24.

Ternyata acara berlibur bersama ini tidaklah sia-sia. Pada malam hari, Ahsan sudah terlihat cukup akrab dengan Maliki. Akrab sekali sih tidak, tapi sikapnya tidak lagi menjauh atau antipati kepada lelaki yang akan menjadi ayah tirinya itu. Menjelang tidur, Ahsan bahkan bercerita dengan semangat tentang rencananya bermain dengan sang ayah dan Om Maliki besok. Sania tampak senang mendengarnya. Farah juga merasa lega. Jika dengan Maliki yang orang asing saja hati Ahsan bisa melunak, berarti Farah memiliki harapan besar akan diterima oleh anak itu.

Menjelang waktunya tidur, Farah menerima sebuah panggilan video. Ternyata itu dari ibunya. Farah menerima panggilan video itu setelah agak melipir ke pojok kamar. Tapi ternyata sang ibu memang sengaja meneleponnya malam-malam untuk memastikan dimana Farah tidur. Beliau bahkan meminta Farah untuk mengedarkan ponselnya agar ia dapat melihat seluruh kamar tidur.

"Tante Riha!" sapa Ahsan ceria, kepada ibu Farah, ketika layar ponsel Farah mengarah ke tempat tidur.

"Lho? Ahsan bobo sama Kak Farah?" tanya Fariha kaget. Ia pikir Farah tidur di kamar sendirian. Makanya ia menelepon, untuk memastikan Farah benar-benar sendirian. Ia tidak mau kejadian setahun lalu terulang lagi.

Layar ponsel Farah kemudian mengarah kepada perempuan cantik yang duduk di sisi Ahsan.

"Ahsan bobo sama Mama dan Kak Farah, Tante. Kasihan Kak Farah kalau bobo sendirian. Takut kan."

Fariha tertawa sungkan. Kemudian meminta maaf kepada Sania karena sudah mengganggu tidur mereka. Ia tidak bicara panjang kepada Farah setelahnya. Ia memang hanya ingin memastikan anak itu aman.

Setelah Farah mengakhiri panggilan video ibunya, ia mendengar Sania tertawa mengejek.

"Maaf ya Bu," kata Farah sambil nyengir sungkan. "Ibu saya___"

"Iya, saya paham. Nggak apa-apa," kata Sania. "Punya anak gadis secantik kamu, orangtua mana yang nggak was-was. Apalagi diajak liburan sama bapak-bapak, duda, udah lama puasa."

Wajah Farah memerah akibat implikasi dari kata-kata Sania itu.

* * *

Pagi hari setelah sholat Subuh, Farah keluar dari kamarnya. Sementara setelah sholat Subuh, Sania kembali bergelung menemani Ahsan yang susah dibangunkan. Mentang-mentang libur, pengin bangun siang.

Farah menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Meski vila tersebut dikelola oleh perusahaan perhotelan sehingga sarapan sudah disediakan di restoran, tidak jauh dari unit vila mereka, tapi Farah tetap membuatkan roti bakar. Barangkali saja ada salah satu dari mereka yang kelaparan bahkan sebelum sempat ke restoran. Lagipula, mumpung kemarin sore mereka mampir ke minimarket dan membeli beberapa cemilan, termasuk roti, untuk Ahsan.

Farah baru saja selesai dan meletakkan 5 tangkup roti bakar di piring, ketika seseorang memasuki dapur. Lelaki itu tampak segar dengan training suit dan sepatu olahraganya.

"Farah," sapa lelaki itu sambil tersenyum kecil.

"Pak Maliki," balas Farah sambil mengangguk sopan. "Mau olahraga Pak?"

"Lari doang, sebentar. Sania bilang, masih nemenin Ahsan yang belum mau bangun kan?"

Farah tersenyum dan mengangguk.
Pantas saja bentuk tubuh lelaki itu masih proporsional meski usianya hampir 40 tahun.

"Mau sarapan dulu Pak? Roti bakar doang sih," Farah menawarkan.

