4.

Aloha Kakak2. Makasih sudah mampir ke lapak ini dan terus setia sama cerita Erlang-Farah-Attar.

Btw ternyata kebanyakan Kakak2 dsni udah punya kecenderungan milih Erlang atau Attar ya? Kayaknya nggak ada yang masih netral kan ya?

Di satu sisi, saya bahagia krn itu berarti saya berhasil menuliskan karakter yang bisa dicintai pembacanya. Tapi di sisi lain, berarti ada salah satu (atau kedua) kubu yang akan kecewa karena tentunya Farah nggak akan memilih dua-duanya kan? (Ya asik bgt kalo bisa memiliki dua om2 hot gitu. Aing juga mau. Hahaha)

Penulis nggak bisa selalu menyenangkan semua pembaca kan?

Jadi, bagi yang sudah mempersiapkan hati, silakan melanjutkan membaca cerita ini. Makasih byk buat Kakak2 yang tetap setia mendukung, meski mungkin akan kecewa.

* * *

Waktu adalah sesuatu yang relatif. Bagi satu orang waktu berjalan sangat lambat, bagi yg lain justru berlari sangat cepat. Bagi satu orang, waktu tidak mengubah apapun, tapi bagi yang lain justru mengubah banyak hal.

Satu tahun yang lalu Farah meninggalkan Jakarta untuk melarikan diri, sambil berharap waktu bisa membantunya melupakan hal-hal menyakitkan yang dialaminya. Tapi ternyata waktu bukan hanya mengubah dirinya, tapi juga mengubah banyak hal di sekitarnya. Dan beberapa, justru berubah ke arah yang tidak disukainya.

Farah pergi memang salah satunya untuk menghindari Erlang. Tapi misinya yang itu tidak berhasil. Karena toh lelaki itu berhasil menemukannya dan beberapa kali menemuinya di sana.

Sebaliknya, meski ia ingin menghindari Erlang, bukan berarti ia ingin hubungan Erlang dan keluarganya menjadi renggang. Tapi ternyata justru hal itu yang terjadi. Ketika Erlang datang bersamanya ketika ia akhirnya pulang ke rumah, Farah melihat kecanggungan menguar diantara Erlang, Mama dan Faris. Erlang bersikap seperti tamu, sementara Mama dan Faris juga memperlakukan Erlang seperti tamu. Bukan seperti bagian keluarga mereka lagi.

Dan itu membuat Farah merasa berdosa. Ia merasa bersalah kepada Erlang karena sudah menyebabkan hubungan pria itu dengan keluarganya menjadi buruk. Andai dia dulu tidak menggoda Erlang, lelaki itu mungkin tidak akan melakukan hal itu padanya, dan mungkin hubungan Erlang dengan keluarganya akan tetap baik-baik saja.

Farah mendeteksi sikap Mama dan Faris yang berbeda pada Erlang, dan sebaliknya, ketika Erlang mengantarnya pulang dari Bali. Sikap Mama dan Faris kepada Erlang, meski tidak dingin, tapi juga tidak sehangat setahun yang lalu. Sebaliknya, Erlang juga terlihat lebih canggung. Farah pikir, setelah setahun berlalu Mama dan Faris akan memaafkan Erlang dan kembali bersikap hangat. Ternyata tidak.

Forgiven, not forgotten.

Mama dan Faris memang bilang sudah memaafkan Erlang. Tapi mereka tidak melupakan apa yang telah dilakukan Erlang kepada Farah. Dan itu membuat sikap mereka pada Erlang berubah.

"Selama lo di Bali, Om Erlang sering nyamperin?" tanya Faris pada Farah ketika Farah membantu adiknya itu berkemas.

Sebenarnya Farah tidak benar-benar membantu Faris berkemas sih. Dia cuma menonton adiknya berkemas karena beberapa hari lagi Faris akan pindah ke Bandung.

Setelah satu tahun bekerja di Bali, Farah kembali ke Jakarta karena tidak mungkin meninggalkan sang ibu sendirian di rumah jika nanti Faris kuliah di Bandung.

"Nggak sering," jawab Farah kalem.

"Berarti lebih dari sekali?" tanya Faris lagi.

"Hu-uhm," Farah mengangguk.

"Kata lo, dia cinta sama perempuan lain. Tapi kenapa masih ngejar-ngejar lo?"

"Dia bukan ngejar-ngejar gue. Dia cuma masih dikejar rasa bersalah."

"Dan lo masih naksir dia?"

"Nggak," jawab Farah enteng. Meski Farah belum dapat sepenuhnya menjauhkan diri dari Erlang, setidaknya setelah 1 tahun berlalu, Farah berhasil mensugesti dirinya bahwa dia tidak lagi menyukai Erlang.

Faris menghentikan kegiatan beres-beresnya seketika, saat mendengar jawaban Farah. Ia menoleh pada kakaknya dan menatap kakaknya dengan intens. Memastikan bahwa pendengarannya tidak bermasalah, atau Farah yang tidak berbohong.

Farah tidak mengalihkan pandangan dari Faris. Entah karena Farah berkata jujur atau dia sudah bisa berbohong dengan lebih lancar sekarang, Faris sulit menerka isi hati kakaknya yang sebenarnya.

