3.
"Udah yakin nih ya?" tanya sang pria sambil memandang berkeliling menyapu seluruh kamar asrama karyawan tempat Farah tinggal selama setahun ini. Lelaki itu mengedarkan pandangan hingga ke sudut-sudut. "Udah diperiksa semua? Nggak ada barang yang ketinggalan ya?"
Farah berdecak. Cerewet amat sih, gerutu Farah dalam hati.
"Udah semua, Om," jawab Farah, malas-malasan. "Aku nggak bawa banyak barang pas kesini. Nggak beli banyak barang juga selama di sini. Cuma nambah oleh-oleh doang buat Mama dan Faris. Jadi harusnya Om Erlang nggak usah repot jemput kesini. Aku bisa ke Jakarta sendiri," lanjutnya mengomel.
Tapi meski hatinya menggerutu dan bibirnya mengomel, ada setitik sudut di hati Farah yang menyukai perhatian yang diberikan Erlang padanya. Ini memang lebay. Koper dan tasnya tidaklah banyak, tapi Erlang berkeras menjemputnya ke Bali dan menemaninya hingga tiba di Jakarta. Padahal Farah sudah berkali-kali bilang bahwa Erlang tidak perlu menjemputnya, tapi seperti selalu, mana pernah Erlang tidak keras kepala kan?
Setelah memastikan tidak ada barang miliknya yang tertinggal di kamarnya, Farah keluar kamar diiringi Erlang yang menarik kopernya, dan mengunci pintunya. Kemudian ia menemui pengurus asrama karyawan dan mengembalikan kunci kamarnya, seraya berpamitan. Erlang kemudian memesan taksi online untuk membawa mereka ke bandara.
Mereka menunggu kedatangan taksi online di lobi asrama ketika seseorang menyapa Farah.
"Pulang sekarang ya Mbak?" sapa gadis itu dengan wajah ramahnya. "Semoga makin sukses di Jakarta ya Mbak."
"Eh, Ayu," Farah balik menyapa. "Aku pamit ya Yu. Makasih banyak ya, selama aku disini, kamu banyak bantuin aku. Maaf ya, aku banyak ngerepotin."
Mereka kemudian saling cipika-cipiki dengan hangat.
Ayu juga karyawan hotel tempat Farah bekerja. Ia juga bukan orang asli Bali. Sehingga ia juga tinggal di asrama karyawan, seperti halnya Farah. Kamarnya bersebelahan dengan kamar Farah, sehingga di awal Farah tinggal disana, Ayu banyak membantunya beradaptasi.
"Nggak kok Mbak, saya nggak repot kok." Gadis bertubuh mungil (karena tingginya hanya 160 cm) tapi sintal itu kemudian menoleh pada Erlang.
Gadis itu kemudian tersenyum pada Erlang. "Pagi, Pak Erlang," sapa gadis itu ramah.
Karena Erlang sudah beberapa kali menemui Farah di Bali, dan selalu menginap di hotel tempat Farah bekerja, jadi beberapa karyawan hotel juga mengenal Erlang.
"Pagi," Erlang membalas singkat, sebelum tiba-tiba ponselnya bergetar.
Panggilan telepon dari pengemudi taksi online memutus percakapan Farah dan Ayu. Kedua perempuan itu berpelukan sekali lagi sebelum Farah benar-benar berpamitan dan pergi.
* * *
Farah tiba di rumah saat tengah hari. Pintu pagar tidak dikunci dan pintu rumahnya terbuka. Sepertinya Mama dan Faris sedang menantinya pulang. Farah melangkahkan kaki di halaman itu dengan perasaan hangat, rindu, namun sekaligus perasaan kosong. Ia bahagia akan segera menyambut kehangatan keluarganya lagi setelah menahan rindu selama 1 tahun. Tapi ada sisi hatinya yang kosong, karena ia tahu meski ia pulang ke rumah ini, ia tetap tidak akan menemukan orang itu. Ayahnya. Yang telah meninggal setahun lalu.
"Mbak Farah!"
