6. Vaksinasi

Minggu pagi ini Farah datang ke rumah Ahsan bukan untuk menemani belajar, tapi untuk menemani Ahsan menjalani vaksinasi.

Sejak seminggu yang lalu, sejak ayahnya mengatakan bahwa minggu depan ia akan divaksin, Ahsan sudah ribut karena tidak mau disuntik. Dia bahkan minta tolong pada Farah untuk membujuk ayahnya agar dirinya tidak jadi disuntik.

"Adik ipar saya kan dokter anak," kata Attar ketika ngobrol dengan Farah selepas jadwal les minggu lalu. "Pas kami ngobrol-ngobrol, tiba-tiba dia nanya apakah Ahsan sudah divaksin tifoid atau belum. Katanya belakangan ini di rumah sakitnya banyak pasien anak yang dirawat karena demam tifus.

Vaksin tifoid bukan vaksinasi yang diwajibkan pemerintah sih. Tapi saya takut Ahsan jajan sembarangan. Apalagi saya sibuk, takutnya kurang perhatian sama makanannya dia. Kan gawat kalau dia sakit pas saya lagi sibuk-sibuknya. Jadi mending mencegah daripada mengobati."

Mendengar cerita Attar itu, pada akhirnya, alih-alih mengikuti permintaan Ahsan, Farah justru mendukung keputusan Attar.

"Jadi yang minggu depan nyuntik Ahsan itu tantenya sendiri kan?" tanya Farah. "Harusnya dia nggak takut dong."

"Adik ipar saya laki-laki," kata Attar mengoreksi. "Ahsan memang senang karena Om dan Tantenya akan main kesini minggu depan. Tapi pas saya bilang bahwa Omnya akan sekalian memberinya vaksinasi, dia langsung nangis-nangis."

Farah terkekeh mendengar cerita itu. Dia bisa sangat mengerti kalau anak-anak takut disuntik. Bahkan dirinya sendiri, sampai sebesar ini selalu memalingkan wajah saat disuntik.

Tapi demi mengurangi kegelisahan Ahsan tentang vaksinasi dan suntikan, hari Minggu itu Farah datang dengan agenda khusus. Ia juga membawa buku khusus bersamanya. Jadi segera setelah membantu Ahsan menyelesaikan tugas sekolahnya, Farah membuka buku itu dan segera menceritakan kepada Ahsan tentang sistem imun tubuh dan pentingnya vaksinasi.

"Tapi kan katanya aku harus makan banyak supaya daya tahan tubuhku bagus. Jadi kalau aku udah makan banyak, aku ga perlu disuntik lagi dong Kak?" tanya Ahsan tetap ngeles, bahkan setelah Farah menjelaskan tentang manfaat vaksinasi.

Farah tersenyum sabar sebelum menjawab pertanyaan Ahsan.

"Makan banyak, makan bergizi, olahraga, minum madu, minum vitamin, itu ibarat membeli perlengkapan perang untuk para tentara. Kalau tentara nggak punya mobil tank, ga punya pesawat tempur, ga punya senapan, ya bisa kalah kalau ada musuh yang menyerang dengan peralatan canggih," kata Farah sambil mengelus kepala Ahsan.

"Nah, vaksinasi itu ibarat latihan tempur buat tentara. Meski tentara sudah punya senjata, alat tempur dan kendaraan tempur canggih, tapi kalau nggak pernah latihan tempur, mereka nggak tahu gimana caranya mengenali musuh dan menghadapi musuh. Gagap pegang senjata dan mengoperasikan alat-alat canggih di kendaraan tempurnya...

Sama kayak tubuh kita. Meski kita udah makan banyak dan bergizi sehingga sel imun kita banyak, tapi kalau mereka nggak pernah latih tanding sama bakteri atau virus, maka pas sewaktu-waktu bakteri/virus menyerang, sel imun kita nggak bisa segera mengenali musuh dan nggak tahu gimana cara membunuh musuh itu.

