Kepingan Keduapuluh
Malam hari itu jalanan cukup ramai. Mungkin karena ini akhir pekan. Sebuah bus berhenti di halte. Beberapa penumpang turun, termasuk tiga remaja yang membawa banyak barang.
"Ku bantu." Jinu yang keluar lebih dulu, mengulurkan tangan untuk membantu Nina. Gadis itu membawa sebuah boneka yang cukup besar, sebagai oleh-oleh dari taman hiburan.
"Bantu aku juga." Ahngyeol menyodorkan tas berisi barang-barang yang ia beli barusan, ke arah Jinu.
Meski kesal, tangan Jinu reflek mengambilnya. "Lalu, kau mau membawa apa?" protesnya kepada Ahngyeol yang kini bertangan kosong.
"Tas ku." Ahngyeol menggoyangkan ransel di punggungnya.
"Tapi aku juga membawa tasku sendiri."
Tidak ada sahutan. Ahngyeol sibuk memilah foto-foto yang diambil sore tadi.
***
Malam di awal musim panas. Seperti biasa, Nina dan Jinu berjalan bersama untuk menuju tempat kerja paruh waktu mereka masing-masing. Trotoar yang sama, seperti saat mereka biasa berjalan dengan diekori oleh Ahngyeol. Namun kali ini, Ahngyeol tidak bersama mereka karena harus piket.
"Jangan tinggalkan aku! Sebentar lagi selesai." Begitu pesan Ahngyeol, sebelumnya. Namun, Jinu dan Nina sepakat untuk tetap meninggalkan anak itu. Tidak bermaksud jahat, mereka hanya iseng. Apalagi, mereka ingin merasakan nostalgia sebelum seorang remaja ganjil bernama Ahngyeol merecoki hubungan mereka.
"Tidak terasa, sebentar lagi liburan. Setelah itu, kita akan naik ke kelas dua." Jinu membuka percakapan.
Nina mengangguk. "Kau benar. Dengan begini, aku bisa fokus bekerja paruh waktu dari pagi."
"Kau akan bekerja di toserba lagi?" tanya Jinu.
"Iya. Aku sudah berbicara dengan pemiliknya, dan dia setuju."
"Syukurlah kalau begitu."
"Bagaimana denganmu?" Nina balik bertanya.
"Masih belum memutuskan. Aku mungkin akan mencari lowongan di restoran di dekat sini."
Tiba-tiba, Jinu berhenti. “Nina, terimakasih sudah mendukungku selama ini.”
"Kenapa tiba-tiba bilang terimakasih padaku?"
“Hanya saja, mungkin suatu saat aku harus pergi dengan terburu-buru.”
"Jangan membuatku khawatir begini. Apa kau sakit?"
Jinu tidak menyahut. Ia menunduk memandangi aspal jalan yang mereka pijak.
"Jinu?" Nina makin khawatir dan takut. Ia gapai lengan kanan kekasihnya.
Jinu menggenggam kedua tangan Nina, dan mulai mengangkat wajahnya. Ia tampak menarik napas panjang, kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Nina.
"Aku akan bertanding di kejuaraan tahun depan."
"Kau lolos?!" Teriak Nina segera setelah mendengar kata-kata Jinu. Wajah yang sebelumnya tampak khawatir berubah menjadi sumringah dan bersemangat.
“Selamat!” Nina segera merengkuh leher Jinu, Sambil melompat-lompat bahagia.
"Tapi artinya aku akan ikut karantina." Jinu pun tersenyum lebar sambil membungkukkan bahunya, mengizinkan kekasihnya menggapai pelukannya.
"Apa kau sebahagia itu?" ucapnya sambil membalas pelukan Nina.
"Hei! Maksudmu aku berlebihan??" Nina pun melepas pelukannya, dan langsung mencubit pipi Jinu. "Aku tahu kau pasti seheboh ini saat pertama kali mendengar bahwa kau lolos."
"Agh! Kau benar. Bisa tolong lepaskan pipiku dulu?"
Nina pun melepas cubitannya.
"Kau selalu menjadikan pipiku sasaran penganiayaan .…" keluh Jinu sambil mengusap-usap pipi kirinya.
"Itu karena pipimu sangat menggemaskan. Apa sakit sekali?"
Jinu mengangguk, sambil masih memegang pipinya.
"Baiklah .…" Sedetik kemudian, Nina pun menyingkirkan tangan Jinu, dan menggantinya dengan sebuah ciuman di pipi yang dicubitnya tadi. Pemuda di depannya langsung membeku..
"Hadiah." Nina tersenyum nakal.
Jinu terdiam sebentar. Ia merasa harus membalas kekasihnya. Ia pun menggapai leher Nina, dan menatap kedua mata gadis itu dalam-dalam. Nina pun terkejut. Ia terperangkap dalam pandangan pemuda di depannya. "Kenapa diam saja?"
