Open my Eyes
Jinu berjalan asal di kegelapan. Berputar, berbalik, memicingkan mata ke sana kemari. Kedua telapak tangannya mendekap kepingan bercahaya yang ia temukan sebelumnya. Ia ingin mencari yang lain, agar ia mendapat petunjuk kemana harusnya kaki melangkah.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu melihat siluet remang Gyeol yang tengah berdiri di kejauhan.
"Ahngyeol!"
Pemuda yang dipanggil menoleh, tanpa ekspresi yang berarti. Setelah sampai di depan Gyeol, Jinu berkata, "apa yang kau lakukan di tempat ini?"
"Kau siapa?"
Mata Jinu terbelalak, tepat saat ia sadar ia telah terbangun dari tidurnya. Ia meremas rambutnya. "Apa itu tadi? Apa maksud Gyeol?"
"Tunggu. Ini membuatku semakin yakin bahwa aku adalah Jinu."
"Bodohnya aku … aku sudah menjalani kehidupanku sejak lahir hingga sekarang. Bisa-bisanya aku meragukan ingatan-ingatan milikku."
Pemuda itu memandangi sekeliling. Jelas ia masih berada di kamar Gyeol. Kemudian ia melihat cermin. Lagi-lagi wajah Ahngyeol yang muncul.
Sebuah kilatan cahaya mengalihkan pandangan Jin-Gyeol ke arah jendela. Belum sempat mengidentifikasi sumber cahaya, dentuman guntur terdengar.
Hari sudah pagi, terlihat dari langit yang sudah agak terang. Namun, mendung dan hujan membuat langit terlihat redup. Embun dan percikan air menghiasi kaca jendela. Meski begitu, pandangan ke halaman rumah tidak sepenuhnya terhalang.
"Ini seharusnya waktunya untuk bersiap ke sekolah. Namun, apa memungkinkan untuk itu dalam kondisi sekarang?"
Bukan hujan yang Jin-Gyeol permasalahkan, melainkan ia yang kini berada di tubuh yang tidak seharusnya. "Tapi … apa mungkin Gyeol ada di dalam tubuhku?"
Ia menuju ke meja belajar, dan membuka tiap laci untuk menemukan ponsel milik Gyeol. Setelah menemukan benda persegi panjang yang ia cari, ia mencoba menghidupkannya. Namun rupanya baterai telefon itu habis, sehingga tidak bisa dinyalakan. Akhirnya ia harus mengisi daya terlebih dahulu.
Terlihat tempat pengisi daya berbentuk lingkaran di samping meja. Jin-Gyeol langsung bisa mengenali benda itu karena Gyeol pernah bercerita soal alat kesayangannya tersebut. Bentuknya lingkaran pipih dengan ornamen berbentuk seperti lingkaran sihir di film-film dan anime.
Jin-Gyeol meletakkan ponsel ke benda itu. Tak lama, ornamen di permukaan pengisi daya itu mulai bercahaya dengan teratur, seakan itu adalah cahaya saat mantra sihir dibacakan.
"Kenapa ini retak? Dia menjatuhkannya, atau bagaimana?" ucapnya sambil mengusap layar smartphone yang terlihat banyak kerusakan, itu.
Setelah itu, Jin-Gyeol beranjak ke kamar mandi untuk bersiap ke sekolah. "Semoga aku bisa bertemu Gyeol dan tubuhku."
Pemuda itu memutar gagang pintu. Sayangnya, pintu masih belum bisa dibuka. "Aish … kenapa aku seperti dipenjara begini?" Ia kemudian berbalik dan duduk di kasur.
"Oh iya … mungkin ponsel ini sudah terisi." Jin-Gyeol mengambil benda itu, dan menyalakannya.
Layar ponsel itu terlihat menyala sebentar. Namun rupanya, tampilan dan layar sentuhnya rusak. "Menyebalkan!" Pemuda itu kesal karena usahanya sia-sia. Ia memasukkan ponsel itu kembali ke dalam laci.
Tak lama, pintu kamar terbuka. Seorang pemuda berumur sekitar 30an masuk.
"Tuan muda, saya telah kembali," sapa Jinsoo.
Tentu saja Jin-Gyeol Jin-Gyeol mengenali orang itu. Ia yang biasanya mengantar dan menjemput Ahngyeol ketika sekolah. Sepertinya Jinsoo memahami kondisi tuannya sekarang. Ia bersikap lebih sopan dari biasanya.