Pas Ahsan disuntik nanti, ada bakteri/virus lemah yang dimasukin ke tubuh Ahsan. Nah, sel imun Ahsan akan belajar untuk mengenali bakteri/virus itu sebagai musuh, trus ditembak-tembakin deh. Karena bakteri/virusnya lemah, jadi gampang dikalahkan. Kalau lain kali ada bakteri/virus serupa yang lebih kuat yang masuk tubuh, sel imun Ahsan bisa langsung mengenali Nah, ini musuhku nih, trus langsung menyerang."

"Tapi kalau aku nggak disuntik sekarang, kan tetep aja sel imunku bisa bunuh bakteri/virus pas aku sakit beneran kan?"

"Mungkin bisa sih. Tapi udah keburu babak belur duluan, soalnya sel imun Ahsan telat mengenali bakteri/virus itu sebagai musuh. Jadi musuhnya udah keburu merusak tubuh, sebelum sel imun berhasil membunuhnya. Kadang-kadang, malah tubuh yang kalah.

Kalau udah kayak gitu, Ahsan harus dirawat di rumah sakit. Papa Mama pasti sedih banget lihat Ahsan kesakitan. Ahsan sayang kan sama Papa Mama? Ahsan nggak mau Papa Mama sedih kan?"

Ahsan melirik ayahnya yang duduk di sofa di seberang meja, yang sedang ikut mendengarkan cerita kak Farah. Sang ayah langsung memasang wajah sedih. Membuat Ahsan tidak tega.

Ia kembali menatap Kak Farah lalu menggeleng.

Farah tersenyum. "Nah, supaya Papa nggak sedih, Ahsan harus sehat terus! Makanya sekarang Ahsan latih tanding dulu sama bakterinya. Supaya nanti kalau diserang beneran, Ahsan udah kuat."

Meski masih manyun dan takut disuntik, Ahsan akhirnya mengangguk. Attar langsung tersenyum melihat keberhasilan Farah membujuk Ahsan.

Diam-diam, Farah juga menghembuskan nafas lega karena berhasil membujuk Ahsan.

Membujuk anak-anak untuk mau disuntik untuk vaksinasi memang kadang sulit. Tapi ternyata masih lebih mudah menjelaskan hal tersebut kepada anak-anak dibanding kepada para antivax yang keukeuh menolak vaksinasi.

"Kak Farah temenin aku disuntik kan?" tanya Ahsan kemudian.

Farah melirik Attar. Sebelum menjawab pertanyaan Ahsan, dia harus tahu kapan om dan tantenya Ahsan akan datang. Kalau mereka datang sore hari, masa Farah harus menunggu seharian?

"Mereka datang pagi ini kok," kata Attar, paham dengan pertanyaan di balik tatapan Farah. "Harusnya sekarang sudah sampai. Atau mungkin sebentar lagi."

Farah mengangguk pada jawaban Attar lalu kembali memandang Ahsan. "Iya, kak Farah temenin."

Ahsan langsung bersorak gembira.

"Kak, ini gambarnya lucu-lucu. Aku boleh warnain gambar-gambar ini kan? May I?"

"Eh?" Farah kaget karena tidak mengira Ahsan akan antusias. "Tapi itu bukan buku Kak Farah. Kakak pinjem buku itu sama temen Kakak. Minggu depan Kakak bawain buku mewarnai ya, San?"

Dasar anak-anak. Secepat itu wajahnya ceria, secepat itu juga wajahnya murung saat keinginannya tidak didapatkan.

"Minggu depan kita ajak Kak Farah jalan-jalan ke toko buku, cari buku itu yuk!" Attar dengan cepat memberi ide sebelum anaknya mulai mewek.

Hanya dalam hitungan sepersekian detik, wajah Ahsan kembali sumringah.

Farah masih menatap Attar dengan bingung ketika Ahsan sudah menggelendot di lengannya dan merayu, "Minggu depan kita ke toko buku bareng ya Kak?"