"Oh, nggak usah. Makasih. Saya mau bikin teh hangat aja."

"Biar saya bikinin kalau gitu Pak."

Dengan cekatan Farah mengambil cangkir yang tersedia dan menyeduh teh celup dengan air yang memang sudah dipanaskannya. Ia tadinya menyiapkan air panas itu kalau Attar ingin minum kopi. Siapa sangka Maliki yang datang lebih dulu.

"Eh? Makasih Far."

"Sama-sama, Pak," jawab Farah sambil tersenyum. "Gulanya seberapa banyak biasanya Pak?"

"No sugar, please."

Dengan demikian, setelah menyeduh teh celup tersebut, Farah mengangsurkan cangkir tersebut kepada Maliki.

Lelaki itu mengucapkan terima kasih kemudian meminum tehnya.

Farah membawa piring berisi roti bakar itu ke meja makan. Kemudian ia kembali ke dapur yang memang hanya berjarak beberapa langkah dari ruang makan, untuk menyeduh "susu" kental manis untuk menemaninya makan roti bakar.

Terminologi susu kental manis sebenarnya tidak tepat, karena kandungan susu di dalam produk tersebut sangat sedikit dibandingkan kandungan gulanya yang tinggi. Itu mengapa memberikan "kental manis" kepada anak-anak tidak akan memberikan gizi sesuai yang diinginkan dari produk susu, alih-alih hanya akan meningkatkan asupan gula pada anak. Itu pula mengapa sejak beberapa tahun lalu, BPOM telah mengeluarkan aturan bahwa produk tersebut tidak bisa lagi disebut "susu" kental manis, melainkan hanya "krimer" atau "kental manis" sehingga tidak menyesatkan masyarakat. Meskipun begitu, meskipun di kemasan maupun iklannya sudah tidak lagi dicantumkan kata-kata "susu", tapi masih banyak orang yang menganggap produk tersebut adalah susu.

Farah sudah tahu bahwa yang sedang diseduhnya sekarang bukanlah "susu", tapi dia suka saja dengan rasa manisnya, jadi dia tetap suka mengkonsumsi minuman tersebut, misalnya bersama dengan roti bakar.

"Farah usianya berapa?" tanya Maliki, tiba-tiba.

Farah baru saja menyesap "susu" kental manisnya ketika mendengar Maliki bertanya. Ia bingung kenapa lelaki itu menanyakan hal itu, tapi toh ia menjawabnya.

"Hampir dua puluh tiga tahun, Pak. Kenapa Pak?"

"Pantes masih minum susu," jawab Maliki sambil tersenyum.

Wajah Farah memerah. Maksudnya apa? Maksudnya gue masih anak-anak?

Karena emosinya terpancing pagi-pagi, Farah langsung memulai kuliahnya tentang "susu kental manis". Maliki tidak menduga gadis ini akan "menguliahi" dirinya tentang "susu kental manis", jadi setelah rasa kagetnya reda, ia justru tertawa. Menganggap sikap Farah lucu sekali.

Tawa Maliki itu membuat wajah Farah makin memerah. Bukan hanya karena tersinggung karena merasa sedang digoda, tapi juga karena tawa lelaki itu tampan juga.

Dasar si Farah! Gampang banget terpesona om-om!, maki Farah pada dirinya sendiri.

Setelah menghabiskan tehnya, Malikipun bangkit dari duduknya.

"Terima kasih teh hangat dan kuliah paginya, Far," kata lelaki itu sambil tertawa kecil. "Saya lari pagi dulu ya. Kalau kalian nanti mau sarapan duluan langsung aja, nanti saya nyusul. Saya larinya cuma sebentar sih sebenarnya."

Dan dengan itu, lelaki itu berlalu dari hadapan Farah. Meninggalkan gadis itu, yang wajahnya masih memerah karena malu: malu dianggap anak-anak, juga malu digoda oleh pria setampan Maliki.

"Pagi-pagi, muka kamu sudah merah gitu. Maliki ganteng sekali ya, sampai bikin kamu malu-malu begitu?"

