dijodohkan?

[ ].

02.08.2020. 1,4k



A/N

Oke, menurut lo, chapter selanjutnya itu bakal berjudul "hati" atau "cinta"?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top