Farah tersenyum salah tingkah. "Kak Farah minta ijin orangtua Kak Farah dulu ya."

"Yaaahhhhhh...." spontan Ahsan mendesah kecewa.

"Ahsan kalau mau pergi sama Mbak Wati kan juga harus minta ijin Papa dulu," kata Attar menengahi. "Kak Farah juga harus minta ijin dulu sama papanya kak Farah."

Meski masih manyun, Ahsan bisa menerima alasan tersebut. Dan demi membujuk Ahsan supaya ceria lagi, Farah segera merangkul leher Ahsan dan memeluknya erat. Hal itu berhasil membuat Ahsan cekikikan dalam pelukan Farah.

Sambil memperhatikan interaksi yang manis antara anak dan mahasiswinya, Attar mengambil buku yang tadi dibawa Farah.

"Saya perhatikan kamu beberapa kali membawakan buku edukasi seperti ini buat Ahsan," kata Attar sambil memandang Farah.

Setelah beberapa minggu memperhatikan Ahsan dan Farah belajar bersama, Attar menyukai cara Farah mengajarkan sains kepada Ahsan dengan buku-buku dan cerita yang menarik.

"Saya pinjem sama tetangga saya, Pak. Dia punya anak seumuran Ahsan juga. Dan dia punya banyak stok buku edukasi. Dia jualan buku edukasi gini juga sih Pak."

"Oh ya? Boleh saya minta katalog bukunya? Barangkali saya bisa beli? Sepertinya Ahsan suka dengan buku-buku yang kamu bawa."

"Eh? Oh, nanti saya tanya tetangga saya ya Pak, daftar buku yang dia jual."

"Makasih, Far."

"Sama-sama, Pak."

* * *

Sesuai perkataan Attar sebelumnya, om dan tantenya Ahsan datang tidak lama kemudian. Ketika melihat tantenya datang sambil menggendong seorang bayi, Ahsan langsung menghambur kepada tantenya dan meminta melihat bayi menggemaskan itu.

Karena melihat ekspresi bertanya di wajah adik dan adik iparnya ketika melihat Farah, Attarpun mengenalkan mereka satu sama lain.

"Panggil Kak atau Mbak aja. Umur kita pasti nggak jauh beda kok," kata tantenya Ahsan, yang bernama Sarah. "Umur saya dan Bang Attar beda 14 tahun. Jadi saya cuma beberapa tahun lebih tua daripada Farah."

"Eh? Oh, iya, Kak Sarah," jawab Farah sambil tersenyum sungkan.

"Kalau sama dia, boleh manggil Pak," kata Sarah kemudian, sambil menepuk bahu suaminya. "Dia emang udah bapak-bapak."

"Panggil Abang aja," protes omnya Ahsan, yang tadi memperkenalkan namanya Emir.

"Dih! Kebiasaan sok muda deh kalau di depan cewek!" kata Sarah menggoda.

"Ya masa kamu dipanggil Kakak, trus aku dipanggil Bapak? Emang aku udah setua apa?"

"Setua Bang Attar," jawab Sarah cepat. "Abang kan cuma 3 tahun lebih muda dari Bang Attar. Kalau Farah manggil Bang Attar dengan Bapak, ya udah sewajarnya manggil Bang Emir juga Bapak."

Attar segera menepuk bahu adik iparnya, lalu berkata kalem, "Sudah. Terima aja. Perempuan selalu benar."

Sarah dan Farah serempak menahan cengirannya.

Farah kemudian melihat Attar mengambil bayi yang sedang digendong Sarah, lalu menggendongnya dengan sayang.

"Assalamualaikum, Syifa. Kangen nggak sama Om?" tanya Attar, duduk di sofanya sambil mengajak bayi itu ngobrol.

"Nggak usah GR, Om. Om kali yang kangen Syifa," jawab Sarah sambil duduk di sebelah kakaknya, berpura-pura bicara sebagai bayinya.

