35. Menunggu
Laskar Pak Ardi
Wanda: Udah pada daftar wisuda belom gaes? Besok batas terakhir daftar.
Indah: Udah dong.
Wisnu: Udah, sayang.
Rully: Najis! Jangan pacaran dsni woe!
Wisnu: Santay aja woe! Ngegas banget bang jago!
Indah: Si Rully pasti ngegas gitu karena masih galau, mau nambah undangan wisuda atau ga.
Wisnu: Jomblo macem Rully apa yg mau digalauin sih? Kan dia ga punya pacar buat jadi pendamping wisuda. Buat apa nambah undangan wisuda?
Rully: Jatah undangan wisuda per mahasiswa kan cuma buat 2 orang. Buat emak bapak gue doang. Tapi ini adik2 n nenek-kakek gw pgn ikut liat gw wisuda juga. Mayan juga kan kalo nambah undangan mesti nambah bayar.
Wanda: Untung lo belum punya pacar, Rul. Kalo kagak, lo makin stres nambah 1 undangan lagi.
Indah: Gaes, kalo ada yg butuh sewa pendamping wisuda, biar ga keliatan jomblo banget, hub gw ya gaes.
Wisnu: Njir! Siapa yg lo sewain?
Indah: Adik gw. Yg cewek kelas baru naik 3 SMA. Yg cowok semester 5, tapi ga keliatan brondong amat lah. Lumayan kan, adik gw bs dateng ke wisuda gw gratisan, gw ga perlu beli undangan tambahan, adik gw dpt honor sewa PW, dan temen gw ga nelangsa amat ketauan jomblo.
Wanda: Hahaha gila lo!
Wisnu: Wkwkwkwk kok lo kepikiran aja.
Faradiba: Njir! Gw ga tahan buat ga komen. Cerdas banget sih si Indah. Pantesan cum laude. Pandai memanfaatkan situasi emang.
Rully : Ih kok gw ga kepikiran ya? Apa gw sewain juga adik2 gw jd PW
Wisnu: Adik-adik lo kan masih SD dan SMP cuy! Eksploitasi anak itu namanya.
Rully : Ya ampun, iya ya. Kakek-nenek gw kan jg ga mungkin gw sewain.
Indah: Rully sialan! Lucu banget sih lo. Gw tiba2 ngakak nih
Faradiba: Auto-cucu-durjana
Wanda: bakal dicoret sbg ahli waris lo
Wisnu: Wkwkwk. Kalo si Indah jenius, si Rully beyond genius. Ga ngerti lg gw mendeskripsikan kecerdasan Rully
Rully : kampret lo pada emang ya. Sohib apaan lo semua, bukannya bantu cari solusi, malah ngetawain gue.
Farah menutup aplikasi chatnya dengan senyum. Grup Laskar Pak Ardi selama beberapa bulan ini memang selalu berhasil meredakan kestresannya. Bukan hanya terkait skripsi, tapi obrolan unfaedah lainnya cukup banyak menyumbangkan tawa untuk Farah. Dan hari-hari ini dia memang banyak membutuhkan tawa tersebut.
Suasana di rumahnya masih tidak kondusif. Ibunya berkeras tidak mau bicara padanya, kecuali Farah mau mengaku siapa laki-laki yang sudah menghamilinya. Sementara Farah sama keras kepalanya, masih bertahan tidak mau mengaku. Akibatnya seperti ada perang dingin di rumah.
Farah sudah beberapa kali mencoba mendekati ibunya. Bahkan sambil menginformasikan tentang hari wisudanya. Berharap ibunya akan luluh. Tapi alih-alih luluh, sang ibu malah mengatakan bahwa beliau tidak mau menghadiri wisuda Farah, kecuali Farah mau mengaku siapa yang sudah menghamilinya.
Faris, yang geregetan melihat ibu dan kakaknya, sampai memohon pada Farah untuk tidak keras kepala lagi. Apa susahnya mengaku siapa yang sudah menghamilinya, supaya urusan dengan ibunya tidak berlarut-larut. Tapi bagi Farah, urusannya tidak semudah itu. Sekali Farah mengaku, semuanya akan hancur.
Farah bukannya ingin melindungi Erlang karena dia bucin kronis pada laki-laki itu. Dia hanya tidak ingin ibunya dan Faris terpukul mendengar fakta itu.
Erlang sudah dianggap menjadi bagian dari keluarga mereka sejak lama. Beberapa bulan sekali ia pasti berkunjung ke rumahnya, membawakan makanan atau bahan makanan untuk diolah. Faris juga cukup dekat dengan Erlang sejak kecil. Kini setelah ayahnya meninggal, bahkan Faris tidak sungkan mengatakan bahwa jika ia harus punya ayah tiri, ia memilih Erlang sebagai ayah tirinya. Dia tidak mau laki-laki lain menggantikan ayahnya.
