16.
"Farah belum tidur?"
"Kalau udah tidur, ini siapa yang ngangkat telepon Bapak?"
"Hahaha. Pinter kamu!"
"Kalau saya nggak pinter, Bapak masih suka sama saya nggak?"
"Kalau kamu nggak pinter, kamu nggak bakal jadi guru les Ahsan, dan kita mungkin nggak jadi dekat. Jadi kemungkinan saya suka sama kamu, lebih kecil."
"Prof!"
"Apa?"
"Kok nggak romantis?"
"Yang romantis itu kayak gimana?"
"Tau ah!" Saat mengatakan hal itu, tiba-tiba mata Farah menatap bayangannya di cermin kamarnya.
Far! Jijik, tau nggak, kalo sok ngambek gitu! Ini lo lagi ngomong sama profesor lho. Sopan dikit, napa! kata sang bayangan menegur.
"Ya kan kita realistis aja, Farah," suara Attar di seberang telepon terdengar seperti sedang menyabar-nyabarkan diri, menghadapi gadis dua puluh tahunan ini. "Kalau kamu nggak pinter, kamu nggak kuliah di kampus kita. Kamu nggak daftar jadi guru les di bimbel temen kamu. Kamu nggak jadi guru les Ahsan. Trus gimana kita ketemu?"
"Tapi kan katanya, kalau jodoh pasti bertemu Pak."
"Yang bertemu kan belum tentu bisa bersatu. Bisa jadi, hanya bisa bertamu."
Farah tersedak ludahnya sendiri ketika mendengar kata-kata Attar.
"Prof, dapet kata-kata gitu dari mana?" Kalau mereka sedang berhadapan sekarang, Attar pasti bisa melihat mata Farah mendelik ngeri.
"Apa gunanya saya jadi Manajer Kemahasiswaan kalau tidak bisa mempelajari gombalan mahasiswa?"
"Astaga!"
Lalu tanpa diberi aba-aba, serentak saja Attar dan Farah tertawa di telepon masing-masing.
"Ahsan gimana Pak?" tanya Farah setelah tawa mereka reda.
"Kakinya membaik. Mungkin 2-3 hari lagi sudah bisa sekolah lagi."
"Alhamdulillah Pak. Saya jenguk kesana, boleh nggak Pak?"
"Boleh dong! Saya jemput ya? Kapan?"
Farah terkekeh. "Saya mau jenguk Ahsan, Pak. Bukan mau jenguk Bapak. Kok Bapak yang antusias?"
"Hehehe. Kalau kamu jenguk Ahsan, saya jadi punya alasan buat ketemu perempuan yang saya suka. Memangnya nggak boleh antusias?"
Farah kicep. Ini bapak-bapak, kedengarannya nggak ngegombal, tapi kok gue tersipu? Kampret nih bapak-bapak!
"Emangnya kalau nggak ada alasan khusus, Bapak nggak bisa ketemu saya?" tanya Farah sok cool, demi menyembunyikan salah tingkahnya.
"Bisa sih. Asal Farah ijinin, saya pasti nemuin Farah."
"Kalau nggak saya ijinin?"
"Ya saya rayu, supaya diijinin."
Skak mat lagi!
"Prof... " keluh Farah. Pusing, karena kalah melulu dengan pesona dosennya ini.
Terdengar Attar tertawa senang. "Nggak kuat ya?"
"Hah? Nggak kuat apa?"
"Nggak kuat sama gombalan saya?"
Farah melongo. "Saya speechless Pak," Farah mengaku. "Saya nggak pernah lihat Bapak kayak begini. Selama ini Bapak selalu... apa ya?"
"Serius? Cool?"
"Nggak juga sih. Nggak usah sok pede!"
Attar tertawa lagi.
Jujur saja Farah bingung menjelaskan bagaimana perubahan sikap Attar kepadanya beberapa hari ini. Attar bukan tipe dosen cool yang dingin dan galak, khas cerita-cerita wattpad. Dia adalah dosen yang ramah dan hangat. Meski demikian, Attar bukan tipe dosen yang suka tebar pesona atau genit. Jadi kalau beberapa hari ini Attar terlihat sangat pandai bicara yang membuat hati Farah baper, Farah jadi bingung dan kewalahan sendiri. Ia tidak siap dengan perubahan sikap Attar.
