Samar
Jinu kembali berjalan di kegelapan. Ia yakin, bahwa ini adalah tempat yang sama seperti biasanya, dimana ia menemukan kepingan-kepingan bintang dan Ahngyeol yang tidak ingat apapun. Namun kali ini, ia bisa melihat Ahngyeol yang membawa kepingan-kepingan itu, mendekat kearahnya.
Mereka berpandangan dalam diam. Perlahan, kepingan di tangan mereka melebur, dan menjadi cahaya yang menerangi dua pemuda itu.
"Hwang Jinu?"
"Kau mengingatku, sekarang?"
Ahngyeol langsung berlari dan melayangkan tinjunya. Namun, tentu Jinu bisa dengan mudah menangkisnya. Bahkan, pemuda itu reflek membanting Gyeol.
"Kau baik-baik saja?" tanya Jinu kemudian, dengan perasaan bersalah. Ia mengulurkan tangan kanannya ke arah Ahngyeol yang kini terbaring di tanah.
"Dasar sialan ... sialan kau, Hwang Jinu!" umpat Ahngyeol. Pemuda itu justru menggunakan lengannya untuk
Menutupi wajah yang akan basah oleh air mata.
Setelah beberapa saat berlalu, dua pemuda itu mulai berdialog.
"Mungkin ini karma untukku."
Ahngyeol tertawa frustasi. "Karena kau membuat anak yang bernama Yi An itu, meninggal bunuh diri? Lalu, bagaimana denganku yang tidak melakukanapapun padanya? Kenapa aku juga ikut menderita?"
"Kau menderita karenaku?"
Pemuda yang duduk di depan Jinu, terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Dasar sial. Kenapa kau menyeretku ke dalam badai seperti ini? Kalau tahu bakal begini, aku tidak akan pernah mendekat dan menjadi temanmu dari awal!" umpat Ahngyeol.
"Maaf." Jinu menyahut, lirih. Ia tidak menyangka semua ini akan terjadi. Ia juga tidak pernah ingin meninggalkan siapapun.
"Maaf." Tanpa diduga, Ahngyeol berucap. "Kata-kataku terlalu jahat. Sejujurnya, aku sangat senang bisa bertemu lagi denganmu."
Dada Jinu terasa sesak ketika melihat Ahngyeol langsung mengusap kedua matanya yang lagi-lagi mulai berair. "Kenapa menangis? Jangan seperti ini ...."
Gyeol menyahut dengan terbata-bata. "Kau tidak tahu betapa terpukulnya kami. Aku melihat Nina menangis, orang tuamu, adikmu, mereka semua meratapi kematianmu. Aku- aku hanya bisa menahan diri agar bisa menenangkan Nina. Aku tahu itu tidak berguna, tapi—" Kembali lagi, Gyeol meneteskan airmata. Kali ini lebih deras. Pemuda itu mulai tidak bisa mengendalikan diri, dan sesenggukan.
Butuh beberapa menit bagi Ahngyeol untuk menenangkan diri. Setelah bisa mengatur nafas, ia menjelaskan apa saja yang terjadi setelah Jinu meninggal.
***
Setelah hari berkabung selesai, Nina berniat untuk masuk sekolah. Setelah membersihkan diri, Nina bersiap. Namun saat ia berdandan dan menatap cermin di depannya, ia mulai menangis lagi.
Gadis itu teringat tiap pagi Jinu selalu menghampiri ke rumahnya, duduk di ranjang, dan Nina akan memperhatikannya melalui cermin. Sekarang, ranjang itu kosong, tanpa ada pemuda itu disana.
Nina segera mengusap airmatanya ketika terdengar suara seseorang mengetuk pintu. Saat ia buka pintu rumahnya, Ahngyeol sudah berdiri di depannya.
"Bukan Jinu." Ia pun segera menutup pintu, dan terduduk menangis.
“Nina? Kita harus segera berangkat,” ucap Ahngyeol, mencoba menegarkan diri meski mendengar isakan dari dalam.
"Aku tidak mau sekolah … aku tidak sanggup."
"Aku tahu kau sedih. Tapi Jinu pasti tidak ingin kau seperti ini." Gyeol coba membujuk.
“Kau tidak tahu apa-apa! Aku selalu bersama jinu saat di sekolah. Setiap sudut gedung sialan itu mengingatkanku pada Jinu. Apa kau tahu betapa tersiksanya aku?" teriak Nina parau. "Bahkan tempat ini … "
Ahngyeol pun membuka pintu, dan masuk. Ia pun menghela nafas panjang. Dilihatnya Nina terduduk di samping pintu yang terbuka. Matanya sembab, wajah dan rambutnya berantakan.
