50. Masa Depan yang Baru

"Iya, Ma. Mama juga sehat-sehat ya."

Setelah menelepon selama satu jam, akhirnya Farah menutup percakapan dengan ibunya via telepon.

Ini adalah akhir pekan pertamanya di Pulau Dewata. Hari Sabtu pertamanya jauh dari keluarga. Ada perasaan gamang yang aneh karena ini pertama kalinya setelah 22 tahun ia tinggal bersama keluarganya, kini ia tinggal sendirian di tempat asing. Tapi bukankah ia sendiri yang memilih hal ini. Untuk belajar hidup mandiri sebagai manusia dewasa.

Lagipula, memulai hidup baru di Bali sama sekali bukan sesuatu yang buruk. Foto pertamanya sejak tiba di Bali yang diunggahnya ke akun instagramnya kemarin sore, mendapat banyak respon dan komentar dari teman-temannya, dan cukup membuktikan bahwa pilihannya tidaklah salah. Kurang enak apa dirinya, bisa bekerja di tempat dengan atmosfer liburan seperti ini kan.

Hotel tempatnya bekerja berlokasi di dekat pantai. Pun dengan asrama karyawan tempatnya tinggal kini. Hanya butuh ojek online untuk menjangkau tempat-tempat hang-out yang biasa didatangi para turis. Benar-benar tempat kerja yang sempurna.

Beberapa komentar mengatakan iri dengan tempat kerja Farah yang terasa seperti liburan tiap hari. Beberapa komentar yang lain meminta diskon jika mereka menginap di hotel tempat Farah bekerja. Benar-benar khas orang Indonesia kan ya? Kalau lihat teman liburan, nitip oleh-oleh gratisan. Kalau lihat teman kerja di hotel atau restoran, minta diskon saat berkunjung. Kalau lihat teman punya karya (menerbitkan buku, misalnya), minta sampel gratisan.

Farah masih tidur-tiduran di kasurnya sambil membalas komentar-komentar iri di foto instagramnya, ketika tiba-tiba sebuah nomer tidak dikenal meneleponnya.

Normalnya, ia tidak akan mengangkat panggilan telepon dari nomer tidak dikenal. Tapi karena ia adalah karyawan baru di hotel tempatnya bekerja, Farah khawatir juga, jangan-jangan ini adalah nomer telepon salah satu karyawan hotel juga yang belum disimpannya.

Salah satu risiko dari bekerja di bidang jasa pelayanan, seperti perhotelan, adalah waktu kerja yang tidak melulu saat weekdays. Meski dirinya bekerja sebagai Investory and Controlling Manager yang tidak berkontak langsung dengan pelayanan terhadap tamu hotel, namun Ci Stefi sudah memberinya peringatan bahwa ada kalanya di hotel tersebut dilaksanakan event-event tertentu yang membutuhkan pasokan fasilitas dan bahan di akhir pekan yang perlu dikontrolnya. Itu mengapa hotel tersebut juga menyediakan asrama karyawan yang letaknya dapat dijangkau dengan berjalan kaki dari hotel, sehingga kapanpun diperlukan, karyawan hotel dapat segera datang saat dipanggil.

Jadi, karena berjaga-jaga bahwa itu adalah nomer ponsel salah seorang rekan kerja atau karyawan hotel yang belum dimilikinya, Farah mengangkat panggilan telepon itu.

Tapi manik matanya segera membola ketika mendengar suara yang sudah amat dikenalnya.

"Finally, i find you!" kata sebuah suara berat di seberang telepon. "Aku menginap di hotel tempatmu bekerja. Dan nggak akan pulang sampai kamu bersedia ketemu sama aku."

* * *

Sejak tiba di Bali, Farah sudah tidak lagi menerima pesan atau telepon dari Erlang. Ia pikir, akhirnya lelaki itu menyerah mencoba menghubunginya. Di satu sisi ia lega. Tapi di sisi lain, ia juga merasa sesak karena merasa lelaki itu terlalu mudah menyerah. Tapi bukankah dirinya sendiri yang memutuskan untuk menjauh dari lelaki itu? Jadi harusnya dia merasa senang jika tidak lagi dihubungi kan?

