41. Pendamping Wisudawan
Karena sudah sempat membayangkan kemungkinan terburuk jika ibunya tidak mau menghadiri wisudanya, Farah tidak mempersiapkan apa-apa untuk acara wisudanya. Ketika akhirnya sang ibu memaafkannya dan mengatakan akan datang ke acara wisudanyapun, Farah hanya mempersiapkan kebaya sederhana yang pernah dikenakannya saat kondangan pernikahan sepupunya setahun yang lalu. Jadi, ketika dua hari sebelum wisuda sang ibu membelikan sebuah kebaya modern cantik untuk digunakannya pada acara wisuda tersebut, Farah sangat terharu.
"Mama Papa cuma bisa menyekolahkan Farah sampai sarjana. Jadi wisuda ini sangat berarti buat kami. Papa juga pasti pengen anak gadisnya ini tampil cantik saat wisuda. Apalagi Farah jadi salah satu lulusan cum laude kan. Papa Mama bangga sama Farah," kata sang Ibu sambil memandang pantulan anak gadisnya di cermin, saat Farah mencoba kebaya itu.
Setelah semua kesalahan yang telah dilakukannya, setelah semua kekecewaan yang diberikannya kepada ibunya, ternyata beliau tetap mengatakan bangga kepada Farah. Hal itu membuat Farah terharu dan menangis.
Pagi-pagi sekali di hari wisuda, setelah selesai sholat subuh, sang Ibu langsung sibuk menyuruh Farah bersiap. Farah sudah berencana untuk berdandan sendiri. Meski tidak mahir, Farah sudah sering berdandan sendiri untuk hadir ke acara pernikahan saudara atau kakak kelasnya. Hanya riasan sederhana, tapi menurut Farah itu cukup. Tapi pagi itu sang Ibu lah yang mendandani Farah sehingga terlihat lebih memukau.
"Cantik banget, Mbak," puji Faris ketika melihat Farah keluar dari kamarnya. "Kayak ondel-ondel."
"Ma!" Farah langsung melapor pada ibunya.
"Enak aja kayak ondel-ondel. Itu Mama yang dandanin, tahu!" Sang Ibu menyusul keluar dari kamar Farah sambil bersungut-sungut. Ia lalu memukul lengan anak lelakinya yang sudah siap dengan kemeja rapinya.
Faris mengaduh pelan, lalu tertawa-tawa karena berhasil meledek kakak dan ibunya sekaligus. Sejujurnya, bagi Faris, kakaknya terlihat sangat cantik pagi itu.
* * *
Rangkaian acara wisuda untuk mahasiswa sarjana selesai dilaksanakan menjelang siang hari. Untungnya, meski wisuda itu dilaksanakan di musim kemarau, matahari bersinar nyaman, tidak terlalu terik. Jadi setelah keluar dari Balairung, tempat wisuda tersebut dilaksanakan, Farah dan teman-temannya bisa berfoto-foto dengan nyaman di Rotunda, lapangan rumput besar dengan latar belakang gedung Rektorat. Kebahagiaan Farah hari itu lengkap setelah berhasil mengambil foto formal wisuda bersama ibu dan adiknya.
Kebahagiaan Farah mungkin tidak sempurna karena rasa sedih juga bergelayut tiap ia teringat bahwa ayahnya tidak sempat melihatnya diwisuda sebagai salah satu mahasiswa yang lulus dengan pujian, cum laude. Namun dengan segala hal yang terjadi beberapa bulan ini, dan karena sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk bahwa ia tidak akan memiliki kenangan wisuda jika ibunya tidak mau hadir, maka ia sangat mensyukuri hari ini. Ia jadi bisa memiliki kenangan wisuda bersama ibu, adik dan teman-temannya.
Juga bersama Attar.
Dosennya itu meneleponnya ketika Farah, Faris dan ibunya baru saja menyelesaikan sesi foto formal wisuda.
"Di Balairung, Pak, kan lagi wisuda," jawab Farah, ketika Attar menanyakan keberadaannya.
"Balairung kan luas. Di sebelah mana?" tanya Attar lagi. "Saya juga sedang di Balairung."
"Lho?" Farah jadi bingung dan celingukan. "Bapak di Balairung juga? Saya lagi di sisi dekat danau. Bapak di Balairung ngapain?"
"Nguras danau."
Sontak Farah tertawa. Di samping Balairung memang terdapat danau. Di akhir pekan, tepi danau itu biasa dimanfaatkan warga yang tinggal di sekitar kampus untuk berolahraga dan pacaran. Tapi di hari Sabtu itu, karena sedang dilaksanakan wisuda, maka kini tepian danau dipenuhi oleh mahasiswa dan keluarganya yang sedang sibuk berfoto.
"Bapak itu yang lagi naik getek di tengah danau ya Pak?" tanya Farah, cekikikan sambil celingukan mencari sosok dosennya.
Tapi sebelum Farah berhasil menemukan sosok itu, seseorang sudah menepuk bahunya dari belakang.
"Selamat ya Farah!" kata lelaki berwajah Timur-Tengah itu ketika Farah berbalik menghadapnya.
