44. Berubah

Farah sudah merasa tidak enak hati sejak bergabungnya ibunya Ahsan pada acara makan siang bersama mereka. Maka ketika wanita itu mengatakan ingin ikut mampir ke rumah Attar supaya bisa main dengan Ahsan lebih lama, Farah berinisiatif untuk pulang sendiri saja.

"Kamu pulang bareng saya!" kata Attar tegas, sambil menggenggam pergelangan tangan Farah agar tidak kabur. "Saya yang minta ijin ke Ibu kamu kemarin, jadi saya yang harus mengantar kamu pulang."

"Ta____"

"Kamu kesini bawa mobil?" Dengan cepat Attar beralih pada mantan istrinya. "Kalau kamu ikut aku pulang, mobil kamu gimana?"

"Gampang sih itu sebenernya, Bang. Aku bisa minta orang untuk ambil mobil itu nanti," jawab Sania santai. "Aku masih kangen sama Ahsan."

Attar angkat bahu, tidak kalah santainya. "Well, okay kalau kamu tetep mau ikut. Tapi kita mampir ke rumah Farah dulu sebelum pulang."

"Pak, saya bisa____"

Farah tadinya mencoba mengelak dan melepaskan tangannya dari cekalan Attar, tapi Attar malah memelototinya. Jadi dia terpaksa mingkem lagi.

"Atau Ahsan ikut pulang bareng Mama? Naik mobil Mama?" Sania menawarkan alternatif lain pada Ahsan karena sepertinya ia merasa kurang nyaman dengan ide mampir ke rumah Farah lebih dahulu.

"But this is the last time i could spend time with Kak Farah, Ma. Besok-besok Kak Farah nggak di Jakarta lagi. Jadi aku mau ikut Papa antar Kak Farah pulang," jawab Ahsan polos.

Akhirnya Sania cuma punya dua pilihan. Ikut bersama Attar, tapi harus mampir dulu ke rumah Farah dan dia harus meminta seseorang untuk mengambil mobilnya yang diparkir di mall. Atau dia mengemudi sendiri ke rumah Attar dan menunggu Attar dan Ahsan disana.

Rasa penasarannya kepada Farah lah yang membuat Sania memutuskan untuk ikut pulang bersama Attar, meski harus mampir dulu ke rumah Farah. Dan ia tidak menyesali keputusannya karena dengan demikian ia jadi bisa mengamati sejauh apa kedekatan anak dan mantan suaminya dengan gadis itu.

Sepanjang perjalanan pulang, dari tempatnya duduk di sebelah kursi pengemudi, Sania bisa sesekali mengamati interaksi Ahsan dan gadis itu saat keduanya duduk bersama di kursi belakang. Anak lelakinya itu tampak sangat dekat dengan Farah. Apalagi ketika Ahsan mulai mengantuk, ia dengan nyaman menggelendot pada gadis itu, dan gadis itu memeluk Ahsan hingga anak itu terlelap bersandar di dadanya.

Mantan suaminya sendiri tidak banyak bicara selama mengemudi. Sejak selama pernikahannya dulu, lelaki itu memang biasa bersikap datar. Tapi meski tidak banyak bicara, Sania bisa merasakan bahwa lelaki yang duduk di sebelahnya ini peduli terhadap gadis yang duduk di kursi belakang itu.

Sesampainya di rumah Farah, gadis itu membangunkan Ahsan dan berpamitan pada anak itu. Setelah berjanji akan rajin menelepon jika Ahsan terus belajar dengan baik, Farah mengecup kening anak itu dan Ahsan membalasnya dengan pelukan, sebelum akhirnya Farah keluar dari mobil.

Attar melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil bersama Farah meski Farah sudah mengatakan bahwa hal itu tidak perlu. Ia menitipkan Ahsan pada Sania selagi ia menemani Farah masuk rumah.

Attar memang tidak lama mampir. Ia hanya menemui ibu Farah, mengucapkan terima kasih karena sudah diijinkan mengajak gadis itu makan siang bersama anaknya, lalu minta maaf karena tidak bisa mampir dan harus segera pamit pulang karena anaknya menunggu di mobil.

"Semoga sukses pekerjaan pertama di tempat barunya, Far," kata Attar pada Farah, terakhir kali sebelum pamit. "Jangan lupa pulang. Ada yang menunggu."

* * *

Erlang pasti sudah gila. Kalau tidak gila, lalu untuk apa dia menghabiskan hari Minggu yang bisa digunakannya untuk libur dan istirahat, tapi malah digunakannya seharian untuk menguntit Farah.

Apa pentingnya coba, menguntit seseorang yang sedang makan siang? Tapi toh meski ia tahu bahwa tidak ada gunanya menguntit kegiatan Farah hari itu, ia tetap melakukannya. Fakta bahwa Farah makan siang bersama dosen dan anak sang dosen, itu saja sudah cukup memantik alasan Erlang untuk curiga.

Sejak awal insting Erlang sudah mengatakan bahwa dosen Farah itu pasti memiliki perasaan khusus pada gadis itu. Kalau dipikir lagi, memangnya kenapa kalau lelaki itu memang menyukai Farah. Harusnya itu bukan urusan Erlang kan? Dia tidak punya alasan untuk merasa tidak suka atau tidak setuju kan?

