40.
Setelah malam sebelumnya ibunya tidak keluar kamar untuk makan malam dan pagi tadi sang ibu berangkat kerja tanpa sarapan, malam itu adalah pertama kalinya Farah bertemu lagi dengan ibunya di meja makan. Sore itu Farah sengaja memasak makanan kesukaan ibunya: oseng kangkung saus tiram dan telur dadar kecap dengan kol. Berharap malam ini ibunya tergugah untuk makan bersama, sehingga Farah punya waktu untuk bicara.
Taktik Farah berhasil. Ibunya ikut makan bersama dirinya dan Faris malam itu, meski tidak bicara sedikitpun. Beliau hanya menyantap makan malamnya sambil diam. Tapi bagaimanapun, Farah sudah bersyukur ibunya tidak mengabaikan makan malam buatannya.
Faris melirik kakaknya yang sedari tadi mencuri-curi pandang kepada ibunya. Dia tahu, ada sesuatu yang ingin kakaknya bicarakan dengan ibunya.
"Ma... " kata Faris memanggil.
"Hmm?" balas ibunya hanya dengan gumaman.
"Aku udah baikan sama Mbak Farah," kata Faris kemudian.
Tangan Farah yang memegang sendok berhenti beberapa sentimeter di atas piringnya. Dia menoleh pada Faris, berterima kasih. Lalu menoleh pada ibunya, menunggu respon beliau. Tapi selepas tiga puluh detik, ibunya tetap tenang saja melanjutkan makan malamnya, seolah tidak mendengar kata-kata Faris barusan.
Faris menatap kakaknya dengan prihatin. Dan Farah tersenyum maklum. Setidaknya Faris sudah berusaha membantunya, Farah berterima kasih untuk itu.
Farah menyelesaikan makan malamnya lebih cepat. Ia membawa piring kotor ke wastafel, lalu masuk ke kamarnya.
"Ma, kasihan Mbak," kata Faris, berbisik pada ibunya, ketika Farah sudah menghilang ke dalam kamarnya.
Fariha sudah mengangkat kepalanya, hendak menjawab puteranya, ketika ia mendengar pintu kamar Farah dibuka kembali. Ternyata Farah masuk ke kamar untuk mengambil sesuatu. Sekarang ia sudah kembali lagi ke meja makan dan menyerahkannya pada Faris dan ibunya.
Ibunya masih bersikap tak acuh, tapi Faris segera mengambil benda yang diserahkan kakaknya. Sebuah kartu undangan.
"Sabtu besok Farah wisuda, Ma," kata Farah hati-hati.
Faris membaca tanggal yang tertera pada undangan tersebut dan memang sesuai dengan informasi yang baru saja disampaikan kakaknya.
Sang ibu menghabiskan makanan di piringnya dan masih mengabaikan Farah.
"Ma... " panggil Faris. Berusaha membuat ibunya mau bicara lagi dengan kakaknya. Setidaknya, tidak mengabaikannya.
Tapi saat ia menoleh pada Farah, kakaknya itu justru menggeleng sambil tersenyum maklum. Jadi ia tidak melanjutkan kata-katanya.
"Kalau Mama dan Faris bisa dateng, Farah bahagia banget," kata Farah tenang.
Ibunya masih saja diam.
"Tapi kalau Mama sibuk dan nggak bisa datang, nggak apa-apa kok. Itu seremonial aja," lanjut Farah. Suaranya terdengar pedih.
Farah memang sudah mempersiapkan diri untuk yang terburuk, kalau ibunya tidak mau datang ke wisudanya. Dia juga sudah berencana untuk tidak datang wisuda jika ibunya tidak hadir. Untuk apa kan? Wisuda hanya berarti jika dihadiri orang-orang tersayang. Jika tidak, lebih baik tidak datang wisuda. Dengan atau tanpa wisuda, toh ia sudah lulus dan tetap mendapatkan ijasah.
Ibunya masih tetap diam sambil meminum sirupnya.
Farah mengambil kesimpulan bahwa ibunya memang tidak akan datang ke wisudanya. Jadi demi menutupi air mata yang sudah hampir jatuh, Farah bangkit dari duduknya, lalu melangkah ke dapur. Faris sempat melihat kakaknya diam-diam mengeringkan air mata sebelum ia berdiri membelakangi meja makan dan mulai mencuci piring, gelas dan alat masak di wastafel.
"Kamu suka sama Erlang?"
Tiba-tiba Farah mendengar suara ibunya dari balik punggungnya. Membuatnya menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyabuni piring kotor.
"Kenapa kamu menggoda dia? Kamu suka sama dia?" tanya ibunya lagi.
Farah segera mencuci tangannya hingga bersih dari sisa sabun cuci piring, dan kembali ke meja makan.
"Maafin Farah, Ma," kata Farah ketika sudah duduk berhadapan lagi dengan ibunya.
"Jadi benar kamu suka sama Erlang? Makanya kamu menggoda dia, sampai dia khilaf dan meniduri kamu?"