Jinu tidak menyahut. Ia tetap memandang mata Nina, dan mendekatkan wajahnya ke hadapan gadis itu. Nina tersadar. Jinu memiliki pandangan mata yang teduh dan tenang. Kedipannya halus, kadang menyembunyikan iris berwarna hitam kecoklatan dibaliknya. Wajah mereka semakin dekat, hingga Nina dapat melihat pupil Jinu yang melebar dan menciut konsisten. Ia merasa seperti mempelajari anatomi wajah seseorang, yang tidak kuasa dilakukan oleh kedua matanya. Sedangkan pandangan matanya sendiri, terasa bergetar karenanya.
Sejoli itu segera menutup mata mereka, seiring dengan dua pasang bibir yang bertemu dan saling beradu selama beberapa saat.
“Eomma, apa yang kakak-kakak itu lakukan? Apa mereka sedang berkelahi?”
Sebuah suara menyadarkan Nina dan Jinu. Mereka pun segera berhenti dan memandang sekeliling, mencari asal suara itu. Ternyata di seberang jalan seorang anak kecil yang digandeng ibunya tengah memandangi ibunya dan menunjuk ke arah mereka. Ibu itu pun segera menarik anaknya dan berjalan menjauhi kedua remaja itu.
"Benar anakku, kau jangan pernah melakukan hal seperti itu dengan temanmu ya."
"Kalau ayah dan ibu berkelahi seperti itu, aku harus melerai kalian kan?"
“Ah, sudah! Jangan membahasnya.”
"Tapi ayah dan ibu sering begitu di rumah."
"Ba.. bagaimana kau tahu?"
"Kadang saat aku terbangun tengah malam, ketika ayah pulang kerja. Ayah dan ibu jangan bertengkar, aku tidak ingin kalian berkelahi .…"
“T- tidak, Sayang. kau tidak perlu memikirkannya,”
Jinu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Setelah apa yang ia lakukan, justru dirinya yang kemudian salah tingkah.
“Usaha yang bagus.” Ucap Nina sambil tertawa kecil. Nina memang gadis yang pandai mengendalikan diri. Ia lumayan terkesan dengan Jinu yang berinisiatif. Ia yakin, Jinu pasti menyiapkan mentalnya untuk ini.
Ini pertama kalinya mereka melakukan ciuman. Sejujurnya, jantungnya masih berdebar cepat. Ia pun menggandeng tangan Jinu, dan melanjutkan langkah kakinya untuk pulang.
Di tengah perjalanan, Jinu melihat ke belakang dan menyadari Ahngyeol yang berjalan pelan.
"Hei, itu Ahngyeol," ucap Jinu pada kekasihnya. Ia pun memanggil sahabatnya. Ahngyeol yang mendengar suara Jinu pun mempercepat langkahnya.
“Senang bertemu denganmu,” sapa remaja berkacamata itu setalah Jinu dan Nina berhasil menyusulnya.
“Kenapa nadamu datar sekali?” sahut Nina sambil menepuk bahu Ahngyeol.
“Memangnya aku terlihat seperti pecundang ya?” pertanyaan Ahngyeol yang tiba-tiba membuat Nina dan Jinu saling berpandangan.
"Mereka tidak percaya ketika aku bilang bahwa aku bukan pesuruh kalian," Ahngyeol membuka tas punggungnya, dan menyerahkan dompet Jinu yang tertinggal di kelas tadi.
"Mungkin karena kau selalu memakai kacamata tebal itu..." Sahut Jinu. "Cobalah berdandan sedikit, naikkan selera fashion mu."
"Jinu benar, kau kan kaya…" Ucap Nina menambahkan.
Setelah beberapa lama, akhirnya mereka sampai di depan rumah Nina.
"Oppa, mau mampir?"
"Aniya, aku harus ke tempat kerja,"
Ahngyeol hanya diam mendengarkan obrolan kedua sahabatnya. Setelah Nina masuk, Jinu dan Ahngyeol berbalik dan berjalan bersama.
"Kau masih bekerja ditempat itu?" Ahngyeol membuka percakapan.
“Ung, tapi aku akan segera berhenti. Aku harus menyiapkan diri untuk karantina,”
“Benar … lagipula tempat itu tidak baik untuk anak remaja seusia kita. Kalau ketahuan masih pelajar bisa gawat,”
“Selama aku tidak disini, kau harus menjaga Nina. Oke?”
“Agh, aku merasa seperti pesuruhmu sekarang.”
“Hei aku hanya minta tolong,”
1024 kata
bougenvilleap_bekasi
_queennzaaa
Lyviajkm
Silvaqueen__
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top