"Nggak jelas lo, Mbak," kata Faris kemudian. "Katanya nggak naksir, tapi kok masih mau-mau aja dideketin terus-terusan. Nggak kasihan sama hati lo sendiri kalo sampe kebaperan padahal jelas-jelas dia naksirnya sama orang lain?"

Farah menghela nafas berat. Semua yang dikatakan Faris itu benar.

"Ris..."

"Hmmm?"

"Kata Om Erlang, dia sekarang cinta sama gue," kata Farah akhirnya.

Seumur hidupnya, ia tidak pernah curhat pada Faris. Kalau bertengkar sih, mereka sering. Sering banget. Tapi bicara dari hati ke hati, nyaris tidak pernah. Jijik, kata Faris, merujuk pada aktivitas melow-melow saat saling mencurahkan perasaan. Tapi mengingat hanya ibunya dan Faris yang mengetahui permasalahannya ini, dan ia tidak nyaman curhat pada ibunya tentang Erlang, maka Farah merasa berdiskusi pada Faris adalah hal yang paling memungkinkan.

"Dan lo percaya?" tanya Faris, sambil lalu. Tangannya masih bergerak melipat pakaian-pakaiannya.

Farah angkat bahu. "Nggak tahu deh."

"Lo sendiri yang tadi bilang, bahwa dia masih ngejar-ngejar lo karena rasa bersalah. Eh belum sampe 5 menit, lo bilang bahwa dia cinta sama lo. Beneran nggak jelas lo mah Mbak."

Gini nih nyebelinnya curhat sama Faris. Bukannya dibesarkan hatinya, tapi malah disalah-salahin. Nyebelin emang punya adek yang ngomongnya kurang diayak gini.

"Disini nih, masalahnya ada di lo, Mbak. Lo yang belum bisa identifikasi, sebenernya perasaan lo ke Om Erlang gimana sih? Kalau udah nggak cinta, jangan ngasih dia harapan seolah-olah lo bakal balas perasaannya. Kalo sebenernya masih cinta tapi takut terluka, ya lo buruan menjauh. Tapi kalau lo masih cinta, ya nggak usah denial mulu. Capek gue, ngeliat lo denial mulu. Jauh-jauh ke Bali, tapi kagak ada progress juga. Masih untung pulangnya bawa oleh-oleh. Jadi nggak sia-sia banget lah lo kerja jauh-jauh gitu."

Meski sebal dengan cara bicara Faris, Farah terpaksa mengakui bahwa semua yang dikatakan adiknya itu benar.

"Tapi kalaupun gue dan Om Erlang sama-sama saling cinta, toh lo dan Mama tetep nggak setuju kan?"

Kali ini Faris menghentikan kegiatannya lagi, untuk bicara lebih dalam dengan kakaknya.

"Selama gue di Bali, Om Erlang jarang main kesini lagi ya?" tanya Farah.

"Pernah. Pas lebaran."

Farah menghela nafas berat sekali lagi. Padahal biasanya lelaki itu berkunjung 1-2 bulan sekali ke rumah mereka. Hanya untuk main catur dengan ayahnya atau main game dengan Faris. Atau sekedar mengantarkan bahan makanan yang berlebih dari restorannya, atau mengantarkan menu baru yang dicobanya. Tapi gara-gara dirinya, semua berubah.

"Tuh kan. Hubungan Om Erlang dengan lo dan Mama udah nggak akrab lagi. Jadi kalaupun gue masih cinta Om Erlang, dan kalaupun bener dia sekarang cinta sama gue, lo dan Mama pasti nggak setuju kan?"

"Ribet banget ya pola pikir cewek," keluh Faris. "Gini deh Mbak. Gue sayang sama lo. Mama sayang banget sama lo. Jadi pas kami tahu apa yang dilakukan Om Erlang pada orang yang kami sayangi, wajar kan kalau kami jadi benci dia? Hanya karena kami mengingat kebaikannya selama ini ke keluarga kita, jadi gue dan Mama masih bersikap baik. Tapi cuma itu yang bisa kami lakukan. Untuk bersikap ramah seperti dulu lagi, gue dan Mama nggak bisa."

Faris mengatakannya dengan nada sinis. Tapi entah kenapa Farah merasa terharu pada kata-kata adiknya.

"Tapi kalau emang bener kalian saling mencintai, ya kalian berdua harus berusaha meyakinkan gue dan Mama untuk bisa nerima kalian dong," lanjut Faris. "Tapi gimana bisa kalian berdua bikin kami menyetujui hubungan kalian, kalau perasaan kalian satu sama lain aja nggak kuat. Boro-boro kuat, jelas aja kagak."

Semua yang dikatakan Faris memang masuk akal.

"Tapi Ris," kata Farah. "Andaipun gue nggak punya hubungan apa-apa sama Om Erlang, gue nggak mau hubungan lo, Mama dan Om Erlang jadi jauh. Gue merasa bersalah."

"Emang, cocok banget lo sama dia, Mbak," tukas Faris.

Eh?

"Dia masih ngejar-ngejar lo karena rasa bersalah. Lo sungkan menghindar dari dia juga karena rasa bersalah. Cocok emang!" kata Faris. "Tapi pernikahan nggak bisa dibangun di atas rasa bersalah, Mbak."

Farah menatap adiknya dengan tatapan nanar.

Yakin nih anak baru 18 tahun? Kok ngomongnya jleb banget?

* * *

Dedek Faris, come to Tante Nia sinih, Dek!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top