Farah tersenyum lebar menyambut lelaki itu.
Lelaki itu juga segera menyalami Faris dan ibunya Farah. Mengucapkan selamat atas kelulusan Farah.
"Bapak sengaja dateng kesini buat nemuin Mbak Farah?" tanya Faris menggoda.
Farah langsung mendelik pada adiknya. Ini anak kalau basa-basi sering nggak ngerti sikon ya.
Sejak Farah menolak tawaran Attar yang ingin menunggunya, sebenarnya Farah sering merasa sungkan pada dosennya itu. Tapi ketika mereka saling bertemu lagi saat Farah menemani Hanun mengajar Ahsan, dan sikap Attar tampak biasa saja, Farah merasa agak lega. Syukurlah jika penolakannya tidak merusak hubungan dosen-mahasiswa yang sudah terjalin baik diantara mereka.
Sungguh dia tidak bermaksud menyakiti hati lelaki itu dengan penolakan, tapi di saat yang sama dia juga mendoakan yang terbaik untuk lelaki itu. Dan jelas, dirinya tidak termasuk kriteria perempuan yang baik. Itu kenapa Farah dengan tegas menolak Attar.
"Tiap tahun, kalau mahasiswa bimbingan skripsi saya diwisuda, saya biasa datang memberi selamat. Jadi kali ini saya sekalian mencari Farah," Attar menjawab pertanyaan Faris. "Lima tahun lagi mungkin saya kesini untuk mengucapkan selamat buat Faris."
"Aamiin!" sahut ibu Farah cepat.
Sementara wajah Faris langsung seperti orang tertekan. Jelas-jelas dia tidak sepandai kakaknya. Jadi untuk merencanakan kuliah di kampus yang sama dengan kakaknya saja, Faris minder.
Attar kemudian tertawa dan menepuk bahu Faris. "Itu doa. Di-aamiin-kan saja dulu. Barangkali ada malaikat lewat."
"Aamiin, Pak!" jawab Faris. Dengan wajah seperti orang yang sedang di-ospek. Membuat Attar, Farah dan ibunya Farah tertawa lagi.
"Sudah foto-foto?" tanya Attar kemudian.
"Udah Pak, tadi sama temen-temen di Rotunda. Sekarang cari spot lain di tepi danau," jawab Farah.
"Lalu setelah ini pulang?"
Farah mengangguk.
"Tadi kesini dengan mobil?" tanya Attar lagi.
Farah mengangguk. "Naik taksi online, Pak."
"Kalau gitu, pulang bareng saya aja. Mobik saya di parkiran," kata Attar sambil mengedarkan pandangan pada Farah, Faris dan ibunya.
"Jangan Pak, nanti kami merepotkan," jawab Ibu Farah cepat.
"Nggak repot sama sekali, Bu. Kan rumah kita searah," jawab Attar ramah, "Lagipula dari banyak wisudawan seperti ini, pasti banyak yang cari taksi juga. Nanti repot rebutannya. Jadi bareng saya aja. Ya?"
Farah dan ibunya masih sungkan dan berpikir, tapi Faris sudah menyetujui dengan cepat. Jadi Attar segera tersenyum dan mempersilakan keluarga tersebut mengikutinya ke tempat parkir.
"Pak Attar nggak mau foto berdua dulu bareng Mbak Farah?" tanya Faris tiba-tiba, sebelum mereka beranjak dari tepi danau.
"Ris!" tegur Farah tegas.
Tapi pemuda itu malah cengengesan. Sebelum Attar dan Farah sempat mengelak, Faris sudah memaksa Farah berdiri dengan latar belakang danau dan gedung perpustakaan universitas, lalu mempersilakan Attar untuk berdiri di samping gadis itu.
Attar menganggukkan kepala kepada ibu Farah untuk meminta ijin. Dan ketika ibu Farah membalas mengangguk, Attar melangkah mendekati Farah lalu berdiri di sampingnya.
"Senyum!" perintah Faris sambil membidikkan kamera digitalnya. Sejak tadi dia memang bertugas menjadi fotografer, mengabadikan momen-momen wisuda Farah dan teman-temannya.
Attar menyunggingkan senyumnya ke arah kamera, seperti yang dilakukannya bersama para mahasiswanya yang lain beberapa waktu lalu. Dan meski merasa kikuk dan salah tingkah, Farah tidak ingin terlihat jelek di foto itu. Jadi setelah kedua orang di hadapannya tersenyum, Faris segera menghitung dan mengambil beberapa foto.
"Bagus nggak fotonya? Awas lho kalo gue kelihatan jelek!" tanya Farah, setelah Faris mengambil beberapa foto.
Karena kikuk, Farah dengan cepat meninggalkan Attar dan pura-pura menghampiri Faris untuk mengecek hasil foto Faris.
"Serasi!" jawab Faris sambil melirik Attar.
Dan kepalanya langsung menjadi sasaran jitakan Farah.
* * *
"Terima kasih banyak ya Pak, sudah mengantar kami pulang," kata ibu Farah, ketika mobil Attar sudah hampir sampai di rumahnya.
