33. Mulai dari Nol
Karena kemarin nanggung, sekarang updatenya dipercepat deh, biar puasssss
* * *
Begitu ia mendengar pintu di balik punggungnya ditutup, Erlang segera melangkah menghampiri Farah. Wajah gadis itu yang sendu, dan matanya yang berair, membuat Erlang luluh dan emosinya mereda.
Saat mendengar kabar dari Faris tentang Farah, Erlang memang kalut. Tapi sebenarnya ia tidak berniat marah pada gadis itu. Hanya saja, saat memasuki ruang rawat Farah dan langsung disuguhi pemandangan yang mengiritasi matanya: Farah berpegangan tangan dengan lelaki lain, spontan saja intonasi suaranya naik tanpa bisa dikendalikan. Jadi ketika lelaki pengganggu itu sudah pergi dan pandangannya tidak teriritasi lagi, Erlang kembali bisa menguasai dirinya.
Ia melihat nampan berisi makan siang Farah yang baru dimakan sebagian. Tapi sepertinya gadis itu memang sudah tidak memakannya lagi, terbukti ketika ia masuk tadi Farah bukannya sedang menghabiskan makanannya, tapi malah sedang bermesraan.
"Masih mau makan lagi?" tanya Erlang lembut.
Farah menggeleng sambil menghapus air matanya.
Erlangpun memindahkan nampan berisi piring, mangkok dan gelas itu ke atas nakas, lalu menurunkan meja makan pasien. Ketika tidak lagi ada penghalang di atas ranjang Farah, Erlang langsung duduk di tepi ranjang gadis itu dan meraih tangan gadis itu.
"Jadi kamu benar hamil?" tanya Erlang.
Farah tidak menjawab. Dia diam, hanya menatap balik lelaki di hadapannya.
"Dia anakku kan?"
Farah masih diam.
"Kenapa kamu nolak nikah sama aku?"
Perlahan, tapi jelas, mata Farah kembali tergenang air. Dan air itu meluncur satu-satu di pipinya.
"Dia sudah nggak ada," kata Farah tercekat. "Dia sudah pergi."
Genggaman Erlang di tangan Farah menguat.
"Padahal aku belum memutuskan untuk mempertahankan atau melepaskan dia. Tapi dia sudah memilih menyerah," gumam Farah sedih.
Erlang menggeser duduknya maju.
"Dia pasti tahu aku bukan ibu yang baik. Jadi dia memilih pergi aja daripada harus dibesarkan oleh perempuan ... "
"Jangan ngomong gitu!" potong Erlang cepat. Ia meraih bahu Farah. "Itu bukan salah kamu. Faris sudah cerita, dia tumbuh bukan di rahim, dan membahayakan keselamatan kamu."
Saat itu juga Farah merasakan beban berat menimpanya. Menyebabkan rasa sakit yang sangat menyesakkan dada. Lalu ia tidak bisa menahan diri lagi.
"Bayiku, Om... anakku..." lirih Farah perih. Ia mencengkeram bagian dada kemeja Erlang dan menumpahkan air matanya disana. Lalu mulai memukuli dada lelaki itu. "Dia satu-satunya hal dari Om yang bisa aku miliki. Cuma dia. Dan sekarang aku juga nggak bisa memiliki dia."
Air mata Farah yang membasahi kemejanya bagaikan air bah yang datang menghempas dan menggulungnya. Membuat Erlang merasakan sesak teramat sangat.
Dia satu-satunya hal dari Om yang bisa aku miliki.
Jadi janin itu memang benar anaknya kan? Dan dia baru saja kehilangan anaknya.
"Bayiku, Om... anakku..." Tangis Farah makin hebat, seiring pukulannya di dada Erlang yang melemah.
"Anak kita, Farah...."
Lalu Erlang menarik tubuh Farah dan memeluknya erat. Ia berharap pelukannya bisa meredakan tangisan Farah. Tapi justru dirinya sendiri ikut menangis.
* * *
Attar tidak paham dengan apa yang terjadi. Lelaki itu barusan mengaku sebagai ayah dari janin Farah yang gugur. Padahal selama ini Attar mengenal lelaki itu sebagai om-nya Farah.
Saya melakukannya karena cinta sama dia.
Tapi Farah sendiri mengakui mencintai lelaki itu. Apa itu berarti bahwa lelaki bernama Erlang itu bukan paman kandung Farah?
Belakangan saya tahu bahwa dia nggak cinta sama saya.
Jadi ini cinta yang bertepuk sebelah tangan? Tapi kalau melihat ekspresi lelaki itu tadi, Attar tidak yakin jika lelaki itu tidak memiliki perasaan apapun pada Farah.
Attar membuka kembali pintu ruang rawat Farah, hanya sedikit. Ia hanya ingin memastikan Farah baik-baik saja, karena dia tidak bisa mendengar suara apapun dari koridor. Tapi dia jadi menyesal, harusnya dia tidak perlu mengkhawatirkan keadaan gadis itu lagi. Sudah ada laki-laki yang dicintai gadis itu bersamanya, memeluknya, memberinya ketenangan. Hal-hal yang tidak pernah benar-benar bisa diberikan Attar, bahkan meski ia ingin memberikannya.
Attar kembali menutup pintu ruang rawat Farah dan melangkah pergi. Harusnya sejak awal dia tahu, tempatnya di hati Farah hanya sebagai dosen dan orangtua murid. Tidak pernah lebih.