Jadi ketika tiba-tiba ia mendengar suara itu lagi di telepon, dari sebuah nomer ponsel yang tidak dikenalnya, Farah merasa kaget. Setelah seminggu sama sekali tidak menghubungi, ternyata bukan berarti lelaki itu sudah berhenti.

Jantung Farah masih berdebar-debar ketika ia menutup teleponnya. Dan ia merasa sangat konyol.

Ternyata benar kata pepatah: "Karena hai! setitik, rusak move on bertahun-tahun."

"Kemarin sore aku lihat foto yang kamu post di instagram. Aku langsung pesan tiket kemari," kata orang itu, ketika akhirnya mereka bertemu pagi itu.

Farah memang tidak meminta penjelasan bagaimana orang itu bisa menemukan hotel tempatnya bekerja. Tapi rasa penasarannya hilang ketika lelaki itu menjelaskan.

Seingat Farah, Erlang tidak punya akun instagram pribadi. Tapi lelaki itu memang memiliki akun instagram untuk ketiga restoran dan satu cafenya. Dan karena Farah follow keempat akun tersebut, dan IGnya tidak di-private, tidak heran jika akhirnya lelaki itu menemukannya gara-gara kecerobohannya kemarin sore.

Dan mengingat Erlang mengancam akan terus menginap di hotel tempat Farah bekerja, dan kemungkinan besar berkeras mencarinya, Farah tidak mungkin selamanya menghindar kan? Lagipula, ada pertanyaan-pertanyaan di kepalanya yang memerlukan jawaban dari Erlang. Jadi akhirnya hari itu ia bersedia menemui lelaki itu. Untuk menyelesaikan semuanya.

"Gimana kerja di sini? Senang?" tanya Erlang, memulai dengan pertanyaan basa-basi.

"Senang, Om," jawab Farah sambil mengaduk-aduk es kelapanya. Ia sengaja menunduk karena dari sudut matanya ia mendapati lelaki itu sejak tadi menatapnya dengan intens. Dan hal itu membuatnya gugup.

"Aku ke Bandara hari itu..." kata Erlang kemudian. "... tapi aku terlambat. Dan Faris dan Mamamu nggak ada yang mau ngasih tahu dimana tempatmu bekerja atau dimana kamu tinggal di Bali."

Saat berbalas WA dengan Faris atau menelepon ibunya, tidak satupun dari mereka yang bercerita bahwa Erlang mencarinya.

"Berkali-kali aku mohon-mohon ke mereka untuk ngasih tahu dimana kamu. Tapi nggak ada satupun yang mau ngasih tahu. Percuma juga aku WA dan telepon kamu, pasti diabaikan atau ditolak."

Mohon-mohon?

Erlang mengusap wajahnya yang tampak lelah dan frustasi.

"Kamu minta aku untuk melupakan kejadian malam itu, dan kamu ingin hubungan kita seperti dulu lagi. Tapi apa? Kamu malah menjauhiku. Faris dan ibumu juga katanya sudah maafin aku. Nyatanya mereka juga minta aku menjauhi kamu. Nggak ada yang sama lagi, Far. Semuanya kacau. Semuanya hancur. Gara-gara aku."

Erlang tampak seperti marah dengan keadaan. Tapi suaranya lemah, seperti pasrah dipecundangi nasib. Es kelapa di hadapannya belum juga disentuhnya.

Pemandangan itu membuat Farah merasa bersalah. Andai dulu dia tidak menggoda laki-laki itu, semua hal ini tidak perlu terjadi. Dia mungkin akan terus bertepuk sebelah tangan selamanya, tapi hubungan mereka akan tetap baik-baik saja. Dia mungkin harus terus berpura-pura jadi keponakan yang manis, tapi hubungan Erlang dengan adik dan ibunya akan baik-baik saja. Semua ini memang kesalahannya.

