37. Hancur

Jika beberapa pekan sebelumnya Erlang sengaja menunggu di dekat rumah Farah agar dapat bicara pribadi berdua dengan Farah, kali ini justru sebaliknya. Sudah beberapa hari Erlang sengaja menunggu Fariha pulang sebelum kedua anaknya, agar dapat bicara berdua dengan wanita itu.

Erlang sudah beberapa kali mencoba bicara dengan Fariha, tapi Farah selalu mencegahnya. Sebenarnya mudah saja jika ingin bicara dengan Fariha. Dia bisa menjemput wanita itu di sekolah tempatnya mengajar, lalu mengajaknya bicara sambil makan di salah satu restorannya. Masalahnya, hal yang akan dibicarakannya kemungkinan besar akan membuat wanita itu murka. Jadi bicara di tempat publik bukan sesuatu yang bijak. Hal itu harus dibicarakan di tempat yang cukup private. Di rumah.

Jadi setelah menunggu beberapa hari, akhirnya Erlang mendapatkan kesempatan itu ketika ia melihat Fariha pulang terlebih dahulu sebelum kedua anaknya. Begitu melihat Fariha memasuki rumahnya, Erlang yang menunggu di depan gang segera menjalankan mobilnya dan memarkir di depan rumah Fariha.

"Tumben kesini sore-sore pas hari kerja, Lang?" tanya Fariha ketika  setelah mempersilakan pria itu masuk. Fariha berkomentar begitu karena Erlang biasanya muncul di rumah mereka di akhir pekan atau menjelang malam tiba, karena sekalian numpang makan atau mengantarkan makanan atau bahan makanan untuk dimasak.

"Iseng aja. Hehehe," jawab Erlang sambil berusaha tertawa untuk menetralkan kegugupannya. Ia mengikuti Fariha menuju meja makan. "Iseng mampir, sekalian abis tadi ngecek resto."

"Sekalian bawa makanan nggak?" tanya Fariha meledek.

"Bawa dong," jawab Erlang. Ia meletakkan sebuah kardus di atas meja makan dan membukanya. Di dalamnya berisi 6 buah dessert box berbagai rasa. "Chef lagi nyobain bikin dessert baru nih, Mbak. Cobain deh."

"Dessert? Wah, kesukaan Farah tuh!" jawab Fariha spontan dan antusias. Tapi kemudian tiba-tiba saja wajah wanita itu kembali muram. Dan perubahan ekspresi Fariha itu tidak luput dari perhatian Erlang.

Setelah selesai membuatkan sirup melon di sebuah pitcher, ia meletakkannya di meja makan bersama dengan sebuah gelas, di hadapan Erlang. Ia juga menyiapkan dua buah sendok kecil untuknya dan Erlang mencicipi desset box yang dibawa Erlang.

Fariha mengambil salah satu dessert box yang berwarna peach, mencicipinya, dan segera memuji rasanya.

"Kata Faris, Mbak masih marah sama Farah?" tanya Erlang, memulai dengan hati-hati. Mumpung mood Fariha terlihat agak cerah setelah mencicipi dessert barusan.

Fariha hanya angkat bahu dengan enggan.

Meski terlihat masih marah pada Farah, tapi Erlang juga melihat bahwa Fariha masih peduli pada anak gadisnya itu. Terbukti saat tadi akan mengambil dessert box, Fariha yang hampir saja mengambil dessert rasa stroberi, terlihat mengurungkan niatnya dan beralih pada dessert box lain, karena ingat bahwa Farah suka rasa stroberi.

"Aku mau ngomong sama Mbak, tentang Farah," kata Erlang kemudian.

"Kamu pasti mau belain dia lagi," gerutu Fariha. "Kamu terlalu sayang dan manjain dia. Anak kayak gitu nggak usah dibelain terus. Udah jelas dia salah."

"Tapi..."

"Aku lihat dia pulang dari rumah sakit dengan sehat aja, rasanya udah senang dan lega banget, Lang," kata Fariha memotong. "Aku tahu dia salah, tapi itu juga kesalahanku yang nggak bisa didik dia dengan baik. Aku tahu dia salah, dan dia juga sudah menerima akibatnya dan kelihatan menyesal. Jadi sebenarnya aku udah siap memaafkan dia, Lang. Tapi yang bikin aku marah lagi adalah karena dia nggak mau ngaku siapa laki-laki yang udah menghamili dia."

"....mbak, sebenarnya... "

"Aku perlu tahu siapa laki-laki itu, Lang. Laki-laki itu harus bertanggung jawab menikahi Farah. Bahkan meski sudah nggak ada bayi itu lagi, tapi aku khawatir sama masa depan Farah. Gimana kalau nantinya nggak ada laki-laki lain yang mau menerima Farah apa adanya, karena dia sudah nggak perawan lagi? Jadi laki-laki itu harus bertanggung jawab karena sudah mengambil yang paling berharga bagi Farah. Tapi sialnya, Farah malah melindungi laki-laki brengsek itu. Itu yang bikin aku marah."