"Sebagai dosen, saya harus pandai memilih sikap seperti apa yang harus saya tampilkan kan? Tapi kalau di depan keluarga, atau orang yang akan segera menjadi keluarga saya, saya boleh jadi diri saya sendiri kan?"
Orang yang akan segera menjadi keluarga saya.
Untung mereka bicara melalui telepon. Andai mereka ngobrol tatap muka, atau melalui video call, pasti Attar akan berhasil menangkap basah wajah Farah yang berkali-kali memerah.
"Jadi kepribadian Bapak yang sebenarnya begini?"
"Begini gimana?"
"Gombal!"
Attar tertawa keras. "I would prefer to define my character as an open book. Kalau saya pikir Farah cantik, saya akan bilang Farah cantik. Itu bukan gombalan. Itu kenyataan. Jadi saya nggak menggombal atau merayu."
Astaga! Farah benar-benar merasa seperti orang mabok sekarang.
"Sebelum menikah, saya pernah punya 9 orang mantan pacar," kata Attar. Sama sekali tidak ada nada sombong atau bercanda pada suaranya. Hanya seperti ia sedang memberikan informasi saja.
"Wow!" decak Farah, spontan.
"Saya punya cukup pengalaman dengan perempuan. Jadi saya tebak, dari tadi kamu sudah beberapa kali baper."
"Prof!"
Attar kembali tertawa. "Saya adalah orang yang menunjukkan perasaan melalui sentuhan. Selama ini, terhadap Farah, saya selalu menahan diri. Tapi karena sekarang kita sudah... berhubungan, jadi saya minta maaf kalau besok-besok mungkin saya refleks merangkul Farah atau..."
Attar belum menyelesaikan kalimatnya, tapi wajah Farah benar-benar sudah panas.
"... yang pokoknya kira-kira begitu," singkat Attar."Tapi kalau Farah nggak nyaman dengan sikap saya, Farah bilang aja ya."
Farah terdiam, tidak menjawab.
"Saya orang yang terbuka. Dan lebih mudah buat saya kalau pasangan saya juga orang yang terbuka. Tapi kalau Farah bukan tipe orang seperti itu, saya bisa mengerti."
Farah masih terdiam.
"Farah, kamu pingsan ya?" tanya Attar tiba-tiba.
Farah terkesiap dan terkekeh dengan tergagap.
"Too much information ya Far? Sorry ya," kata Attar.
"Eh, nggak Pak. Saya malah seneng bisa lihat sisi diri Bapak yang lain, yang nggak bisa dilihat mahasiswa lain. Saya bahkan nggak tahu sisi diri Bapak yang kayak gini, padahal saya setahun lebih jadi guru les Ahsan."
Terdengar suara tawa Attar di seberang.
"Oiya, soal menjenguk Ahsan," Attar mengembalikan topik pembicaraan. "Kabari aja kapan kamu mau kesini. Nanti saya jemput."
"Nggak usah Pak. Nanti Bapak repot. Saya juga udah biasa ke rumah Bapak sendiri."
"Sekalian saya ketemu mama kamu."
"Dih, gercep amat Pak!"
"Hahaha."
"Nggak usah jemput ya Pak. Nanti Ahsan curiga. Saya khawatir Ahsan belum siap menerima saya selain sebagai guru lesnya," kata Farah. "Waktu di RS, saya merasakan penolakan kuat dari Ahsan terhadap calonnya Bu Sania."
Attar terdengar mendesah di seberang telepon. "Kita memang harus pelan-pelan sama Ahsan."
Farah mengangguk setuju. Meski tentu Attar tidak bisa melihatnya.
"Oiya, selama pemulihan kakinya Ahsan, mamanya tinggal disini," kata Attar. "Kamu keberatan nggak?"
