39. Cukup (2)
"Nggak ada yang perlu bertanggung jawab, Om. Ini semua kesalahanku sendiri. Kalau aku nggak memaksakan perasaanku ke Om, kalau aku nggak memaksa Om mencintai aku, semua ini nggak akan terjadi. Aku minta maaf, Om."
"Farah..."
Erlang tidak suka dengan kata-kata Farah barusan. Kenapa gadis itu selalu menolak tanggung jawabnya? Bukankah gadis itu sendiri yang mengaku mencintainya? Tapi kenapa di saat yang sama, ia juga menolak? Apa sehina itu bagi Farah jika harus menikahinya? Atau Farah merasa takut atau trauma terhadapnya?
"Sekarang setelah Mama dan Faris tahu, Om nggak punya kesempatan lagi untuk menikahi Mama. Padahal Om sudah mencintai Mama sejak lama. Maafin aku, Om, semua gara-gara aku."
Erlang sudah mengantisipasi hal tersebut. Sebelum ia memberanikan diri mengaku pada Fariha, dia sadar bahwa dengan begitu dirinya tidak punya kesempatan lagi bersama Fariha. Anehnya, Erlang tidak merasa terlalu keberatan dengan hal itu.
Erlang sudah merasa terlalu nyaman menjadi bagian dari keluarga itu selama bertahun-tahun. Ia mengira, perasaan itu ada karena ia senang berada dekat di sisi Fahira. Tapi kini, ketika ia memikirkannya lagi dan membayangkan dirinya dan Fariha di masa depan, ternyata ia tidak benar-benar membayangkan jenis hubungan romantis. Entah kenapa hubungan adik-kakak seperti yang dimilikinya dan Fariha selama ini terasa lebih manis dan nyaman.
Barangkali kesadaran itu yang membuat Erlang akhirnya berani mengakui perbuatannya pada Farah. Ia tahu Fariha akan marah, kecewa atau bahkan membencinya. Kalaupun kemudian Erlang berhasil membuat Fariha memaafkannya, ia sudah mengantisipasi bahwa tidak mungkin lagi akan ada hubungan romantis antara dirinya dan Fariha di masa mendatang. Dan dia tidak keberatan dengan hal tersebut.
"Tapi aku janji akan berusaha menjelaskan ke Mama dan Faris, dan membuat mereka mengerti bahwa ini bukan kesalahan Om. Aku yakin, lama-lama mereka bisa menerima Om lagi. Faris sayang banget sama Om."
Erlang sendiri juga bertekad untuk meminta maaf kepada keluarga itu. Meski gelas yang retak tidak bisa diperbaiki seperti semula, ia akan memperjuangkan agar setidaknya mereka mau memaafkannya dan menerimanya kembali.
"Aku nggak suka hubungan kita jadi kayak gini, Om. Aku pengen jadi keponakan kesayangan Om lagi. Om masih sayang sama aku kan? Tolong lupain semua yang pernah aku bilang ya, Om. Itu semua kesalahan."
Ingin jadi keponakan lagi?
Melupakan pernyataan cinta Farah?
Kesalahan?
Setelah semua yang terjadi, setelah semua yang dilihat dan dilakukannya pada tubuh gadis itu, setelah semua mimpi buruk dan mimpi erotis yang mulai menghantuinya sejak kejadian itu, bagaimana mungkin Erlang masih bisa melihat Farah sebagai keponakan?
Bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan perasaan Farah kepadanya? Karena entah kenapa ia tidak merasa keberatan atau terganggu tiap teringat pernyataan cinta Farah padanya. Dan kini ketika Farah menganggap perasaan itu sebagai suatu kesalahan, Erlang justru merasa geram.
"Aku boleh peluk Om? Sebagai keponakan?"
Aku juga ingin peluk kamu. Tapi bukan sebagai keponakan.
Lalu pikiran itu menghantam kesadarannya. Jadi sekarang dia menganggap Farah sebagai apa, jika bukan lagi sebagai keponakan?
Lalu sebelum pertanyaan itu terjawab, gadis itu sudah memeluknya. Bagai terhipnotis, tubuh Erlang membeku.
Tubuh dan rambut beraroma strawberry yang menyergap penciumannya, membuat Erlang terkesiap. Ini semua mengingatkannya pada malam itu, membuat bagian tubuhnya memberontak ingin membebaskan diri. Erlang benar-benar harus berkonsentrasi agar tidak lupa diri dan menjatuhkan gadis itu ke ranjangnya.
Gadis itu mengakhiri pelukannya dengan sebuah belaian dan tepukan di punggungnya sembari berkata, "Maaf. Dan terima kasih, Om."
Maaf?
Terima kasih?
Untuk apa?
Lalu Farah melepaskan diri dari Erlang. Dan dia tersenyum. "Aku pulang dulu ya Om. Semoga Om cepat sembuh. Nanti aku kabari kapan Om bisa coba menghubungi Mama dan Faris lagi. Jangan terlalu khawatir ya."