Lalu setelah dia menghancurkan semua hal, dia justru meninggalkan Erlang dengan semua masalah yang disebabkannya. Farah pikir dirinya adalah korban dari semua kejadian beberapa bulan ini. Tapi kalau dipikir lebih dalam, bukankah Erlang juga menjadi korban?

"Maaf, Om," kata Farah akhirnya, menyesali. "Ini semua gara-gara aku. Maaf, Om."

Erlang mengangkat wajahnya yang terbenam di kedua telapak tangannya. Lalu menatap Farah dengan tatapan yang sulit dimengerti Farah.

"Iya, ini semua gara-gara kamu!" kata Erlang. Anehnya, nada suaranya tidak terdengar seperti menyalahkan, tapi justru terdengar seperti mengiba. "Duniaku jungkir balik gara-gara kamu, Farah."

"Maaf, Om..."

"Jangan panggil aku Om lagi. Kita udah nggak bisa jadi om dan keponakan lagi."

"Tapi..."

"Aku udah nggak bisa menganggap kamu sebagai keponakan lagi. Kamu juga udah lama nggak melihatku sebagai om lagi kan?"

Farah terdiam. Bingung menanggapi.

"Banyak hal yang aku sesali tentang malam itu, Farah," lanjut Erlang sedih. "Aku merusak banyak hal. Aku merusak kepercayaan kamu. Aku merusak kepercayaan orangtua kamu. Aku merusak hubungan kita. Terutama, aku sudah merusak kamu. Sampai kamu hamil dan mengalami keguguran. Semua karena salahku."

Farah menghembuskan nafas. Berusaha menghalau air mata yang hampir saja menggenangi matanya.

"Tapi ada satu hal yang nggak aku sesali," Erlang melanjutkan. "Karena kejadian itu, aku jadi menyadari bahwa aku sayang sama kamu..."

Erlang menatap gadis di hadapannya dengan mantap. Ia tidak lagi ingin disalahpahami.

"...bukan rasa sayang om kepada keponakan," Erlang segera menambahkan ketika melihat Farah hampir membuka bibirnya untuk menanggapi. "Aku cinta kamu, Far."

Farah menggeleng.

"Fariha?" tanya Farah.

Erlang merasakan deja vu. Kejadian ini seperti sering terjadi di dalam mimpinya.

"Maksud Om, Om cinta Fariha kan? Mama kan?"

"Aku cinta kamu, Faradiba Hairani."

Farah terhenyak. Kali itu Erlang dengan tegas dan jelas menyebut nama lengkapnya. Tidak mungkin tertukar dengan nama ibunya kan?

"Sejak malam itu, aku nggak bisa melupakan kamu," kata Erlang. "Aku pikir itu rasa bersalah atau rasa tanggung jawab. Tapi nyatanya bukan. Saat kamu menghindar dan menjauh, aku merasa kehilangan. Dan aku baru sadar, aku nggak mau kehilangan kamu. Selama ini aku selalu menyangkal perasaanku. Tapi makin menyangkal, aku makin menyadari perasaanku sendiri."

Setetes air mata akhirnya jatuh dari mata Farah. Dan ia buru-buru menghapusnya. Meski Erlang jelas sudah sempat melihatnya.

Bukankah hal ini adalah yang sudah ditunggunya sejak lama? Pernyataan cinta dari Erlang? Tapi kenapa perasaannya tidak merasa lega?

"Malam itu... Om menyebut nama Mama," kata Farah pedih.

Erlang terkesiap. Jadi ternyata benar, selama ini Farah mengetahui perasaannya pada Fariha karena malam itu tanpa sadar Erlang menyebut nama wanita itu. Pantas saja Farah selalu meragukannya. Apalagi tiap ia memanggil gadis itu "Far".

"Maaf, Farah, aku..."

Farah menggeleng sambil tersenyum maklum. "Nggak apa-apa, Om. Aku ngerti. Di alam bawah sadar, Om masih menginginkan Mama."

"Tapi sekarang nggak lagi! Aku udah sadar sekarang, itu hanya obsesi. Aku berhutang budi banyak pada Mamamu. Itu kenapa..."

"Jadi apa bedanya dengan perasaan Om ke aku sekarang?"

