47. Kentang
"Jangan pergi!"
Alih-alih mendengarkan permohonan Erlang, gadis itu justru menghentakkan tangannya, membuat cekalan Erlang di tangan gadis itu terlepas.
Tapi Erlang kembali meraih tangan gadis itu. "Far..."
"Far siapa? Fariha?!"
Erlang terkesiap. "Farah!" bentak Erlang dengan suara mantap.
"Udah lah, Om. Kan aku udah bilang, lupain aja malam itu."
"Melupakan malam itu? Setelah semua yang kita lakukan, setelah semua yang kamu beri buatku, kamu pikir aku bisa melupakan kamu?"
Gadis itu masih berusaha melepaskan cekalan Erlang dari pergelangan tangannya. Tapi Erlang tidak mau menyerah.
Ia mendorong dan menyudutkan gadis itu ke dinding. Kedua tangannya mencengkeram lengan gadis itu dan menekannya dengan kuat ke dinding. Pun dengan tubuhnya, Erlang mendesakkan tubuhnya pada tubuh gadis itu hingga gadis itu tidak bisa bergerak. Kemudian Erlang menundukkan wajah dan mulai mencium bibir gadis itu.
Erlang memaksakan ciumannya pada gadis itu. Bukan hanya di bibir, tapi juga bergerak di pipi, telinga, hingga lehernya. Nafas gadis itu terdengar mulai terengah-engah, dan rontaan tubuhnya mulai melemah. Itu mengapa Erlang mulai menarik tangannya dari lengan gadis itu
Dengan ibu jarinya, Erlang membelai garis leher gadis itu. Gadis itu terkesiap, dan refleks memejamkan mata. Ada kerutan di antara kedua alisnya. Membuat gadis itu terlihat takut, khawatir, tapi sekaligus mengundang rasa penasaran Erlang.
"Eughhh..."
Erlang mendengar suara lenguhan itu ketika ibu jari Erlang naik dan menarik dagu sang gadis. Membuat bibir gadis itu terbuka. Saat itu juga dengan cepat Erlang kembali melumat bibir yang menjadi candu itu.
Entah karena kehabisan nafas atau tidak lagi punya tenaga, gadis itu tidak lagi memberontak atau mengelak. Kini kedua tangannya bahkan sudah mencengkeram kemeja Erlang di kedua sisi pinggangnya, bagai mencari pegangan agar tidak jatuh.
Merasa tidak ada penolakan lagi, Erlang memperdalam ciumannya. Lidahnya ikut bermain disana. Membuat gadis itu kewalahan dan tidak menyadari jari-jari Erlang yang sudah membuka kancing kemeja gadis itu.
Erlang melepaskan ciumannya bersamaan dengan tangannya yang menarik turun kemeja gadis itu. Menyisakan tubuh bagian atas sang gadis yang tinggal berbalut bra.
Wajah gadis itu yang memerah membuat Erlang makin gemas. Tangannya bergerak menurunkan tali di kedua bahu sang gadis, lalu ia menunduk dan mulai menciumi bahu, tulang selangka, dan makin turun lagi.
Gadis itu menengadah dengan nafas terengah. Dadanya membusung, seolah meminta lebih. Dan kesepuluh jemari gadis itu mencengkeram kemeja Erlang makin kuat di kedua sisi pinggangnya.
Tapi kemudian Erlang berhenti dan dengan cepat membalik tubuh gadis itu hingga menghadap dinding. Refleks, gadis itu menumpukan kedua telapak tangannya di dinding, untuk menyangga tubuhnya karena kakinya sudah selemah jelly sekarang.
Erlang membuka kaitan di punggung sang gadis, lalu menyelipkan tangannya ke depan. Tangan kirinya menahan perut terbuka gadis itu agar tidak jatuh, sementara telapak tangan kanannya mulai meremas gumpalan lembut yang puncaknya kini menegang.
Kemudian Erlang menurunkan kepalanya, menciumi punggung, bahu dan leher sang gadis yang terpampang di hadapannya. Dan ketika gadis itu menoleh, dengan cepat Erlang meraih bibir itu dan menciumnya dengan tidak sabar.
