49. Menghapus Jejak
Farah memerhatikan anak lelaki yang duduk di hadapannya, yang sedang asik memakan rotinya sambil terus menempeli Faris yang sedang berkonsentrasi pada game di ponselnya. Barangkali karena sama-sama cowok dan sama-sama suka nge-game, Ahsan langsung bisa akrab dengan Faris sejak mereka berkenalan dan ngobrol. Akibatnya, meski tujuan utama Ahsan datang ke bandara adalah untuk mengantar kepergian Farah ke Bali, tapi nyatanya selama di Bandara dia malah nempel dengan Faris.
Farah mengerling pada ayah Ahsan yang duduk di samping puteranya. Ternyata lelaki itu juga sedang menatap dirinya. Dan refleks saja senyumnya terkembang. Farah lalu memberi isyarat pada Attar tentang anaknya, dan Attarpun ikut tersenyum melihat anaknya yang menempel pada Faris.
"Katanya ada yang mau nganterin Kak Farah," kata Farah dengan gaya bergumam, padahal sambil melirik anak kecil di hadapannya, memastikan anak itu mendengar ucapannya. "Tapi malah asik ngegame sama Kak Faris. Duh, Kak Farah jealous."
Ahsan yang mendengar sindiran Farah segera mengalihkan tatapannya dari ponsel di tangan Faris, dan cengengesan menatap Farah.
"Lagi seru, Kak," kata Ahsan berkilah.
"Iya, iya," Farah menanggapi sambil tertawa maklum.
Farispun menghentikan gamenya lalu merangkul bahu anak di sebelahnya. "Kapan-kapan mabar kita, San!"
"Ayok, Kak!" jawab Ahsan bersemangat.
"Jangan merusak anak orang, Ris," kata ibu Faris, yang duduk di samping Farah, memperingatkan anaknya. "Bukannya diajak belajar bareng, malah mabar."
Farah tertawa mendengar teguran ibunya kepada Faris. Sebaliknya, Faris merengut dan Ahsan mengkerut.
"Kalau sesekali aja, nggak apa-apa, Bu," kata Attar tertawa kecil, menengahi.
"Jadi kapan-kapan Ahsan boleh main ke rumah Kak Faris?" tanya Ahsan, semringah ketika mendapat angin segar dari ayahnya.
Faris tidak segera menjawab. Dia melirik ibunya terlebih dahulu. Sebab itu kan rumah ibunya. Jadi dia tidak bisa sembarangan menerima tamu yang tidak diijinkan ibunya.
Ahsan takut-takut ikut melirik wanita yang duduk di sebelah Farah. Wajah dan kecantikannya mirip dengan Farah, tapi terlihat lebih lembut dan keibuan.
Melihat Ahsan melirik dirinya, ibu Farah melebarkan senyumnya lalu menjawab, "Boleh dong! Nanti Ahsan main-main ke rumah Tante ya. Nggak cuma mabar, nanti diajarin komputer juga sama Kak Faris. Nanti Tante bikinin kue-kue juga. Mau?"
"Mau, Tante!" jawab Ahsan, malu-malu, tapi sekaligus bersemangat.
"Aduh maaf ya Bu," sambung Attar, merasa sungkan. "Anak-anak nih. Kalau denger mabar atau ngegame langsung semangat. Nanti malah ngerepotin Ibu di rumah."
Ibu Farah tertawa maklum. "Nggak apa-apa, nggak repot, Pak. Saya ngerti kok. Punya anak cowok emang gitu, Pak."
Attar tersenyum sungkan sambil mengacak rambut anaknya.
"Jadi, mentang-mentang Kak Farah pergi, sekarang Ahsan sama Kak Faris nih?" sindir Farah pada Ahsan. "Mana tuh yang katanya bakal kangen Kak Farah."
"Ahsan tetep bakal kangen Kak Farah kok. Tapi kan kita bisa video call. Lagian kalo main sama Kak Faris dan ketemu Tante, aku jadi nggak terlalu kangen lagi. Tante kan cantiknya sama kayak Kak Farah," jawab Ahsan polos.
"Astaga! Kecil-kecil, kok kamu pinter ngerayu, San?" Kini gantian Faris yang mengacak rambut Ahsan, membuat anak itu terkekeh.
"Kan aku anaknya Papa," jawab Ahsan, lagi-lagi tanpa merasa berdosa.
Sontak wajah Attar pias malu. Karena kata-kata Ahsan barusan seperti mengkonfirmasi keahlian merayu Ahsan menurun dari dirinya. Tapi Faris dan ibunya justru tertawa mendengar jawaban jujur Ahsan.
Sementara itu Farah tersenyum kecil. Ternyata bagi beberapa orang, posisi dirinya mudah saja tergantikan. Bahkan Ahsanpun dengan polos mengakui bahwa kemiripan wajahnya dengan ibunya bisa meredakan kerinduan Ahsan pada Farah hanya dengan bertemu dengan ibunya.
Apakah selamanya dia hanya akan jadi bayang-bayang ibunya?
