02 | Tunangan

0 2 | Tunangan



HARI ini adalah hari pertama sekolah di tahun ajaran baru. Sebentar lagi, para murid tingkat satu boleh melihat demo ekskul. Kegiatan itu berlangsung di gimnasium utama. Semua anak terlihat sibuk. Tapi usai memerhatikan stan ekskul renang putri, Uriel tak menemukan orang yang dia cari.

"Ten, Ten. Kapten."

"Ya. Ada apa?" Uriel menoleh, mendapati Ipoy, salah seorang tim inti voli seangkatannya mendekat.

Ipoy menatapnya dengan mata penasaran. "Lo ngapain celingukan? Lagi nyariin orang?"

Uriel mengerjap. Gelagat 'sedang-mencari-orang'nya mungkin terlalu kelihatan. Dia belum ingin membicarakan calon tunangannya ke teman sekolah. Terlalu cepat. Mungkin pencarian calon tunangannya itu bisa dilakukan nanti.

Uriel mengingat profil yang dikirim ibunya. Profil singkat. Terlalu singkat untuk ukuran calon tunangan. Hanya sebuah foto dan empat informasi.

Wisteria Jayasri. Usia 17 tahun. Siswi tingkat tiga di Kandjaya School of Sports and Science. Konsentrasi olahraga: renang putri.

Sudah. Itu saja. Tak ada info tambahan. Ibunya bahkan tak memberi tahu tingkat tiganya di kelas 12 apa. Entah IPA atau IPS. Uriel benar-benar harus mencari tahu semuanya sendiri.

"Oy, Riel!" panggil Ipoy, menepuk lengan Uriel. "Ditanyain juga dari tadi. Malah bengong. Nyariin siapa sih?"

"Cari anak baru untuk direkrut," ujar Uriel. "Masih sepi ternyata."

"Iya nih. Soalnya kelas satu masih banyak yang belom bubar kelas." Ipoy melirik kapten volinya. "Santai, Kapten. Yang masuk tahun ini pasti banyak, kayak biasa. Lu mah tinggal diem aja di depan."

"Maaf telat," ujar seorang lelaki yang baru muncul, menyela pembicaraan mereka. Lelaki itu tidak mengenakan setelan trek voli. Masih mengenakan seragam sekolah. Matanya memandang Uriel dan mengangguk. "Kapten," dia menyapa. "Pakai jaket track-nya aja, nggak apa-apa kan?"

"Nggak masalah." Uriel mengamati Demitrius Cakrawangsa mengambil jaket trek dari tas. Anak tingkat dua tersebut mengisi posisi setter di tim inti, serta akan terpilih sebagai kapten voli setelah Uriel. Walau pemilihan kapten voli selanjutnya belum dilaksanakan, Uriel yakin jabatannya harus diserahkan ke Demitri.

Beberapa anak kelas dua datang dengan banyak piala. Dalam demo eksul seperti ini, mereka harus memamerkan hasil kerja keras ekskul. "Pialanya dari kejuaraan yang gede-gede aja. Yang terbaru. Kan nggak mungkin satu lemari kita bawa ke sini," ujar Valdi, teman seangkatan Uriel sekaligus wakil kaptennya.

"Medali pemain perorangan, perlu dipamerin juga, nggak?" tanya Ipoy, lalu melirik Uriel. "Ya, itu juga kalau Riel mau ngalungin semua medali dia, sih."

Uriel balas menatap Ipoy. "Tahun lalu nggak kayak gitu."

"Emang kagak. Norak soalnya kalau medalinya dipake semua," tukas Valdi. "Yakali, kan. Masa Riel harus mejeng di depan sambil kalungin sepuluh medal—eh lo ada berapa medali sih?"

"Lupa."

"Ya pokoknya nggak usah dipake dah. Jejerin aja di meja. Nggak usah lebay."

Ipoy menyengir. "Masalahnya, jumlah piala dan medali kita emang lebay, Val."

Valdi celingukan ke sana-kemari. "Eh, ini anak kelas satu mana, sih? Bubar kelas lama amat. Hari pertama langsung belajar trigonometri emangnya?"

Baru saja dibicarakan, pintu masuk gimnasium perlahan mulai dimasuki banyak murid. Suasana meramai. Sesuai arahan Ipoy, Uriel hanya berdiri bak patung dengan setelan trek ekskul voli. Jaket treknya berwarna putih-hijau. Menyesuaikan warna simbol Sekolah Kandjaya.

Uriel masih mengamati orang-orang, mencari calon tunangannya yang mungkin lewat. Beberapa anak tingkat satu mulai berkerumun. Ipoy, Valdi, dan rekan satu tim bercengkrama dengan anak tingkat satu yang bertanya ini-itu. Uriel menangkap banyak dari murid tingkat satu memerhatikannya.

"Itu Kak Riel?"

"Kak Riel bukan sih?"

"Iya, itu Kak Riel!"

"Wah, yang digadang-gadang bisa masuk Timnas?"

"Dia masuk U-19, kan?"

Uriel mendengar bisik-bisik mereka. Tapi, entah mengapa tak ada yang mengajaknya bicara. Padahal dia sudah melakukan sesuai arahan Ipoy, yakni berdiri saja di depan stan. Namun sama seperti tahun sebelumnya, anak baru hanya memerhatikannya tanpa berani mengajaknya bicara. Mungkin mereka masih malu.

