10.
Setahun yang lalu...
"Mbak, tolong, ijinin aku menikahi Farah."
Fariha menatap pemuda ____bukan, lelaki di hadapannya.
Waktu seakan berhenti. Fariha masih sering menganggap lelaki itu sebagai pemuda nakal yang dulu selalu mengikuti sekaligus mengganggunya. Karenanya, ia lupa bahwa kini pemuda itu sudah menjadi lelaki dewasa.
Sebesar apapun seorang anak tumbuh, orangtua seringkali lupa dan terus menganggap sang anak masih kecil. Begitu juga Fariha. Ia sering lupa bahwa Farah bukan lagi anak kecil. Anak itu sudah tumbuh menjadi seorang gadis cantik.
Fariha barangkali juga terbiasa melihat si kecil Farah bermain dan bergelayut manja pada Erlang. Pun, ia terbiasa melihat Erlang memanjakan Farah. Hingga ia terlambat menyadari, bahwa Erlang bukan lagi seorang remaja, dan Farah bukan lagi anak kecil.
Kini semua sudah terlambat. Lelaki itu sudah merusak gadis kecilnya. Penyesalan Fariha tidak akan habis tiap mengingat hal itu. Bahwa dirinya yang selalu menerima lelaki itu di sekitar keluarganya. Bahwa dirinya yang sudah membiarkan lelaki itu dekat dengan puterinya.
Itu mengapa, meski ia berusaha tidak bersikap kasar pada Erlang --mengingat Erlang selama ini selalu membantu keluarganya--, tapi Fariha tidak bisa lagi menerima lelaki itu.
"Sudah, Lang. Sudah," kata Fariha akhirnya. Wajahnya lelah.
Ini bukan pertama kali Erlang meminta maaf lalu meminta ijin menikahi Farah. Dan meski Fariha sudah menolak, Erlang ternyata mencoba lagi.
"Kenapa Mbak? Mbak sendiri yang bilang, Mbak akan meminta laki-laki yang menghamili Farah untuk bertanggung jawab menikahi dia. Sekarang aku disini, sudah bersedia bertanggung jawab. Kenapa Mbak nggak mengijinkan?" tanya Erlang tak mengerti.
"Kamu mau menikahi Farah hanya karena tanggung jawab kan?"
"Tadinya iya, Mbak. Tapi sekarang, nggak lagi."
Dahi Fariha berkerut mendengar jawaban Erlang.
"Aku sekarang sadar, aku sayang sama Farah."
"Kamu dari dulu juga sayang sama Farah. Sebagai keponakan kan?" cibir Fariha.
"Sekarang aku sadar, aku sayang sama Farah lebih dari itu. Aku cinta sama dia," Erlang mengoreksi pernyataannya sebelumnya.
"Yakin itu cinta? Bukan nafsu, karena kamu udah nyicipin Farah?"
"Mbak!" Erlang terkesiap dengan kata-kata Fariha yang frontal.
"Bukan pelampiasan atau pelarian, karena kamu nggak berhasil mendapatkan aku?"
"Mbak___" Kali ini suara Erlang lemah.
"Aku nggak bodoh dan nggak naif, Lang. Aku tahu dulu kamu naksir aku," kata Fariha lugas. "Makanya sejak aku nikah sama Mas Farhan, aku udah siap kalau kamu menjauh. Tapi ternyata kamu nggak menjauh, jadi aku pikir kamu udah move on dan bisa nerima keputusanku. Tapi sekarang, pas tiba-tiba kamu menghamili Farah, trus pengen menikahi dia, aku tiba-tiba jadi kepikiran, jangan-jangan kamu belum move on dari aku, dan cuma jadiin anakku pelarian karena dia mirip aku."
Mendengar itu, Erlang terkekeh."GR amat sih Mbak." Meski demikian, tawa lelaki itu terdengar kikuk dan salah tingkah.
"Aku mungkin GR. Tapi wajar kan aku mikir gitu?"
"Tapi itu prasangka Mbak aja. Aku beneran pengen Farah jadi istriku."
"Sayangnya, aku nggak bisa merestui, Lang. Kalau laki-laki lain, barangkali aku akan minta mereka bertanggung jawab untuk kesalahan mereka. Tapi kamu ____ kamu udah kami anggap sebagai keluarga, Lang. Kami percaya sama kamu. Tapi kamu malah merusak kepercayaan itu. Kesalahanmu lebih besar. Aku nggak bisa memberikan anakku kepada orang yang nggak bisa aku percaya lagi."
Demi mendengar keputusan Fariha, Erlang menjatuhkan dirinya di hadapan Fariha yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
"Ampun, Mbak. Ampuni aku. Maafin aku," Erlang mengiba sambil berlutut di hadapan Fariha. Ia menunduk pada lutut wanita itu.
Fariha membuang tatapannya. Tidak mampu menatap lelaki di hadapannya.
"Kami udah maafin kamu, Lang. Bagaimanapun, keluarga kami banyak berhutang budi sama kamu. Dan Farah juga bilang, itu kesalahannya karena menggoda kamu duluan. Dia juga bilang, dia menggoda kamu karena penasaran, bukan karena cinta..."