Jangan terlalu khawatir?
Tapi kenapa Erlang justru jadi khawatir mendengar kata-kata itu? Firasatnya mengatakan seperti ada hal yang tidak beres yang akan terjadi.
Erlang ingin menghentikan atau mengejar gadis itu. Tapi seperti ada malaikat dan iblis yang berdebat di benaknya, membuat pikirannya limbung dan tubuhnya bahkan tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menatap kepergian Farah dalam diam.
* * *
Farah sudah ada di rumah ketika Faris pulang sekolah hari itu. Hari itu memang Farah tidak ada jadwal ke kampus. Hampir semua urusan kampus sudah beres: persyaratan yudisium, foto buku tahunan, pendaftaran wisuda, pengurusan SK Lulus Sementara, hingga mengikuti proses rekrutmen beberapa perusahaan.
Faris melihat kakaknya sedang nonton tivi ketika ia lewat ruang tengah untuk menuju kamarnya.
"Gue boleh ngomong sebentar, Ris?" kata Farah, ketika melihat Faris hampir membuka pintu kamarnya, bahkan tanpa menyapanya.
Ragu, tapi kemudian Faris berbalik, melepas ranselnya dan duduk di samping Farah, di depan tivi yang dibiarkan Farah tetap menyala dengan suara yang sudah dikecilkan.
Farah menoleh pada adiknya yang terlihat sok cuek, tapi juga salah tingkah di saat yang sama. Jelas sekali bahwa pemuda itu sedang berusaha untuk tidak memedulikannya, tapi tidak berhasil.
"Gue minta maaf, Ris," kata Farah.
Faris akhirnya menoleh dan memandang kakaknya. "Lo salah apa? Kenapa minta maaf ke gue?" tanyanya ketus.
"Salah gue banyak. Dan semuanya udah bikin lo kecewa. Iya kan?"
Faris mendengus.
Andai Farah mengatakan bahwa Erlang memperkosanya, tentu Faris akan simpati pada kakaknya dan justru mendukungnya. Tapi ketika dia tahu bahwa kakak yang menjadi panutannya justru melakukan sex pra-nikah dengan sadar, dan bahkan lebih dahulu menggoda Erlang, hal itu memang membuat Faris kecewa.
"Lo naksir sama Om Erlang?" tanya Faris sinis.
Farah tidak mau mengelak lagi. "Dari awal, gue nggak pernah menganggap dia sebagai Om kita."
"Tapi kenapa sampai harus sejauh itu, Mbak?" tanya Faris menyesali.
"Iya, itu salah. Dan gue terlambat menyadari kesalahan itu."
Faris tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
"Gue sudah mengecewakan lo, Mama dan pasti Papa. Gue menyesal. Gue minta maaf. Gue minta maaf."
Farah menggenggam tangan adiknya. Lalu melanjutkan. "Nggak apa-apa kalau lo belum bisa maafin gue. Tapi semoga suatu hari nanti lo mau maafin kakak lo yang bodoh ini."
Faris masih diam.
"Dan semoga lo bisa maafin Om Erlang juga," kata Farah kemudian. Dan saat itu rahang Faris mengeras. "Dia cuma laki-laki normal biasa. Gue yang menggodanya. Jadi dia nggak salah. Semoga suatu hari nanti lo bisa mengerti."
Faris mengerti. Tapi dia tidak mau memaklumi tindakan lelaki itu.
Farah melepaskan genggamannya dari tangan Faris, lalu merapikan rambut Faris dengan sayang. "Semoga kesalahan yang gue lakukan kali ini bisa menjadi pengingat buat lo. Secinta apapun lo sama seseorang, jangan melampaui batas seperti gue. Karena ini bukan cuma menghancurkan diri sendiri, tapi juga menghancurkan hati orang-orang yang menyayangi lo. Gue menyesali hal ini. Dan gue harap lo nggak akan pernah merasakan penyesalan yang sama."
Faris bukan pemuda yang romantis. Tapi dia sungguh tersentuh dengan kata-kata dan penyesalan kakaknya. Ia sangat ingin memeluk kakaknya, menguatkan dan mengatakan bahwa ia mendukungnya. Tapi tindakan itu pasti terlalu sentimentil dan cengeng, seperti di drama korea. Jadi yang dilakukan Faris hanya mengangguk dan tersenyum canggung.
Respon Faris itu tidak melegakan. Tapi bagi Farah, untuk saat ini, hal itu sudah cukup.
* * *
Bab ini mulai diketik saat saya duduk menunggu dokter, dan selesai diketik tepat sebelum nama saya dipanggil di antrian berikutnya. Makanya pendek aja. Semoga bab ini juga menjawab pertanyaan-pertanyaan di bab sebelumnya.
Oiya, cerita ini sudah tersedia utuh dlm btk e-book di bit.ly/SegitigaBermuda
Tapi kalau cerita ini akan dicetak, kira2 ada banyakkah Kakak2 yang berminat memilikinya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top