"Sama-sama, Bu. Sekalian kok, searah," jawab Attar sopan, sambil melirik perempuan yang duduk di kursi belakang melalui spion.
"Bapak mau mampir dulu?" Faris yang duduk di samping kursi pengemudi, menawarkan.
"Eh, aduh. Makasih banyak, Faris. Tapi maaf, saya harus langsung pulang," jawab Attar. "Hari Sabtu harusnya saya seharian sama anak saya. Jadi dia pasti sudah nungguin di rumah. Mohon maaf ya, Faris, Farah, Ibu."
"Nggak apa-apa, Pak," kali itu ibu Farah yang menjawab. "Anak tunggal ya Pak? Pasti dekat banget ya sama Bapak."
"Iya Bu. Sehari-hari saya sibuk. Jadi Sabtu-Minggu saya usahakan fokus sama dia."
Ibu Farah mengangguk-angguk sambil tersenyum melalui spion.
Attar membelokkan mobilnya ke gang masuk rumah Farah. Dan sebelum sampai, ia kembali melirik Ibu Farah melalui kaca spion.
"Bu, maaf, saya mau minta ijin," kata Attar.
Menyadari bahwa dirinya yang diajak bicara oleh Attar, Ibu Farah kembali menatap dosen anaknya itu melalui kaca spion. "Ya, Pak?"
* * *
Fariha boleh saja bilang bahwa keluarganya sudah memaafkan Erlang. Faris juga bilang sudah memaafkan Erlang. Tapi ada pepatah "forgiven, not forgotten". Jangan lupakan kata orang bijak bahwa gelas yang sudah pecah, tidak bisa direkatkan kembali. Buktinya, meski katanya Farah, Fariha dan Faris sudah menerimanya kembali, toh Erlang merasa ada yang berubah dengan sikap keluarga itu kepadanya. Mereka memang tidak menjauhi atau mengabaikan Erlang. Tapi mereka juga tidak banyak lagi melibatkan Erlang.
Contohnya, Sabtu siang itu ketika ia berkunjung ke rumah Fariha sambil membawakan dessert dari kafenya, ternyata tidak ada seorangpun di rumah itu. Tapi ketika Erlang memutuskan untuk pulang, ia malah bertemu dengan Farah, Fariha dan Faris yang baru saja turun dari sebuah mobil. Penampilan ketiga orang itu seperti pulang kondangan.
Erlang mengira ketiga orang itu baru saja turun dari sebuah taksi online. Tapi ketika sang pengemudi menurunkan kaca jendelanya dan pamit pada Farah, Fariha dan Faris, Erlang baru menyadari bahwa ketiga orang itu baru saja diantar pulang oleh lelaki bernama Attar.
Ada acara apa sebenarnya mereka? Kenapa mereka pergi bersama Attar?
"Hai Om!" kata Faris, ketika berbalik dan menemukan seseorang di teras rumah mereka.
"Abis kondangan?" tanya Erlang.
Faris melangkah mendekat, hendak membukakan pintu rumahnya, selagi Farah dan Fariha di balik punggungnya masih menutup pintu pagar.
"Abis wisuda Mbak Farah," jawab Faris sambil memutar kunci rumahnya, lalu membukakannya untuk Erlang. "Masuk, Om!"
"Wisuda? Kok Om nggak tahu?" tanya Erlang penasaran. Meski tidak berkontak dengan keluarga itu setiap hari, biasanya Erlang akan mendapat kabar terkait hal-hal besar di keluarga itu. Tapi kenapa sekarang ia tidak diberi tahu apa-apa?
"Kok Farah nggak pernah cerita?" tanya Erlang. Antara sedih, kesal, tersinggung, dan lain-lain.
Faris mengangkat bahu.
"Yang itu tadi dosennya Farah kan? Yang mengantar kalian pulang?" tanya Erlang pada Faris lagi.
"Iya. Pak Attar," jawab Faris santai. Ia kemudian mengeluarkan kamera digitalnya. "Tadi sempat foto-foto juga. Bagus deh foto Mbak Farah sama pendamping wisudawannya."
Erlang mengerutkan dahi, tidak mengerti. Tapi ketika Faris menunjukkan foto terakhir yang diambilnya dengan kamera digital itu, tanpa bisa dicegah rahang Erlang mengatup lebih kuat daripada yang bisa dikendalikannya.
Dia tidak suka melihat foto itu.
Dan apa kata Faris tadi? Pendamping wisudawan? Jangan sampai berlanjut sebagai pendamping hidup!
* * *
Di bab ini Attar dan Erlang sama-sama muncul. Semoga fans keduanya sama-sama senang 😁
Mana yang senang ketemu Pak Attar?
Mana yang senang ketemu Om Erlang?
Mumpung menjelang long weekend, mau bikin kuis suka-suka aaahh:
1. Lokasi wisuda Farah yang diceritakan di bab ini merupakan tempat real. Di manakah itu?
2. Kira2 Pak Attar minta ijin apa ya sama ibunya Farah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top