"Eungghh Om... "
Lalu tanpa peringatan, sekonyong-konyong Erlang merasakan bibirnya perih. Seseorang sudah menggigit bibirnya terlalu kuat. Lalu tiba-tiba saja matanya terbuka lebar dan dia mendapati dirinya tergeletak di ranjangnya. Sendirian. Dengan nafas tak beraturan. Bibir perih, karena giginya sendiri yang menggigitnya. Dan bukti gairah yang tidak bisa disembunyikan.
Mimpi seperti ini lagi?!
"Arrrgghh!!! Sial!!!" Erlang memaki sambil memukul ranjangnya dengan keras.
* * *
Meski menyadari kebenaran nasihat Faris, tapi karena nasihat itu disampaikan dengan kata-kata yang tajam, membuat Farah masih malas bicara dengan adiknya itu. Di sisi lain, Faris merasa bersalah karena sudah berkata terlalu kasar pada kakaknya. Tapi saat ia ingin meminta maaf, kakaknya tampak selalu menghindar.
Kata orang, saudara laki-laki dan perempuan biasanya jarang bertengkar, tapi Farah dan Faris adalah kasus langka. Sikap Faris yang jahil, iseng, dan omongannya yang kadang kurang diayak sering memicu emosi kakaknya. Sehingga mereka sering sekali adu mulut dengan seru. Orangtua mereka juga sudah terbiasa melihat kedua anak itu bertengkar panas. Tapi sangat jarang mereka melihat Farah dan Faris terlibat perang dingin yang saling mendiamkan seperti ini.
Kali itu, perang dingin diantara kedua anak itu akhirnya terendus oleh sang ibu.
"Kamu lagi berantem sama Faris?" tanya sang ibu ketika memasuki kamar Farah sore itu.
Sebuah koper besar terbuka di lantai, dan baru terisi sedikit. Farah yang sedang melipat-lipat pakaiannya menghentikan kegiatan tangannya sejenak ketika melihat ibunya masuk, tapi kemudian melanjutkannya lagi setelah ibunya duduk di ranjangnya, di sebelahnya.
"Biasa lah, Ma," jawab Farah singkat.
"Justru kali ini nggak biasa. Biasanya kalo kalian berantem kan heboh. Tapi kali ini malah perang dingin. Berantem karena apa kali ini?"
"Berantem biasa aja, Ma," jawab Farah, masih terus mengelak.
"Sekarang berantem, nanti kalau pisah baru deh kangen," ejek sang ibu kemudian sambil terkekeh.
Farah ikut tertawa kecil. Ia menyadari ejekan ibunya akan menjadi kenyataan. Meski Faris seringkali membuatnya sebal, Farah tahu bahwa dirinya akan merindukan keisengan adiknya itu.
Ibu Farah menatap koper, lalu beberapa tumpukan baju yang sudah terlipat di kasur Farah.
"Semuanya udah siap?" tanya sang ibu.
"Udah beli semua, Ma. Terakhir kemarin udah beli setelan buat kerja, sekarang lagi dicuci. Nanti tinggal disetrika dan masuk koper. Gampang lah itu."
"Udah nggak ada yang lain yang perlu diurus disini?"
"Palingan besok atau lusa Farah ke kampus. Ngambil surat keterangan lulus sementara dan berkas buat ngambil ijasah dan transkrip nilai asli. Abis itu mau ke rumah Wanda. Dia bilang, nanti kalo ijasah udah bisa diambil, dia mau bantuin ngambilin dan ngurus legalisirnya."
"Alhamdulillah. Baik banget temen kamu."
Farah tersenyum.
"Jadi ya berangkat hari Minggu besok?" tanya sang ibu kemudian. Farah mendeteksi suara ibunya yang melemah.
Farah menghentikan kegiatannya melipat dan merapikan pakaian. Ia kemudian menggeser duduknya hingga tepat berhadapan dengan sang ibu. Kemudian ia merebahkan kepalanya di bahu sang ibu dan memeluk wanita itu.
