Sudut Terakhir (?)

Please turn on your dark mode
Thank You

Saya menghargai segala vote dan kritik saran serta komentar bahkan melalui PM

Warning : Typo(s), OOC, and Rate 18+
Know your limits

==============================
Sang dewa kematian merentangkan tangan menyambut kepulangan
Bunga bakung mekar berduka
Dewi Hujan menangisi kepergiannya

Lorong kereta bawah tanah kini disinari lentera jiwa

Kemana kereta itu berhenti?

Surga atau Neraka?
Pembebasan atau Penyiksaan?
Putih atau Hitam?

Luka berbekas
Ketakutan tersisa
Kenangan menghantui

Jadi, apa sudut terakhirnya?
==============================




















Pemandangan pertama yang dilihat Atsumu pagi itu adalah langit-langit kamarnya yang berwarna putih susu. Suara alarm ponsel membangunkan dirinya dari tidur manis. Dia lupa mengatur ulang alarm dan terbangun seperti biasanya tepat pukul empat dini hari.

"Padahal aku berniat bangun sore," keluhan itulah yang menjadi penyambut libur kedua Miya Atsumu.

Rambut kuning yang berantakan terlihat menggemaskan. Tidak lupa wajahnya yang masih linglung seperti anak kecil. Mulut menguap seraya mengambil pasokan oksigen. Tidak lupa tangan direntangkan serta beberapa gerakan yang menimbulkan suara patahan persendian.

Definisi dari bangun tidur sejati.

Setelah mandi dan mengganti pakaian, Atsumu melangkah ke dapur membuat camilan pagi. Secangkir kopi dan roti berselaikan coklat menjadi pilihan dia.

Sembari membuka berbagai notifikasi di smartphone, televisi menyala menampilkan berita pagi hari.

Polisi kini tengah menyelidiki latar belakang Y. A. yang merupakan pelaku bunuh diri di salah satu stasiun kereta api di Tokyo dua hari yang lalu.
Diduga pelaku melakukan aksinya akibat stres kerja dan depresi.
Setelah olah TKP kedua hari ini, garis polisi yang terpasang---

"Dia... Benar-benar meninggal ya..."

Atsumu adalah satu dari sekian saksi mata dari peristiwa mengerikan itu. Seandainya Atsumu memberanikan diri mendekati gadis itu, mungkin tidak akan ada berita tersebut di televisi.

Menyesal? Mungkin iya.

Miya Atsumu tidak salah sepenuhnya.

Melihat orang asing menangis sendirian tentu terlihat aneh dan mencurigakan.

Apalagi status Atsumu yang pemain liga pro, bisa menjadi sebuah berita jika ia salah langka mendekati gadis itu.

Ia tidak mengambil resiko.

Sebab itulah Atsumu bisa berada di ruang tamu hangat menikmati kopi.

"Dia bukan siapa-siapa bagiku," monolog Atsumu kala berita berganti dengan pembahasan lain.

Timeline instagram berisi foto-foto dari akun terdekat Atsumu. Ibu jari melakukan scroll.

Foto Osamu tersenyum dengan pegawainya. Foto Suna dengan tunangannya. Ada juga sang kapten tercinta, Kita Shinsuke, mengabadikan persawahannya dengan caption:

"Izinkan aku bertemu denganmu di musim panas selanjutnya."

Bertemu.

Pikiran Atsumu melayang pada teman chattingnya. Sudah lama dia tidak membuka akun bot tersebut.

"Apa Ame baik-baik saja ya kutinggal begini?"

Rasa khawatir akhirnya muncul. Bunuh diri yang dia lihat cukup mengganggu Atsumu. Cemas jika Amewarashi akan mati dengan cara mengenaskan.

Hening sejenak hingga suara televisi terdengar lebih keras dari sewajarnya.

Atsumu berpikir dan bingung.

Kenapa dia berlebihan pada gadis yang bahkan tidak mau diajak berkencan, menolak memberikan kontak dia, dan yang terpenting.

