Kepingan Keduabelas
Pukul satu siang, bel istirahat berbunyi di SMA tempat Ahngyeol dan yang lain bersekolah. Para siswa memiliki waktu satu jam untuk makan siang atau melepas penat. Mereka berbondong-bondong ke kantin untuk mengantri makan siang, termasuk Gyeol dan Dohyuk.
"Hm … seperti biasa, tidak ada yang mau sebangku dengan Nina dan Jinu," gumam Dohyuk.
"Kecuali satu orang ini. "Kemudian, remaja itu memandang Gyeol yang tingginya menjulang di depannya. Ia tampak memperhatikan dua orang remaja lain yang tengah duduk dan siap menikmati makanan mereka.
Benar saja, tepat setelah mendapatkan jatah makan siangnya, Gyeol segera berjalan ke arah mereka berdua.
"Kau kemari lagi?" sambut Jinu, menyadari kehadiran Ahngyeol. "Apa kau tidak punya teman lain?"
"Ada!" Gyeol yang baru saja duduk kembali berdiri, menghampiri Dohyuk yang baru saja duduk di meja lain bersama teman-temannya.
"Mwoya … kenapa dia mendekat?" ucap Dohyuk curiga.
"Dia pasti akan memintamu bergabung dengan Jinu." Siswa di sampingnya menyahut. "Hati-hati. Siapa yang tahu kalau dia sedang mencari korban untuk menggantikannya?"
"Menggantikan apa?" bisik Dohyuk tertekan.
"Jadi pesuruhnya Jinu."
"T-tidak, ah. Dia tidak seperti itu, kok. Dia kan, sudah pensiun. Dia sempat berbicara padaku," elaknya.
"Kau pikir watak manusia akan berubah semudah itu?"
"Berhenti membuatku panik," keluh Dohyuk. Kini, Gyeol tinggal beberapa langkah darinya.
"Dohyuk, ayo—"
"Tidak!" sahut Dohyuk diiringi kepalanya yang menggeleng cepat.
"Kau sudah tahu aku akan mengajakmu kemana?" sahut Ahngyeol penuh rasa tanya.
Dohyuk dan yang lainnya mengangguk berbarengan sebagai jawaban.
"Kalian juga tahu?" Kembali lagi ia melihat anak-anak itu mengangguk.
"Ahngyeol, Kau ikut duduk di sini saja, bersama kami." Dohyuk menawarkan.
"Tidak mau."
"Nah, kan … dia pasti takut untuk melarikan diri dari Jinu," ucap seorang siswa, setengah berbisik.
"Kalian ini bicara apa. Aku tidak takut pada Hwang Jinu!" Ahngyeol menegaskan.
"Ya, ya, ya … kami percaya." Ekspresi pemuda-pemuda itu tampak mengejek.
"Huh!" Karena kesal, Ahngyeol langsung meninggalkan mereka, dan kembali ke bangku tempat Nina dan Jinu makan. Ketika sampai, rupanya Hyesun juga dalam perjalanan untuk bergabung.
"Hai!" sapa gadis itu.
"Apa kau tidak punya teman lain?" ucap Jinu.
Hyesun duduk dan meletakkan makanannya ke meja di depannya, tepat di samping milik Ahngyeol. "Aku punya teman lain. Tapi aku ingin makan siang bersama kalian. Apakah itu salah?"
"Kau tidak salah." Ahngyeol muncul dan duduk di kursinya. "Dia juga mengatakan itu padaku, barusan."
"Dia sangat suka mengusir orang-orang baik seperti kita," lanjutnya lirih.
"Oh, rupanya ini makanan milikmu, Gyeol. Kupikir siapa." Senyum terukir di bibir gadis di samping Ahngyeol.
Gyeol menyunggingkan senyum manisnya, meski itu bukan untuk Hyesun, melainkan untuk Nina. "Ayo makan!"
Akhirnya, mereka berempat makan.
"Nina, sepulang sekolah mau kuantar pulang?" Ahngyeol membuka suara.
Jinu yang mendengarnya pun, menghentikan suapannya. "Dia pulang bersama pacarnya."
"Siapa?" goda Ahngyeol.
"Aku." Jinu menjawab singkat. "Siapa lagi?"
"Kalau begitu, ayo pulang bersama, -kita bertiga."