Sang ibu juga tampak sangat mengandalkan Erlang. Jika kebetulan ayah dan ibunya tidak bisa mengambilkan rapor Farah atau Faris karena bentrok dengan jadwal pengambilan rapor di sekolah tempatnya mengajar, ibu Farah bahkan meminta tolong Erlang mengambilkan rapor. Beberapa kali keluarga mereka mengalami masalah finansial, Erlang juga yang membantu meminjamkan uang. Meski ayah dan ibunya selalu melunasi hutangnya pada Erlang, itu tidak lantas meniadakan kebaikan Erlang pada keluarga mereka. Ibu Farah juga mempercayai Erlang benar-benar seperti keluarganya sendiri.
Betapa banyak yang sudah dilakukan Erlang untuk keluarganya. Betapa dekat hubungan Erlang dengan ibu dan adiknya. Farah tidak bisa membiarkan satu kesalahan Erlang menghancurkan hati keluarganya. Lagipula, satu kesalahan Erlang kali itu juga disebabkan oleh Farah.
Lagipula apa gunanya mengakui hal itu sekarang? Bayinya sudah tiada. Erlang tidak perlu lagi bertanggung jawab apa-apa. Hanya karena ibunya khawatir tidak ada laki-laki lain yang mau menikahinya karena dirinya sudah tidak perawan, bukan berarti Farah mau menikah dengan laki-laki yang tidak mencintainya. Dengan wajahnya yang mirip dengan ibunya, Erlang pasti tidak akan pernah mencintai Farah kecuali sebagai pengganti ibunya. Dan Farah tidak mau masa depan seperti itu.
Sejak dirinya pulang dari rumah sakit, Erlang sudah beberapa kali mengunjunginya di rumah. Beberapa kali juga Erlang mencari kesempatan bicara dengan ibu Farah, tapi Farah selalu berhasil menjauhkan keduanya. Dia tidak tega membayangkan, betapa kecewa dan hancurnya ibunya dan Faris jika sampai tahu kenyataan yang sebenarnya.
Tapi selalu ada konsekuensi atas pilihan dan kekeras-kepalaannya. Dia harus mengorbankan dirinya sendiri kali ini, untuk mencegah hati yang lain tersakiti lebih parah lagi. Dia hanya berharap, seiring berjalannya waktu, ibunya mau memaafkannya tanpa ia harus mengorek luka lama.
* * *
"Kalau gitu, mulai minggu depan kamu bisa mulai mengajar anak saya," kata Attar pada gadis tomboy dengan rambut pendek dan kemeja macho di hadapannya.
"Baik, Pak. Terima kasih," jawab gadis tomboy itu sambil tersenyum hangat.
"Farah juga masih menemani kan?" Kali itu Attar mengalihkan tatapannya pada gadis cantik berambut panjang yang diikat ekor kuda, yang duduk di samping gadis tomboy itu.
"Iya Pak. Biar Ahsan nggak kaget dan terbiasa sama guru baru, nanti saya ikut nemenin Hanun pas awal-awal ngajar Ahsan," jawab Farah sambil tersenyum.
Siang itu Farah memang mengajak juniornya yang mulai minggu depan akan menggantikannya mengajar Ahsan untuk menemui Attar di ruang kerjanya sebagai Manajer Kemahasiswaan Fakultas Teknik. Sama sepertinya, Hanun adalah mahasiswa Teknik Industri, tapi masih semester 3.
Farah sudah lulus, dan jika dirinya sudah mulai bekerja nanti, ia tentu tidak bisa lagi mengajar Ahsan. Itu mengapa akhirnya Farah mencari adik kelasnya yang kemungkinan bisa menggantikannya mengajar Ahsan. Dia tidak mungkin pergi begitu saja tanpa tanggung jawab kan.
"Terima kasih."
"Sama-sama, Pak."
Attar sampai harus mengingatkan diri bahwa gadis di hadapannya itu adalah mahasiswanya sendiri, supaya dia tidak terus-terusan terpesona padanya.
"Kalau gitu, saya dan Hanun permisi dulu ya Pak," kata Farah kemudian, pamit.
"Eh? Oh iya."
Hanun sudah membuka pintu dan keluar terlebih dahulu, dan Farah sudah menyusulnya, ketika tiba-tiba Attar memanggilnya kembali.
"Ada yang mau saya bicarakan sebentar," kata Attar.
Farahpun memutar tubuhnya dan kembali masuk ke ruang kerja Attar, sementara Hanun mengangguk sopan pada Attar dan menutup pintunya.
Farah melangkah kembali ke kursi di hadapan Attar dan duduk di sana. "Iya, Pak?" tanyanya.
"Gimana keadaan kamu? Sudah sehat?" tanya Attar memulai.
"Sudah, Pak. Alhamdulillah. Makasih banyak ya, Pak."
Begitu juga yang dilihat Attar. Gadis itu tampak lebih segar sekarang. Meski belum seceria yang diingatnya dulu, tapi wajahnya sudah tidak lagi pucat dan lelah seperti beberapa bulan belakangan ini.
"Ibu gimana?"
Wajah gadis itu kembali muram. "Masih marah sama saya, Pak."