AMEWARASHI BUKAN FANS MIYA ATSUMU

Tidak terasa jam menunjukkan pukul enam pagi. Suara buruh mulai berkicau di balkon Atsumu. Awan mendung mengisyaratkan cuaca tidak bersahabat.

Sekali lagi, ia khawatir dengan gadis bernama dewa pengatur hujan.

"ARGH--SIAL!"

Kaki mengarah kembali ke kamar dan mengambil smartphone lain. Setelah membuka aplikasi dan log in, Atsumu menunggu dan berharap bahwa ketakutannya tidaklah benar.

"Ayo cepatlah!"

Tidak berselang lama, Atsumu telah masuk dan mendapatkan rentengan notifikasi dari akun-akun yang tidak rela ditinggal bot Atsumu.

Atsumu kira chat mereka akan tenggelam sangat kebawah mengingat terakhir chat adalah seminggu lalu saat Atsumu mengumumkan offline.

Tapi, siapa sangka jika ada chat dari Amewarashi?

Jika ada seorang pria berkata "terjanglah badai demi mengejar cinta" mungkin itu adalah Miya Atsumu.

Setidaknya dia mengenakan jas hujan lengkap dengan payung sebagai tambahan. Petir menyambar mengacaukan akal. Hujan begitu dingin seperti es.

Atsumu tidak peduli.

Prioritasnya kini adalah sampai ke 'tempat itu'.

Tempat Amewarashi bekerja.

Sebelum masuk, Atsumu diminta melepaskan jas dan menitipkan payung oleh satpam.

Siapa sangka jika masker hitam yang menutupi wajah Atsumu juga dilepaskan. Ketika memasuki gedung kantor ini, beberapa pasang mata berbisik heran atas kedatangan Atsumu.

Untuk apa pemain voli datang ke perusahaan ini?

"Permisi, saya ingin bertanya sesuatu."

"Maaf apa---HE?! MIYA ATSUMU?! MIYA MSBY?!"

Bahkan pegawai lobi terkejut dengan kemunculan Atsumu. Oramg terkenal memang beda.

"Nanti akan saya beri tanda tangan jika nona bisa membantuku," tawar Atsumu dibalas anggukan antusias dari dua pegawai perempuan yang berjaga di meja lobi.

"Saya ingin bertemu seseorang, kami pernah sekali bertemu dan saya memiliki hutang dengannya," pegawai tadi mengangguk memahami arah perkataan Atsumu. Tentu saja rona merah di pipi menandakan mereka menahan rasa bahagia bertemu pemuda setampam Atsumu.

"Dia pernah bilang jika bekerja disini, namanya Amewarashi."

Tidak ada yang berani berbicara. Ada apa? Mendengar nama itu mereka mengatupkan bibir rapat-rapat. Pegawai lobi sampai membisu tidak bergerak.

Seakan, nama itu terlalu sakit diucapkan.

Atsumu kebingungan. Atmosfer berubah sesak dan dingin. Seperti ada banyak pasang mata melihatnya. Tatapan mata demi mata menusuk dirinya.

"Ada urusan apa kau dengannya?"

Atsumu menoleh ke sumber suara serak itu. Seorang wanita berpakaian serba hitam datang dari arah pintu masuk. Di belakangnya ada juga empat pria berpakaian dengn warna serupa.

Bulir air turun terlihat jika dia sedikit kehujanan. Matanya membengkak seakan telah menangis untuk waktu yang lama.

Sayangnya, memang mata itu bengkak akibat menangis.

Menangisi 'dia'

Badai berlalu dari langit Tokyo. Menyisakan awan hitam yang masih setia terpajang di langit. Rintik hujan mereda menjadi jarum air.

Cuaca memang mereda.

Kini badai datang kepada Atsumu.

Pikirannya tidak baik mendengar fakta demi fakta diungkapkan teman satu divisi Amewarashi, Hideki Maya.

"Kremasi Yukio baru dilaksanakan tadi pagi, dan tidak ada sanak keluarga yang datang."

Rasanya segelas teh hangat tidak cukup menenangkan Atsumu.

Matanya membelalak tidak percaya. Bahkan tubuhnya bergetar kedinginan dan kebingungan.