Erlang menatap Farah, tidak mengerti.

"Om kira perasaan Om ke Mama itu cinta. Itu bertahan belasan tahun. Bahkan sampai merusak pernikahan Om dan Tante Lidya. Lalu tiba-tiba aja Om sadar bahwa itu hanya perasaan hutang budi. Jadi apa bedanya sekarang? Bisa jadi, Om juga sedang salah paham dengan perasaan Om ke aku sekarang. Om pikir ini cinta, padahal Om nggak ingin kehilangan aku cuma karena perasaan bersalah yang mengganjal. Gimana kalau setelah beberapa tahun Om akan sadar bahwa Om nggak benar-benar cinta sama aku?"

Erlang terperangah mendengar penjelasan Farah.

"Apa tujuan Om mengatakan perasaan Om ke aku sekarang?" tanya Farah kemudian.

"Aku... "

"Om mau mengubah hubungan kita? Jadi apa? Sepasang kekasih? Lalu apa? Setelah itu kita menikah? Mama nggak akan suka ide itu...."

Farah memejamkan matanya pedih. Mengingat ibunya pernah membuatnya berjanji untuk hanya menganggap Erlang sebagai paman.

"Aku akan membujuk dan meyakinkan Mamamu lagi," kata Erlang.

"Tapi seumur hidup, mungkin aku yang nggak yakin sama perasaan Om," jawab Farah sedih. "Wajah ini selamanya akan mirip dengan Mama. Hati Om akan terus goyah saat melihat wajah ini. Dan aku, selamanya akan merasa insecure, takut Om hanya menganggapku sebagai pelarian."

"Kamu bukan pelarian..."

"Tapi aku akan selalu merasa dianggap seperti itu."

"Kalau gitu, ijinin aku meyakinkan kamu, bahwa aku tulus, dan bukan sekedar anggap kamu pelarian."

Kali itu akhirnya Erlang memberanikan diri meraih jemari Farah. "Tolong kasih aku kesempatan."

Farah menunduk. Menatap tangan besar Erlang yang memeluk jemarinya. Betapa pemandangan ini yang selalu diinginkannya. Tapi kini juga ditakutinya.

"Berapapun waktu yang kamu perlu, selama itu aku akan terus memperjuangkan kepercayaan kamu."

Farah bergeming, gamang.

"Aku ingin mengulang semuanya dengan kamu dari awal lagi, Farah. Tolong kasih aku kesempatan," kata Erlang mengiba. "Kali ini aku akan jadi yang pertama tahu kehamilanmu. Aku akan ada disana saat kamu melahirkan anak-anak kita. Aku akan selalu di sisi kamu. Nggak akan meninggalkan kamu lagi..."

Farah balas menatap tatapan Erlang sedih.

Hamil? Anak-anak?

Bagaimana kalau dirinya yang tidak punya kesempatan untuk hal-hal seperti itu?

"Entahlah, Om...." Farah memalingkan matanya ke pantai yang berdebur di hadapan mereka. "Aku rasa... aku nggak bisa."

Genggaman tangan Erlang di jemari Farah menguat. Setelah semua yang dikatakan dan diusahakannya, mengapa Farah tidak juga mau memberinya kesempatan. Apakah dia memang harus menyerah?

"Apa kamu sudah nggak cinta lagi sama aku, Far?"

Farah menghela nafas. Alih-alih menjawab pertanyaan Erlang, Farah justru mengatakan hal yang ditakutkan Erlang.

"Bukan cuma aku yang perlu waktu. Om juga perlu waktu untuk menelaah. Apa benar perasaan Om itu benar-benar cinta."

Apa yang lebih menakutkan daripada kegagalan?

Yang lebih menakutkan daripada kegagalan adalah dipaksa menyerah, bahkan sebelum berjuang.

* * *

Satu tahun kemudian...

"Lho? Mbak Farah masuk kerja hari ini?" tanya seorang karyawan hotel yang menyambutnya di pintu masuk restoran hotel tersebut.

"Libur kok, Yu," jawab Farah sambil menunjukkan outfit santainya pada gadis tersebut.

