20.
Banyak yg nungguin cerita ini ga ya? Atau udh kadung ilfeel sm Farah dan patah hati krn Om Erlang pupus?
Makin dikit aja nih vote n komennya 😭😭
* * *
"Serius ih! Bapak ngapain jemput segala?"
Farah langsung protes, dua detik setelah memasuki mobil Attar.
Tapi lelaki itu malah tertawa lebar. "Kembali kasih," kata lelaki itu, seolah-olah barusan Farah mengucapkan terima kasih padanya, bukan mengomel.
"Dih!" gerutu Farah, dengan mulut manyun.
Lelaki itu kembali tertawa. "Udah ah, pakai seat beltnya. Dijemput pacar kok malah manyun. Itu kode minta dicium apa gimana?"
Dengan wajah memerah, berkat kombinasi kata "pacar" dan "minta dicium", Farah melempar tatapan kesal pada Attar. Sebelumnya tidak pernah terbayang oleh Farah bahwa ia bisa melihat sisi diri dosennya yang ini. Yang gombal begini. Kata-kata "pacar" terdengar canggung untuk mendefinisikan hubungan mereka saat ini. Juga pertanyaan "minta dicium?" terasa aneh saat diucapkan oleh seorang Prof. Attar Thariq.
Dalam diam, Farah menuruti perintah Attar untuk memasang sabuk pengamannya. Setelah itu Attar memutar kemudinya meninggalkan halaman parkir sebuah industri makanan, tempat Farah bekerja kini.
Satu jam sebelumnya Attar memang mengirim pesan kepada Farah, menanyakan jam berapa ia pulang bekerja.
"Satu jam lagi, Pak," jawab Farah tadi. "Kenapa? Bapak mau jemput?"
Yang Farah tidak duga adalah bahwa candaannya tadi ditanggapi serius oleh Attar. Sekitar 10 menit yang lalu, saat Farah memang sedang bersiap pulang, tiba-tiba Attar meneleponnya. Farah memang pernah bercerita kepada Attar tentang kantornya yang baru. Tapi dia tidak menduga informasi itu digunakan Attar untuk menemuinya di kantor.
"Gimana kantor baru? Kerjaan menyenangkan?" tanya Attar, membuka percakapan.
"Karena saya anak baru, jadi ya masih seru Pak," jawab Farah. "Belajar lagi dari awal. Banyak hal baru. Ketemu supplier-supplier. Ketemu orang-orang baru."
"Bosnya enak? Temen-temennya enak?"
"Sejauh ini sih enak-enak aja Pak. Kerjaan banyak, tapi kalau timnya santai kan jadi ga stres ya Pak."
"Betul. Lingkungan kerja yang sehat berdampak besar buat produktivitas sih," kata Attar sambil mengangguk-angguk. "Bosnya ganteng?" lanjutnya tiba-tiba.
"Hah?"
"Bosnya Farah ganteng?" Attar mengulang.
"Kok tahu bahwa bos saya laki-laki, Pak?"
"Nebak aja sih. Eh nggak tahunya, emang bener ya, laki-laki?"
Farah mengeluh. "Harusnya tadi saya bohong aja, bilang bosnya perempuan."
"Emang kenapa?"
"Ya nggak kenapa-kenapa. Nah Bapak nanyain bos saya ganteng atau nggak, kenapa?"
"Nanya aja. Emang nggak boleh?"
"Boleh," jawab Farah. Ia kemudian menoleh pada Attar. "Bapak cemburu ya?" tanyanya, sambil nyengir menggoda.
"Cemburu lah. Apalagi setelah tahu bahwa Farah berniat bohong tentang bos Farah."
Deg!
... Farah berniat bohong...
Senyum Farah seketika hilang. "Saya nggak niat bohong ke Bapak."
Attar terkekeh. "Iya, iya."
"Saya tadi cuma bercanda, Pak."
"Iya, iya. Saya juga cuma bercanda."
