Kepingan Keempatbelas
Gyeol meletakkan kepalanya di meja. Punggungnya lemas bagai tanpa tulang, kedua tangannya sibuk menutupi wajah. Semangat hidupnya seakan hilang. Kini ia sedang di perpustakaan, meratapi dalam diam hal memalukan yang telah ia lakukan saat di ruang kesehatan barusan.
Dohyuk yang telah selesai memilih buku, berniat untuk menghampiri Gyeol. Namun, ia melihat seseorang mendekat ke bangku tempat temannya berada. Dohyuk berhenti. Ia memilih berdiam di tempatnya untuk bersembunyi dan menguping.
"Aku tidak mau mendekat." Dohyuk bertekad dengan suara lirih.
"Hey." Suara Jinu muncul dari belakang punggung Gyeol.
Dibanding mengangkat kepala dan menjawab sapaan, Ahngyeol justru semakin mengkerut.
"Kami mendengar semuanya."
"Diamlah."
Jinu menahan tawa. Kemudian, ia duduk di kursi, tepat di samping Gyeol. "Aku tidak berniat membahas tingkah laku kalian barusan. Tapi—"
Gyeol mendesis. "Tolong berhenti mengingat hal itu."
"Memangnya kenapa, sih? Yang kalian lakukan adalah hal yang wajar," ucap Jinu.
"Kau tadi bilang tidak berniat membahasnya." Gyeol mengingatkan. Namun kemudian, anak itu beranjak dan duduk dengan tegak.
"Wajar? Benarkah?"
Jinu mengangguk-angguk. "Tentu saja."
"Terimakasih, karena telah melakukan hal konyol," ucap Jinu lagi.
Ahngyeol melotot. Mulutnya menganga, syok.
"Aku sungguh sungguh!"
"Terserah, lah." Gyeol kembali membungkuk dan menyembunyikan wajahnya di permukaan meja.
"Aku memang menertawakanmu, tapi itu bukan karena aku mengejekmu. Kau harus tahu, itu."
"Itu tidak penting. Yang terpenting sekarang adalah, tinggalkan aku sendiri."
Jinu tertawa mendengar suara lesu Gyeol. "Ayolah … kenapa kau begitu putus asa?"
"Putus asa?" Gyeol mulai bertanya-tanya. Apakah Jinu tahu bahwa ia sekarang sedang mengkhawatirkan citranya di mata Nina?
"Ini tidak terlihat seperti kau melakukannya di depan semua siswa di sekolah ini." Jinu kembali berucap.
"Ah … jadi itu maksudnya. Kupikir lampu hijau," batin Gyeol.
Melihat Gyeol yang tidak merespon, Jinu terdiam beberapa saat. Pemuda itu menghela nafas sebentar. "Kau tahu, selama di sekolah ini, baru pertama kali aku dan Nina bisa tertawa sampai seperti itu."
Ucapan Jinu menarik perhatian Ahngyeol. Pemuda itu kembali mengangkat kepalanya. "Hah? Maksudmu?"
"Kau kan, tahu sendiri bagaimana anak-anak lain memandang kami. Bagaimana mereka berpendapat buruk tentang kami. Aku yakin kau paham maksudku." Jinu menjelaskan. "Kami tidak punya banyak teman sejak masih SMP."
"Tidak ada yang suka jika kami tertawa dan bersenang-senang di depan mereka. Bagi mereka, kami tidak layak untuk merasakan itu. Oleh karena itu, tidak banyak hal yang bisa menghibur kami selain diri kami sendiri. Itu membuat kami sulit untuk merasa geli, lucu, atau yang lain."
Gyeol langsung keringat pembicaraannya saat menelpon Nosuke. 'Mereka tidak berhak untuk memiliki teman.'
Entah kenapa Gyeol jadi merasa kasihan. Sedikit kasihan, maksudnya. Tapi, biar bagaimanapun itu sepertinya memang hukuman atas perbuatan Jinu dan Nina di masa lalu (meskipun Gyeol tidak tahu persis kejadiannya).
Jinu lanjut menjelaskan. "Aku merasa beruntung karena kau tanpa ragu mendekati kami. Yah … awalnya memang menyebalkan dan mencurigakan. Tapi, makin lama aku paham. Kau memang orang yang agak ganjil."
Gyeol mengernyit. Ia merasa seperti ada sesuatu yang menyentil hatinya.