"Seluruh staff tidak percaya ketika polisi datang kemari menanyai berbagai hal seputar Yukio."

Dia, Yukio Amewarashi, tidak pernah terlihat depresi ketika di kantor. Memang wajahnya pucat dan bekas luka sering terlihat. Tapi, siapa sangka jika itu semua adalah bentuk selfharm Yukio.

Perebutan harta warisan dan teror menjadi pemicu kasus ini. Tidak mengejutkan hal itu membuat Yukio nekat mengakhiri hidupnya.

Atsumu masih menunduk melihat cangkir teh yang sebentar lagi akan mendingin.

Hideki tidak tega melihat salah satu idolanya begitu terpuruk akibat kehilangan.

Kepalanya menoleh memandangi kaca kantor. Jejak air hujan mengingatkan dia ke Amewarashi.

"Penyeasalanku adalah tidak bisa menjadi tempat berkeluh kesah dia, tidak bisa mencegah dia bunuh diri."

Tangisan lolos menbasahi pipi Hideki.  Sungguh, Atsumu menahan diri tidak melakukan hal serupa.

Isakan tangis memenuhi ruang tamu pegawai.

Tangan Atsumu mengepal. Rasa kesal membanjiri batinnya. Bibirnya bergetar menahan luapan kesedihan ini. Sembari menunduk, Atsumu melihat kedua tangannya.

Khayalan bekerja hingga ia bisa melihat telapak tangan berlumuran darah.

"Aku juga, ingin menghentikan dia."

Sebuket bunga bakung dibeli Atsumu dalam perjalanan pulang. Kantong plastik berisi jas hujan dan payung menemani dirinya.

De javu dirasakan kala tubuhnya di barisan paling belakang dari kerumuman orang-orang yang ingin memasuki kereta.

Bedanya, sekarang jam pulang karyawan.

Lalu, tidak ada sosok gadis yang menangis tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Garis polisi telah dilepas. Bekas darah sepenuhnya hilang sudah dihapus.

Tidak ada yang membicarakan bunuh diri sebelumnya. Entah karena mereka tidak tahu atau tidak peduli.

Angka kematian akibat bunuh diri memang cukup tinggi di Jepang. Tidak heran jika tanggapan masyarakat adalah biasa saja.

Sayangnya, bagi Atsumu kasus ini bukanlah masalah sepele.

Bagaimana tidak? Jika saja dia punya keberanian mendekati gadis itu, atau memaksa bertemu maka hal itu tidak akan terjadi. Jika Atsumu lebih seriua menanggapi keinginan bunuh diri Amewarashi , bisa jadi gadis itu kini menemani Atsumu.

Air mata turun di pipi Atsumu. Masih belum bisa memafkan dirinya sendiri. Ditaruhnya buket bunga bakung tadi di sebuah meja yang berisikan beberapa bunga belas kasihan.

"Apa yang dirimu lihat dari sini?"

Tidak ada yang spesial berdasarkan sudut pandang Yukio.

Kini izinkan Atsumu memanggil nama keluarga gadis ini.

Musik sedih dari radio stasiun menambah perih.

Maaf.

Maaf.

Maaf.

Permintaan maaf yang ingin diucapkan Atsumu.

Maaf karena telah mengabaikan suicidal thoughts dia. Maaf karena tidak bisa menjadi teman yang baik. Maaf karena terlambat merangkul dia.

Menit demi menit berlalu sampai kereta tujuan Atsumu telah datang.

Keringat membasahi keningnya. Bukan karena suhu. Tapi, dibalik puluhan orang itu ada dua mata memandang Miya.

Tidak terdefinisikan.

Sarat akan kegelapan hati.

Pada akhirnya, segitiga itu tidak bisa terbentuk sempurna

SEGITIGA
[END]
[23 Juli 2020 - 15 Agustus 2020]

Author's note on next chapter




















YOU GOT A NEW MESSAGE!

>Open | Ignore

































SEGITIGA
"Tiga Garis"
[ERROR!  ERROR!]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top