* * *
Ada banyak cara untuk meningkatkan popularitas suatu produk atau jasa. Di jaman digital dimana informasi cepat menyebar di media sosial, testimoni baik dan endorsement dari public figure merupakan salah satu yang paling efektif. Itu mengapa ketika sebulan sebelumnya manajer di salah satu restorannya menghubungi Erlang dan mengabarkan bahwa Ivana Stankovic, artis muda Indonesia -blasteran Rusia- yang sedang naik daun, ingin menggelar pesta ulang tahunnya di restoran Erlang, lelaki itu segera memerintahkan persiapan yang maksimal untuk acara tersebut.
Ivana memang bukan food blogger. Tapi artis muda itu adalah seorang beauty vlogger dengan follower IG dan twitter yang cukup banyak. Jika Ivana mendapatkan pengalaman baik saat merayakan pesta ulang tahun di restorannya, sangat mungkin ia membagikan pengalamannya tersebut di media sosialnya dan membuat restoran Erlang akan semakin terkenal. Oleh karena itu Erlang bahkan ikut memantau persiapan acara tersebut, tentu saja termasuk menunya.
Yang tidak pernah diantisipasi Erlang adalah bahwa ulang tahun Ivana bertepatan dengan hari dimana Farah berangkat ke Bali.
Setelah seminggu gagal menghubungi Farah, Erlang sudah berencana untuk nekat menemui gadis itu hari ini, sebelum gadis itu pergi. Fariha mungkin tidak akan suka akan kehadirannya. Tapi sekali ini ia ingin bersikap egois.
Erlang sudah mengkoordinasikan segala persiapan pesta ulang tahun Ivana dengan manajer dan kepala chef di restorannya, sehingga dia pikir dia bisa menemui Farah hari ini. Tapi sepertinya halnya jodoh di tangan Tuhan, hidup-mati manusia juga di tangan Tuhan. Nyatanya, pagi-pagi sekali kepala chef nya menelepon dan mengabarkan bahwa ayahnya meninggal sehingga ia harus mudik. Erlang tentu saja tidak bisa menahan chef nya untuk tidak mudik hanya karena acara ulang tahun Ivana. Jadi pagi itu, alih-alih menemui Farah, Erlang terpaksa harus mengurus pesta ulang tahun Ivana terlebih dahulu.
Erlang segera menghubungi kepala chef di restorannya yang lain, meminta untuk membantu. Bersama dengan sang manajer restoran dan asisten chef, akhirnya Erlang berhasil membagikan semua informasi menu yang perlu dipersiapkan oleh sang kepala chef pengganti.
Segala urusan tersebut selesai 2 jam kemudian. Setelahnya, Erlang menyerahkan sisanya pada sang manajer restoran, kepala chef pengganti dan asisten chef. Kemudian ia segera bertolak ke bandara, berharap kesempatan masih berpihak padanya.
* * *
Farah sendiri yang memutuskan untuk pergi. Dia juga yang berkeras tidak mengubah keputusannya. Dia yang ingin memulai hidup baru. Tapi pada akhirnya dia juga yang merasa gamang dengan keputusan itu.
Apakah ini memang yang terbaik untuknya? Bukan hanya meninggalkan kota ini, atau melarikan diri dari kenangan buruk yang terjadi beberapa bulan belakangan... tapi keputusannya juga membuatnya meninggalkan keluarga dan orang-orang yang disayanginya. Meski Bali bukan tempat yang jauh, dan sangat mudah untuk pulang tiap beberapa bulan sekali, tetap saja ini pengalaman pertamanya tinggal jauh dari keluarga.
"Jangan nunggu lagi. Dia nggak akan datang."
Farah menoleh pada suara itu.
Faris menghentikan jari-jarinya dan mengangkat kepala dari ponselnya, lalu menatap kakaknya. Hanya ada mereka berdua saat itu. Ibu mereka sedang ke toilet, Attar juga sedang mengantar Ahsan ke toilet.
Farah melemparkan tatapan tak mengerti pada Faris.
"Nungguin Om Erlang kan? Masih berharap dia datang dan lo bisa ketemu untuk terakhir kali?" tanya Faris.
Sepersekian detik Farah nampak terkejut karena Faris menduga pikirannya dengan sangat tepat. Apa gelagatnya yang sejak tadi mencuri pandang ke luar bandara sangat kelihatan? Namun detik berikutnya Farah segera memasang wajah sok cool.
"Sotoy lo!" jawab Farah.
Farah bego! Lo yang pergi, lo yang menghindar. Tapi sekarang malah berharap masih bisa ketemu. Bucin, dasar! Farah memaki dirinya sendiri.
"Serah sih kalo masih denial mulu," jawab Faris dengan gaya cueknya. "Gue cuma ngasih tahu aja, Om Erlang nggak bakal datang. Jadi nggak usah lo cari atau lo tunggu."
Barangkali gelagatnya memang terlalu jelas sehingga Faris bisa tahu bahwa dirinya sedang mencari atau menunggu seseorang. Tapi bagaimana Faris tahu bahwa laki-laki yang ditunggunya tidak akan datang?
