22.

Sejak Farah bekerja di Bali, Ahsan pernah beberapa kali menghubunginya dengan ponsel ayahnya, baik hanya panggilan suara atau panggilan video. Jadi sebenarnya Farah tidak kaget-kaget amat ketika malam itu ia menerima panggilan video dari nomer ponsel Attar. Hanya saja karena hubungannya dengan Attar sekarang sudah berubah, Farah sempat menduga bahwa Attar sendirilah yang menginginkan panggilan video itu. Jadi ketika Farah menggulir icon hijau dan mendapati wajah Ahsan, alih-alih wajah ayahnya, Farah sempat sedikit kecewa. Bukan berarti ia tidak suka Ahsan menghubunginya sih.

"Hei! Kok belum tidur, San?" sapa Farah ramah. Jam di ponselnya baru menunjukkan jam 9 malam sih. Tapi bukannya anak SD jam segini harusnya sudah tidur?

"Baru teleponan sama Mama, Kak," jawab Ahsan. "Aku ganggu Kak Farah nggak?"

"Nggak lah," jawab Farah. "Cuma bingung aja, kok Ahsan belum bobo."

"Hehehe."

"Asik ya ngobrol sama Mama, sampai jam segini?"

"Asik sih. Tapi..."

"Hmm?" Farah menaikkan alisnya.

"Tapi jadi bete."

"Lho kok gitu?"

"Mama ngajak liburan bareng weekend besok, Kak."

"Lho, asik dong! Kenapa malah bete?"

"Liburannya bareng Om Maliki," jawab Ahsan dengan wajah merengut.

Farah segera membaca situasi. Pantas saja Ahsan bete. Tapi Farah juga bingung menanggapinya. Dalam kasus ini, posisi Farah sama seperti Om Maliki, calon orangtua tiri Ahsan. Dan anak itu pasti juga akan membenci Farah jika sekarang ia tahu bahwa Farah punya hubungan khusus dengan ayahnya. Kalau sekarang Farah mencoba membela Om Maliki, ia khawatir Ahsan akan makin membencinya saat hubungannya dengan sang ayah terbongkar. Farah jadi bingung harus bersikap bagaimana.

"Aku ajak Papa ikut, supaya aku nggak sendirian sama Mama dan Om Maliki doang. Tapi Papa nggak mau," Ahsan melanjutkan curhatannya. "Katanya takut gangguin. Padahal kan gangguin apaan sih ya Kak?"

"Hehehe." Hanya begitu respon yang bisa Farah berikan. "Liburan kemana emangnya?"

"Anyer, Kak."

"Wah, bakal seru tuh main di pantai, San," kata Farah, berusaha membujuk Ahsan secara halus.

"Ya tapi nggak seru kalo sama Om Maliki. Ahsan maunya sama Papa Mama aja."

Farah nyengir, meski miris dalam hati.

"Kak Farah ikut liburan yuk."

"HAH?!" Farah yang tadi menerima telepon Ahsan sambil bersandar setengah berbaring di kasur, langsung menegakkan duduknya.

"Supaya kalo aku bete main sama Om Maliki, aku main sama Papa dan Kak Farah aja. Papa nggak mau ikut kalo sendirian. Tapi kalau Kak Farah ikut juga, pasti Papa mau ikut," usul Ahsan. Kemudian terlihat anak itu mengalihkan pandangannya ke luar layar ponsel. "Iya kan Pa?"

Refleks Farah memutar bola matanya. Halah, ini pasti bisa-bisaan idenya Pak Attar nih, pikir Farah, meski ia tidak bisa melihat atau mendengar respon Attar.

"Tante Sarah, Om Emir, Syifa ga mau diajak liburan bareng. Katanya mau mudik ke rumah Ummi-nya Om Emir," lanjut Ahsan. "Trus aku bingung mau ngajak siapa selain Kak Farah."

Farah terkekeh canggung. "Aduh, Kak Farah nggak enak ah San. Kan itu liburan keluarga."

"Bukan kok. Bukan liburan keluarga. Om Maliki bukan keluarga Ahsan."

"Kak Farah juga bukan."

"Ya makanya Ahsan ajak Kak Farah. Supaya nggak jadi liburan keluarga."

Farah terkekeh miris. "Maaf ya San. Kak Farah sungkah ah, nanti ngerepotin mamanya Ahsan."

"Nggak kok Kak! Nanti Ahsan yang bilang Mama deh."

"Eh, jangan!" cegah Farah cepat.

Dan secepat itu juga wajah Ahsan merengut.

"Eh, eh, maksud Kak Farah___"

"Yaudah kalo Kak Farah nggak mau ikut!" bentak Ahsan ngambek. Bagaimanapun dia cuma anak 8 tahun yang masih suka ngambek.

"Bukan gitu. Tapi kan Kak Farah harus bilang mamanya Kak Farah dulu kalo nginep gitu, San."

Secepat wajahnya merengut, secepat itu pula wajah Ahsan kembali ceria.

"Kalo gitu Kak Farah mau ikut kan?"

Farah nyengir salah tingkah. "InsyaAllah ya San."