"Dia bohong Mbak! Aku tahu, Farah juga cinta sama aku!"
Fariha memilih mengabaikan informasi itu.
Wanita itu memejamkan mata, menahan perih, lalu berkata, "Kami udah maafin kamu, Lang. Jadi jangan lagi merasa terbebani."
"Tapi, Mbak___" Erlang mengangkat kepalanya, menatap wanita yang sedang duduk di hadapannya, dengan mata mengiba.
"Cuma itu yang bisa aku berikan, Lang. Cuma maaf. Selebihnya, aku nggak bisa. Hatiku sakit tiap ingat apa yang kamu lakukan pada Farah, pada keluarga kami."
Saat itu Erlang melihat Fariha meneteskan air matanya. Dan karena itulah Erlang menyerah. Ia tidak berani lagi meminta lebih pada Fariha.
Setidaknya saat itu.
Tapi dalam hati ia bertekad, suatu saat ia akan memperjuangkan kembali kepercayaan keluarga itu. Karena mereka adalah kunci untuk mendapatkan hati Farah.
* * *
"Farah bener nggak ada perasaan sama Om Erlang? Kata Faris, Farah sebenarnya cinta sama Om Erlang? Apa karena itu Farah berusaha mendekatkan dia lagi ke Mama dan Faris? Supaya Mama dan Faris merestui kalian? Dia berhasil meyakinkan kamu untuk nikah sama dia? Kamu mau nikah sama dia?"
Fariha melihat anak gadisnya tampak ragu menjawab pertanyaannya. Dulu, Fariha pernah menanyakan pertanyaan serupa. Dan meski Farah bilang bahwa dia tidak mencintai Erlang, Fariha tahu bahwa Farah berbohong. Fariha mengutuk kebodohannya sendiri karena tidak bisa mendeteksi perasaan anak gadisnya kepada Erlang. Andai ia menyadarinya lebih awal, tentu ia bisa memperingatkan Farah agar kejadian itu tidak terjadi.
Fariha tahu bahwa saat itu Farah sebenarnya mencintai Erlang. Jika gadis itu mengaku sebaliknya, barangkali hanya supaya ibunya tidak lebih marah lagi. Jadi ketika Farah meminta ijin bekerja di luar Jakarta, Fariha terpaksa menyetujuinya. Semata untuk memberi kesempatan pada Farah untuk berpikir lebih jernih, dan semoga seiring waktu puterinya bisa menghilangkan perasaannya kepada Erlang.
Tapi apa yang diperolehnya?
Setelah satu tahun berlalu, setelah dirinya menjauhkan Erlang dari rumahnya, ternyata lelaki itu malah tetap nekat mendatangi Farah. Melihat Farah pulang dari Bali bersama lelaki itu, Fariha merasakan kecemasan itu lagi. Ia takut puterinya masih terus mencintai Erlang. Dan melihat upaya Farah untuk mendekatkan Erlang dengan keluarganya lagi, Fariha makin cemas kalau semua upaya itu untuk mendapatkan restu? Bagaimana kalau sang puteri berkeras menikah dengan lelaki itu?!
"Ma..." Sang puteri terdengar menjawab perlahan setelah terdiam selama beberapa waktu. "Semua ini terjadi karena Farah. Mama dan Faris jadi jauh dengan Om Erlang, karena Farah. Farah merasa bersalah. Jadi setidaknya Farah pengen mencoba, supaya hubungan keluarga kita dengan Om Erlang baik kembali."
"Keperawanan kamu bisa kembali seperti semula?" tukas Fariha tajam. Pertanyaan itu membuat Farah terdiam, tak berkutik. "Seperti itu juga kepercayaan Mama terhadap Om Erlang. Nggak mungkin bisa kembali."
Farah menunduk. Wajahnya murung.
"Kamu minta Mama maafin dia? Sudah Mama lakukan. Lebih dari itu, Mama nggak bisa."
Wajah Farah terlihat memerah menahan tangis.
"Kamu cinta sama dia?" tanya Fariha, sekali lagi.
Dan Farah tetap bergeming. Terdiam di tempatnya.
"Sudah ya Far, jangan memaksakan diri lagi. Jangan memaksakan diri untuk mendekatkan Erlang dengan keluarga kita lagi. Jangan memaksakan diri untuk membuat Mama merestui kalian.
Jangan lagi membela dia. Mungkin kamu memang menggoda dia. Tapi dia bukan anak kecil yang nggak bisa menahan diri kalau diiming-imingi permen. Dia laki-laki dewasa. Hanya karena kamu yang mulai menggoda, bukan berarti dia nggak andil bersalah dalam kejadian itu. Jadi berhenti membela dia, kalau kamu nggak mau Mama makin kecewa sama kamu.
Lagipula, setahun lalu, kamu udah janji sama Mama untuk nggak akan nerima perasaan dia kan?"
* * *
Wis lah Om, kibarkan bendera putih aja lah Om. Tak ada harapan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top