"Kemarin Om Erlang dateng ke rumah pas lo lagi perpisahan sama temen-temen lo. Karena lo nggak ada, Om Erlang ketemu Mama. Trus gue dengar Mama ngomong ke Om Erlang supaya nggak ganggu lo lagi."
Mata Farah mengerjap beberapa kali.
Jadi, kemarin...?
"Kenapa...." tanya Farah bingung.
Kalimat tanyanya terputus. Dia sendiri bingung ingin menanyakan apa. Kenapa ibunya berpikir bahwa Erlang mengganggunya? Kenapa ibunya meminta Erlang untuk tidak mengganggunya? Sebelumnya, ibunya juga meminta Farah untuk tidak jatuh cinta pada Erlang... kenapa?
Sementara Farah bingung, Faris juga memandang kakaknya dengan bingung.
"Kenapa nanya kenapa?" tanya Faris. "Udah jelas kan, Mama pengen melindungi lo. Mama melarang Om Erlang mendekati lo lagi kalau cuma menjadikan lo pelarian."
Pelarian?
Apakah itu artinya ibunya tahu siapa wanita yang sebenarnya dicintai Erlang?
Faris dan Farah bertatapan. Keduanya saling menatap bingung, dengan kebingungan yang berbeda.
"Setelah hal brengsek yang dia lakukan ke lo, lo emang pengen menghapus kenangan tentang dia kan, makanya lo pergi jauh?" tanya Faris lagi. "Atau lo masih berharap sama dia, Mbak?"
* * *
Jalanan brengsek!
Setelah berkali-kali Erlang memaki sambil memukul stir mobilnya karena frustasi dengan kemacetan yang menghadangnya, akhirnya ia berhasil sampai ke bandara. Dengan cepat ia mencari papan informasi jadwal keberangkatan dan kedatangan pesawat.
Jantungnya mencelos ketika melihat jadwal pesawat ke Bali. Tapi dia belum mau menyerah. Dengan cepat ia berlari ke gate yang tertulis di papan informasi itu.
Ini mungkin bukan film Ada Apa dengan Cinta. Tapi toh Erlang tetap berharap kesempatan masih berpihak padanya. Setidaknya sekali ini saja. Farah harus tahu isi hatinya.
Meski tahu bahwa dirinya sudah terlambat, Erlang tetap ingin berusaha memperjuangkannya.
* * *
Inilah waktunya!
Farah bangkit dan meraih kopernya. Ia mencium tangan ibunya, lalu memeluknya lama. Merasakan tangan ibunya membelai punggungnya dengan cara yang menguatkan sekaligus menenangkan.
"Jangan ninggalin sholat. Makan yang teratur. Sehat-sehat disana," pesan sang ibu. Meski suaranya terdengar aneh dan seperti menahan tangis, tapi ketika melepas pelukannya, Farah tidak menemukan air mata ibunya.
Maka Farahpun juga harus tegar. Ini adalah pilihannya sendiri, jadi dirinya tidak boleh cengeng.
"Jangan lupa sama gue ya, Mbak, kalo udah gajian," kata Faris ketika Farah beralih pada adiknya itu.
Astaga! Nggak romantis sekali kan adiknya itu.
Farah tahu itu hanya kamuflase Faris supaya tidak terlihat cengeng. Jadi Farahpun hanya memeluk adiknya sekilas, sebelum dirinya yang malah menangis.
Pun saat berhadapan dengan Ahsan yang sudah mewek, Farah tetap berusaha tegar dan tersenyum. Ia memeluk anak itu sambil berjanji akan sering menelepon.
"Tapi jangan terlalu sering, Kak. Aku sibuk," kata Ahsan di tengah tangisannya.
Farah melepas pelukannya lalu tertawa. "Iya, iya," jawabnya.
"Makasih banyak ya Pak," kata Farah ketika beralih pada ayahnya Ahsan.
"Nggak perlu berterima kasih. Ahsan yang ngajak saya mengantar Farah," jawab Attar.
"Bukan cuma itu, Pak," kata Farah, "Makasih banyak untuk semua bantuan Bapak selama ini. Terutama beberapa bulan terakhir ini."
Attar tersenyum dan mengangguk. Ia kemudian membelai lengan kiri Farah singkat sambil tersenyum. "Sehat-sehat ya."
Farah mengangguk dan membalas senyum Attar.
Sekali lagi Farah mengucapkan perpisahan pada ibunya, menoleh pada Faris, Attar dan Ahsan.... lalu mengerling pada pintu masuk bandara... hanya untuk mendapati lalu-lalang orang-orang yang tidak dikenalnya.
Ini bukan film Ada Apa dengan Cinta. Jadi mana mungkin dia berharap ada seseorang yang berlari-lari mengejarnya di bandara kan?
Farah berbalik, menarik kopernya. Meninggalkan orang-orang yang disayanginya. Berharap masa depan lebih ramah padanya. Atau setidaknya dirinya menjadi lebih kuat untuk menghadapi masa depan. Sehingga dia bisa menghapus jejak penyesalan dan rasa sakit di masa lalu.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top