"Mbak, aku.... "

"Aku curiga, itu dosennya."

"Apa?!" spontan, Erlang kaget.

"Farah itu anak baik. Kerjaannya cuma di kampus dan di rumah aja. Kuliah, belajar kelompok, BEM, ngajar les. Nggak macem-macem. Lalu tiba-tiba dia hamil? Kemungkinan itu terjadi pas dia nginep di kos temannya menjelang sidang skripsi, atau pas dia ngajar di rumah dosennya kan. Pak Attar. Apalagi anak itu kelihatannya dekat banget sama dosennya itu. Pak Attar juga yang bawa Farah waktu pendarahan. Dan sikap Farah yang menyembunyikan identitas laki-laki yang menghamilinya itu, bikin aku makin curiga sama dosennya itu. Mungkin Farah takut cerita.

Kalau sampai minggu ini Farah nggak ngaku juga, aku mau coba nyamperin Pak Attar. Barangkali Farah pernah curhat tentang pacar yang menghamilinya ke Pak Attar, atau Pak Attar akhirnya ngaku menghamili Farah. Langsung aku minta tanggung jawab ngawinin si Farah!"

"Nggak bisa gitu, Mbak!" protes Erlang, cepat. Dia tidak rela kalau Farah dinikahkan dengan laki-laki lain karena kesalah-pahaman Fariha.

"Nggak usah belain Farah ter____"

"Aku yang menghamili Farah, Mbak!"

"___rus kamu___Apa?!"

Gentar, tapi sekaligus lega, Erlang memberanikan diri menatap Fariha. "Laki-laki itu aku, Mbak. Aku yang menghamili Farah. Maafin aku."

Sendok yang digunakannya untuk memakan dessert box tergelincir dari tangan Fariha dan terjatuh di meja. Matanya nyalang menatap lelaki di hadapannya.

"Kamu bohong kan Lang? Kamu cuma mau belain Farah kan?" tanya Fariha, dengan suara bergetar.

Erlang menunduk dengan penuh penyesalan. "Aku minta maaf, Mbak. Aku minta maaf."

Hening lama terjadi diantara mereka. Meski menunduk, dari sudut matanya Erlang bisa melihat tangan Fariha yang terkepal kuat, menahan amarah. Erlang sendiri sudah mempersiapkan diri untuk ini. Meski Farah sudah sering melarang dan menghalanginya agar tidak menceritakan kejadian itu kepada keluarganya, tapi batin Erlang tersiksa tiap kali teringat bahwa dia sudah membohongi keluarga yang selama bertahun-tahun telah sangat baik padanya. Dia harus segera mengakhiri siksaan batinnya ini dengan mengakui dosanya.

"Kapan?" tanya Fariha, dingin, setelah sekian lama terdiam. "Kapan kalian melakukannya?"

Erlang menghembuskan nafas berat. "Waktu aku antar Farah pulang dari rumah sakit setelah jaga Mas Farhan."

Fariha menggeleng tidak percaya.

"Waktu itu hujan. Disini mati lampu. Aku nemenin Farah sampai listrik hidup lagi. Tapi aku khilaf."

"Astaghfirullah!" desah Fariha. Ia lalu menenggelamkan wajahnya ke dalam kedua telapak tangannya dan menangis. "Waktu itu aku yang minta kamu antar Farah pulang. Jadi sebenarnya aku yang menjerumuskan anakku sendiri."

"Ini bukan salah Mbak. Ini salahku. Maafin aku, Mbak," kata Erlang. Hatinya pedih melihat Fariha menyalahkan dirinya sendiri.

"Harusnya aku nggak terlalu percaya sama kamu!" kata Fariha. Suaranya yang teredam oleh kedua telapak tangannya tetap terdengar geram, marah dan penuh penyesalan.

"Aku khilaf. Maafin aku, Mbak," Erlang kembali mengulang permohonan maafnya, untuk kesekian kalinya.

"Aku malah mempercayakan kamu jaga Farah di rumah sakit. Bodohnya aku!" Fariha makin menyesal.

Melihat Fariha yang menangis pedih di sisinya, Erlang mengulurkan tangannya, membelai bahu wanita itu untuk menenangkan. Juga meyakinkannya bahwa itu bukan kesalahan Fariha.

Tapi serta merta Fariha menampik tangan Erlang dari bahunya. Wanita itu kemudian membuka kedua telapak tangan dari wajahnya dan menegakkan tubuhnya. Ia memandang Erlang dengan amarah yang membuncah.