"InsyaAllah-nya beneran nggak nih?"

"InsyaAllah bohongan tuh kayak apa sih?"

"Sok-sok insyaAllah, padahal cuma mau ngeles aja, ujung-ujungnya nggak jadi."

Farah tertawa canggung karena Ahsan dengan lugas menyampaikan fakta pahit tentang kebiasaan orang Indonesia yang ingkar janji.

"Kan Kak Farah harus minta ijin dulu sama mamanya Kak Farah, Sayang. Belum tentu diijinin," Farah mencoba memberi pengertian dengan sabar.

"Kalau Papa yang minta ijin ke Tante Riha, pasti bakal diijinin kan?" Anak itu kemudian menoleh kepada seseorang di balik ponsel. "Pah, mintain ijin ke Tante Riha dong! Apa sekalian kita ajak Tante Riha?"

Wah makin ngaco nih bocah!, pekik Farah panik dalam hati.

"Nanti Papa coba ngomong sama Tante Riha ya. Tapi kalau nggak diijinin, Ahsan nggak boleh maksa." Terdengar suara Attar, meski Farah tidak bisa melihat wajahnya.

Wajah Ahsan terlihat antara berharap dan kecewa, membuat Farah tidak tega. Tapi mau bagaimana lagi kan?

"Ahsan sayang bobo dulu ya. Besok kita ngobrol lagi kalau mamanya Kak Farah udah ngijinin," bujuk Farah.

Karena Ahsan tidak bisa lebih memaksa lagi, akhirnya ia menyerah dan menuruti Farah untuk menutup teleponnya dan tidur. Tidak sampai semenit setelah Ahsan menutup teleponnya, sebuah pesan masuk ke ponsel Farah.

Pak Attar: Jangan tidur dulu ya. Nanti saya mau telepon. Saya nemenin Ahsan tidur dulu sebentar.

Iya, Pak.

Sambil menunggu telepon Attar, Farah menggulir instagramnya. Tapi belum lama itu ia lakukan, ponselnya kembali bergetar. Sebuah panggilan telepon masuk. Tapi ternyata bukan telepon dari orang yang ditunggunya.

Farah ingin menolak panggilan tersebut. Tapi refleks jarinya, yang tadi sudah terlanjur mengira bahwa itu adalah Attar, terlanjur menggeser icon berwarna hijau. Jadi akhirnya ia terpaksa menerima panggilan itu.

"Halo, Om," sapa Farah singkat.

"Hai, Farah! Lagi apa?" balas Erlang.

"Nggak lagi ngapa-ngapain. Kenapa Om?"

"Aku udah di Jakarta lagi nih."

"Oh, iya, Om," jawab Farah singkat.

Dulu, duluuuu sekali, sebelum kejadian itu terjadi, tiap Erlang pulang dari luar kota, Farah akan menyambutnya dengan girang dan meminta oleh-oleh. Bukan oleh-olehnya yang penting, sebenarnya, tapi kesempatan untuk bertemu Erlang, itu yang penting bagi Farah. Tapi kini semua sudah berubah.

"Aku bawa oleh-oleh," kata Erlang kemudian, karena setelah beberapa detik Farah tidak juga menagih oleh-oleh, jadi dia yang berinisiatif duluan.

"Nggak perlu repot-repot, Om," jawab Farah kering.

Erlang mendesah tak kentara. Kecewa dengan respon Farah yang datar, yang tidak lagi menggebu-gebu ingin bertemu dengannya.

"Udah terlanjur dibeli," jawab Erlang. "Aku bawain ke rumahmu hari Sabtu besok ya?"

"Nggak usah, Om!" refleks Farah menjawab cepat. Akhir pekan ini, kalah ibunya mengijinkan kan Farah akan pergi dengan Ahsan. Kalaupun sang ibu tidak mengijinkan, Farah memang menghindari bertemu dengan Erlang. Rasanya salah jika ia masih bertemu Erlang ketika kini ia sudah berhubungan dengan Attar.

"Eh? Kenapa?" tanya Erlang, kaget dengan respon Farah yang terlalu cepat.

"Aku weekend ini nggak di rumah, Om."

"Lho? Kemana?"

"Nginep di tempat lain."

"Nginep?"

"Gathering kantor." Detik itu juga, ketika Farah menyelesaikan kalimatnya, ia merasa menyesal. Kenapa dirinya mesti berbohong sih? Harusnya dia langsung saja bilang bahwa akan menginap dengan keluarga Attar, supaya Erlang tahu bahwa dirinya sudah menetapkan pilihan, dan pilihannya bukan Erlang.

Eh? Tapi benarkah dirinya sudah mantap menetapkan pilihan itu?

"Kamu karyawan baru, tapi udah diajak gathering kantor?"

"Hmmm." Farah cuma mampu bergumam, tidak mampu berbohong lebih jauh. "Oleh-olehnya dikirim pake ojek online aja, Om."

"Nggak mau! Aku mau ketemu kamu."

"Kalau gitu nanti aku aja yang ngambil oleh-oleh ke rumah Om Erlang, sekalian pulang kantor."