Farah terkesiap dan menoleh cepat ke arah datangnya suara. Dan mendapati wajah tampan lain, yang sudah lama dikenalnya.

"Kalau ngobrol sama saya, muka Farah nggak pernah semerah itu. Apa itu artinya saya kalah ganteng dibanding Maliki?"

Attar melangkah mendekat dengan kaus polo dan celana chino selutut. Sontak saja wajah Farah makin bersemu. Ini pertama kalinya Farah melihat penampilan Attar sesantai itu. Biasanya, tiap bertemu di rumahnya saat mengajar Ahsan, Attar memang memakai kaus santai, tapi tidak pernah dengan celana pendek. Penampilan Attar kali ini membuat lelaki itu nampak 10 tahun lebih muda, sekaligus tetap tampak dewasa, sehingga pesonanya tumpah-tumpah tak tertampung.

"Saya bisa cemburu, Farah," kata lelaki itu, dengan suara rendah.

Padahal Attar melangkah biasa saja. Tapi kenapa dalam pandangan Farah, lelaki itu melangkah dalam gerakan slow motion ke arahnya, dengan wajah yang sangat menggoda?

Farah begitu terpana sampai dia tidak bisa berpikir, apakah harusnya ia meminta maaf atau tidak karena sudah ngobrol akrab dengan lelaki lain.

"Kamu bikin roti bakar?" tanya Attar sambil menarik kursi makan, lalu mencomot setangkup roti bakar.

"Eh? Oh, iya Pak. Iseng aja. Takutnya udah pada laper sebelum ke restoran."

"Enak rotinya."

"Nggak usah gombal, Pak. Itu roti biasa," gerutu Farah, menyembunyikan salah tingkahnya. "Bapak mau kopi atau teh?"

"Farah minum apa?"

"Kental manis."

"Oh susu kental manis. Kok saya nggak ditawarin minum susu?"

"Bapak bukan anak-anak lagi."

"Emang cuma anak-anak yang suka minum susu?"

"Tadi saya diledek Pak Maliki karena minum ini. Mungkin dipikir saya masih anak-anak."

Attar tertawa. "Jadi tadi muka Farah merah karena sebal, bukan karena tergoda sama Maliki?"

"Bodo amat!" Farah ngeles. "Jadi mau kopi atau teh, Pak?"

"Kopi boleh. Makasih ya."

Setelah menyerahkan kopi sesuai pesanan Attar, Farah ikut duduk di salah satu kursi makan, berhadapan dengan lelaki itu.

"Sania dan Ahsan masih tidur?"

"Bu Sania udah bangun Pak. Tapi masih ngelonin Ahsan. Ahsan masih males bangun."

Farah sudah selesai makan roti sih, tapi kan dia harus menemani Attar sarapan juga, supaya sopan. Lagian, jarang-jarang melihat penampilan Attar sekasual ini. Harus dinikmati semaksimal mungkin.

Mereka ngobrol santai tentang susu kental manis (lagi). Juga tentang Ahsan yang semalam bercerita antusias tentang rencana hari ini bersama Attar dan Maliki.

"Alhamdulillah kalau Ahsan udah mulai mau terbuka sama Maliki. Semoga itu pertanda baik juga untuk kita," kata Attar.

Kata-kata itu sontak membuat wajah Farah semburat kembali.

"Kopinya udah abis, Pak. Mau nambah?"

"Nggak usah. Makasih. Mau minum air aja."

Farah dengan tanggap menuju kulkas dan mengambilkan sebotol air mineral dan menyerahkan kepada Attar. Ia kemudian mengambil cangkir kopi Attar dan cangkir susunya, dan membawa ke wastafel.

"Rajin banget sih ini, pagi-pagi udah masak sarapan, nyuci piring. Calon istri siapa sih ini?"

Tanpa diduga, Attar sudah berdiri di balik tubuh Farah yang sedang mencuci cangkir. Lelaki itu meletakkan kedua tangannya pada kedua bahu Farah. Membuat gadis itu waspada.