"Kenapa saya harus keberatan?"
"Ya, barangkali aja kamu cemburu?"
Farah tertawa.
"Selama ini juga Sania beberapa kali menginap disini pada waktu-waktu tertentu. Dia selalu tidur di kamar Ahsan. Bagi saya, itu hal yang wajar karena Sania adalah mamanya Ahsan. Tapi sekarang saya punya kamu...."
Saya punya kamu! Astaga! Pemilihan kata-kata Pak Attar ini beneran jago banget bikin baper.
"...Kamu mungkin merasa cemburu kalau tahu bahwa saya tinggal serumah dengan mantan istri saya. Jadi saya cerita sekarang, khawatir kamu salah paham kalau tahu belakangan atau tahu dari orang lain. Kamu cemburu nggak?"
"Nggak kok."
"Berarti kamu nggak sayang saya?"
"Eh, nggak gitu Pak. Saya sayang kok."
"Jadi Farah sayang saya?"
Astaga! Gue kepancing!
Lalu terdengar suara tawa Attar.
"Maksud saya, saya bukannya nggak cemburu. Saya mungkin merasa sedikit nggak nyaman. Tapi kan Bu Sania itu mamanya Ahsan. Jadi memang wajar aja. Jadi ya, saya bisa ngerti."
"Makasih ya, Farah udah maklum dengan kondisi saya dan keluarga saya."
"Kan sebentar lagi saya jadi keluarga Bapak juga." Farah mengatakan itu dengan menebalkan mukanya. Nggak tahu malu. Demi membalas menggoda Attar, membuat lelaki itu baper.
Tapi alih-alih tergoda atau baper, Attar malah bertanya, "Farah kesambet?"
Argghhh! Bapak-bapak kampret!!!
* * *
Beberapa pembaca ada yang nanya, seberapa jauh si agegap Farah-Attar?
Nah, Farah ini seusia Haiva. Sementara Attar ini seusia Pak Haris. Jadi kebayang ya, seberapa jauh perbedaan usia mereka?
Setting waktu cerita ini terjadi sebelum cerita Haiva-Haris. Jadi Farah dan Attar bertemu di usia yang lebih muda dibanding saat Haiva bertemu Haris.
Meski Attar dan Haris seusia, tapi dalam bayangan saya, kepribadian mereka berbeda. Tentu ada beberapa persamaan, karena usia membuat mereka sama-sama dewasa. Tapi karakter dasar mereka berbeda.
Saya mencoba menuliskan karakter Attar dengan baik. Tapi karena saya penulis amatir, mungkin aja masih kebawa karakter Haris. Jadi tolong koreksi dari Kakak2 ya.
Nah, utk cek, apakah pembaca mendapat impresi sesuai yang saya maksudkan, coba tebak, apa bedanya karakter Pak Haris n Pak Attar hayo?
* * *
Btw, dalam imaji Kakak2, seberapa tua sih Pak Attar itu? Ada bbrp komen yg kesannya Pak Attar itu sudah tua sekali. Padahal usia Pak Attar saat bertemu Farah ini ga beda jauh dg usia Babang Nicholas Saputra, uri National Crush!
Babang Nico belum terlihat setua itu kan? Begitupun Pak Attar! Bagi beberapa pria, empat puluh tahun adalah masa-masa paling tampan,,,, dan terkadang, ketampanan itu justru baru dimulai di usia 40 tahun.
Ngomong2 ttg ketampanan di usia 40 tahun, Pakde kita bersama pas usia 40 tahunan juga lebih ganteng daripada pas usia beliau baru 20 tahunan. Kadang saya suka ngeledekin foto beliau di ijasahnya, karena kok bisa sih wajah aslinya justru lebih ganteng daripada foto di ijasah sarjananya. Hahaha. Tapi tiap saya ngeledekin beliau soal foto ijasahnya, beliau malah kelihatan senang banget, seolah saya sedang memujinya yang makin tua makin ganteng. Dasar si Pakde! Mau sebel, tapi susah sebel sama orang ganteng. Gmn dong? Hahaha.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top