04 | Wisteria

0 4 | Wisteria



"UNTUNG si Demit kagak ada pas kita lari malam. Kalau ada, ntar dia pasti merhatiin Mamat pas latihan, jaga-jaga buat langsung cadangin Mamat di pertandingan kalau performanya sedikit aja berkurang."

Suara Valdi mengisi kesunyian di antara lari kecil mereka. Tidak, ini bukan lari malam seperti yang dua hari belakangan mereka lakukan. Ini adalah lari kecil menuju gimnasium.

Hari ini adalah hari latihan voli perdana di tahun ajaran baru. Mereka berlari karena sudah terlambat. Harusnya kelas mereka telah selesai dari lima belas menit lalu. Tapi tingkat tiga mendapat pengarahan sepulang sekolah dari guru. Pengarahan ini memang untuk portofolio mereka. Tapi, jadinya mereka harus telat di hari pertama latihan. Mungkin latihan ekskul di sekolah lain memiliki 'jam karet'. Namun pelatih voli mereka terlalu galak untuk membiarkan anak-anak berlaku seenaknya. Dan lagi pula, mereka harus menjaga kelakuan dan profesionalitas untuk memiliki portofolio yang baik. Jika tujuan mereka adalah kampus Ivy League atau klub olahraga profesional, berlaku seenaknya bukanlah pilihan.

"Emang serem tuh anak," ujar Matthew. "Padahal kaptennya kan Riel."

Ipoy mengernyit. "Demitri juga bakal jadi kapten kali."

"Iya, kalau kita udah lulus. Untuk sekarang kan kaptennya masih Riel. Tapi malah sereman si Demit."

"Iya sih. Riel aja setuju kalo Demitri serem. Ya kan, Yel?"

Uriel mengangguk. "Artinya dia hebat. Dia selalu memerhatikan performa permainan tiap anak."

Sesampainya di gimnasium, pelatih memintanya untuk segera ganti baju dan memimpin grup lari keliling sekolah. "Anak-anak yang lain udah duluan lari dipimpin Demitri. Kamu pimpin grup lari untuk anak tingkat tiga dan anak-anak yang telat. Rutenya kamu sendiri yang atur," ujar Pak Charles. Sebelumnya, Uriel sudah mengabari bahwa anak-anak tingkat tiga akan telat karena ada pengarahan sepulang sekolah.

Begitu keluar ruang ganti, Uriel melihat masih ada adik-adik kelasnya yang telat. Mereka pasti akan dapat hukuman lebih oleh pelatih. Uriel pun segera pemanasan dengan yang lain. Sebagian yang sudah selesai pemanasan menunggu Uriel keluar.

"Inget ya. Riel nggak akan ngurangin kecepatannya cuma buat ngimbangin kita," ujar wakil kaptennya sebagai pengingat bagi anak-anak baru. Lelaki yang ditunggu pun keluar gimnasium untuk memimpin lintasan lari. Valdi lalu menangguk kepada kaptennya. "Ayo mulai, Yel."

Uriel berlari keluar area gimnasium, melintasi gedung demi gedung dengan kecepatan konstan. Tidak masalah jika ada yang tidak kuat mengikutinya dan butuh istirahat sebentar. Yang penting mereka tetap menyelesaikan larinya. Ini bukan masalah kecepatan berlari. Pelatih sedang menguji ketahanan tubuh. Karena setelah ini, mereka baru akan latihan voli sesungguhnya. Dan pelatih pasti akan mencatat siapa yang staminanya masih kuat setelah berlari keliling sekolah.

Uriel hampir sampai di belokan sebelum Gimnasium A, tapi dia tak berbelok untuk menyingkat lintasan. Dia menoleh sejenak ke belakang. Tak ada orang. Yang lain pasti masih jauh tertinggal di belakang. Mungkin Valdi dan teman-temannya sengaja memelankan langkah agar anak tingkat satu bisa menyusul.

Langkah Uriel melewati Gimnasium A, melintasi gedung renang dan berbelok ke sisi dinding kacanya. Langkahnya memelan melihat banyak orang di dalam gedung. Ternyata informasi yang dia dapat benar. Hari ini juga merupakan hari pertama ekskul renang latihan perdana. Baik renang putra dan putri berlatih di hari yang sama. Gedung renang ini cukup luas untuk menampung tim renang putra dan putri. Ada empat kolam renang di sana. Tentu saja tim renang putra dan putri menggunakan kolam yang berbeda.

Uriel mengamati orang-orang di dalam. Tapi di sana terlalu banyak orang. Dan mereka semua menggunakan topi renang serta kacamata renang. Sulit sekali membedakan satu dengan lainnya.

