Kepingan Keduapuluhsatu
Suasana begitu riuh di salah satu tempat hiburan malam itu. Di antara para pengunjung yang menyanyi, mabuk-mabukan, dan yang lain, ada segerombol pemuda yang tengah menggoda seorang wanita. Mereka adalah Suho dan teman-temannya.
"Hey, bukankah itu Hwang Jinu?" ucap salah satu pemuda yang memakai topi.
Semua perhatian teralihkan. "Mana?" Mereka mengekori jari telunjuk temannya, dan menemukan anak yang dimaksud.
“Kenapa dia di sini?” Suho pun menoleh ke arah yang ditunjukkan temannya. Diantara kerumunan di lantai bawah, Jinu tampak sedang berbincang dengan seseorang. Setelah beberapa saat, Jinu segera naik menuju atap.
“Hei, bawa semua minuman kita ke atas!” seru Suho kepada teman-temannya di ruangan karaoke.
“Ke atas? Kenapa?” tanya Im Juyeong sambil beranjak dari tempat duduk.
“Hanya ingin bermain dengan mantan anggota."
Mereka pun berjalan beriringan mengikuti langkah Suho. Saat mereka akan naik melalui tangga yang digunakan Jinu sebelumnya, seseorang dengan badan kekar mencegat mereka.
“Mohon maaf, akses ini hanya untuk karyawan.”
Suho pun berbalik.
“Menarik sekali, kupikir dia pengunjung disini,” ucap Suho pada diri sendiri.
Di atap, Jinu tengah membereskan beberapa barang yang sebelumnya dibawa untuk para pelanggan. Setelah selesai, ia pun berjalan menuju pintu, sambil menenteng sampah yang ia bereskan tadi.
Langkah Jinu terhenti ketika pintu di depannya terbuka tiba-tiba. Ia segera membungkuk setelah mengetahui bahwa atasannya yang membuka pintu tersebut. Namun, Jinu segera terkejut mengetahui Suho, Juyeong dan Taesik mengekor dibelakang bos nya.
“Jadi kau masih dibawah umur?” ucap pria didepannya. “Apa kau ingin membuat bisnisku ditutup? Beraninya kau menipuku selama ini!" teriaknya kemudian.
Jinu hanya bisa terdiam. Ia tatap kumpulan pemuda di belakang bosnya sambil mengepalkan tangan. Ia yakin bahwa merekalah yang mengadukannya. Sementara itu, Suho tampak menikmati tontonan didepannya.
"CEPAT TINGGALKAN KLUB KU!" Bos itu pun segera pergi meninggalkan atap.
“Ah! Teman-teman, ayo kita minum di meja itu.” seru suho kemudian. “Bergabunglah denganku, Jinu.”
"Sebenarnya apa masalahmu, Seonbae?"
“Apa? Kau ingin berkelahi?” tantang Suho.
“Sampah sialan,” umpat Jinu sambil menatap tajam mata Suho. Ia pun segera berbalik untuk meninggalkan gerombolan pemuda itu.
“Waah, Hwang Jinu sudah pandai menahan diri rupa nya, berbeda sekali dengan ayahnya yang mudah tergoda rayuan.”
“Berhenti membawa nama ayahku!” sentak Jinu geram. Dicengkeramnya kerah baju Suho. Kedua teman Suho pun segera memegangi tangan Jinu sambil berusaha melepaskan Suho, namun tidak berhasil.
“Hei Taesik, kau tetangga Jinu kan?” ucap Suho santai, membiarkan tubuhnya berguncang karena kekuatan cengkeraman anak di depannya.
Jinu memandang ke arah pemuda di samping Suho, yang tampak terdiam tidak nyaman. “Benar, memang kenapa?” tanya Taesik.
“Beritahu ibunya, bahwa anaknya bekerja di klub ini. Biar nanti orang tuanya punya alasan untuk saling mengomel lagi.”
Jinu pun melepas genggamannya.
“Apa maumu br*ngs*k?!”
***
Ahngyeol tersenyum beberapa kali. Kini, ia tengah menonton video dan foto saat ia dan Nina, (dan Jinu) saat tamasya bertiga waktu itu. Tak lama, ponselnya berdering, membuat ia reflek menjatuhkan benda itu ke wajahnya.
Setelah mengaduh, ia segera meraih kembali ponselnya. Menyadari Nina yang menelpon, ia pun mengangkatnya dengan penuh antusias.
Namun baru beberapa detik, senyumnya yang mengambang pun menghilang. "Dimana?"
Pemuda itu segera beranjak, meraih jaketnya, dan berlari ke garasi. Ia terap menempelkan ponsel ke telinganya. "Tidak apa, Nina. Aku segera ke sana."
"Tuan muda, anda mau kemana?" Seorang pelayan bertanya, namun tidak digubris oleh pemuda itu.
"Bibi, buka gerbangnya." Ia mematikan sambungan telepon, mengenakan helm, dan mengendarainya dengan kecepatan tinggi, ke tempat tujuannya.