Meski sejak awal Farah tahu bahwa ia harus siap sedia bekerja di akhir pekan jika bekerja di bidang jasa perhotelan seperti ini, tapi jika tidak ada event khusus di hotel tersebut, waktu kerja normal Farah memang hanya Senin sampai Jumat. Jadi kalau hari Sabtu pagi itu ia datang ke hotel, itu bukan karena urusan pekerjaan.

Mendengar jawaban Farah, karyawan bernama Ayu itu tiba-tiba tersenyum lebar....sekaligus jahil.

"Urusan pribadi ya?" tanya gadis itu sambil memainkan alisnya, menggoda Farah. "Sama tamu dari kamar 525 kan? Lagi sarapan tuh Mbak."

"Tahu aja, kamu, Yu."

"Tahu lah, Mbak. Udah seminggu ini Mbak nemenin tamu itu sarapan terus. Semua karyawan sini juga tahu itu pacarnya Mbak Farah."

"Hush! Gosip aja nih kamu."

Gadis bernama Ayu itu cengengesan. Lalu Farahpun pamit masuk ke dalam restoran.

Restoran di hotel tersebut berada di lantai dasar. Terdiri dari dua bagian: indoor dan outdoor. Sehingga para tamu hotel bisa memilih menikmati sarapan di dalam ruangan yang hangat, atau ditemani semilir angin pantai. Pagi itu Farah tidak menemukan sang tamu yang akan ditemuinya di restoran dalam.

Akhir pekan, dengan sinar matahari secerah ini, memang waktu yang tepat untuk menikmati sarapan sambil menikmati angin pantai kan?

Farah mengambil secangkir kopi susu dan meminta staf di restoran itu membuatkan omelet untuk dirinya.

"Udah ditungguin tuh Mbak," kata Anom, si staf restoran selagi memasakkan omelet untuk Farah. Pemuda itu menganggukkan lehernya ke luar restoran. "Tadi si Bapak minta dibikinin omelet juga sambil nanyain Mbak Farah."

Farah hanya menanggapinya dengan tawa. Apalagi ketika melihat gerakan mata Anom yang nakal, seolah menggodanya. Pasti Anom ini salah satu korban gosip seminggu belakangan ini.

Setelah omeletnya matang, Farahpun membawa piring omelet dan secangkir kopi susu itu ke bagian outdoor restoran. Dan ia menemukan lelaki dengan celana jins dan kaus polo santai berwarna biru. Sangat berbeda dengan penampilannya selama lima hari kemarin.

"Conferencenya udah selesai kemarin?" sapa Farah sambil meletakkan piring omelet dan cangkir kopinya di meja yang sama dengan lelaki itu.

Lelaki itu tersenyum lebar menyambut kedatangan Farah.

"Hari ini siap jalan-jalan? Saya siap memandu," tanya Farah dengan ceria.

"Apa ini juga bagian dari paket conference?"

Farah tertawa. "Service spesial untuk tamu hotel kami. Jangan lupa endorse kualitas pelayanan hotel kami untuk conference berikutnya ya Prof."

Lelaki itu tertawa lebar sambil menatap gadis di hadapannya, yang sebagian rambutnya melambai tertiup angin.

"Apa saya sudah bilang, saya suka dengan gaya rambut Farah sekarang?" tanya lelaki itu sebelum menyesap kopinya.

Farah menyelipkan anak rambut ke balik telinganya. "Udah lima kali, Prof. Tiap hari."

Lalu mereka serta merta tertawa bersama.

* * *

Hi Prof!

* * *

Yeayyy!
Akhirnya (bagian 1) cerita ini selesai juga.

Lho? Kok? Lho? Kok?


Buat Kakak2 yg lbh suka dengan open ending seperti ini, cerita ini sampai disini. Tapi bagi Kakak2 yang merasa kegantung, hehehe, mulai besok lapak sebelah yang judulnya "Segitiga Bermuda (2)" akan dibuka. 

Makasih buat Kakak2 yg sll dukung cerita2 saya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top