"Pak..." Farah memberi peringatan.

"Hmm?"

"Jangan dekat-dekat. Nggak enak."

"Masa sih nggak enak?" Telapak tangannya yang besar mengusap bahu Farah. Bahkan meski bahu itu tertutup kaus, sentuhan Attar tetap membuat Farah merinding.

"Nanti Ahsan lihat."

"Kata kamu, tadi dia masih tidur."

"Emm, iya sih. Tapi tetep aja."

"Tetep apa?"

"Nggak enak kalau dilihat orang."

"Kalau nggak ada orang yang lihat, boleh?"

Farah selesai mencuci cangkirnya dan baru saja hendak meletakkan cangkir itu di rak piring, ketika tangan Attar melalui badannya dan meraih cangkir itu, lalu meletakkannya di rak piring. Saat itu Farah merasakan dada bidang lelaki itu menempel di punggungnya dan menyebabkan sengatan listrik merambat di kulitnya.

Lelaki itu kemudian memegang kedua lengan Farah, dan membimbingnya untuk berbalik menghadapnya.

Untuk ukuran perempuan Indonesia, Farah bertubuh tinggi. Namun saat berhadapan dengan Attar, tetap saja ia harus menengadahkan kepala.

Saat itulah mata mereka saling bertemu. Dan Farah melihat kilat mata yang belum pernah dilihatnya dari mata Attar sebelumnya.

Lelaki itu menunduk sedikit, menempelkan dahinya di dahi Farah. Membuat Farah salah tingkah.

"Saya mau cium, boleh?" bisik Attar. Entah kenapa suaranya jadi dalam dan serak. Mungkin ia gugup. Tapi Farah lebih gugup lagi karena ia bahkan tidak sanggup berkata apapun untuk menolak.

Jadi, karena Farah diam saja, Attarpun menurunkan kepalanya. Dengan perlahan dan lembut, ia menempelkan bibirnya pada bibir Farah.

Saking gugupnya, Farah tidak bisa bereaksi apa-apa. Ia bahkan berhenti bernafas tanpa sadar.

"Lain kali, abis minum susu kental manis, kumur-kumur dulu," bisik Attar ketika melepaskan bibirnya dari bibir Farah.

"Hah?" Bagai orang bodoh yang sedang teler, Farah menatap kosong pada sepasang mata yang hanya berjarak 10cm di hadapannya.

"Bibir Farah manis. Biasanya memang manis begini, atau ini karena susu kental manis?"

"Itu bukan sus___"

Protes Farah langsung terhenti kala Attar kembali membungkam bibir Farah dengan ciuman. Kali itu Attar bukan lagi sekedar menempelkan bibirnya, tapi lebih dari itu. Bibir lelaki itu menjepit bibir bawah Farah, dan dengan lembut mempersuasinya untuk membuka dan membalas.

Tangan Farah yang semula menahan dada Attar supaya tidak mendekat, sekarang malah terkulai lemah disana, dan justru mulai membelai dada bidang itu. Sementara tangan Attar sudah berlabuh di kedua sisi pinggul Farah.

Pengalaman ciuman Farah hanya dengan Erlang. Tapi yang kali ini terasa berbeda. Kalau ciuman Erlang terasa mendominasi, ciuman Attar kali ini justru terasa lembut dan tidak memaksa. Tapi justru karena lembut itu, Farah merasa terlena.

Intensitas ciuman itu makin lama makin meningkat. Seiring nafas Farah yang makin tersengal. Refleks Farah memejamkan mata, menikmati ciuman itu, yang bagai membawanya naik tinggi sekali, melampaui atmosfer sehingga nafasnya makin sesak.

"Emmm..."

Farah merasa makin melambung, naik makin tinggi, lalu....

"Kak Farah pembohong!!!"

... tiba-tiba saja ia terhempas ke neraka.

* * *

Menyala Pak Dosen!!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top