Attar mengangguk maklum. "Nggak ada orang tua yang nggak sayang sama anaknya. Kadang, saking sayangnya, sekali saja ekspektasinya dikecewakan, beliau bisa sangat marah. Tapi semarah-marahnya orang tua, nanti ada saatnya beliau akan mengerti juga. Asal kita menunjukkan bahwa kita sudah berubah menjadi lebih baik."
"Iya, Pak," jawab Farah. Ia sungguh berharap waktu dapat melunakkan hati ibunya.
Hening sejenak diantara mereka. Farah menunggu, karena sepertinya dosennya itu hendak menanyakan sesuatu tapi ragu.
"Saya boleh tanya sesuatu?" tanya Attar akhirnya. Sesuai dugaan Farah.
"Iya Pak?"
"... Om kamu itu... "
Farah tahu maksud pertanyaan Attar. Malu, tapi tidak bisa mengelak karena dosennya itu sudah banyak membantunya dan tidak layak dibohongi, jadi Farah menjawab sambil menunduk.
"Dia ayah dari bayi itu, Pak," jawab Farah pelan.
Mata Attar membesar ngeri. "Gimana mungkin dia bisa.... dengan keponakannya sendiri?
"Dia bukan saudara kandung Papa atau Mama saya."
Fakta itu tidak membuat Attar merasa lebih baik. Jika lelaki itu bukan paman kandung Farah, maka fakta itu lebih meresahkan bagi Attar.
"Dan kamu bukan diperkosa?"
Masih sambil menunduk, Farah menggeleng.
Itu yang meresahkan bagi Attar. Gadis itu mengatakan bahwa dia melakukan hal itu karena mencintai lelaki itu. Dan setelah melihat kedua orang itu berpelukan di rumah sakit hari itu, Attar hampir yakin bahwa lelaki itu juga mencintai Farah.
"Ibu kamu tahu?"
Farah menggeleng. "Dia sudah seperti adik bagi Papa Mama saya. Mama pasti akan terluka kalau sampai tahu hal itu."
Jadi bahkan setelah yang dilakukan lelaki itu pada Farah, gadis itu masih melindunginya?, pikir Attar perih.
Hening kembali menguasai mereka selama beberapa saat, sebelum akhirnya Attar kembali bertanya, "Jadi apa rencana Farah selanjutnya? Pak Erlang sepertinya mau bertanggung jawab. Apa kalian akan..."
"Nggak, Pak," jawab Farah cepat. "Saya nggak butuh tanggung jawab."
"Tapi dia sepertinya mencintai kamu."
"Dia mencintai orang lain yang mirip saya."
Attar menatap gadis itu dengan prihatin. Tapi dia tidak bisa membohongi diri bahwa ada sedikit beban yang terlepas.
"Jadi apa rencana Farah selanjutnya?"
"Cari kerja lah, Pak. Supaya saya nggak nambah jumlah pengangguran di Indonesia," jawab Farah. Kali ini diselingi tawa kecil. Terlihat gadis itu mencoba kembali ceria.
Attar tersenyum.
"Ada teman saya yang punya perusahaan pengembang perumahan. Belum perusahaan besar. Kantornya di Jakarta. Sedang ada lowongan seba..... "
"Saya justru sengaja cari kerja di luar Jakarta, Pak, hehehe."
Attar menatap Farah, tajam.
"Saya pengecut ya Pak?" tanya Farah kemudian. Bukan jenis pertanyaan yang memerlukan jawaban, karena dia segera menjawabnya sendiri. "Saya emang pengecut. Saya mau melarikan diri untuk sementara waktu, Pak. Supaya saya bisa melupakan semua kejadian beberapa bulan ini."
Farah kemudian tertawa salah tingkah karena ditatap setajam itu oleh dosennya.
"Itu kenapa kamu berkeras nggak mau mengajar Ahsan lagi? Karena kamu sudah berencana pergi dari Jakarta?"
Farah mengangguk. "Maaf, Pak."
"Kamu berniat seterusnya bekerja dan menetap di luar Jakarta?"
"Nggak kok Pak. Cuma sementara. Saya cuma butuh menenangkan diri. Melupakan masalah disini... melupakan dia."
"Jadi kamu pasti pulang kesini?"
"Keluarga saya disini, Pak. Kemana lagi saya harus pulang? Semoga setelah saya pulang nanti, Mama udah maafin saya."
Dulu Attar adalah orang yang spontan. Tapi seiring bertambahnya usia, ia melatih diri untuk menahan diri dan memikirkan masak-masak segala rencananya. Dan pikiran tentang Farah, bukan baru saja melintas kemarin sore. Beberapa bulan terakhir ini, dia makin serius memikirkan perasaannya pada gadis ini. Jadi ketika akhirnya dia menanyakan hal itu, itu bukan karena spontanitas. Tapi karena dirinya serius.
"Apa saya boleh menunggu kamu kembali?"
"Pak?"
"Setelah kamu berhasil melupakan hal-hal yang ingin kamu lupakan, apa saya boleh menggantinya dengan hal-hal baru?"
* * *
Farah yang ditunggu, kenapa kamu yang tersipu? Eeeaaakkk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top