46. Ugly Truth

Farah tidak kaget ketika melihat Faris duduk di kursi makan sambil asik dengan ponselnya ketika Farah membuka pintu rumahnya. Ia sudah melihat motor Faris terparkir di depan rumah, yang artinya anak itu sudah pulang sekolah. Cuma, aneh saja melihat anak itu nongkrong di ruang makan jam segini. Biasanya Faris lebih suka menghabiskan waktu di depan laptop di dalam kamarnya (tentu saja untuk nge-game, bukannya belajar), dan baru keluar kamar jika diminta bantuan ibunya atau untuk makan.

"Tumben lo nggak bertapa di kamar?" sapa Farah ketika melewati adiknya menuju kulkas. Ia mengambil air dari botol minum di kulkas dan menuangkan ke sebuah gelas yang diambilnya dari rak piring.

Tapi alih-alih menjawab pertanyaan kakaknya, Faris malah balik bertanya, "Dari kampus, Mbak?"

"Nggak," jawab Farah singkat. Ia lalu duduk di kursi makan, berhadapan dengan Faris.

"Lo pergi sama Om Erlang?" tanya Faris lagi. "Gue lihat mobilnya di luar pagar."

"Lo ngintip? Tumben perhatian. Biasanya cuek."

"Lo pergi kemana sama dia?"

Farah mengernyit sekilas. Dia? Meski kelakuan Faris terhadap Farah kadang ga ada akhlak, tapi saat berinteraksi dengan orang tua, Faris adalah anak yang cukup sopan. Seingat Farah, adiknya belum pernah memanggil seseorang yang usianya jauh lebih tua daripada dirinya dengan sebutan dia. Sejauh yang diingat Farah, Faris hanya memanggil satu orang dewasa dengan sebutan dia hanya kepada guru olahraganya. Hal itu karena Faris memang membenci guru tersebut karena sering bertindak tidak adil pada murid-murid, sehingga membuat Faris tidak bisa menghormati guru tersebut.

Jadi kenapa sekarang Faris juga memanggil Erlang dengan dia?

"Makan siang," jawab Farah singkat.

"Makan siang?"

"Om Erlang nraktir makan siang. Katanya buat ganti syukuran wisuda gue kemarin, karena dia nggak ikutan."

"Lo masih naksir Om Erlang ya Mbak?" tembak Faris, tanpa basa-basi lagi. "Kok masih mau-maunya diajak pergi dan makan berdua sama dia?"

Farah tidak menjawab. Tapi ia menatap adiknya dengan tatapan menelisik.

"Lo bukan cuma naksir kan? Lo beneran cinta ya sama dia?" tanya Faris lagi, lebih menuntut.

Farah belum juga mau menjawab.

"Trus kenapa lo bilang ke Mama bahwa lo nggak cinta sama dia? Kenapa lo nggak mau Mama maksa dia tanggung jawab?" Kali ini nada suara Faris terdengar kesal. "Bahkan tanpa dipaksapun, kalau dia bukan laki-laki brengsek, harusnya dia tanggung jawab nikahin lo, Mbak!"

"Om Erlang udah bilang mau tanggung jawab," kata Farah akhirnya, membela laki-laki itu.

"Bohong! Lo cuma belain dia doang!" kata Faris tidak percaya.

"Gue yang nggak mau."

"Kenapa?"

"Kenapa harus? Bayi itu udah nggak ada. Dia nggak harus tanggung jawab apa-apa lagi."

"Tapi kan gara-gara dia, lo jadi...."

"Gue nggak butuh tanggung jawabnya. Gue nggak mau nikah sama orang yang nggak cinta sama gue, dan cuma karena tanggung jawab. Dia cintanya sama orang lain."

"Brengsek banget kan! Dia cinta sama orang lain, tapi malah nidurin lo!"

"Itu karena gue yang menggoda dia."

"Makanya, lo bucin juga jangan bego-bego banget gitu lah Mbak!" tukas Faris kesal. "Udah ditidurin sampe hamil, masih aja lo belain dia terus. Udah tahu bahwa dia ga cinta sama lo, dan lo bilang nggak mau nikah sama dia, tapi lo masih mau-maunya diajak pergi-pergi dan makan bareng. Plin-plan banget sih lo!"

Ini adalah salah satu kelakuan Faris yang nggak ada akhlak di hadapan Farah. Selain suka menggoda kakaknya, Faris juga sering terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada kakaknya. Tapi Farah merasa kata-kata Faris kali ini terlalu kasar di telinga Farah.

"Gue maafin dia cuma karena lo bilang bahwa kejadian itu adalah salah lo. Dan gue masih mengingat semua kebaikannya buat keluarga kita. Tapi itu bukan berarti gue bisa menerima dia seperti dulu. Ngapain juga dia masih dateng terus kesini.

Bingung gue sama kalian, Mbak. Kalo dia nggak cinta sama lo, ya harusnya nggak usah deket-deket lo lagi. Cuma PHP doang! Lo juga, kalo udah jelas nggak mau nikah sama dia, ya lo jangan mau diajak pergi-pergi gitu. Atau lo sengaja biar khilaf lagi? Biar bucin juga, jangan murahan gitu lah Mbak."