Farah mendengar sebuah suara yang dirindukannya, memanggil namanya.
Pemuda itu berdiri di depan pintu dengan wajah semringah.
"Mbak Farah udah sampai, Ris?"
Suara lain, sebuah suara wanita, yang amat dirindukan Farah terdengar dari balik punggung Faris. Tak lama kemudian wanita itu muncul dari balik punggung Faris. Usia bagai tidak mempengaruhinya sama sekali, karena wanita itu masih secantik yang diingat Farah.
"Mama!"
Farah mempercepat langkahnya. Dan ketika telah tiba di hadapan wanita cantik yang telah melahirkannya itu, yang kini berdiri dengan senyum lebar dan mata berembun, Farah segera meraih tangan wanita itu, lalu menciumnya. Dua detik kemudian Farah melepaskan tangan ibunya, dan beralih memeluknya. Dengan sangat erat.
"Farah kangen, Ma," kata Farah sambil menumpukan dagunya di pundak sang ibu, ketika ia memeluknya.
Sang ibu mengangkat tangannya, membalas pelukan anak gadisnya dan membelai punggungnya. Menyalurkan rasa rindunya pada pelukan dan usapan tangannya.
"Padahal sering telponan juga. Masih kangen aja," komentar seseorang yang berdiri di sisi Farah dan ibunya. Si pemuda yang kini sedang merasa diabaikan. "Lebay lo, Mbak."
"Sirik aja lo, Ris!" balas Farah, tak mau kalah.
Sementara sang ibu tertawa mendengar perdebatan kedua anak itu. Selama setahun ini, ia kehilangan kemeriahan perdebatan kedua kakak-beradik itu.
Selagi ibu dan kakaknya masih berpelukan bernostalgia, Faris menoleh ke arah pagar rumahnya. Di sana berdiri seorang laki-laki yang sedang menarik sebuah koper. Farah mengenali koper itu sebagai milik kakaknya.
"Lo nggak mau dijemput gue dan Mama di bandara, karena dijemput Om Erlang ya Mbak?" tanya Faris. Matanya masih menatap lelaki yang masih berdiri di pintu pagar.
Pertanyaan itu membuat Farah terkesiap dan melepaskan diri dari pelukan ibunya.
* * *
Itu adalah hari Minggu siang, ketika Farah berkunjung ke rumah itu. Sama seperti rumahnya, Farah juga merindukan rumah itu setelah 1 tahun tidak pernah mengunjungi.
Tidak sampai satu menit setelah Farah menekan bel, seseorang membukakan pintu pagar.
"Mbak Farah!" sambut seorang perempuan antusias. "Ya ampun, Mbak Farah udah pulang? Kok nggak ngabar-ngabarin mau dateng? Apa kabar, Mbak?"
"Saya sehat, Mbak. Mbak Wati apa kabar? Sehat juga nih kayaknya ya?"
Kedua perempuan itu bercengkerama sesaat sebelum Mbak Wati mengajak Farah masuk dengan antusias.
"Pak, ada tamu jauh," Mbak Wati melaporkan kepada sang pemilik rumah, sambil tersenyum lebar.
Farah sudah masuk ke ruang tamu, dan baru sampai di perbatasan dengan ruang keluarga. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sang pemilik rumah sedang duduk di sofa, menonton tv. Sementara ada seorang anak laki-laki yang sedang duduk di sisi lelaki itu, sambil bermain dengan tablet.
Sang pemilik rumah mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Namun ia belum sempat melihat siapa tamunya ketika sekonyong-konyong seseorang berteriak memanggil nama sang tamu.
"Kak Farah!"
Lalu tanpa sempat disadari Farah, tubuhnya sudah ditabrak oleh seseorang. Seorang anak, lebih tepatnya.
Farah tertawa sambil melepaskan tangan anak itu yang melingkar pada pinggangnya. Ia kemudian berlutut hingga matanya sejajar dengan mata anak itu.
"Kak Farah kangen Ahsan," kata Farah.