"Tidak perlu," sahut Nina. "Aku harus melakukan pekerjaan paruh waktu. Biasanya aku juga pulang bersama Jinu," sahut Nina, menolak.
"Kalau begitu, akan kuantar." Ahngyeol kembali menawarkan. "Dengan mobil, dan supir."
"Itu kedengarannya tidak buruk …." Hyesun menimpali. Apa aku boleh ikut? Hahaha."
"Kami lebih suka berjalan kaki," sahut Nina, melirik raut Jinu yang terlihat mulai tidak nyaman.
Mendengar jawaban Nina, Ahngyeol berpikir sejenak. "Baiklah … kalau begitu aku akan mengantar kalian dengan berjalan kaki."
"Tapi, tidak hari ini. Ngehehe." Gyeol menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Tingkah Ahngyeol selalu membuat Jinu kesal. Ia seakan berusaha mengolok-olok dan mencoba membuat Jinu memukul mulutnya. Pemikiran itu membayangi Jinu bahkan sampai ia bekerja, dan pulang ke rumah.
Satu hal yang membuat rasa kesal Jinu buyar adalah kerusuhan yang bisa ia dengar berasal dari rumahnya.
Ia mempercepat langkahnya, dan menemukan segerombolan pria mengamuk di hadapan ibunya. Yah, ia tahu betul apa yang membuat preman-preman itu kemari.
"Hentikan!"
Jinu mengambil segulung uang dari dalam tas, dan menyerahkannya kepada orang-orang itu. "Ini, uang. Ini yang kalian inginkan, kan?"
Orang itu menciumi uang di tangannya, lalu menghitungnya.
"Jangan meminjam uang jika tidak bisa membayarnya kembali," ujarnya sambik menyerahkan uang itu kepada anak buahnya untuk disimpan. "Kalian membuat kami seakan seperti orang jahat."
Jinu tidak menjawab. Ia memandangi kaki orang-orang di depannya, menahan diri agar tidak menimbulkan lebih banyak kerusuhan.
Kami akan kembali lagi. Ini masih jauh dari cukup," pesan laki-laki itu sambil berjalan meninggalkan ruangan.
Suasana hening. Jinu duduk dan memunguti benda dan potongan beling yang berserakan di lantai.
"Apakah Jihun baik-baik saja?"
Ibunya yang ikut membersihkan, mengangguk. "Iya. Dia tadi sempat berlari dan mengunci kamar."
"Ayah dimana?"
"Entahlah … ibu belum melihatnya lagi, hari ini. Kemana, dia sebenarnya? Ini sudah dua hari dia tidak muncul." Wanita itu menghela nafas panjang.
Sang ibu melanjutkan, "kalau kau tidak pulang, entah apa yang akan terjadi pada rumah ini."
"Seharusnya aku pulang lebih cepat."
"Tidak, ini bukan kesalahanmu. Kau baru saja pulang dari sekolah dan bekerja," sahut Ibu Hwang. "Jinu, apa kau sungguh baik-baik saja?"
"Memangnya kenapa? Tidak ada alasan bagiku untuk tidak baik-baik saja."
Wanita di samping Jinu terdiam. Tak lama, bulir air menetes membasahi lantai di bawah wajahnya.
Jinu langsung memeluk ibunya, dan mengusap punggungnya.
"Bebanmu cukup berat … baik-baik saja apanya …." isak ibu Hwang.
"Aku sungguh baik-baik saja, Bu. Jangan Khawatir."
"Ibu minta maaf karena tidak bisa menjamin kehidupan SMA yang bebas seperti anak anak kaya. Maaf atas ketidak mampuan ibu."
"Tidak. Aku tahu betul, bahwa ibu sudah melakukan yang terbaik untuk keluarga ini. Ini bukan salah siapa-siapa, Bu. Jangan meminta maaf," sahut Jinu, lembut. "Ibu pasti kelelahan karena seharian bekerja di pabrik. Lebih baik Ibu istirahat. Biar aku yang merapikan semua ini."
Jinu menggandeng ibunya hingga ke kamar tidur. Setelah ibunya berbaring, pemuda itu memperbaiki posisi selimutnya agar sang ibu bisa lebih nyaman. Setelah itu, ia kembali ke ruang tengah dan membersihkan kekacauan satu demi satu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top