Attar hanya tertawa mendengar kata-kata adiknya, dan tampak tidak terlalu peduli. Ia lalu menunduk dan mencium bayi perempuan itu dengan penuh sayang. Saat itulah tiba-tiba Farah merasa aura kegantengan dosennya itu meningkat hingga 1000%. Padahal dia sudah biasa melihat interaksi manis antara Attar dan Ahsan. Tapi ketika melihat kemanisan Attar dan keponakan perempuannya, ia merasa sangat terpesona.

"Ahsan sudah selesai belajar sama Kak Farah?"

Farah mendengar seseorang menyebut namanya. Jadi dia menoleh dan mendapati Emir sedang bicara dengan Ahsan di sisi sofa yang lain. Attar tadi memang memperkenalkan Farah sebagai guru les Ahsan.

"Udah, Om."

"Belajar apa tadi?"

"Belajar tentang vaksinasi dan sel imun."

Emir berpaling dari Ahsan dan menatap Farah, lalu Attar. Farah hanya bisa nyengir salah tingkah karena ditatap laki-laki setampan Emir.

"Ceritain ke Om dong," pinta Emir pada Ahsan.

"Kata Kak Farah, vaksinasi itu kayak badan aku latihan untuk melawan bakteri/virus jahat. Supaya kalau mereka menyerang beneran, sel imunku udah siap dan kuat. Kayak tentara yang udah latihan tempur."

"Pinter, anak sholeh!" puji Emir tulus. Ia mengelus rambut Ahsan sambil mengerling Farah sekali lagi. "Kalau gitu, sekarang Om suntik, Ahsan udah nggak takut kan?"

"Takut," jawab Ahsan. "Tapi kalau aku ga disuntik, trus sakit, nanti Papa sedih. Jadi aku harus berani."

Emir tersenyum lebar. Lalu mengeluarkan beberapa peralatan dari dalam tasnya.

Attar sendiri juga merasa bangga mendengarkan jawaban anaknya.

"Kak Farah, temenin!" pinta Ahsan ketika dia melihat Emir mengeluarkan alat suntik.

Farah segera berpindah duduk ke sisi Ahsan dan memeluk anak itu. Bukan dengan pelukan posesif yang menyemangati, tapi hanya dengan pelukan ringan, seolah dia mengatakan bahwa dia bangga pada keberanian anak itu.

Melihat interaksi Ahsan dan Farah, Sarah menyikut lengan kakaknya dan mengerling pada Ahsan dan Farah. Attar hanya menanggapi dengan anggukan.

"Farah masih kuliah?" tanya Emir sambil menyiapkan vial dan syringenya.

"Masih, Pak," jawab Farah. "Saya mahasiswinya Pak Attar."

"Oh ya? Arsitektur?"

"Bukan sih Pak. Saya Teknik Industri. Cuma kan satu Fakultas sama Pak Attar."

"Oh, kirain kamu mahasiswa kesehatan. Soalnya kamu pinter menjelaskan vaksinasi ke Ahsan."

Farah hanya cengengesan saja dipuji demikian.

"Sudah semester berapa?"

"Semester 7, Pak."

"Sebentar lagi nyusun skripsi dong?"

"Sedang nyusun proposal, Pak."

"Kalau anak Teknik Industri skripsinya tentang apa sih?"

"Macem-macem, Pak. Tergantung minatnya sih. Kalau saya, sedang nyoba meneliti manajemen risiko supply chain produk farmasi, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya."

"Kenapa tertarik meneliti bidang farmasi?"

"Mungkin karena industri kesehatan adalah bidang yang nggak pernah berhenti, Pak. Orang bisa menunda beli mobil atau ponsel kalau sedang nggak punya uang, tapi kalau sakit pasti akan tetap mengusahakan beli obat. Jadi supply dan ketersediaan produk farmasi di pasaran sangat penting."

"Nice thought."

Farah senyun-senyum dipuji begitu.

"Lancar nyusun proposalnya?"