Farah bingung harus menjawab apa selain meminta maaf.
"Dia cuma enam tahun lebih muda daripada Mama, Far. Dia sudah tua. Duda. Harusnya kamu cuma anggap dia sebagai om!"
Lagi-lagi Farah hanya bisa minta maaf.
"Kalau sudah seperti ini, gimana Mama mau minta dia bertanggung jawab menikahi kamu?!"
"Jangan Ma!" jawab Farah cepat. "Farah... nggak suka kok sama Om Erlang. Farah emang anggap Om Erlang sebagai Om. Waktu itu Farah khilaf aja, Ma. Farah nggak mau nikah sama Om Erlang. Farah nggak cinta sama Om Erlang."
Faris mengernyit. Dia masih ingat betul bahwa tadi sore kakaknya bilang bahwa kakaknya itu bahkan tidak pernah menganggap lelaki itu sebagai paman. Sejak awal kakaknya menyukai lelaki itu sebagai seorang perempuan kepada laki-laki pujaannya. Jadi kenapa sekarang kakaknya mengatakan hal yang berbeda di depan ibunya?
"Kenapa kamu nggak mau ngaku bahwa laki-laki yang sudah menghamili kamu itu adalah Erlang?" tanya sang ibu kemudian.
"Karena Farah nggak mau Mama marah sama Om Erlang... kayak gini. Hubungan Om Erlang dan keluarga kita udah dekat banget. Mama dan Faris juga sayang sama Om Erlang. Farah nggak mau merusaknya. Karena ini bukan salah Om Erlang. Ini sepenuhnya Farah yang salah, Ma."
"Tapi kamu yang dirugikan, Far! Kamu sampai hamil dan keguguran. Gimana masa depan kamu? Di Indonesia, sebrengsek apapun laki-laki, mereka pasti mencari perempuan dengan masa lalu yang bersih untuk dinikahi. Kalau kamu sudah terlanjur begini, kamu gimana nanti?"
"Ma..." Farah mengambil tangan ibunya dan menggenggamnya. Ia bersyukur ibunya tidak lagi menolak sentuhannya. Semoga itu pertanda ibunya mulai luluh dengan permintaan maafnya. "Jangan paksa Om Erlang nikahin Farah ya, Ma. Farah nggak cinta sama Om Erlang. Cukup kemarin aja kesalahan Farah. Farah nggak mau melanjutkan kesalahan itu dengan menikah dengan orang yang nggak cinta sama Farah dan cuma anggap Farah sebagai keponakan."
"Far... "
"Makasih ya Mama udah maafin Farah," kata Farah, mengambil kesimpulan sendiri. Ibunya memang belum mengatakan bahwa beliau memaafkan Farah. Farah hanya berbaik sangka saja, bahwa sikap beliau yang sudah melunak menandakan beliau mulai bisa memaafkan. "Mama nggak usah khawatir soal masa depan Farah. Nanti akan ada orangnya yang mau menerima Farah apa adanya, termasuk dengan masa lalu Farah kok. Mama mau kan doain Farah supaya bisa ketemu orang itu?"
Ibunya tidak menjawab. Tapi kemudian beliau memeluk anak sulungnya itu dengan erat. Menepuk dan membelai punggung gadis itu, sambil mendoakan yang terbaik untuknya.
Sebesar apapun kekecewaannya pada anak gadisnya itu, dirinya tidak bisa membenci Farah. Dia tetap menginginkan yang terbaik untuk puterinya.
Sementara itu, Faris menatap kakaknya dengan tidak mengerti. Kalau tadi sore kakaknya bilang bahwa kakaknya itu menyukai Om Erlang, bukankah harusnya kakaknya senang jika ibunya meminta Om Erlang bertanggung jawab menikahi? Tapi kenapa kakaknya justru menolak menikah dengan laki-laki yang sudah disukainya sejak lama?
* * *
Ketika melihat wanita itu keluar dari gerbang sekolah tempatnya mengajar, Erlang buru-buru memasang kacamata hitamnya dan keluar dari mobil. Wanita itu tampak sedang menunggu seseorang. Pasti ojek online. Jadi sebelum driver ojek yang ditunggu sampai, Erlang menghampiri perempuan itu lebih dahulu.
"Ngapain kamu kesini?" sambut wanita itu dengan ekspresi tidak suka.
"Aku ke rumah, tapi Mbak nggak mau bukain pintu. Jadi aku kesini," jawab Erlang tenang.
Sudah dua hari ini Erlang bolak-balik ke rumah Fariha. Perempuan itu jelas sedang berada di dalam rumah, tapi tiap Erlang datang, tidak ada yang membukakan pintu untuknya. Jelas penghuni rumah itu sedang menghindarinya. Jadi Erlang tidak punya jalan lain selain mencegat wanita itu di tempat kerjanya. Wanita itu pasti tidak suka memancing keributan di tempat umum, sehingga Erlang akan punya kesempatan untuk membujuknya bicara.