"Dimana sisirmu?" tanya Ahngyeol pada Nina sambil melihat sekeliling. Setelah beberapa saat tanpa mendapat jawaban, Ahngyeol menemukan sisir hitam di depan cermin. Ia pun mengambilnya dan menghampiri Nina.
Perlahan Ahngyeol menyapukan sisir yang ia genggam ke rambut gadis itu. Sedangkan Nina hanya diam saja tanpa merespon apapun yang diucapkan pemuda didepannya. Ia lelah.
“Kita akan membolos hari ini,” ucap Ahngyeol setelah selesai merapikan rambut Nina.
“Pergilah ... aku tidak ingin kau bolos karenaku,” sahut Nina.
“Tidak apa, lagipula aku sudah terlambat sekarang.” jawab Ahngyeol sambil mengamati ponselnya. "ayo kita jalan-jalan," tambahnya kemudian.
Tanpa berganti pakaian, Nina dan Ahngyeol pun berjalan mencari udara segar. Di setiap persimpangan, Ahngyeol sengaja memilih jalan yang jarang mereka lalui. Setidaknya agar Nina tidak mengingat kenangannya bila berjalan di jalan yang tidak biasa mereka lewati sebelumnya. Mereka pun sampai di sebuah taman bermain. Karena bukan hari libur, tempat itu terlihat sepi pengunjung.
“Kenapa kau mengajakku naik ini?” tanya Nina menyadari bahwa Ahngyeol membawanya ke arah wahana Roaler coaster. "Saat aku merasa sedih atau tertekan, aku mencari angin yang sangat kencang. Makin kuat dan cepat hembusannya, perasaanku menjadi lebih baik."
Setelah bisa menguatkan diri, Nina kembali masuk sekolah. Sayangnya siswa-siswa lain kini beralih membully gadis itu. Mejanya penuh dengan sampah dan ukiran kata-kata cacian dan makian. Mereka kini menganggap bahwa Nina adalah macan yang kehilangan taringnya. Bahkan, tidak ada simpati sedikitpun bagi Jinu yang belum lama ini meninggal.
"Teman-teman. Bukankah ini sudah keterlaluan?" protes Ahngyeol penih emosi.
"Ahngyeol. Kau tidak tahu dosa apa yang mereka lakukan di masa lalu. Kau tanya apakah ini keterlaluan? Tidak sama sekali." Begitulah jawaban mereka.
"Berdirilah, Nina." Gyeol menarik lengan gadis itu.
Setelah bangku itu kosong, Ahngyeol segera menghempaskan semua sampah itu ke lantai kelas, dengan kasar. Ketika ia akan menukar meja Nina dengan miliknya, gadis itu menghentikannya.
"Tidak perlu, Gyeol. Aku baik-baik saja."
"Tapi—"
"Jangan khawatir."
Akhirnya, Ahngyeol mengembalikkan posisi meja seperti semula. Sebenarnya, ia ingin marah karena perlakuan teman-teman sekelasnya. Bahkan, Dohyuk hanya memandang tanpa membantunya sedikitpun.
Namun akhirnya ia mengutuki dirinya sendiri. Ia juga tahu bahwa ia tidak bisa menghentikan perlakuan buruk yang akan Nina terima. Namun, ia hanya bisa membantu Nina untuk melaluinya.
Suatu hari, Ahngyeol tanpa sengaja mendengar percakapan dari siswa bawahan Suhu, saat ia sedang berjalan menuju markas. Mereka tampak tengah merokok dan menuju ke area belakang gedung, tempat ia sempat dipukuli saat itu.
"Biar bagaimanapun, aku masih merinding jika mengingat bahwa kita bersamanya malam itu."
"Iya, kan? Tapi bukan kita yang membunuh Jinu. Kita hanya memaksanya minu—" Ucapan anak itu terpotong karena Ahngyeol tiba-tiba muncul, dan menarik kerah seragamnya.
"Apa yang kau bicarakan?!" desak Ahngyeol.
"Bocah gila ini!" Satu siswa yang lain segera menendang tubuh Gyeol hingga terpental. Kemudian, dua pemuda itu menghampiri Gyeol yang belum beranjak dengan sempurna, dan menendangnya lagi.
Meski menerima tendangan dan pukulan yang bertubi-tubi dari mereka, Ahngyeol tetap bangkit, dan menerkam salah satunya. Ia kemudian memukulinya dengan membabi buta. Ia sempat di tendang dan dilerai lagi oleh lawannya, namun anak itu terus bangkit seperti kerasukan. Akhirnya, anak itu berlari menjauh, menyisakan Ahngyeol dan pemuda yang terkapar di depannya.
1036 kata
bougenvilleap_bekasi
_queennzaaa
Lyviajkm
Silvaqueen__
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top