"Mama tahu, ini yang terbaik buat Farah," kata ibu Farah sambil merengkuh bahu Farah dan membelainya penuh sayang. "Farah perlu waktu, Mama tahu. Tapi Mama pasti bakal kangen Farah."
"Farah juga pasti kangen Mama." Gadis itu makin mempererat pelukannya pada ibunya.
"Jangan lupa pulang ya," kata sang ibu. "Kalau hati Farah sudah sembuh, pulang ya Nak."
Farah mengangguk, sambil menahan air matanya.
"Mama belum bilang Erlang tentang rencana kamu kerja di Bali," kata sang ibu kemudian. Tiba-tiba beliau membahas soal lelaki itu.
"Farah udah cerita ke Om Erlang."
"Lalu?"
"Ya biasa aja. Cuma ngasih tahu gitu doang," jawab Farah berbohong.
"Kamu beneran nggak ada perasaan apa-apa sama Erlang?"
Farah menghela nafas. "Nggak ada, Ma."
"Kalau kalian nggak ada perasaan apa-apa, kenapa kalian bisa..."
"Malam itu Farah khilaf, Ma. Suasananya mendukung. Farah penasaran. Trus kebablasan. Nggak ada perasaan apapun yang terlibat."
Ibu Farah menatap puterinya dengan tatapan menelisik, mencoba mencari kebenaran atau kebohongan di mata puterinya. Dan Farah tahu, sedikit lagi saja ibunya pasti akan menyadari kebohongannya, itu mengapa ia segera mengalihkan pembicaraan.
"Mama pasti kecewa sama Farah dan Om Erlang ya? Mama ada perasaan sama Om Erlang? Maafin Farah ya Ma."
Ibu Farah tampak terkesiap. "Kok Farah ngomongnya gitu?"
Farah mengangkat bahunya, berusaha terlihat santai. Padahal degupan jantungnya tidak beraturan.
"Om Erlang udah lama dekat dengan keluarga kita. Padahal dia bukan sodara Mama atau Papa. Trus tiba-tiba aja Farah kepikiran, jangan-jangan Om Erlang naksir Mama. Dulu Papa juga sempat bercanda gitu kan, tentang Om Erlang yang sempat naksir Mama pas SMA? Gimana kalau perasaan Om Erlang ke Mama belum berubah?"
"Perasaan Mama ke Papa juga belum berubah," jawab sang ibu. Jawaban itu membuat hati Farah menghangat. Syukurlah ibunya tidak semudah itu berpaling pada lelaki lain... meski sebenarnya hal itu sah-sah saja.
Sang ibu kemudian menegakkan duduknya, berhadapan dengan Farah, dan menatap Farah dengan lebih tegas.
"Kamu yakin nggak ada perasaan apapun sama Erlang? Sebagai seorang perempuan kepada seorang laki-laki?"
Jika bisa, Farah tentu sudah bisa memenangkan Piala Citra karena berkali-kali telah berhasil konsisten dalam berpura-pura tidak mencintai Erlang. Pun kali itu, dengan mantap Farah menggeleng.
Sang ibu kemudian meraih kedua tangan puterinya. "Janji sama Mama, kamu selamanya cuma akan anggap dia sebagai om. Janji, ya?"
Meski berkali-kali mengelak mengakui perasaannya pada Erlang, tapi ketika kali itu ibunya secara eksplisit melarangnya mencintai lelaki itu, Farah merasa hatinya nyeri.
Maka alih-alih menyetujui permintaan ibunya, Farah malah spontan bertanya, "Kenapa, Ma?"
Ibu Farah menatap puterinya dengan tatapan yang makin tajam. Ia takut bahwa hal yang ditakutkannya menjadi nyata.
* * *
Gimana rasanya sarapan kentang pagi2?
Saya ijin melipir dulu ya,,, sebelum ditimpukin emak2 wattpad, hihihi🙊🙊🙊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top