Sesuai ekspektasi, karena tidak ingin memancing keributan, Fariha akhirnya setuju ikut pulang dengan mobil Erlang. Setelah membayar sejumlah uang untuk membatalkan order ojek online kepada sang pengemudi, Erlang mempersilakan Fariha untuk naik ke mobilnya.
"Kita ngomong sambil makan di restoranku ya Mbak?" kata Erlang memberi ide, setelah memasang sabuk pengamannya.
"Nggak usah. Aku nggak lapar," jawab Fariha ketus. "Tolong langsung antar aku pulang. Kita ngomong disini aja."
Erlang menghela nafas kecewa. Tapi toh dia harus bersyukur. Fariha sudah bersedia bicara sekarang saja, itu sudah bagus.
Erlang melepas kaca mata hitamnya sebelum mulai mengemudi. Dan Fariha masih dapat melihat lebam tipis di pelipis dekat mata pria itu.
Semoay terlintas rasa kasihan terhadap lelaki itu. Tapi Fariha segera menepisnya jauh-jauh. Lelaki itu pantas mendapat pukulan itu. Lelaki itu sudah sedemikian mengecewakannya dan mengkhianati kepercayaannya. Harusnya sejak awal melihat kedekatan Farah dan Erlang, Fariha tidak boleh terlalu percaya kepada lelaki itu. Bagaimanapun mereka bukan paman dan keponakan kandung. Harusnya dirinya memang lebih waspada. Tapi sekarang semua sudah terlanjur.
"Jadi, mau ngomong apa kamu?" tanya Fariha galak.
"Mbak masih marah sama Farah?" tanya Erlang. "Tolong maafin dia, Mbak. Aku yang salah. Aku khilaf. Mbak boleh benci aku dan nggak maafin aku. Tapi tolong maafin Farah. Dia nggak salah."
Fariha mendengus. Kemarin malam Farah yang mengaku salah dan memintanya memaafkan Erlang. Sekarang sebaliknya, Erlang yang mengaku salah dan memintanya memaafkan Farah. Ada apa sebenarnya dengan mereka berdua?
"Aku memaafkan Farah atau nggak, itu bukan urusan kamu. Kamu nggak berhak ikut campur. Dia anakku," jawab Fariha dingin.
"Tapi aku yang salah__"
"Oh iya! Jelas kamu yang salah!" kata Fariha marah.
"Aku menyesal, Mbak..."
"Nggak ada gunanya kamu menyesal atau minta maaf. Buat kamu sih nggak ada bedanya. Tapi buat Farah, kejadian itu sangat merugikan dia. Dia nggak perawan lagi. Hamil. Bahkan sampai keguguran. Entah gimana masa depannya nanti. Laki-laki mana yang mau nikah sama dia."
"Aku mau nikah sama dia, Mbak. Aku yang akan bertanggung jawab."
"Nggak usah sok keren kamu! Farah nggak butuh tanggung jawab kamu!" jawab Fariha, makin galak.
"Tapi aku serius, Mbak. Tolong ijinin aku menikahi Farah."
"Memangnya kamu cinta sama dia?" tanya Fariha frontal.
"Aku akan menyayangi dia, Mbak," jawab Erlang mantap.
"Itu bukan jawaban dari pertanyaanku, bodoh!" maki Fariha, tidak sabar. "Keluarga kami bukan pengemis tanggung jawab. Nggak usah sok bertanggung jawab kamu!"
"Maaf. Maaf, Mbak. Bukan itu maksudku."
Fariha membuang pandangannya ke samping kiri, keluar jendela mobil. Sebelumnya ia memang bertekad meminta pria yang sudah menghamili Farah untuk bertanggung jawab dengan menikahi puterinya. Tapi sekarang, setelah tahu bahwa laki-laki itu adalah Erlang, rasa kecewanya justru jauh lebih besar dibanding keinginan untuk meminta tanggung jawab.
"Aku serius ingin menikahi Farah, Mbak," kata Erlang beberapa saat kemudian.
"Dan aku serius menentang," jawab Fariha, tetap dingin. "Dia nggak cinta sama kamu. Dan kamu nggak perlu sok tanggung jawab."
"Dia cinta sama aku!"
Fariha tertawa sinis. "Farah bilang sendiri sama aku. Dia nggak cinta sama kamu! Dan nggak mau nikah sama kamu!"
Erlang tersentak.
"Jadi berhenti sampai disini, Lang," kata Fariha. "Aku maafin kamu, hanya karena Farah yang mohon-mohon. Dan keluarga kami juga banyak berhutang budi sama kamu. Jadi kamu tetap diterima di keluarga kami. Tapi mulai sekarang, tolong jauhi Farah. Farah minta kamu menjauhi dia. Jangan sampai kalian saling khilaf lagi. Inget, kamu itu om-nya Farah!"
Jantung Erlang mencelos. Gadis itu ingin menjauh dari dirinya?
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top