* * *
Erlang baru saja akan membantu menyiapkan meja dan nampan untuk Farah makan malam ketika ponselnya bergetar. Ia mengecek ponselnya dan mendapati nama Fariha disana.
Perubahan ekspresi Erlang tentu saja menarik perhatian Farah. Dan ditatap setajam itu oleh Farah, Erlang tidak bisa berbohong.
"Mama kamu," kata Erlang memberi tahu.
Wajah Farah seketika pias. Tapi Erlang menepuk punggung tangan Farah untuk menenangkannya. Ia kemudian memutuskan untuk mengangkat panggilan itu.
"Harusnya kamu nggak perlu menunggui Farah di rumah sakit," kata Fariha setelah membalas salam Erlang. "Biar Faris yang jaga."
Beberapa jam lalu Faris memang sudah datang ke rumah sakit. Tapi Erlang menyuruhnya pulang lagi dan menawarkan diri untuk menjaga Farah.
"Faris besok sekolah, Mbak. Dia bakal ngantuk dan nggak konsen kalau dua malam berturut-turut jaga Farah. Biar aku aja yang jaga, aku nggak ada kerjaan juga."
Itu alasan yang sama yang tadi digunakan Erlang saat Farah menolak Erlang menemaninya. Kalau dipikir, alasan Erlang masuk akal juga. Kalau Faris terus-terusan di rumah sakit di malam hari dan harus sekolah di pagi hari, tentu Faris bisa kelelahan dan jatuh sakit. Jadi meski Farah tidak nyaman ditemani Erlang, ia terpaksa menerima tawaran itu, agar adiknya tidak sakit.
"Kami udah terlalu banyak merepotkan kamu, Lang. Hhhh, padahal aku udah pesan ke Faris supaya nggak usah cerita masalah keluarga ini ke orang lain."
"Bukan salah Faris. Aku yang maksa dia cerita."
"Jadi kamu udah tahu kenapa Farah dirawat?"
".... Iya, Mbak."
"Aku... malu, Lang." Suara Fariha terdengar lirih. "Aku malu, kamu jadi harus tahu masalah keluargaku. Aku malu sama Mas Farhan, nggak bisa jaga Farah dengan baik setelah dia pergi. Aku bingung. Aku nggak menduga bahwa aku nggak bisa memantau pergaulan anakku sendiri. Aku marah.... sama diriku sendiri, Lang."
"Mbak...ini bukan salah Mbak," kata Erlang tercekat. Kata-kata Fariha membuat dadanya bagai dihimpit batu besar.
"Farah gimana, Lang? Dia udah membaik?" tanya Fariha kemudian.
"Udah, Mbak. Mungkin besok atau lusa udah boleh pulang. Nunggu visite dokter besok pagi."
"Aku khawatir sama dia. Tapi aku masih terlalu marah sama dia dan sama diriku sendiri. Aku...rasanya belum sanggup ketemu dia."
Erlang menatap Farah yang tampak muram. Kesedihan Fariha dan kesedihan Farah, keduanya disebabkan oleh dirinya. Hal ini membuat Erlang marah pada dirinya sendiri.
"Mbak, sebenarnya... "
Tapi belum sempat Erlang menyelesaikan kalimatnya, Farah sudah menarik tangan kiri Erlang yang bebas, meminta perhatiannya. Gadis itu menggeleng kuat-kuat dan memelototinya. Seperti memperingatkan agar Erlang tidak mengatakan apa-apa.
"Ya, Lang?" tanya Fariha.
Tapi Farah menggeleng makin kuat. Bukan hanya tatapan mengancam yang dilihat Erlang, tapi juga tatapan memohon.
"Nggak apa-apa, Mbak," kata Erlang akhirnya, dengan berat.
Lelaki itu mendengar Fariha menghela nafas berat di seberang sana sebelum berkata, "Aku titip Farah, ya Lang. Aku percaya sama kamu."
Saat itu juga Erlang merasa hancur. Farhan dan Fariha selalu menganggapnya sebagai keluarga, dan mempercayainya sebesar itu. Bagaimana perasaan mereka jika mereka tahu bahwa Erlang sudah mengkhianati kepercayaan itu, dan bahkan sudah merusak anak gadis mereka?
Erlang menutup teleponnya tidak lama setelah itu. Dan menatap Farah dengan sedih.
"Kenapa kamu melarang aku mengaku?" tanya Erlang frustasi.
"Mengaku apa? Mengaku bahwa aku sudah menggoda Om?" Farah bertanya balik dengan sinis.
"Far.... "
"Nggak ada gunanya juga Om cerita ke Mama. Toh anak ini sudah nggak ada. Om nggak perlu lagi bertanggung jawab. Aku udah bilang, anggap aja hal ini nggak pernah terjadi. Setelah ini, kita bisa memulai semuanya dari awal lagi."
Entah kenapa Erlang tidak menyukai kata-kata itu. Meski gadis itu sudah mengijinkan Erlang menjaganya malam itu, terlihat jelas bahwa Farah tetap menjaga jarak. Dan kalimat "memulai segalanya dari awal lagi" terasa membentangkan jarak yang amat jauh diantara mereka.
* * *
Judulnya kayak slogan SPBU yak. Hahaha.
Gimana Kak, udah puas belum?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top