Mata Uriel tetap menjelajah hingga tanpa sadar, Uriel berhenti berlari. Dia melihat seorang gadis datang dari pintu dekat tribun. Tanpa topi renang, rambut sewarna Oak pucatnya tergerai. Handuk putih sedikit menutupi tubuhnya yang terlapis baju renang gelap. Gadis itu mendekati temannya dari pinggir kolam renang dan mengobrol. Namun, temannya itu kemudian memandang Uriel dari balik dinding kaca. Dan perlahan, gadis yang Uriel amati ikut menoleh ke arah yang sama.

Uriel bergeming. Rambut pucat itu, mata cokelat terangnya, bibir penuhnya yang terbuka seperti kelopak, serta bagaimana matanya melebar saat Uriel menatapnya ... tidak salah lagi. Itu pasti calon tunangannya. Itu pasti Wisteria Jayasri.

Suara langkah kaki terdengar di samping Uriel. Makin lama makin banyak yang berhenti. Anak-anak voli yang lain sudah menyusulnya. Uriel segera mundur selangkah dari dinding kaca, lalu menundukkan kepala singkat ke Wisteria. Kemudian dia berbalik dan kembali memimpin grup larinya.


***


"Itu tadi apaan, Yel?"

Nada Valdi yang meninggi sunggguh membingungkan. Uriel baru saja duduk setelah lari keliling sekolah. Dia memang masih punya stamina untuk lanjut latihan, tapi dia jelas butuh istirahat terlebih dulu. "Apanya yang apaan?"

"Tadiii, di gedung renang!" Di luar dugaan Uriel, Valdi justru menyengir di tengah napasnya yang terengah. "Lo baru aja berhenti lari cuma buat ngelihatin cewek. Cewek yang pake baju renang. Lo nggak pernah berhenti cuma buat lihatin cewek, Kapten."

"Itu tadi siapa, Ten?" tanya Jordan, anak tingkat dua di timnya yang telat, mengisi posisi opposite hitter. Dia duduk di sebelah Uriel sambil mengelap keringat. "Cakep tuh. Model ya?"

"Ehh, cewek renang tadi kenalan Kapten?"

"Masa begitu cuma kenalan? Pacar, kali. Orang Kapten sampai berhenti lari gitu."

"Wuih, pacarnya Kak Riel? Baru tahu gue...."

"Eh, tapi, apa tiap disuruh lari keliling sekolah, kita bakal selalu berhenti di gedung renang terus?" tanya seorang anak tingkat satu.

"Enggak, enggak. Itu nggak pernah kejadian." Matthew mengibas tangan. "Sampai hari ini sih."

Langkah kaki dari belakang mereka membuat sebagian anak menyingkir mengerumuni Uriel. Dari pintu masuk, Demitrius Cakrawangsa berjalan mendekati sepupunya. Dia lalu berhenti di depan Uriel yang duduk di lantai. Tatapannya menatap ke bawah, terlihat kalkulatif seperti biasa. Uriel tak bisa menebak kabar apa yang sampai di telinga Demitri.

"Apa ada sesuatu yang perlu gue tahu?" tanya Demitri. Suaranya terdengar stabil dan kokoh meski tubuhnya terlihat agak kelelahan. "Kata anak-anak, tadi lo berhenti di gedung renang? Kenapa?"

"Ngelihatin cewek, Dem!"

"Ceweknya cakep!"

"Katanya pacarnya Kapten!"

Demitri menyipit. Tatapannya terlihat skeptis. Sebagai sesama Cakrawangsa, Demitri jelas tahu tradisi keluarga yang menjodohkan anak sejak kecil. Dan seingatnya, ibu Uriel masih belum menemukan kandidat untuk sepupunya itu. "Pacar?" ulang Demitri skeptis. "Lo ... nemuin pacar? Di tengah latihan yang harus memimpin anak-anak lari?"

Uriel menggeleng. "Bukan pacar. Lagian berhentinya cuma sebentar."

"Terus itu siapa? Kenalan?"

Apa dia bisa disebut kenalan? Tapi Uriel bahkan belum berkenalan langsung dengannya. "Bukan."

"Lah?" Jordan beranjak dari tidur-tiduran di lantai gym. "Bukan kenalan Kapten? Terus, tadi lo ngapain nunduk hormat gitu sama dia?"

"Iya, kenapa, Yel? Emang cewek tadi siapa?" tanya Valdi.

Banyak mata menatap Uriel penasaran. Namun suara peluit dari pelatih memaksa mereka untuk melupakan kejadian tadi. Porsi latihan masih banyak yang harus diselesaikan. Interogasi ke Kapten bisa menunggu.

[ ].

19.07.2020. 1k

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top