"Mari aku antar ke ruang makan."
Akhirnya, Jin-Gyeol mengikuti lengkah Jinsoo. Masuk ke lift, dan turun ke ruang makan. Jin-Gyeol memandangi sekeliling, dan mencari jam atau penunjuk waktu lain.
"Selamat pagi, Tuan Muda." Pemuda itu disambut oleh beberapa pelayan wanita berseragam seperti di drama-drama yang pernah ia tonton.
Ia digiring ke meja makan dengan hidangan sarapan yang begitu mewah, —dan sehat.
"Jadi, seperti ini Ahngyeol sarapan tiap hari? Dia benar-benar beruntung," batinnya sembari menikmati hidangan.
Satu hal yang membuat pemuda itu tidak nyaman adalah bagaimana pelayan dan pemuda tadi menungguinya. Ia seakan dikelilingi oleh pengawas ujian.
"Kalian tidak sarapan? Makanlah bersamaku," ucapnya tak enak hati jika ia sendiri yang makan.
"Jangan khawatirkan kami. Nikmatilah sarapan anda," sahut Jinsoo, sopan.
"Oh ... baiklah."
"Tapi ... bolehkah aku bertanya sekarang jam berapa? Aku tidak ingin terlambat ke sekolah."
Jinsoo memandang jam di tangan kirinya. "Ini pukul 8:30 pagi."
"Apa? Kalau begitu, aku sudah terlambat!" Jin-Gyeol beranjak dari tempat duduknya.
Jinsoo menahan tuan mudanya. "Hari ini, kau tidak perlu masuk sekolah."
"Kenapa?"
"Kau harus memulihkan kesehatanmu dulu."
"Aku sudah tidak merasa sakit."
"Kalau begitu, aku akan menghubungi direktur. Untuk hari ini, kau libur dulu."
"Lalu, dikurung di kamar, lagi?" Jin-Gyeol bertanya dengan nada sopan.
Jinsoo menggeleng. "Tidak ... hari ini ada jadwal untuk terapi ke tempat dokter Han."
Akhirnya, Jin-Gyeol mengiyakan. Karena ini adalah tubuh Ahngyeol, maka ia harus berhati-hati dan mengikuti perawatan yang diperlukan. Meskipun ia sendiri tidak tahu perawatan macam apa yang menantinya.
Tapi ....
"Apa kau punya nomor temanku, -Hwang Jinu?"
Jinsoo tertegun mendengar pertanyaan tuan mudanya. Ia pun, menjawab dengan ragu. "Tidak."
"Kalau begitu, bolehkah aku meminjam ponsel?"
Jinsoo mengangguk, lalu menyerahkan telepon genggamnya.
Jin-Gyeol mengetik satu-satunya nomor yang ia hafal, yaitu nomor Nina. Kemudian, ia berhenti. Ia baru ingat, bahwa mungkin sekarang Nina sedang mengikuti pelajaran di kelas.
"Ini, aku kembalikan."
"Anda tidak jadi menggunakannya?" Jinsoo kembali mengantongi ponselnya.
"Tidak." Sebenarnya, jauh di dalam lu uk hatinya, Jin-Gyeol ingin meminta satu ponsel yang bisa ia gunakan sewaktu-waktu. Namun, ia terlalu sungkan untuk mengutarakan hal itu.
"Jika sudah selesai, kita akan langsung berangkat ke tempat dr. Han," terang Jinsoo.
Jin-Gyeol mengangguk, dan beranjak dari tempat duduknya. Sesampainya di luar, Jinsoo mengambil dan membuka payung untuk melindungi Jin-Gyeol dari air hujan.
Setelah memastikan tuan mudanya sudah duduk dengan nyaman di kursi belakang, Jinsoo masuk ke area sopir. Mobil pun berangkat, meninggalkan halaman rumah besar itu.
Suasana hening, ditemani oleh suara rintik hujan yang mengenai atap mobil yang mereka kendarai.
"Aneh sekali, kenapa hari ini hujan lebat sekali?" Jin-Gyeol bergumam.
Rupanya, Jinsoo mendengar ucapannya. Jinsoo pun menyahut. "Karena ini musim hujan."
"Ini, kan, masih bulan September."
Jinsoo termenung selama beberapa saat, sebelum kembali membuka mulutnya.
"Ini ... bulan Juli."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top