"Tega kamu, Lang!" bentak Fariha, sambil memukul lengan Erlang dengan keras. Itu pukulan yang keras dan tidak main-main. Bahkan pukulan perempuan itu saat dulu menjadi gurunyapun tidak pernah sekeras itu. Tapi Erlang tahu bahwa dia layak mendapatkan pukulan itu, jadi dia diam dan bertahan. "Kami udah anggap kamu seperti keluarga! Farah itu keponakan kamu! Tega kamu melakukan itu ke dia!"

Pada tiap kata yang diucapkan Fariha, ia membubuhkan satu pukulan di tubuh Erlang: lengan, bahu, dada, apapun yang mampu dijangkau tangannya untuk menyakiti lelaki itu.

"Maaf, Mbak. Maaf." Dan hanya itu kata-kata yang terus diulang-ulang oleh Erlang.

Kalaupun wanita itu memukulinya hingga mati, ia tidak akan menolak. Dia memang pantas mati.

"Tega kamu menghamili Farah!" pekik Fariha. Ia makin kesal karena Erlang pasrah saja dipukuli.

"Siapa yang menghamili Mbak Farah?" tanya seseorang tiba-tiba, dari balik punggung Erlang.

Erlang menoleh dan mendapati Faris berdiri diantara ruang tamu dan ruang makan, dengan tatapan bingung dan marah. Baru saja ia melihat ibunya memukuli Erlang, sesuatu yang seumur-umur tidak pernah dilihatnya.

Fariha terkesiap. Tidak menyangka bahwa Faris sudah pulang sekolah. Dia tidak berharap anak itu tahu tentang masalah ini.

"Yang menghamili Mbak Farah.... Om Erlang...?"

Faris menatap Erlang dan ibunya bergantian, tidak percaya. Tapi tidak adanya jawaban dari keduanya selama beberapa lama justru menjadi jawaban bagi Faris.

Lalu tiba-tiba saja dia merasa marah. Dia menghormati lelaki itu seperti ayahnya sendiri. Bahkan setelah kepergian sang ayah, dengan melihat kedekatan ibunya dengan Erlang, Faris tidak terlalu keberatan jika lelaki itu yang menjadi ayah tirinya. Dia bahkan dengan bodohnya percaya bahwa Erlang bisa menjadi penengah konflik antara ibu dan kakaknya. Tapi ternyata justru lelaki itu sumber dari semua masalah keluarga mereka saat ini.

Tanpa bisa mengendalikan gejolak masa mudanya, Faris menghampiri Erlang lalu menonjok wajahnya dengan keras. Itu bukan pukulan main-main, dan Erlang terjatuh dengan pipi merah dan tepi bibir sobek.

Fariha terkesiap. Tapi dengan cepat ia menahan putra bungsunya itu agar tidak memukul lagi.

"Maaf," kata Erlang sekali lagi, tidak jelas, karena tepi bibirnya sobek hingga sakit ketika bicara.

Faris memberontak, melepaskan diri dari cekalan ibunya dan menerjang tubuh Erlang hingga terjatuh. Erlang sebenarnya bisa saja membela diri, tapi dia merasa layak mendapatkan semua hal itu, jadi dia diam saja.

Faris sudah menduduki tubuh Erlang dan bersiap memukulinya, ketika tiba-tiba terdengar teriakan dari pintu depan.

Farah yang baru saja kembali dari kampus, menatap ngeri pada Faris yang sepertinya sudah siap memukuli Erlang.

"Jangan cegah gue!" kata Faris keras. Ia memukul wajah Erlang lagi.

Farah berteriak dan berlari menghampiri kedua orang itu. Sementara Fariha berusaha menarik Faris menjauh dari tubuh Erlang, tapi gagal.

"Dia yang memperkosa lo kan Mbak? Si brengsek ini?!" kata Faris sambil memukul sekali lagi.

"Stop, Ris! Stop!" Farah sudah berlutut di samping Erlang dan Faris. Ia menempatkan tubuhnya diantara kedua lelaki itu, menjadi tameng.

"Nggak usah belain dia, Mbak! Gue percaya sama dia. Kita semua percaya sama dia! Tapi dia malah jahat sama lo!" kata Faris. Dia berusaha menyingkirkan Farah, agar tidak menghalanginya memukul.

"Bukan Om Erlang yang salah!" pekik Farah frustasi, berusaha mengatasi kemarahan Faris. "Itu bukan pemerkosaan. Aku yang menggoda om Erlang. Aku yang salah..."

Air mata Farah luruh seketika. Disusul dengan tatapan Faris dan Fariha yang kaget dan terluka.

Dalam keadaan masih terbaring tidak berdaya, dibawah kuasa Faris, Erlang menutup matanya. Merasa pedih melihat keluarga itu hancur gara-gara dirinya. Ketiga orang yang disayanginya.

* * *

Mana nih fans om Erlang yg dr kemarin2 udh nungguin si Om nongol?

Dia udah secara gentleman mengakui dosa nih Kak. Udah nggak dituding pengecut lagi kan?

Udah puas baca bab ini belum Kak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top