"Eh, jangan!" jawab Erlang cepat. Terlalu cepat hingga Farah kaget sendiri. "Jangan ke rumahku."

"Emang kenapa?" tanya Farah bingung.

"Emm, nggak apa-apa." Farah bisa mendengar nada gugup pada suara Erlang. "Gimana kalau kamu ambil ke restoranku aja?" Erlang menawarkan akhirnya.

"Oh, oke, Om," jawab Farah, setuju dengan cepat. Bertemu di tempat umum seperti di restoran Erlang, mungkin lebih aman. Aman untuk hatinya juga.

Sebuah nadasela memecah percakapan mereka. Farah menjauhkan ponsel dari telinganya dan mendapati, selain telepon yang sedang dilakukannya saat ini, ada telepon lain yang masuk ke ponselnya.

"Om, ada yang telepon aku nih. Aku tutup dulu telepon Om ya," kata Farah cepat.

"Telepon kamu malam-malam begini? Siapa?" Suara Erlang terdengar curiga.

"Nggak tahu, Om. Udah dulu ya." Farah menjawab cepat. Kemudian tanpa menunggu jawaban Erlang, Farah memutus panggilan teleponnya dengan lelaki itu.

Saat itu juga ia menemukan nama Attar di ponselnya, dan ia segera mengusap icon hijau di layar ponselnya.

"Halo Pak," sapa Farah. Sebisa mungkin ia berusaha menutupi kegugupannya. Entah kenapa ia merasa gugup seperti orang yang hampir ketahuan berselingkuh. Padahal ia tidak selingkuh kan?

Iya kan?

"Assalamualaikum Farah," Attar menyapa dengan suara hangatnya.

"Wa'alaikumsalam, Pak," jawab Farah.

"Lagi ngapain Far?"

"Nggak ngapa-ngapain. Kenapa Pak?"

"Kok angkat teleponnya lama?"

"Eh? Oh itu, tadi saya hampir ketiduran, Pak. Jadinya lama angkat teleponnya."

Shit, Far! Lo makin pinter bohong ya sekarang?! Sama Om Erlang, bohong. Sama Pak Attar, bohong. Jadi pembohong lo sekarang?! maki Farah dalam hati.

"Maaf ya, jadi bangunin kamu lagi."

Kasihan banget sih Pak Attar. Dia yang dibohongi, dia yang minta maaf, pikir Farah miris.

"Nggak apa-apa Pak. Hehehe." Farah kemudian tertawa canggung. "Ahsan udah tidur Pak?" Ia kemudian mengalihkan pembicaraan.

"Udah," jawab Attar. "Maaf ya, permintaannya ngerepotin kamu."

"Ahsan minta begitu, bukan karena usul Bapak?" sindir Farah.

Attar tertawa. "Bukan. Serius. Itu dia sendiri yang kepikiran pengin ngajak Farah. Bukan karena saya."

"Ohhh..."

"Tapi kalau dipikir-pikir lagi, usulnya Ahsan bagus juga. Kita berempat jadi punya kesempatan mendekatkan diri sama Ahsan. Supaya Ahsan tahu, bahwa meski papa mamanya menikah lagi dengan orang lain, dia akan tetap disayang, bahkan mama papa yang menyayangi dia jadi bertambah. Gimana menurut Farah? "

"Emmm bener juga sih."

"Kalau gitu, Farah mau kan ikut liburan?"

"Nggak tahu Pak. Harus tanya Mama dulu. Belum tentu juga diijinin Mama."

"Nanti biar saya yang minta ijin Mama ya."

"Jangan! Nanti Mama malah horor kalau anaknya diajak nginep bapak-bapak."

Terdengar suara tawa lepas di seberang sana.

"Nanti saya aja yang minta ijin Pak. Saya pikirin dulu gimana cara ngomongnya."

Sekali lagi Attar tertawa. "Oke, oke."

Mereka kemudian terdiam selama beberapa saat, sebelum Attar kembali berkata, "Makasih ya Far. Maaf, jadi ngerepotin kamu."

"Nggak kok, Pak. Saya malah senang, Ahsan mempertimbangkan saya sebagai orang yang bisa bikin dia nyaman, makanya dia ngajak saya. Saya cuma bingung aja gimana cara minta ijin sama Mama kalau mau nginep sama keluarga Bapak. Soalnya Mama kan belum sepenuhnya setuju sama kita."

"Kalau gitu, makasih ya Far. Makasih sudah mau maklum sama saya dan Ahsan."

"Sama-sama, Pak."

"Farah..."

"Iya Pak?"

"Saya sayang sekali sama Farah."

"...."

"Farah nggak akan mengecewakan saya kan?"

"Pak..."

"Katanya, kekecewaan itu hadir karena terlalu berharap. Tapi gimana? Saya udah terlanjur berharap sama Farah."

"..."

"Farah nggak akan bikin saya kecewa kan?"

* * *

Kenapa Om Erlang melarang Farah ke rumahnya?

Jawabannya sih di extra chapter nanti. Sekarang ngetes dulu aja, kira2 pembaca ada dugaan apa hehehe.

Have a nice weekend, Kakak2! Ramaikan komen n votenya dong 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top