Farah selama ini selalu merasa Attar sangat pengertian. Tapi entah kenapa kali ini respon santai Attar, yang seperti memahami bahwa Farah hanya bercanda, justru membuat Farah merasa klarifikasinya tidak dianggap.
Setelahnya Farah diam saja. Tidak lagi berusaha mengklarifikasi atau membela diri. Kalau Attar menganggap bahwa dirinya memang berniat berbohong, ya sudah.
"Jadi, bosnya Farah memang ganteng?" tanya Attar.
"Iya."
"Sudah menikah?"
"Belum."
"Berapa umurnya?"
"Tiga puluhan."
"Lebih ganteng dari saya?"
"Prof lebih ganteng."
Attar tersenyum, lalu melirik gadis yang duduk di sampingnya. Ia pikir gadis itu sedang menatapnya sambil tersenyum menggoda atau tersenyum malu-malu, tapi ternyata gadis itu sedang menatap lurus ke depan dengan wajah dingin.
"Kita mau langsung pulang atau jalan-jalan dulu?" tanya Attar.
"Langsung pulang aja."
Attar langsung sadar, ada yang salah dengan Farah. Tapi kenapa tiba-tiba? Apa diantara percakapan singkat mereka barusan, ia sudah salah bicara?
Mobil Attar berhenti karena lampu merah. Lelaki itu kembali menoleh pada Farah, dan gadis itu tetap pada posisinya, menatap lurus ke depan.
"Itu tangan Farah kenapa?"
"Kenapa?" tanya Farah tidak mengerti. Refleks, ia menunduk mengamati kedua tangan di pangkuannya. Tidak ada apa-apa di telapak, punggung maupun jari-jari tangannya. Lalu ia beralih pada sepanjang tangan dan lengannya. Dan tetap tidak ada apapun. "Emang ada apa sama tangan saya, Pak?" Kali ini Farah sambil bertanya sambil menoleh pada Attar.
"Sini tangan Farah."
"Hah?"
Attar lalu meraih tangan kanan Farah. Gadis itu masih kaget karena Attar tiba-tiba mengambil tangannya, jadi makin bingung ketika lelaki itu langsung menelusupkan jemarinya diantara jemari kanan Farah.
"Ini trik lama yang saya pakai buat modusin mantan-mantan saya," kata Attar.
Farah mendelik. Antara kaget dan heran, kok bisa-bisanya orang ini bersikap begini.
"Farah tahu modus ini nggak?"
"Mana saya tahu. Waktu Bapak modusin mantan-mantan Bapak, saya masih balita."
Attar terkekeh. "Ternyata saya memang sudah setua itu ya."
Farah menatap Attar. Kali ini dengan tatapan hati-hati. Khawatir sudah menyinggung perasaan lelaki itu. Tapi saat lelaki itu menatapnya balik, ternyata tidak terlihat tatapan tersinggung dari mata Attar.
"Saya ada salah ngomong?" tanya Attar lembut. Ibu jarinya mengusap punggung tangan Farah yang digenggamnya.
"Hah?"
"Saya salah ngomong sesuatu ke Farah ya? Farah tiba-tiba bete gitu mukanya."
Farah mengalihkan tatapannya dari Attar. Antara malu diperlakukan manis oleh Attar, dan malu karena ketahuan ngambek.
"Saya cuma bercanda waktu bilang mau bohong tentang bos saya. Saya nggak benar-benar berniat bohongin Bapak."
Dahi Attar mengernyit saat mendengar Farah mengulang kata-kata itu, padahal tadi gadis itu sudah mengatakannya.
"Dan saya benar-benar serius saat saya bilang bahwa saya juga sedang bercanda saat menuduh Farah berniat berbohong."
Kali ini dahi Farah yang berkerut mendengar kalimat Attar yang membingungkan.
"Beneran, saya nggak bermaksud bilang Farah berniat membohongi saya. Saya cuma menggoda Farah aja. Farah tersinggung ya? Maaf ya."