"Saya sekarang masih nyari narasumber sih Pak, untuk minta pendapat expert yang paham tentang supply chain produk farmasi ini, dari bahan baku sampai produk jadi di RS atau apotek."

"Oh, aku punya sahabat yang mengelola instalasi farmasi di RS. Nanti aku kasih nomer ponselnya kalau kamu mau," celetuk Sarah, tiba-tiba.

"Wah? Iya Kak? Mau dong Kak!" jawab Farah bersemangat.

"Istrinya sahabatku itu juga dosen Fakultas Farmasi, yang pasti punya kenalan di industri farmasi dan industri bahan baku obat. Bang Attar juga kenal sama istrinya itu. Kamu bisa minta nomer hapenya ke Bang Attar."

"Wah, makasih Kak Sarah, Pak Attar!"

"Yak! Selesai!" kata Emir tiba-tiba.

"Eh?"

Semua orang kaget dan menoleh pada Emir. Terlihat dia sedang menekan bekas suntikan di lengan Ahsan dengan kapas, lalu menutupnya dengan micropore.

Ahsan sendiri terlihat takjub karena tidak sempat merasa disuntik. Dia sedang asik mendengarkan obrolan Farah dengan Emir, sehingga tidak sadar bahwa Emir sudah menyuntiknya. Farah kemudian menyadari bahwa Emir sengaja mengajaknya ngobrol untuk mengalihkan perhatian Ahsan dari jarum suntik, agar tidak sadar saat disuntik.

"Anak berani!" puji Emir sambil mengelus kepala Ahsan. "Nggak terasa kan?"

Ahsan terkekeh. Setelah memperhatikan wajah Ahsan yang tegang sejak tadi, kini ketika melihat anak itu cengengesan kembali, Farah lega melihatnya.

Mereka masih melanjutkan mengobrol sampai Emir selesai membereskan peralatannya dan memasukkan ke dalam tasnya. Setelah itu barulah Farah pamit pulang, setelah melihat Ahsan kembali ceria dan mulai menggoda Syifa.

Attar mengantar Farah ke teras ketika driver ojek online sudah menjemput gadis itu. Ketika kembali ke ruang keluarga, adik dan adik iparnya sudah menyambutnya dengan cengiran jahil.

"Gadis yang menarik," kata Emir nyeletuk.

"Ahsan sayang Kak Farah?" Sarah bertanya pada keponakannya yang sedang menunjukkan mobil-mobilannya pada Syifa.

"Sayang dong, Tante," jawab Ahsan cepat.

Sarah memalingkan wajahnya dan nyengir lebar pada abangnya.

Attar bukan anak kecil. Dia jelas paham maksud cengiran Emir dan Sarah padanya. Tapi dia mengabaikan hal itu dan bergabung dengan Ahsan untuk bermain bersama Syifa.

"Disini sampai sore kan? Makan siang bareng disini ya," kata Attar pada Sarah dan Emir.

Tapi alih-alih menanggapi tawaran kakaknya, Sarah malah mengomentari hal lain. "Ciyeee yang salting. Langsung ngeles ke makan siang. Tadi kenapa Farah ga sekalian ditawarin makan siang bareng kita sih?"

"Bahaya kelamaan ngobrol sama kamu. Bisa ikutan korslet dia," cibir Attar.

"Ciyeeee. Posesif banget, ingin melindungi."

Kalau sudah memasuki mode usil, Sarah memang bisa semenyebalkan itu. Attar kira setelah menikah, sifat menyebalkan itu akan menghilang saat dia makin dewasa dan menikah dengan Emir yang lebih dewasa. Tapi ketika dia mendengar komentar Emir, Attar mengerti kenapa sifat usil Sarah tidak sembuh juga....

"Mukanya biasa aja, Bang. Kalo mau senyum, senyum aja. Nggak usah sok cool gitu."

.... ternyata Emir sama usilnya.

* * *

Apa ada fans Om Erlang yang mulai goyah ke Pak Dosen?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top