Dari dulu Erlang selalu berdiri di balik tameng seorang paman. Merasa bahwa sikap protektifnya terhadap Farah adalah hal yang wajar karena dia adalah om-nya Farah, dia ingin Farah bersama dengan lelaki yang terbaik dan layak, dan dia tidak merasa bahwa Attar yang seorang duda layak untuk Farah. Nyatanya sekarang semua hal itu terasa salah. Erlang tidak lagi ingin Farah menganggapnya sebagai om. Dia tidak ingin Farah bersama lelaki lain, bahkan meski lelaki itu baik dan layak untuk Farah. Dan dia juga merasa bahwa seorang duda seperti dirinya tidak bisa lebih baik dibanding Attar.

Sialnya, ketika kesadaran itu datang, semua sudah sangat terlambat. Hubungannya dengan Farah sudah tidak bisa sama lagi. Pun hubungannya dengan Fariha dan Faris. Saat melihat sikap Fariha yang ramah saat menyambut Attar di depan pintu rumahnya, Erlang sadar bahwa dirinya bahkan tidak unggul dalam hal apapun jika dibanding Attar. Dulu setidaknya dirinya mendapat penerimaan yang lebih baik dari Fariha dibanding Attar. Sekarang, setelah yang dilakukannya terhadap Farah, dan segala bantuan yang diberikan Attar pada Farah, sepertinya Fariha justru bersikap lebih ramah kepada Attar dibanding kepada dirinya.

Sikap Farah kepadanyapun sudah berubah. Meski gadis itu mengatakan bahwa ingin hubungan mereka kembali seperti semula, nyatanya sikap gadis itu tidak pernah lagi sehangat dulu. Dulu, meski komunikasi mereka tidak intens, tapi tiap kali Erlang mengirim pesan, Farah akan segera membalasnya. Tapi sekarang, pesan yang dikirim sejak sore hari tidak juga mendapat balasan. Hingga akhirnya Erlang resah sendiri dan memutuskan untuk menelepon.

"Assalamualaikum Om!" Erlang mendengar suara Farah begitu telepon diangkat.

Dulu, suara Farah selalu terdengar antusias saat menjawab teleponnya. Tapi kini, suara gadis itu terdengar malas-malasan. Sepertinya gadis itu hanya menjawab teleponnya karena terpaksa saja.

"Waalaikumsalam," jawab Erlang. "Farah belum tidur kan?"

"Belum, Om."

"Lagi apa?" Cheesy sekali bukan?

"Nggak lagi ngapa-ngapain. Ada apa Om?"

Dulu Farah tidak pernah seperti itu. Jika Erlang bertanya "lagi apa?", gadis itu akan balas menanyakan kegiatan Erlang juga. Tapi pertanyaan Farah kali itu "ada apa?" seolah-olah menegaskan bahwa Erlang hanya boleh meneleponnya jika ada alasan atau keperluan saja. Apa itu artinya Erlang tidak boleh menelepon jika hanya karena rindu?

Rindu?

"Nggak ada apa-apa. Tadi aku kirim pesan, tapi belum dibalas."

"Eh? Iya kah?" Suara gadis itu datar. Jelas sekali tidak terdengar seperti orang kaget yang baru sadar bahwa terlupa membalas pesan. "Maaf belum cek hape lagi, Om. Ada apa Om?"

"Aku cuma pengin telepon aja. Boleh kan?"

"..... boleh, Om," jawab Farah setelah jeda beberapa saat.

Dulu percakapan mereka tidak pernah sekaku ini. Tidak jarang Erlang menelepon gadis itu hanya untuk ngobrol iseng dan gadis itu selalu meladeni obrolannya dengan antusias. Tapi sekarang gadis itu seperti hanya ingin bicara dengannya jika ada sesuatu yang penting.

"Aku mau ajak kamu makan siang bareng. Merayakan kelulusan kamu, karena kemarin aku nggak bisa datang ke wisudamu."

"Oh? Hmmmm."

"Bisa kan?"

"Bisa, Om. Kapan? Hari Sabtu minggu depan?"

"Gimana kalau besok?"

"Weekdays? Tapi Mama dan Faris nggak bisa ikut makan siang bareng kalau acaranya weekdays."

"Aku mau makan siang berdua kamu aja, boleh?"

".... hmmm, oke, Om," lagi-lagi Farah baru menjawab setelah jeda. "Besok siang ketemuan dimana?"

"Ketemuan dimana?" Erlang bertanya karena merasa aneh. "Aku jemput kamu di rumah."

"Jangan repot-repot, Om. Farah bisa kesana sendiri. Sebutin aja tempatnya, nanti kita ketemuan langsung disana."

Erlang memejamkan matanya frustasi.

"Biar aku jemput kamu di rumah. Jam sebelas siang. Oke?" kata Erlang akhirnya, memutuskan dengan tegas.

Lagi-lagi jeda sesaat sebelum gadis di seberang telepon menjawab, "... oke, Om."

Setelah itu, lagi-lagi jeda diantara mereka. Dulu hal seperti ini tidak pernah terjadi. Farah selalu antusias saat bertelepon dengannya, tidak pernah kehilangan topik obrolan. Dan bahkan kadang Erlang kewalahan memutus obrolan mereka jika sudah terlalu lama bertelepon. Tapi sekarang Farah jelas terdengar tidak antusiasi....

"Ada apa lagi, Om?"

... dan jelas sekali ingin segera mengakhiri percakapan mereka.

Sikap Farah padanya memang sudah berubah.

* * *

Gantian ya Om. Sekarang giliran Om yang ngejar dan Farah yang pergi #laluCeritaNggakKelar2KayakSinetronTersandung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top