"Ahsan juga kangen!" balas anak lelaki itu sambil kembali memeluk Farah. Kali ini di lehernya.
Farah masih memeluk Ahsan, ketika ia menyadari sang pemilik rumah sudah berdiri di dekatnya.
"Farah udah pulang? Apa kabar?" sapa lelaki itu sambil tersenyum.
Farah menengadah dan membalas senyuman itu. Ia kemudian perlahan melepaskan diri dari pelukan Ahsan.
"Kabar baik, Pak. Pak Attar juga sehat kan?" Farah balik menyapa.
"Seperti yang kamu lihat," jawab lelaki itu. "Kamu kapan pulang?"
"Baru kemarin, Pak. Hari ini langsung kesini, soalnya kangen sama Ahsan," jawab Farah sambil membelai rambut anak itu, yang masih merangkul pinggangnya. "Kak Farah bawa oleh-oleh lho buat Ahsan."
"Yeaayyy. Asiikkk," pekik Ahsan bersemangat.
Sang ayah tampak geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya, sebelum matanya kembali beralih pada Farah.
"Kenapa nggak mengabari? Kalau Farah bilang, kita bisa jemput di Bandara. Iya kan, San?"
"Iya, kok Kak Farah nggak bilang-bilang sih?" Ahsan menimpali.
"Kan biar surprise," jawab Farah. Lalu ia terkekeh. "Lagian takut ngerepotin Bapak dan Ahsan."
"Merepotkan apa sih," jawab Attar. "Jadi kemarin Mama dan Faris yang jemput?"
"Em... sebenarnya kemarin Om Erlang yang jemput saya di Bali. Bantuin bawa barang-barang saya juga."
"Oh iya. Sudah nggak balik kesana lagi, pasti bawa banyak barang kan ya," kata Attar sambil mengangguk-angguk.
"Yuk, masuk Kak Farah!" potong Ahsan kemudian, sambil menarik tanyan Farah untuk mengikutinya ke ruang keluarga.
"Eh, sebentar. Kak Farah belum salim sama Papa," kata Farah menahan, sebelum Ahsan keburu menariknya masuk.
Farah segera mengulurkan tangan pada Attar karena sejak tiba tadi ia belum bersalaman dengan sang pemilik rumah. Tapi kali itu lelaki itu menggeleng sambil tersenyum.
"Mulai sekarang nggak usah cium tangan lagi. Saya bukan dosen Farah lagi," kata Attar.
"Eh?"
Lelaki itu kemudian menoleh pada Wati. "Nitip bawain minuman sama cemilan buat Farah dan Ahsan ya, Ti."
"Iya, Pak," jawab Wati cepat.
"Ahsan, ajak Kak Farah masuk," lanjut Attar pada anaknya.
"Siap, Pa!" jawab Ahsan. Ia kemudian menoleh dan menengadah pada Farah, "Yuk, Kak Farah."
"Saya masuk ya Pak," Farah meminta ijin pada Attar.
"Silakan," jawab pria itu dengan senyum ramahnya. "Oiya, kalian santai aja ngobrolnya. Maaf saya nggak bisa nemenin. Saya lagi ada beberapa kerjaan. Kalau nanti butuh apa-apa panggil saya di ruang kerja saya ya."
"Eh?"
Farah pikir, karena dirinya "tamu jauh" dan baru saja tiba di Jakarta, sang tuan rumah tentu akan menyambutnya kan? Kenapa malah ditinggal kerja?
"Yuk, masuk, Farah. Ditemani Ahsan dan Mbak Wati ya," kata sang pemilik rumah.
Ahsan kemudian menarik tangan Farah dan mengajaknya duduk di sofa ruang keluarga. Anak itu sudah sibuk berceloteh, sementara Mbak Wati sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan pesanan Attar.
Sementara itu, selagi mendengarkan cerita Ahsan yang antusias, Farah menoleh pada punggung mantan dosennya yang kini memasuki ruang kerjanya dan menutup pintunya.
* * *
Yuhuuuu!
Siapa yang semangat baca kelanjutannya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top