"Tapi, poinnya bukan itu." Jinu berucap cepat. "Maaf. Entah kenapa aku malah bicara panjang lebar begini."
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Gyeol.
Jinu mengangkat bahu. "Yah, seperti yang aku katakan tadi. Aku hanya ingin berterima kasih karena kau sudah membuat kami tertawa."
Gyeol mematung, tidak tahu harus membalas atau merespon bagaimana. Setelah beberapa saat, akhirnya ia buka suara. "Aku juga berterimakasih karena berhasil membuatku merasa malu."
"Hey … kau tidak ingat bagaimana aku dan Nina berusaha menutup mulut agar tidak menimbulkan suara tertawa yang keras? Kami juga tetap bersembunyi di luar supaya kau dan Dohyuk tidak sadar bahwa ada orang." Jinu membela diri.
Ahngyeol manyun. "Seharusnya kau mengajak Nina menjauh," ucapnya kemudian.
"Kau dan Dohyuk yang datang secara sukarela ke tempat kami."
"Hah? Itu, kan, area umum di sekolah," debat Ahngyeol. "Ruangan itu sudah ditinggalkan dan tidak terawat."
"Kau yakin tempat itu terbengkalai?" sahut Jinu.
Gyeol ragu. "Umm …."
"Aku yakin kau menyadari bahwa tempat itu jadi bersih dan rapi dibanding terakhir kali kau ke sana."
Gyeol mengangguk pelan.
"Aku dan Nina yang membersihkannya."
"Apa?!" Seru Gyeol. Siswa lain yang berada di ruangan itu pun, menoleh. Termasuk petugas pustakawan.
"Tolong jangan berisik di perpustakaan," ujar wanita yang duduk di sisi ruangan dekat pintu, itu.
"Maaf." Ahngyeol dan Jinu menyahut dengan kompak. Dua pemuda itu segera berjalan untuk keluar dari ruangan tersebut.
"Kenapa anak itu malah terlena?" bisik Dohyuk, memandangi Gyeol dan Jinu yang semakin mendekat ke arahnya. Tanpa disadari, rupanya keduanya sudah tinggal beberapa langkah dari posisinya saat ini.
Panik, Dohyuk dengan cepat memalingkan wajahnya, dan menempelkan tubuhnya ke rak buku di depannya. Karena terlalu cepat, ia membuat buku-bukunya bergetar.
Aw! terdengar suara seseorang dari balik rak buku tersebut. Dohyuk langsung berlari ke arah sumber suara, dan menemukan Heesun yang menunduk memegangi ubun-ubunnya.
"Heesun? M-maaf! Kau baik-baik saja?" Dohyuk panik, tangannya kesana kemari kebingungan untuk membantu gadis itu.
"Tak apa," sahut gadis itu sembari tersenyum, meskipun tangannya memegangi kepala.
Ketika melihat ke arah lantai, Dohyuk menyadari bahwa yang terjatuh adalah beberapa buku ensiklopedia yang cukup tebal dan besar. Rasa bersalahnya pun makin bertambah.
"Maafkan aku. Aku tidak sengaja menabrak rak dan menjatuhkan buku-buku ini." Dohyuk menyatukan telapak tangannya ke depan muka, dan menunduk beberapa kali.
"Tidak apa-apa," sahut Heesun.
"Apakah berdarah atau semacamnya?" Pemuda itu berniat untuk ikut mengecek kepalanya, namun tangannya terus tarik ulur, ragu.
Heesun berhenti mengusap kepalanya, dan mengecek telapak tangannya. Ia menggeleng. "Sepertinya tidak."
Pemuda itu menarik nafas lega. "Syukurlah. Maaf, ya. Kalau begitu sebaiknya sekarang kau kuantar ke ruang kesehatan."
"Tidak, tidak perlu. Aku sungguh baik-baik saja, Dohyuk."
"T-tapi …."
"Aku bilang, aku baik-baik saja!" ketus Heesun, akhirnya. Namun, suara gadis itu kembali melunak. Ia memandang sekitar, memastikan pustakawan atau yang lain tidak terganggu dengan suaranya. "Maaf, habisnya, kau terus menerus meminta maaf."
"Maaf, eh!" Dohyuk menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Heesun tersenyum tipis. "Sekarang lebih baik kita rapikan kembali buku-buku ini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top