Mendengar itu, wajah Farah kembali memerah. Kali itu alibat malu karena dirinya terlalu baper. Harusnya dia tidak sesensitif itu menanggapi gurauan Attar.
Kalau memang dia tidak berniat berbohong, kan dia tidak perlu sesensitif itu menanggapi gurauan Attar. Atau sebenarnya dirinya merasa tersindir karena selama ini memang sering membohongi lelaki itu?
"Maaf Pak," kata Farah akhirnya. "Saya yang baperan. Harusnya saya nggak gampang tersinggung."
Attar terkekeh. "Jadi saya dimaafin kan? Farah nggak marah lagi sama saya kan?"
Farah mengangguk.
"Alhamdulillah," kata lelaki itu dengan wajah lega dan cengiran jenaka. "Kirain saya bakal diputusin sebelum sebulan pacaran. Bakal jadi rekor."
Farah menarik tangannya dari genggaman Attar dengan wajah manyun karena malu. Ia kemudian memukul lengan pria itu dengan sebal. Sementara Attar menanggapinya dengan tawa yang makin lebar.
"Farah nggak suka saya bercanda begitu ya?"
Farah butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya menjawab. "Sebenarnya bukannya nggak suka Pak. Tapi saya belum terbiasa aja dengan sikap Bapak yang kayak gini. Dulu-dulu Bapak belum pernah bercanda dan menggoda saya kayak begini."
Jawaban itu membuat Attar kembali terkekeh.
Lampu lalu lintas berubah menjadi hijau tidak lama kemudian. Dan Attar dengan cekatan menjalankan kembali mobilnya.
"Karena sekarang Farah nggak marah lagi sama saya, saya boleh ajak Farah jalan?" Attar mengulangi pertanyaannya beberapa saat lalu. Kali ini sambil nyengir menggoda.
Farah manyun mendengar sindiran Attar. Tapi toh ia menjawab pertanyaan lelaki itu. "Emang mau jalan kemana?"
"Kemana aja. Asal nggak langsung pulang."
"Emang kenapa kalau langsung pulang?"
"Nggak bisa pacaran. Nanti sambil diawasin Mama Farah. Kan saya masih masa probation. Hehehe."
Farah ikut menertawakan nasib lelaki itu.
"Mau nonton?" Attar menawarkan. "Atau makan?"
"Makan aja yuk Pak. Kalau nonton, nanti pulangnya kemaleman."
"Oke! Mau makan apa?"
"Hmmm?"
"Farah masih suka steak? Atau all you can eat shabu-shabu?"
"Hehehe." Farah memang bukan mahasiswa yang fakir traktiran lagi. Ia kini bisa membeli makanan mahal itu dengan uang gajinya sendiri. Tapi bagaimanapun, makanan traktiran tetap lebih enak. Karena mengandung vitamin G!
"Mau steak Pak!"
Attar tertawa mendengar jawaban Farah yang antusias. "Oke!" Ia kemudian memutar mobilnya menuju sebuah restoran steak yang pasti disukai Farah.
"Jadi, dibanding bosnya Farah, saya masih lebih ganteng?" tanya Attar tiba-tiba, di tengah keheningan selama beberapa saat ketika mereka saling membisu.
"Apa sih Pak. Mulai lagi deh. Mau ngajak berantem lagi?"
"Jadi tadi Farah bilang saya lebih ganteng itu sebenarnya supaya menghindari berantem aja, karena lagi sebel dan males ngomong sama saya? Bukan karena saya memang lebih ganteng?"
"Nggak kok. Bapak emang lebih ganteng. Saya mah biarpun lagi sebel, tetep objektif, Pak."
Attar kembali tertawa mendengar jawaban Farah. Lalu tiba-tiba terlintas di pikirannya sebuah pertanyaan. Kalau ia menanyakan hal ini, apakah dia bisa mengetahui isi hati Farah?
"Kalau dibanding Erlang, siapa yang lebih ganteng? Saya atau Erlang?"
* * *
Ini bab recehan doang sih. Nggak tahu deh, banyak yg suka ga sih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top