Farah meletakkan gelasnya di meja dengan kasar, nyaris membanting. Dia menatap adiknya dengan marah. Tapi dia tidak bisa membantah sepatahpun kata-kata adiknya itu. Semua yang dikatakan pemuda itu benar. Meskipun dia sudah memaafkan Erlang, harusnya dia tidak membiarkan lelaki itu mendekat lagi. Bahkan meski hatinya menikmati, harusnya dia tetap menjauh dari lelaki itu. Sikapnya yang tidak tegas dan plin-plan seperti ini, pantas saja jika disebut murahan.

Marah, tapi tidak bisa marah. Sedih, tapi tidak bisa menangis. Ingin membela diri, tapi dirinya sendiri sadar bahwa dirinya bersalah. Jadi yang bisa dilakukan Farah adalah langsung pergi ke kamarnya.

Meski membenci Faris yang mengkritiknya dengan terlalu tajam, tapi Farah harus mengakui bahwa adiknya benar. Ia memang harus menjauhi Erlang. Dia sudah mengambil keputusan yang tepat dengan pergi jauh ke Bali. Oleh karena itu, dirinya tidak boleh goyah lagi dengan masih menerima kebaikan Erlang. Dia harus bersikap tegas.

* * *

"Bagaimana kita bisa kehilangan sesuatu yang nggak pernah kita miliki, kan?"

Kata-kata Farah itu masuk akal. Tapi kenapa Erlang merasa tidak bisa menerimanya? Kenapa saat ini dia merasa kehilangan, padahal belum pernah memiliki?

Satu minggu. Hanya itu waktu yang dimilikinya. Bali memang bukan tempat yang jauh dan tidak terjangkau. Tapi tetap saja Erlang merasa Farah sedang melarikan diri darinya. Dan itu menyakiti hati Erlang.

Apalagi sejak malam itu Farah tidak lagi membalas pesan WhatsAppnya. Juga tidak mengangkat telponnya. Gadis itu seperti sudah memutus kontak dengannya, bahkan meski gadis itu belum pergi. Hal itu sungguh menyebalkan dan membuatnya frustasi.

Karena tidak tahan diabaikan, hari itu Erlang memutuskan untuk menemui Farah untuk bicara langsung dengannya. Dia tidak tahu apa yang ingin dia bicarakan dengan gadis itu. Dia hanya ingin bertemu.

Tapi sayangnya, ketika siang itu ia datang ke rumah Farah, dia malah bertemu orang lain. Faris.

"Tumben jam segini udah di rumah, Ris?" tanya Erlang. Padahal dia berharap bisa bertemu dan bicara berdua saja dengan Farah.

"Ada rapat guru. Jadi murid-murid dipulangkan lebih cepat," jawab Faris datar, di depan pintu rumahnya. "Om ngapain ke sini?"

"Mbak Farah ada?" tanya Erlang sambil melirik ke dalam rumah.

"Nggak ada. Dia lagi pergi. Belanja baju kerja, buat persiapan mulai kerja minggu depan," jawab Faris. "Om udah tahu kan, Mbak Farah bakal kerja di Bali?"

Erlang mengangguk. "Kamu dan Mamamu nggak keberatan dia kerja di tempat yang jauh?" tanya Erlang. Mungkin dia bisa mencoba membujuk Faris agar melarang Farah kerja di luar kota.

Tapi jawaban Faris justru di luar dugaan. "Biarin aja Mbak Farah pergi jauh, Om. Dia perlu menghapus kenangan buruk masa lalu dan memulai yang baru."

Kenangan buruk masa lalu?, pikir Erlang, dan kenapa Faris mengatakannya sambil menatap dirinya dengan aneh.

"Om juga," kata Faris kemudian. Membuat Erlang menoleh dan jadi fokus pada pemuda itu. "Kejadian yang lalu udah lewat. Keluarga kami juga sudah berusaha melupakan kejadian itu. Om tahu, Mbak Farah cinta sama Om? Tapi dia sekarang juga sudah berusaha melupakan perasaannya ke Om. Jadi, tolong Om nggak usah terus-terusan nemuin Mbak Farah lagi. Nanti dia baper terus. Toh Om juga nggak cinta sama Mbak Farah kan?"

"Ma-maksudnya?"

"Kata Mbak Farah, Om cinta sama perempuan lain. Makanya Mbak Farah nolak Om nikahin dia hanya karena tanggung jawab kan? Dia udah bisa nerima hal itu, makanya Om tolong jangan terlalu baik dan bikin Mbak baper terus.

Aku udah kecewa sama Om sejak tahu bisa-bisanya Om nidurin Mbak Farah padahal cintanya sama perempuan lain. Tapi karena aku masih hormat sama Mama dan Mbak Farah yang masih membela Om, jadi aku berusaha menahan diri. Jadi tolong jangan bikin aku hilang respek kalau Om masih terus bikin Mbak Farah baper padahal Om nggak ada perasaan sama dia."

* * *

Ini perasaan saya aja atau gmn ya,,, kok saya jd suka nulis karakter Faris ya,,, yg suka bercanda nggak ada akhlak, tapi tegas bgt belain kakaknya.

Uwuwuwu,,, dek Faris,,, sini sama Teteh 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top