Gyeol memarkirkan motornya di sebuah rumah sakit. Ia langsung berlari ke tempat Nina berada.
"Saat ditemukan di area tangga, anak itu sudah meninggal. Kemungkinan ia terjatuh, dan melukai bagian belakang kepalanya. Tidak ada tanda kekerasan di tubuhnya."
Gyeol bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh dokter, ketika ia sampai di tempat Nina dan yang lain berada.
"Jinu ... meninggal?"
"Aigoooooo, Jinu yang malang…. Anakku yang malang …." ratap ibu Jinu. Ia terduduk dan menangis sekeras-kerasnya.
Sementara itu, ayah Jinu tak bisa membendung air mata nya lagi. Sembari mencoba menenangkan istrinya, ia mengusap matanya sesekali.
"Kenapa hal buruk ini terjadi padamu nak?? Biarkan ibu yang mati saja… kembalilah hidup anakku…! Suamiku… bagaimana anak kita sekarang..? Ia sudah tiada… bagaimana kita akan melanjutkan hidup?"
Sementara itu, Jihun hanya bisa menangis tersedu sedan.
Suara tangis ibu Jinu terdengar samar oleh Nina dan Ahngyeol yang tengah berdiri di samping jasad Jinu yang telah tertutup oleh kain putih. Seperti mimpi buruk, mereka tidak ingin mempercayai kabar yang mereka dengar.
Dengan tangan gemetar, Nina mencoba menyingkap kain putih itu. Deru napasnya terasa berat dan tersendat.
Ahngyeol menahan diri untuk tidak menangis. Setelah terbuka, perlahan wajah remaja malang itu terlihat. Ia tertidur tanpa senyuman, untuk selamanya.
"Tidak mungkin …!" Tangis Nina pun pecah. Segera ia peluk tubuh dingin nan kaku di depannya. Ia hanya bisa memanggil kekasihnya sambil terisak.
"Jinu … ini pasti mimpi "
"Jinu, kau— sungguh? Ini sungguhan?"
"Jinu … "
Seberapa banyak pun mereka memanggil, anak muda yang telah pergi itu tidak akan kembali. Panggilan, dan tangisan-tangisan yang terdengar maupun tidak terdengar, tidak akan mampu menghidupkan Jinu. Kenangan, kehadiran, cinta, dan impiannya terhenti malam itu juga. Tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal, Jinu terseret oleh takdir.
Ahngyeol menggenggam earphone merah yang terjatuh dari kantong jaket milik Nina.
"Walaupun aku tidak sekuat Jinu, aku akan melindungimu," bisik Ahngyeol pada gadis di pelukannya. Bukan, bukan untuk mencuri posisi Jinu. Ia yakin saat ini Jinu pasti juga menginginkannya untuk menjaga Nina.
***
"Berhenti sebentar, Hyung."
Jinsoo pun memarkirkan mobilnya ke tepi jalan. Setelah itu, Ahngyeol langsung berlari keluar, berlari menyusuri jalanan yang ramai oleh kendaraan itu.
Sekarang, pemuda itu sudah tidak bisa membendung semuanya lagi. Air matanya mengalir deras. Susah payah ia menahan suaranya hingga tenggorokan sakit, namun ia berteriak juga, pada akhirnya.
Ia terus berlari, menangis, dan meratap hingga kakinya terasa lemas. Pemuda itu berhenti dan bersandar di sisi jembatan, menatap langit.
"Jinu sialan! Kau senang, pergi seperti ini? Kau puas melihat kami begini, huh?" geramnya dengan air mata berderai.
"Kenapa?" isaknya.
"Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapaaa!"
Kenapa semua ini terjadi? Kenapa Jinu mati? Kenapa sekarang?
Ahngyeol sama sekali tidak bersiap untuk menghadapi ini. Bukan— tidak ada persiapan yang berguna untuk sebuah kehilangan. Mulai hari ini, ia harus menanggung dua kepedihan. Luka karena kematian Jinu, dan menyaksikan Nina yang hancur karenanya.
"Ahngyeol, kendalikan dirimu." Jinsoo menopang tubuh tuan mudanya, namun anak itu berontak.
"Mengendalikan apa, Hyung? Kau tahu apa yang aku rasakan? Apa kau tahu betapa menyakitkannya ini?" seru Ahngyeol dengan suara bergetar.
"Aku kehilangan orang yang aku sayangi … bagaimana aku bisa mengendalikan diri? Kau berekspektasi aku akan tetap tegap, tersenyum, dan menikmati hidup?"
Tanpa menjawab apapun, Jinsoo memeluk remaja itu. Ia membiarkan Gyeol menangis hingga puas, dan membawanya kembali ke mobil. Biar bagaimanapun, Ahngyeol harus beristirahat.
1088 kata
bougenvilleap_bekasi
_queennzaaa
Lyviajkm
Silvaqueen__
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top