"K-kak Riel!"

Uriel mengerjap. Menatapi anak baru yang menyapanya dengan gugup sekaligus antusias. Rambutnya dicat warna biru gelap—aturan sekolahnya memang tak melarang cat rambut. Tubuh lelaki itu tinggi. Mungkin sekitar 185-an senti. Jelas tinggi sekali untuk ukuran anak baru lulus SMP. Bakal setinggi apa ntar pas lulus sekolah? pikir Uriel. Dia sendiri memiliki tinggi 188 senti sekarang. Dulu saat lulus SMP, tubuhnya masih 179 senti.

"Ya?" jawab Uriel. Menatap anak baru itu. "Ada apa?"

Mata si anak baru berbinar penuh semangat. "S-saya bakal kalahin Kak Riel! Saya bakal masuk U-19 voli juga nanti!"

Uriel mengangguk. Jarang sekali ada yang sesemangat ini di masa pendaftaran. Semoga nanti anak ini kuat dengan porsi latihannya. "Good luck."

Anak itu menunduk singkat, lalu berbincang dengan anak voli yang lain sebelum pergi. Uriel menyadari ternyata dari tadi rekan-rekannya memerhatikan. "Gile, boleh juga semangatye," ujar Valdi sambil manggut-manggut.

Uriel setuju. "Siapa tadi namanya?"

"Namanya ada di form—eh, mana form-nya? Cuma ada lembar ketiga di sini," ujar Matthew, teman seangkatannya yang juga masuk tim inti voli. Matthew mencari-cari, tapi Valdi mendahului.

"Ketemu!" seru Valdi. "Bentar, bentar. Namanya ... hmmm, Fabu... Fabero? Fabioga? Ini apa sih tulisannya? Demit, bantuin dong. Kan lo spesialis tulisan hieroglif."

Demitri meraih kertas pendaftaran dari Valdi. "Jangan penggal nama gue jadi Demit," ujarnya datar, tapi dia tetap membantu seniornya itu membacakan nama. "Fabregas Wisana Putra. Kelas X-3."

"Wah, mantan kelas gue dulu tuh," sahut Ipoy. "Tuh anak dipanggilnya 'Fabregas'? Cakep amat ya."

"Iyalah. Jangan sampai kayak lu. Nama udah bagus-bagus Ivano, dipanggilnya malah Ipoy."

"Daripada dipanggil pakai nama bapak gue?"

"Nama bapak lu emang siapa?"

"Ha! Nggak usah mancing-mancing."

Anak-anak voli tertawa. Demo ekskul terus berlanjut. Sebelum kegiatan itu berakhir dan mereka harus kembali ke asrama, Uriel meninggalkan stan volinya sejenak, berkata ingin jalan-jalan. Dia tak memberi tahu kalau aslinya dia berniat mencari calon tunangannya.

Uriel memutari banyak stan untuk bisa mendekat ke stan ekskul renang. Peminatnya cukup banyak, terutama untuk renang putra, sampai sekarang masih cukup ramai dengan banyak anak baru berbincang. Uriel memelankan langkah untuk mencari Wisteria. Namun karena tak kunjung ditemukan, dia pura-pura mengantre untuk membeli makanan, berdiam sambil kembali mengamati. Tapi usai beberapa kali mencari, gadis itu tidak kunjung ditemukan.

Uriel pun menyerah. Dia kembali ke stan ekskulnya. Mungkin Wisteria sakit? Tapi Uriel tak bisa memastikan. Ibunya tak memberi kontak gadis itu. Dia harus mencari tahu sendiri. Dan jalan termudah mencari tahu adalah bertanya ke orang lain.

Ketika kegiatan demo ekskul sudah berakhir, sambil beres-beres, Uriel bertanya kepada teman seangkatannya, "Kalian ada yang kenal sama anak renang?" Uriel membawa beberapa piala, hendak dikembalikan ke ruang ekskul voli. Dia mengamati tiga teman seangkatannya yang ikut membopong piala.

"Anak renang ya?" Ipoy mengangkat kepala, mengingat-ingat. "Hm ... kayaknya sih anak selorong asrama gue ada. Ntar gue tanyain dah. Ada apaan emangnya?"

"Nggak. Bukan itu maksudnya." Jelas maksud Uriel bukan anak renang dari asrama putra. Tapi, haruskah dia langsung mengaku tentang calon tunangan? Ini pasti terlalu mendadak untuk teman-temannya. Uriel tidak pernah pacaran. Dan Valdi, Ipoy, serta Matthew tahu betul mengenai hal itu. Demitri juga tahu. Tapi Demitri adalah sesama Cakrawangsa, jadi dia pasti cepat paham mengenai tradisi perjodohan keluarga mereka. Sementara tiga teman di depannya ini tak ada yang tahu hal itu.

"Bukan itu? Terus maksudnya gimana?" tanya Ipoy. Matthew hanya mengamati sambil makan permen. Valdi ikut mengamati kaptennya yang belum juga bersuara.

Setelah menimang beberapa saat, mungkin Uriel akan berkata, "Maksudnya bukan anak renang putra. Tapi anak renang putri. Calon tunanganku ada di ekskul itu."

[ ].

13.07.2020. 1,1k



A/N

Iya, Riel ngomongnya aku-kamu sama semua orang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top